toko-delta.blogspot.com

menu

instanx

Tampilkan postingan dengan label abdul muid badrun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label abdul muid badrun. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 November 2008

Membangun Bangsa dengan Entrepreneur

Oleh: Abdul Muid Badrun*


Diakui atau tidak, sebagian besar masyarakat kita saat ini masih beranggapan bahwa sekolah (kuliah) atau menuntut ilmu hanya bisa dilakukan di jalur formal semata, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi (PT). Anggapan ini dilatar belakangi adanya pemahaman bersama bahwa pendidikan formal dipercaya mampu mengantarkan anak didik menuju kesuksesan. Baik secara materi (finansial) maupun non-materi (kebahagiaan).

Menuntut ilmu, entah itu namanya sekolah, kuliah, kursus, atau yang lain, tidak mesti dilakukan di lingkungan formal. Karena, jika hal itu dimaknai sebagai proses belajar, maka kita bisa melakukannya di mana pun kita berada dan kapan pun. Prinsipnya, belajar adalah proses yang punya tujuan pasti. Jika tidak, maka proses itu akan berakhir dengan sis-sia.

Melihat kenyataan angka pengangguran yang semakin meningkat dewasa ini, mestinya masyarakat tidak menggantungkan nasib hanya dari modal kuliah semata. Rumusan bahwa kuliah menjamin pekerjaan mapan seharusnya ditinggalkan.

PT yang selama ini dituduh menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pengangguran juga tidak mampu berubah dari kebiasaan lamanya. Yaitu, tetap menganggap mahasiswa sebagai bagian dari faktor produksi semata. Akibatnya, kemajuan sebuah PT baik negeri maupun swasta saat ini sangat ditentukan dari besarnya input mahasiswa diterima dan besarnya sumbangan yang dibayarkan.

Kita lihat saja di Yogyakarta misalnya, sebanyak 84 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan 4 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), hidupnya sangat bergantung pada pemasukan dari mahasiswa. Fenomena PTS yang gulung tikar selama ini lebih disebabkan karena tiadanya mahasiswa yang mendaftar. Menjadi lulusan PTN (meski sekarang mahal biayanya) juga tidak menjamin bisa langsung diterima kerja. Semua terasa sama saja.

Menurut saya, setidaknya ada tiga alasan mendasar yang bisa diungkap berkaitan dengan masalah sulitnya lulusan PT bisa diterima dunia kerja.

Pertama, institusi pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, PT) telah menjadi alat politik kekuasaan, sehingga membonsai kemajuan pendidikan itu sendiri.

Kedua, kurikulum yang diajarkan sejak awal tidak berorientasi pada kebutuhan pasar. Sehingga, ketika lulus, dia kesulitan mau kerja apa dan di mana. Lahirlah generasi mertanggung (pintar tidak, bodoh juga tidak).

Ketiga, kesejahteraan pendidik (guru maupun dosen) masih sulit diharapkan. Akibatnya, mengajar bukan lagi menjadi profesi utama melainkan profesi sampingan.

Berdasarkan realitas di atas, muncul pertanyaan mendasar, apakah pendidikan tinggi itu diperlukan atau tidak? Jawabannya, tentu bukan perlu atau tidak perlu, namun karena sekolah, kuliah, maupun pendidikan formal lainnya tetap diperlukan. Lebih-lebih dalam menghadapi persaingan global. Akan tetapi, masyarakat jangan lagi terjebak pada mitos bahwa kuliah adalah cara paling ideal meraih sukses.

Karena itu, bagi yang tidak bisa kuliah sampai sekarang karena makin tingginya biaya kuliah, maka jangan berpikiran masa depannya akan suram. Karena, banyak jalan menuju kesuksesan hidup, salah satunya adalah dengan berwirausaha (menjadi entrepreneur atau buka bisnis).

Dalam Buku Kaya Tanpa Bekerja (2004) Safak Muhammad memberikan jawaban bagaimana orang melanjutkan kuliah atau tidak kuliah sangat tergantung pada empat hal.

Pertama, tujuan hidup. Jika tujuan hidup anda ingin sukses dan ukurannya adalah pekerjaan 'aman' dan gaji bagus, maka kuliah (mungkin) tepat. Akan tetapi, anda harus bersiap-siap kecewa bahkan frustasi jika dikemudian hari tidak berhasil mendapatkannya.

