Mengapa juru kunci bergaji Rp8.000 sebulan itu memilih bertahan menghadapi debu panas?
Jum'at, 29 Oktober 2010, 22:38 WIB
Indra Darmawan
Mbah Maridjan sehari sebelum wafat, 25 Oktober 2010 (Antara/ Regina Safri)
BERITA TERKAIT
- Infografik: Amuk Merapi
- Tekad Menyelamatkan si Mbah
- Antara Merapi, Keraton dan Pantai Selatan
VIVAnews
- Jarum jam menunjuk pukul 04.00 WIB. Rabu itu, 27 Oktober 2010, hari
masih gelap, tapi rombongan tim SAR telah bersiap. Mereka adalah tim
evakuasi gelombang kedua yang hendak menyisir korban keganasan
wedhus gembel, debu
panas Gunung Merapi. Mereka bergegas berangkat dari posko yang letaknya
1 km dari dukuh yang akhir-akhir ini jadi begitu tersohor, Kinahrejo.
Berdua-dua
mereka berboncengan motor menuju ke atas. Ada pula yang berjalan kaki.
Semua dilakukan dengan gerak cepat, menuju titik-titik yang telah
ditentukan saat
briefing. Di antara rombongan beranggotakan sekitar 24 orang itu, Hidayat Wahid, kamerawan
tvOne--yang lebih dikenal dengan nama udara Don Wahid--berada di barisan terdepan.
Dan kekhawatiran mereka segera terbukti.
Mereka
menemukan jenazah pertama tergolek di pinggiran jalan. Tim langsung
memasukkannya ke dalam kantung mayat, dan kembali melanjutkan pencarian.
Cahaya
pagi mulai nampak, memperjelas pandangan mengerikan di sekeliling
perjalanan. Di kanan-kiri semua hancur. Pohon dan tanaman tumbang,
hangus, meranggas, berselimut debu vulkanik yang masih terhirup
menembus masker, walaupun sudah dirangkap dua. Bagi Don Wahid, suasana
kehancuran ini seperti mimpi. Sepi, mencekam.
Kinahrejo sudah di
hadapan. Rumah-rumah terlihat porak-poranda. Cuma Masjid Al Amien yang
masih terlihat bentuk aslinya. Bulu kuduk Don merinding ketika ia
memasuki rumah Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi yang dulu
sering ia sambangi ketika masih menjadi mahasiswa pecinta alam.
Kursi-kursi
kayu panjang tempat si Mbah sering duduk-duduk di depan, sudah lenyap.
Rumah itu kini menjadi puing-puing. Beberapa bagiannya bahkan tertutup
debu putih hingga setebal 30 cm.
Tim langsung merangsek ke
bagian belakang rumah Mbah Maridjan yang berbentuk huruf ‘L’. Perlahan
mereka menggali tumpukan debu vulkanik. Tiba-tiba, pandangan mereka
tertumbuk pada sesosok jenazah yang tertindih puing kayu. Posisinya
sedang bersujud.
“Si Mbah, si Mbah...,” beberapa anggota Tim SAR berseru, sembari buru-buru menyingkirkan puing kayu.
Don
terhenyak. Ia semula tak percaya bahwa tubuh tak bernyawa itu adalah
Mbah Mardijan. Apalagi, sebelumnya beredar kabar bahwa Mbah Maridjan
telah ditemukan selamat, meski dalam kondisi lemah. Tapi, beberapa
anggota Tim SAR yang mengenal baik Mbah Maridjan meyakinkannya bahwa
itu memang jenazah sang penjaga Merapi.
Pakaian koyak yang
melekat di tubuh itu memang batik dan sarung yang biasa dikenakan si
Mbah. Salawat pun bergema. Air mata Don dan anggota tim lain langsung
mengembang. Mereka pun memasukkan jenazah si Mbah di kantung mayat,
menuliskan huruf ‘M’ di atasnya dengan spidol, dan langsung
melarikannya ke RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Roger...
Bagi sebagian anggota tim SAR, Mbah Maridjan memang bukan sosok yang
asing. Bila mendaki Merapi lewat jalur selatan, mereka selalu
sowan terlebih dahulu ke tempat Si Mbah. Di rumah yang kini telah porak poranda itu, dulu mereka sering bercengkerama.
Berkat interaksinya dengan para pemuda pecinta alam itulah, yang selalu membawa perangkat komunikasi radio
handy talkie, si Mbah mengenal istilah
‘roger’. Maka, jangan heran bila di akhir kalimat pembicaraannya, Mbah Maridjan sering mengimbuhi kata
"..., roger.”
Kenangan itu kini terkubur tebalnya lapisan debu vulkanik.
