toko-delta.blogspot.com

menu

instanx

Tampilkan postingan dengan label Ardian syam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ardian syam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 November 2008

MITRA?

Oleh: Ardian Syam


Lebih dari 1 dekade yang lalu banyak ahli manajemen SDM menyatakan bahwa pegawai perusahaan, bila dilihat dari pendekatan akuntansi, dapat dikatakan intangible asset. Saat itu pendekatan ini dianggap paling tepat karena perusahaan mengeluarkan biaya untuk recruitment yang bisa diartikan sebagai invesmen atau pengadaan aktiva.

Kemudian pada saat para SDM tersebut diterima maka perusahaan mulai mengeluarkan biaya untuk gaji, allowances dan benefits, yang dengan konsep tadi dapat diartikan sebagai beban operasi dan pemeliharaan aktiva. Kemudian karena performansi yang luar biasa maka para SDM tersebut diberikan promosi atau kenaikan pangkat yang berarti naik pula gaji, allowances dan benefits yang perlu dikeluarkan perusahaan untuk para SDM, yang bila dilihat dari pendekatan aktiva tetap dapat diartikan sebagai beban penyusutan aktiva tetap.

Namun dari konsep tersebut tidak dapat dikatakan bahwa kita sudah memanusiakan manusia (ngewongke wong) karena kita lalu menganggap manusia adalah barang, benda mati, sesuatu yang dapat diperlakukan sekehendak hati dan tidak perlu dipedulikan apakah aktiva tetap tersebut suka atau tidak diperlakukan demikian. Bila memang aktiva tetap yang sedang dibicarakan adalah alat produksi yang dapat bekerja 24 jam sehari 7 hari seminggu memang kita sedang membicarakan mesin. Tetapi intangible asset yang sedang dibicarakan justru manusia. Mungkin mereka tinggal di rumah di sebelah rumah kita. Mungkin mereka sangat baik ke anak-anak kita. Mungkin mereka setiap siang makan di meja di sebelah meja kita. Mungkin mereka yang menyelamatkan kita ketika kita mengalami kecelakaan akibat tabrakan di jalan.

Benarkah mereka memang intangible asset? Sebuah cara berfikir yang memang pantas dipertanyakan. Apakah kita memang sudah tidak lagi dapat memperlakukan manusia sebagai manusia? Saat anda menganggap SDM di bawah anda sebagai intangible asset, pernahkah terfikir saat mereka menjadi atasan kita suatu hari nanti, bagaimana mereka akan menganggap kita, intangible asset juga? Bagaimana bila satu saat kita sudah pensiun dan mereka yang menjadi pimpinan, bagaimana mereka menganggap kita? Aktiva tetap yang telah dihapuskan?

Kemudian semua pakar manajemen SDM di seluruh dunia beramai-ramai menyebut bahwa SDM perusahaan adalah mitra perusahaan. Bila perusahaan diartikan sebagai manajemen maka berarti SDM di bawah pihak manajemen adalah mitra para manajemen. Konsep yang enak didengar. Berarti para mitra di kedua belah pihak berdiri sejajar. Untuk banyak hal, bargaining position kedua belah pihak berada di level yang sama. Sebuah konsep yang menyenangkan.

Bagaimana dengan kenyataan? Benarkah demikian? Benarkah anda, sebagai manajemen, menganggap SDM yang anda pimpin adalah mitra anda. Berdiri sejajar, berada pada bargaining position yang sama kuat? Benarkah anda bersedia mendengarkan isi hati mereka yang mereka suarakan kepada anda?

Di kondisi-kondisi seperti ini, memang tidak nyaman menjadi manajemen. Di satu sisi, kita memiliki sekumpulan tugas, tanggung-jawab, order, tujuan perusahaan, yang harus kita laksanakan bersama-sama. Di sisi ini kita berarti perlu mendelegasikan seluruh tugas kepada semua SDM di bawah kita. Equally sesuai kompetensi mereka masing-masing. Kondisi ini bukanlah kondisi yang sulit untuk anda jalankan, pasti.

Di sisi lain, bagaimana bila konsep anda, rencana anda untuk mereka bertentangan dengan konsep mereka, rencana mereka untuk diri mereka sendiri?

Dalam kondisi ini sangat tergantung cara berfikir yang mana yang anda pilih untuk anda percayai. Apakah anda benar-benar percaya pada cara berfikir intangible asset atau anda lebih percaya pada cara berfikir bahwa SDM adalah mitra.