Berbagai penelitian di Amerika, seperti yang dilakukan Thomas Stanley terhadap lebih dari 730 miliarder ternyata memiliki bisnis sendiri (entrepreneur) dan sisanya profesional yang bekerja sendiri (self employee) seperti dokter dan akuntan publik. Riset ini, membuktikan bahwa kuliah ternyata tidak mampu menjadi satu-satunya jalan untuk meraih kemakmuran hidup.

Kedua, bakat, minat dan potensi diri. Jika anda yakin kuliah merupakan cara tepat mengembangkan bakat, minat, dan potensi diri anda, serta mendekatkan kepada tujuan hidup anda, maka pilihan kuliah cukup realistis. Jika tidak, maka anda harus memilih cara lain seperti berbisnis daripada membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan potensi anda. Jika dipaksakan, meski anda mendapat pekerjaan, maka anda tidak akan mencintai pekerjaan anda. Akibatnya, anda terpaksa bekerja dan karir anda akan sulit berkembang.

Ketiga, biaya. Sekali lagi, ada pemahaman salah di tengah masyarakat yang berkata satu-satunya cara mendapatkan pekerjaan harus dengan kuliah. Puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah mereka keluarkan untuk kuliah agar nanti dapat pekerjaan. Kenyataannya, jika tidak mendapat pekerjaan atau dapat kerja namun dengan gaji pas-pasan maka ia akan kecewa, stres, dan semakin miskin. Bayangkan, jika biaya ratusan juta itu dipakai untuk modal membuka bisnis (menjadi entrepreneur). Maka, peluang kecewa itu bisa diminimalisir. Tidak rugi waktu juga uang.

Keempat, waktu. Untuk menjadi sarjana, sedikitnya dibutuhkan waktu empat sampai lima tahun, sehingga jangan sampai anda sia-siakan waktu panjang itu. Itu artinya, jika anda tidak yakin bahwa kuliah bisa mendekatkan pada tujuan hidup sementara anda tetap saja kuliah, maka Anda akan membuang waktu percuma. Hasilnya, anda akan menjadi manusia setengah-setengah dan tidak mampu bersaing ditingkat nasional maupun global. Karena itu, jangan sampai anda membuat keputusan yang salah dalam masalah penting ini.

Nah, dengan empat pertimbangan di atas, diharapkan seluruh masyarakat khususnya para mahasiswa menyadari betul apa sebenarnya tujuan hidup yang ingin dicapai. Bila Anda sekarang kebetulan telah memilih menjadi entrepreneur karena tidak kuliah, maka jangan takut dikatakan tidak intelek atau tidak berpendidikan. Karena, Anda bisa belajar secara otodidak. Bisa dengan cara membaca buku, mengikuti seminar, diskusi, workshop, training, dan lain sebagainya.

Karena itu, belajar tidak harus di sekolah formal. Sebab, ilmu ada di mana-mana, di "sekolah besar" kehidupan ini. Dengan bahasa lain, mulai sekarang kita perlu mengubah mindset (pola pikir) masyarakat Indonesia pada umumya bahwa sukses (kemakmuran, kekayaan, penghasilan tinggi) tidak selalu identik dengan gelar akademik, tetapi sukses adalah hak semua orang meski tidak pernah mengenyam bangku kuliah sekalipun.

Melihat realitas hidup yang ada sekarang, kebutuhan melahirkan generasi entrepreneur untuk bisa meraih kemakmuran hidup bisa menjadi solusi bangsa ini ke depan. Sejak kecil anak didik kita mesti diajarkan bagaimana hidup mandiri, mengenal dan mengelola uang, serta belajar untuk hidup disiplin. Peran orangtua dalam menumbuhkembangkan jiwa dan mentalitas mandiri bagi lahirnya generasi entrepreneur sangat dibutuhkan. Bagaimana mungkin, bangsa ini bisa mengurangi pengangguran jika tidak ada keberanian untuk melahirkan generasi entrepreneur (wirausaha).