Pada 26 Oktober 2010, pukul 17.02 WIB Merapi mulai ‘batuk’ lagi,
sejak meletus terakhir 2006. Diperkirakan, pada letusan yang kedelapan
pada pukul 18.21 WIB, Merapi mengembuskan
wedhus gembel yang tanpa ampun menyapu bersih dukuh Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Hingga
berita ini diunggah, awan piroklastik itu setidaknya menyudahi nyawa 36
orang di Kinahrejo dan dusun sekitarnya, termasuk editor senior
VIVAnews.com Yuniawan Wahyu Nugroho dan relawan PMI Sleman, Tutur Prijono.
Sebenarnya,
Wawan--nama sapaan Yuniawan--dan Tutur, sudah sempat mengungsi dari
Kinahrejo, bersama Agus Wiyarto (asisten dan kerabat Mbah Maridjan),
anggota keluarga si Mbah, dan beberapa penduduk desa. Akan tetapi,
sesampainya di pengungsian Umbulharjo, dengan mengendarai minibus
Suzuki APV, Tutur dan Wawan berkeras kembali untuk menjemput Mbah
Maridjan yang memilih bertahan di rumahnya. Di tengah hari yang mulai
gelap, mereka tanpa ampun disergap bara
wedhus gembel.
Tim
evakuasi gelombang pertama menemukan jenazah mereka di belakang mobil
APV yang diparkir di depan rumah Mbah Maridjan. Saat ditemukan, mesin
mobil masih menyala dengan pintu terbuka. Kemungkinan, Wawan dan Tutur
sedang menunggu Mbah Maridjan yang sedang salat. (Kisah Wawan
selengkapnya
bisa dibaca di sini)
Mbah
Maridjan dikenal tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Menurut Agus
Wiyarto, si Mbah selalu bergegas meninggalkan segala aktivitasnya saat
terdengar azan untuk menunaikan salat. Jika ada tamu, si Mbah selalu
mengajak salat bersama.
Kebiasaan itu masih begitu lekat dalam
ingatan Jangkung Suseno Aji, kamerawan Rumah Produksi Indigo. Usai
mewawancarai si Mbah pada 2006, Seno dan reporternya bersiap untuk
pulang. Namun, karena sudah malam, si Mbah menyarankan mereka untuk
bermalam.
“Jangan turun dulu, salat dulu. Besok pagi saja pulangnya, sekarang sudah gelap,” kata Mbah Maridjan dalam bahasa Jawa.
Sepanjang
malam, Si Mbah bercerita banyak hal sambil menyelipkan
nasihat-nasihatnya. Meski apa yang diucapkannya sepintas terdengar
sepele karena diutarakan dengan cara yang lugu, perkataan si Mbah buat
Seno punya arti mendalam.
Saat Merapi kembali aktif pada
pertengahan April-Mei 2006, banyak wartawan datang meliput. Mbah
Maridjan berkali-kali mengatakan, “Kenapa datang ke sini? Merapi
sih sudah biasa batuk-batuk. Kenapa tidak justru ke Selatan, karena akan terjadi sesuatu.”
Dua pekan setelah itu--entah kebetulan entah tidak--ucapan Mbah
Maridjan terbukti. Pada 27 Mei 2006, Yogyakarta diguncang gempa dan
menelan lebih dari 6.200 korban jiwa.
Tiga minggu setelahnya, pada 8 Juni, gunung berapi itu menyemburkan debu panas, melewati kawasan Kaliadem. Namun, ketika itu
wedhus gembel tak menyiram Kinahrejo sehingga Mbah Maridjan dan warga pengikutnya yang memilih bertahan, selamat.
Gaji Rp8.000
Bagi warga sekitar Merapi, Mbah Maridjan adalah tokoh panutan.
Apalagi, kakek yang lahir 83 tahun lalu itu adalah putra juru kunci
Merapi sebelumnya, Mbah Hargo. Ia mulai dilibatkan sebagai asisten juru
kunci oleh ayahnya sejak 1965, sebelum diangkat menjadi
abdi dalem keraton pada 1974.
Ketika ayahnya meninggal, pria bernama asli Mas Penewu Surakso Hargo
itu akhirnya dilantik menjadi juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubuwono
IX dengan titel Raden Ngabehi Surakso Hargo.
Sebagai juru kunci,
ia diberi amanat untuk menjaga dan mengawasi Merapi. Ia memimpin
berbagai ritual di Merapi, termasuk upacara tahunan Labuhan, di mana
warga Merapi melemparkan sesaji ke kawah.
Menurut keterangan Agus, untuk jabatannya itu si Mbah hanya digaji Rp8.000 sebulan.
Ketika si Mbah menjadi bintang iklan Kuku Bima Energi, banyak yang
mempertanyakan kenapa tiba-tiba sang penjaga Merapi jadi komersil.
Tentang ini, Irwan Hidayat, CEO Sido Muncul, bercerita.