Saat anda berfikir bahwa SDM di dalam organisasi yang anda pimpin adalah intangible asset maka akan dengan mudah anda memindahkan mereka ke tempat yang anda anggap tepat, anda tidak merasa perlu mempertanyakan pertimbangan mereka atas rencana anda terhadap mereka. Anda akan dengan mudah pula memposisikan mereka di jabatan yang anda anggap tepat.

Pernahkah anda terfikir bagaimana bila anda adalah mereka dan mereka berada di posisi anda, di jabatan anda sekarang? Pernahkah anda mencoba merasakan apa yang mereka rasakan karena tindakan anda terhadap mereka?

Seringkali SDM yang sedang tidak memegang kekuasaan tidak dapat berdiri sejajar dengan para personil yang menjadi anggota manajemen dari berbagai level. Para manajemen merasa tidak perlu memberitahukan kepada seluruh personil dalam perusahaan bahwa salah satu posisi manajemen telah kosong dan ada serangkaian persyaratan untuk memegang posisi tersebut.

Seringkali pula para manajemen menetapkan seorang personil memegang posisi tertentu tanpa bertanya terlebih dahulu kepada personil tersebut apakah mereka bersedia memegang posisi tersebut atau tidak, bersediakah mereka berada di lokasi tersebut atau tidak. Seringkali kondisi ini menjadi pemicu masalah, kebanyakan personil yang menduduki jabatan tertentu ternyata kinerja mereka menjadi menurun karena mereka tidak merasa senang ditempatkan di posisi tersebut, di lokasi tersebut.

Kinerja menurun? Nah, anda mungkin baru tersadar sekarang. Pernahkah anda perhatikan pejabat tertentu, ketika dia belum menjabat posisi tersebut, dan setelah dia menjabat posisi tersebut? Saya sangat yakin, anda bukan berniat membuat personil ini menjadi terlihat buruk, memiliki kinerja yang menurun, kemudian mendapatkan hukuman dari perusahaan. Tetapi hal ini bisa menjadi kenyataan bila mereka yang anda posisikan tidak merasa senang menjabat posisi tertentu atau berada di lokasi tertentu.

Mungkin anda berfikir bahwa setiap personil yang belum pernah mendapatkan jabatan tertentu berarti mereka masih membutuhkan basic need (masih ingat piramid Abraham H Maslow?) sehingga penghasilan yang lebih besar karena menduduki jabatan tertentu dapat membuat mereka bahagia? Beberapa personil tertentu tidak lagi membutuhkan basic need, mungkin karena mereka telah mempunyai penghasilan cukup besar di luar, mungkin karena mereka bukanlah ‘penduduk material world’. Sehingga mereka sudah berada di lantai self esteem dalam piramid Maslow.

Memang, bila anda menganggap SDM adalah mitra perusahaan maka mau tidak mau anda harus lebih mengalah dalam mengatur organisasi. Anda mungkin merasa posisi tertentu di organisasi anda yang pimpin sudah perlu untuk diisi orang baru. Maka yang dapat anda lakukan adalah mentenderkan posisi tersebut sehingga semua personil dalam perusahaan mengetahui hal ini. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan anda menghubungi orang tertentu untuk ikut mendaftar, bila yang bersangkutan memang ingin menduduki posisi tersebut. Kemudian anda tinggal memilih yang terbaik dari yang telah mendaftar. Dengan metode seperti ini anda dapat menghindari kinerja menurun dari pejabat baru tersebut.

Masihkah SDM merupakan mitra perusahaan?

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

SIAPAKAH YANG RAJA?

Oleh: Ardian Syam


Ada satu pepatah dalam bahasa Indonesia yang saya tidak tahu sejak kapan mulai digunakan: ‘pelanggan (atau pembeli) adalah raja’. Sebuah pepatah yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang bergerak di bidang penjualan atau pemasaran memperlakukan pembeli atau pelanggan.

Bila dilihat dari pepatah itu maka tidak akan banyak pelanggan dari banyak perusahaan terutama yang berlabel badan usaha milik negara/daerah yang perlu mengkeluhkan layanan buruk yang mereka terima. Namun, apa yang kita dengar di mana-mana? Masih banyak pelanggan, pembeli, nasabah, client (atau apapun cara menyebut mereka) yang menyuarakan keluhan mereka. Keluhan yang disampaikan di televisi, radio, majalah, ataupun koran, termasuk ke saluran-saluran resmi perusahaan yang memberikan pelayanan tersebut.

Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar? Di semua industri; perbankan, energi, air minum, telekomunikasi, penerbangan dan masih banyak lagi sektor industri di negara kita yang tercinta ini masih sering kita dengar keluhan dari pengguna jasa tersebut atas kualitas jasa yang mereka terima dari pemberi jasa tersebut.

Bisakah sekarang kita tetap bertahan pada pepatah tersebut; ‘pelanggan (pembeli) adalah raja’? Mari kita melihat dari sisi memberi dan menerima. Saya sangat yakin bahwa seluruh etnis di negara tercinta ini mengenal arti kata raja, karena semua etnis di negara kita yang tercinta ini di jaman dulu pernah memiliki raja atau hidup dalam jaman kerajaan. Sehingga tidak akan terlalu sulit membawa konsep raja dalam tulisan ini.

Benarkah bila saya mengatakan bahwa kepada raja, kita lebih sering memberi terlebih dahulu daripada meminta atau menerima? Bahkan dari kisah-kisah di jaman dulu kita pernah dengar bahwa orang-orang bisa memberi lebih dari satu kali baru kemudian berani meminta, berani mengharapkan raja akan memberi balasan.

Di satu negara lain, kita mungkin pernah mendengar bahwa hampir seluruh sektor industri akan memberikan kesempatan bagi para pembeli untuk menukar kembali barang yang pernah mereka beli sejauh pembeli tersebut masih menyimpan bukti pembelian barang itu. Bahkan untuk alasan yang sangat sederhana; warna barang itu ternyata tidak terlalu cocok untujk si pembeli. Sangat sederhana. Pembeli bahkan mempunyai pilihan yang sangat luas. Dapat menukarkan dengan barang yang sama dengan warna yang berbeda. Menukarkan dengan barang yang berbeda, warna berbeda, tetapi dengan harga yang sama. Menukarkan dengan barang apapun yang memiliki harga lebih tinggi, bila si pembeli mau membayar untuk selisih harga tersebut. Menukarkan dengan barang apa saja yang memiliki harga lebih rendah dan mengembalikan selisih harga yang telah dibayarkan pembeli. Yang paling akhir adalah mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkan pembeli bila barang tersebut dikembalikan kepada penjual.

Ini belum termasuk bila barang tersebut kadaluwarsa dan menyebabkan pembeli menderita sakit. Penjual bahkan tidak meminta kembali barang tetapi membayar biaya berobat yang harus dikeluarkan pembeli atau mengganti sampai dengan sepuluh kali lipat harga barang yang dibeli.

Bagaimana dengan barang yang dibayar dengan cicilan? Di negara kita tercinta kita sering mendengar panjar, down payment, dan istilah lain yang menunjukkan bahwa barang tersebut baru dapat dibawa pulang oleh pembeli bila pembeli telah memberikan sejumlah uang terlebih dahulu. Walaupun kemudian sisa harga barang tersebut akan dibayar secara bertahap, tetapi tetap saja pembeli baru menerima barang bila telah memberikan sejumlah uang. Memberi terlebih dahulu baru menerima.

Di negara yang tadi saya ceritakan, bahkan banyak barang yang dibayar secara cicilan dapat langsung dinikmati oleh pembeli tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang terlebih dahulu. Benar-benar menerima dahulu baru memberi.

Kita masih belum membahas apakah perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa atau menjual produk tersebut benar-benar tahu apa yang diinginkan pelanggan mereka. Tapi lihatlah dalam konteks memberi dan menerima.

Lalu masih bisakah kita mengatakan bahwa pelanggan memang raja? Sementara kita sebagai perusahaan penyedia jasa atau penjual produk justru menuntu pelanggan atau pembeli untuk memberi (uang) terlebih dahulu sebelum mereka menerima (jasa atau produk) dari kita?

Ada pembelaan yang cukup menarik dari teman-teman marketer atau sales person. Bahwa belum tentu para pembeli atau pelanggan tersebut akan bersedia membayar jasa atau produk yang telah mereka nikmati, atau bila pun membayar akan perlu ditagih berkali-kali terlebih dahulu baru melakukan pembayaran. Sebuah pembelaan yang bagus sekali. Sangat bagus dan semakin memperlihatkan bagaimana konteks memberi dan menerima terjadi antara penjual dan pembeli di Indonesia.