Pesan yang disampaikan Shibusawa Eiichi, seorang wirausahawan dan aktor perubahan sosial di Jepang patut kita renungkan: "Jika engkau seorang yang berkemampuan jadilah pedagang, namun jika engkau setengah-setengah jadilah pegawai. Semoga, bangsa ini bisa bercermin diri akan masalah banyaknya pengangguran dewasa ini. Sehingga, tidak lagi disebut bangsa besar bermental kuli, namun bangsa besar yang berdikari dalam bidang ekonomi.[]

* Abdul Muid Badrun adalah Direktur Eksekutif Center for Education and Entrepreneurship Studies (CEES) dan Pembelajar Bisnis dan Manajemen STIE Widya Wiwaha Yogyakarta. Ia dapat dihubungi di: abdulmuidbadrun@yahoo.com

Selasa, 04 November 2008

Kecerdasan Wirausaha

Oleh: Abdul Muid Badrun


"We are face to face with our destiny. And we must meei it with a high and resolute courage, for ours is the life of action, of strenuous performance, of duty. Let us live in the harness of striving mightily. Let us run the risk of wearing out rather than rusting out."

Kalimat di atas tergantung di dinding kamar kerja Elizabeth Dole, mantan ketua Palang Merah AS (the American Red Cross) dan calon Presiden AS wanita pertama dari Partai Republik pada pemilihan presiden tahun 2000. Tulisan itu menurut saya mengandung tiga kata kunci yang memberi inspirasi dengan tepat kata wirausaha. Pertama, destiny (tujuan, arah). Kedua, courage (keberanian). Ketiga, action (aksi, tindakan). Untuk memudahkan mengingatnya, saya singkat dengan (DCA).

Hal senada juga diungkapkan oleh Jack Canfield dalam buku barunya"The Success Principles" (Desember 2004). Menurut Canfield, jika orang ingin sukses dalam setiap tindakan dan usaha, ada empat hal yang harus dimiliki yaitu goal (tujuan), action (tindakan), improvement (peningkatan), persistence (ketahanan). Saya singkat dengan GAIP. Keempat hal itu telah terbukti dimiliki oleh semua tokoh penting dalam sejarah dunia, dan dipraktikkan oleh semua tokoh sukses dalam bisnis.

Berdasarkan survei AC Nielsen bekerja sama dengan Citibank pertengahan 2004, tergambar bahwa 80% profesional, manajer, eksekutif, dan Pebisnis usia 30-45 tahun, yang bergaji Rp15-20 juta/bulan terancam miskin di hari tuanya. Mengapa? Karena, pola hidup mereka kebanyakan konsumtif, besar pasak daripada tiang, tidak ada investasi, dan tidak siap menghadapi hari tua (pensiun).

Ilustrasi tersebut sungguh sangat ironi. Bahwa sebagian besar kelompok masyarakat kelas menengah atas Indoensia dan berpendidikan tinggi ini tidak mampu mengkapitalisasi pendapatan yang mereka peroleh secara kreatif. Sehingga, menjadi aset yang bisa memberikan jaminan bagi hari tua dan masa depan anak-anaknya.

Barangkali, mereka harus baca dulu bukunya Dan Benson (2000), Preparing to Thrive in The New Retirement, yang mengupas tuntas bagaimana sebaiknya para eksekutif itu meraih kebebasan finansial ketika tiba masa pensiun. Sudah diterjemahkan dalam edisi Indonesia.

Yang menarik dari survei tersebut, kelompok pengusaha muda dan pemilik bisnis yang selama ini masuk dalam kategori entrepreneur (wirausaha) yang sukses juga termasuk di dalamnya. Mereka umumnya mampu memperoleh pendapatan yang besar (rich), namun tidak mampu mengelolanya dengan baik. Sehingga, dengan gaya hidup yang berlebihan akhirnya mereka tidak memiliki kemapanan secara finansial (wealthy). Inilah bedanya rich dengan wealthy. Dengan kata lain, inilah bedanya orang yang punya kecerdasan wirausaha dengan yang tidak.

Dalam buku "The Power of Entrepreneurial Intelligence" (2004), Aribowo Prijosaksono dan Sri Bawono memberikan definisi tentang apa itu kecerdasan wirausaha (Entrepreneurial Intelligence atau Entre-Q). Menurutnya, kecerdasan wirausaha adalah dorongan hati dan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan kreativitas dan kemampuan pribadinya menjadi sebuah usaha atau bisnis yang bisa memberi nilai tambah bagi dirinya secara berkelanjutan.