Pertama kali bertemu Mbah Maridjan, ia diantar almarhum Sumadi
Wonohito, pemilik Harian Kedaulatan Rakyat. Di awal bertamu, Irwan
diperkenalkan sebagai seorang pengusaha kaya dari Jakarta. Mendengar
itu, reaksi si Mbah datar-datar saja. Menoleh pun tidak. Sekadar
menjaga kesopanan, ia hanya berkata, “
Inggih, inggih... (iya, iya...)."
Baru setelah Irwan memperkenalkan diri sebagai adik ipar Anton
Sujarwo, si Mbah menoleh dan bersikap ramah. “Saya tidak tahu kalau
Bapak adik ipar Pak Anton,” Irwan mengenang.
Ditawari jadi
maskot Kuku Bima, si Mbah semula menolak. Ia baru bersedia setelah
Irwan membujuknya sembari membawa-bawa nama Anton Sujarwo. “Pak Anton
itu orang baik. Karena Beliau, warga di sini bisa mendapat air,
memelihara ternak, dan sebagainya,” Irwan menirukan Mbah Maridjan.
Mbalelo
Dikisahkan Agus, si Mbah adalah orang yang bersahaja. Ia berprinsip
manusia baru punya nilai dan dianggap berkarya bila mampu mengemban
amanah dan tanggung jawab. Begitu pula ia memaknai posisinya sebagai
juru kunci.
Karena itulah dia kerap berseberangan pandangan soal bahaya Merapi.
Tiap kali Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian
merilis data peningkatan aktivitas Merapi, Mbah Maridjan tak mau
mengungsi. Ia merasa sudah menjadi tugasnya untuk menjaga Merapi sampai
akhir hayat.
Anton Sujarwo, tokoh yang mengenal baik Mbah Hargo,
mengatakan sifat-sifat Mbah Maridjan itu menurun dari ayahnya. “Mbah
Hargo menurunkan sifat-sifat keteguhan hati, dedikasi, dan pengabdian,”
katanya.
Anton mengenal Mbah Hargo sejak 1970, saat yayasannya,
Dian Desa, memulai proyek sosial pemasangan jaringan pipa air bersih ke
tujuh dukuh di sekitar lereng Merapi. Menurutnya, pengabdian itu
diwujudkan si Mbah dalam bentuk kerelaan hidup sederhana di tempat
berbahaya seperti Merapi.
Karena keteguhan hatinya itu, tak jarang Mbah Maridjan disebut
sebagai orang yang keras kepala. Tak kurang, oleh Sri Sultan HB X, si
Mbah disebut
abdi dalem yang
mbalelo (membangkang).
Pada 15 Mei 2006, Merapi meletus. Presiden SBY meninjau dan bermalam
di lokasi. Seluruh kepala dukuh di sekitar Merapi menghadap. Cuma satu
yang absen. Dia adalah Mbah Maridjan.
Ketika Sri Sultan HB X secara langsung membujuk Mbah Maridjan untuk turun mengungsi, ia tak menggubrisnya.
"Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini," kata dia.
Si Mbah rupanya kerap tak cocok dengan pilihan langkah Sri Sultan HB
X. Menurut Agus, ia misalnya prihatin ketika Raja Jawa itu mencalonkan
diri menjadi Presiden.
“Kalau Sri Sultan menjadi presiden, nanti Beliau didemo orang. Lebih
baik Beliau menjadi Raja Jawa saja, tidak akan ada yang mendemo," Agus
menirukan si Mbah.
"Mbok yo ojo nggolek jenang, ning jeneng. Yen nggolek jenang, mengko jenenge keri. Nanging yen nggolek jeneng, jenange katut.” (Semestinya jangan mencari
jenang [dodol], tapi mencari
jeneng [nama baik, kehormatan]. Kalau mencari
jenang, nanti
jeneng-nya hilang. Tapi kalau mencari
jeneng,
jenang sudah pasti termasuk di dalamnya].
Sikap keras kepala itu juga yang ditunjukkan dia sampai akhir
hidupnya. Lima hari sebelum Merapi meletus, kata Agus, si Mbah masih
hakulyakin aliran lava Merapi akan mengarah ke Kali Opak dan berhenti
di Gunung Anyar, tanpa melukai penduduk.
Mendengar peringatan pemerintah, Mbah Maridjan cuma berkali-kali berujar, “
Ning arep mati ojo keakehan polah. Nrimalah (kalau akan meninggal, jangan kebanyakan tingkah. Berpasrah diri sajalah)."
Kala kepundan Merapi masih memuntahkan material panas ke angkasa,
nisan Mbah Maridjan ditancapkan di tanah pemakaman keluarga di Dusun
Srunen, Desa Glagahharjo, Cangkringan. Jasad sang penjaga Merapi kini
menyatu dengan bumi yang selama ini dijaganya.
Selamat jalan, Mbah.
Roger...
(Laporan: KDW dan Fajar Sodiq, Yogyakarta | kd)
• VIVAnews
Masukkan Data-Data Anda Di Bawah! Dapatkan
Petuah Sukses Secara Berkala - Selamanya GRATIS! :-)