Justru terlihat sekali bahwa para penjual sama sekali tidak trust kepada pelanggan atau pembeli. Benarkah kita bisa tidak trust kepada raja? Percayakah anda? Sebagian besar raja di jaman dulu disayang oleh rakyat, karena raja menunjukkan bahwa dia amanah, dan karena itu pula rakyat trust pada raja. Mereka percaya raja tidak akan menyalah gunakan rasa percaya rakyat.

Mari kita balik ke konteks pembeli dan penjual, benar kekhawatiran tentang tidak bayar, karena perusahaan akan segera berhenti beroperasi bila tidak ada cash in flow. Tetapi coba anda lihat statistik anda sendiri berapa banyak pembeli atau pelanggan, baik yang pasca bayar maupun yang membayar secara cicilan, yang lalai melakukan pembayaran? Dari beberapa perusahaan yang saya tahu ternyata yang lalai melakukan pembayaran berjumlah jauh di bawah 20%. Sebagian besar perusahaan memiliki pelanggan atau pembeli yang lalai membayar bahkan kurang dari 3%. Itu berarti sebagian besar pembeli atau pelanggan anda, baik yang melakukan pembayaran secara cicilan maupun yang pasca bayar saja akan sangat sedikit.

Pertanyaan saya berikut, apakah menurut anda, di negeri yang saya katakan tadi tidak seorangpun pembeli atau pelanggan yang lalai melakukan pembayaran, apapun alasan mereka? Ada! Jumlah pelanggan atau pembeli yang lalai melakukan pembayaran juga tidak banyak berbeda dengan yang terjadi di negara kita yang tercinta ini. Lalu apakah kita masih harus terus mempertahankan sikap untrust kita kepada para pelanggan atau pembeli?

Sekarang jadi pertanyaan buat saya, apakah benar kata-kata ‘pelanggan adalah raja’? Apakah itu bukan sekedar terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sebuah sikap yang nyata-nyata tidak kita miliki? Sebuah sikap yang ada di negara tempat kata-kata tersebut berasal. Karena dengan begitu banyak bukti statistik yang kita punya, tetap saja kita tidak memperlakukan pelanggan sebagai raja.

Pemikiran yang saya usulkan, adalah seberapa besar kesediaan kita untuk mulai trust kepada pelanggan sehingga kita benar-benar dapat memperlakukan mereka sebagai raja? Memberi lebih banyak kepada mereka daripada yang dapat kita terima dari mereka. Tentu saja tanpa melupakan cost and benefit, serta tetap mempertahankan konsep bahwa perusahaan adalah wealth multiplying organization.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

SIAPAKAH YANG RAJA?

Oleh: Ardian Syam


Ada satu pepatah dalam bahasa Indonesia yang saya tidak tahu sejak kapan mulai digunakan: ‘pelanggan (atau pembeli) adalah raja’. Sebuah pepatah yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang bergerak di bidang penjualan atau pemasaran memperlakukan pembeli atau pelanggan.

Bila dilihat dari pepatah itu maka tidak akan banyak pelanggan dari banyak perusahaan terutama yang berlabel badan usaha milik negara/daerah yang perlu mengkeluhkan layanan buruk yang mereka terima. Namun, apa yang kita dengar di mana-mana? Masih banyak pelanggan, pembeli, nasabah, client (atau apapun cara menyebut mereka) yang menyuarakan keluhan mereka. Keluhan yang disampaikan di televisi, radio, majalah, ataupun koran, termasuk ke saluran-saluran resmi perusahaan yang memberikan pelayanan tersebut.

Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar? Di semua industri; perbankan, energi, air minum, telekomunikasi, penerbangan dan masih banyak lagi sektor industri di negara kita yang tercinta ini masih sering kita dengar keluhan dari pengguna jasa tersebut atas kualitas jasa yang mereka terima dari pemberi jasa tersebut.

Bisakah sekarang kita tetap bertahan pada pepatah tersebut; ‘pelanggan (pembeli) adalah raja’? Mari kita melihat dari sisi memberi dan menerima. Saya sangat yakin bahwa seluruh etnis di negara tercinta ini mengenal arti kata raja, karena semua etnis di negara kita yang tercinta ini di jaman dulu pernah memiliki raja atau hidup dalam jaman kerajaan. Sehingga tidak akan terlalu sulit membawa konsep raja dalam tulisan ini.