Entre-Q sebagai sebuah kecerdasan (melengkapi keberadaan IQ, kecerdasan intelektual; EQ, kecerdasan emosi; SQ, kecerdasan spiritual; ESQ, pengggabungan kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual; dan AQ, kecerdasan empatik/adversity) pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang, tetapi tidak pernah dikembangkan secara khusus untuk meningkatkan potensi besarnya. Setiap orang juga memilki kecerdasan wirausaha meski pada tingkat yang berbeda-beda. Namun, mayoritas di antara kita belum atau tidak punya keberanian untuk mengenali dan mewujudkannya. Akibatnya, kita sering melihat kesuksesan seseorang hanya bersifat sementara (temporal), tidak berkelanjutan (sustainable).

Menurut Thomas J. Neff dan James M. Citrin dalam buku mereka yang berjudul "Lessons from The Top", dijelaskan secara rinci delapan (10) ciri dan karakter yang menjadi unsur utama kecerdasan wirausaha. Pertama, demonstrate visionary and strategic skills (kemampuan melihat visi masa depan). Kedua, ability to evercome challenges (kemampuan menghadapi tantangan). Ketiga, passion (kecintaan pada apa yang ditekuni dan kepedulian pada orang lain). Keempat, creativity and innovation (kreatif dan inovatif).

Kelima, great communication skills and excellent people skills (kemampuan berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain. Keenam, high energy level (memiliki stamina dan fisik yang prima). Ketujuh, humble (rendah hati). Kedelapan, positive attitude and inner peace (sikap posistif dan selalu tenang dalam menghadapi cobaan dan ujian. Kesembilan, demonstrate consistent strength of character (punya kararter yang kokoh). Kesepuluh, focus on doing the right things right (fokus pada apa yang dituju dengan menjaga keseimbangan antara kemampuan manejerial dan kepemimpinan).

Mencermati kesepuluh ciri dan karakter di atas, seyogianya kita bisa belajar dan introspeksi diri sampai di mana kemampuan Entre-Q kita. Seluruh unsur tersebut ternyata lebih banyak menekankan mengenai kemampuan manajemen diri (intrapersonal skills) dan ketrampilan berhubungan dengan orang (interpersonal skills), dibandingkan dengan ketrampilan mengelola bisnis semata yang selama ini diajarkan dalam pendidikan (mata kuliah) kewirausahaan.

Karena itulah, kecerdasan wirausaha bisa dimiliki oleh siapa pun dan tidak terkooptasi dengan status pendidikan. Siapa saja bisa memilikinya, asalkan punya intrapersonal skill dan interpersonal skill yang baik dan mampu menghasilkan nilai tambah (valuable) bagi diri dan orang, maka dia sudah memiliki Entre-Q. Kedua konsep ini bersinggungan erat dengan konsep 3M dari Aa Gym yaitu mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, dan mulai dari saat ini juga.

Lalu, bagaimana dengan generasi Indonesia? Apakah mereka sudah punya Entre-Q yang baik sehingga mampu merubah bangsa ini menjadi lebih baik? Inilah masalahnya. Selama ini, pendidikan kita lebih banyak mengajarkan anak didiknya untuk menghafal dan bukan berkreasi. Akibatnya, lahir manusia-manusia konsumtif (pemakai, pengguna) bukan produktif (pembuat, kreatif). Generasi kita lebih suka memakai produk asing karena kehilangan nilai dan jati dirinya.

Hal itu berbeda sekali dengan Jepang, yang sejak kecil anak didiknya diajarkan untuk kreatif (intrapersonal skill) dan proaktif (interpersonal skill). Sehingga, secara tidak sadar sejak dini, anak-anak Jepang sudah diberi fondasi kecerdasan wirausaha yang baik dan kuat. Oleh karena itu, kecerdasan wirausaha harus selalu dipupuk, dilatih, dan dikembangkan agar mampu melahirkan manusia-manusia kreatif dan bernilai. Manusia yang bangga terhadap nilai luhur bangsa dan jati dirinya.

Institusi keluarga bisa menjadi contoh (pilot project) bagi pengembangan kecerdasan wirausaha ini. Semoga, bangsa Indonesia tidak saja punya generasi yang punya IQ, EQ, AQ, dan ESQ yang tinggi, namun juga punya Entre-Q yang bisa diandalkan.***

* Abdul Muid Badrun adalah Direktur Eksekutif Center for Education and Entrepreneurship Studies (CEES) dan Pembelajar Manajemen dan Bisnis STIE Widaya Wiwaha Yogyakarta Dapat dihubungi di abdulmuidbadrun@yahoo.com atau HP. 0811 335 362

toko-delta.blogspot.com

Archives

Postingan Populer

linkwithin

Related Posts with Thumbnails

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.