Benarkah bila saya mengatakan bahwa kepada raja, kita lebih sering memberi terlebih dahulu daripada meminta atau menerima? Bahkan dari kisah-kisah di jaman dulu kita pernah dengar bahwa orang-orang bisa memberi lebih dari satu kali baru kemudian berani meminta, berani mengharapkan raja akan memberi balasan.

Di satu negara lain, kita mungkin pernah mendengar bahwa hampir seluruh sektor industri akan memberikan kesempatan bagi para pembeli untuk menukar kembali barang yang pernah mereka beli sejauh pembeli tersebut masih menyimpan bukti pembelian barang itu. Bahkan untuk alasan yang sangat sederhana; warna barang itu ternyata tidak terlalu cocok untujk si pembeli. Sangat sederhana. Pembeli bahkan mempunyai pilihan yang sangat luas. Dapat menukarkan dengan barang yang sama dengan warna yang berbeda. Menukarkan dengan barang yang berbeda, warna berbeda, tetapi dengan harga yang sama. Menukarkan dengan barang apapun yang memiliki harga lebih tinggi, bila si pembeli mau membayar untuk selisih harga tersebut. Menukarkan dengan barang apa saja yang memiliki harga lebih rendah dan mengembalikan selisih harga yang telah dibayarkan pembeli. Yang paling akhir adalah mengembalikan seluruh uang yang telah dibayarkan pembeli bila barang tersebut dikembalikan kepada penjual.

Ini belum termasuk bila barang tersebut kadaluwarsa dan menyebabkan pembeli menderita sakit. Penjual bahkan tidak meminta kembali barang tetapi membayar biaya berobat yang harus dikeluarkan pembeli atau mengganti sampai dengan sepuluh kali lipat harga barang yang dibeli.

Bagaimana dengan barang yang dibayar dengan cicilan? Di negara kita tercinta kita sering mendengar panjar, down payment, dan istilah lain yang menunjukkan bahwa barang tersebut baru dapat dibawa pulang oleh pembeli bila pembeli telah memberikan sejumlah uang terlebih dahulu. Walaupun kemudian sisa harga barang tersebut akan dibayar secara bertahap, tetapi tetap saja pembeli baru menerima barang bila telah memberikan sejumlah uang. Memberi terlebih dahulu baru menerima.

Di negara yang tadi saya ceritakan, bahkan banyak barang yang dibayar secara cicilan dapat langsung dinikmati oleh pembeli tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang terlebih dahulu. Benar-benar menerima dahulu baru memberi.

Kita masih belum membahas apakah perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa atau menjual produk tersebut benar-benar tahu apa yang diinginkan pelanggan mereka. Tapi lihatlah dalam konteks memberi dan menerima.

Lalu masih bisakah kita mengatakan bahwa pelanggan memang raja? Sementara kita sebagai perusahaan penyedia jasa atau penjual produk justru menuntu pelanggan atau pembeli untuk memberi (uang) terlebih dahulu sebelum mereka menerima (jasa atau produk) dari kita?

Ada pembelaan yang cukup menarik dari teman-teman marketer atau sales person. Bahwa belum tentu para pembeli atau pelanggan tersebut akan bersedia membayar jasa atau produk yang telah mereka nikmati, atau bila pun membayar akan perlu ditagih berkali-kali terlebih dahulu baru melakukan pembayaran. Sebuah pembelaan yang bagus sekali. Sangat bagus dan semakin memperlihatkan bagaimana konteks memberi dan menerima terjadi antara penjual dan pembeli di Indonesia.

Justru terlihat sekali bahwa para penjual sama sekali tidak trust kepada pelanggan atau pembeli. Benarkah kita bisa tidak trust kepada raja? Percayakah anda? Sebagian besar raja di jaman dulu disayang oleh rakyat, karena raja menunjukkan bahwa dia amanah, dan karena itu pula rakyat trust pada raja. Mereka percaya raja tidak akan menyalah gunakan rasa percaya rakyat.

Mari kita balik ke konteks pembeli dan penjual, benar kekhawatiran tentang tidak bayar, karena perusahaan akan segera berhenti beroperasi bila tidak ada cash in flow. Tetapi coba anda lihat statistik anda sendiri berapa banyak pembeli atau pelanggan, baik yang pasca bayar maupun yang membayar secara cicilan, yang lalai melakukan pembayaran? Dari beberapa perusahaan yang saya tahu ternyata yang lalai melakukan pembayaran berjumlah jauh di bawah 20%. Sebagian besar perusahaan memiliki pelanggan atau pembeli yang lalai membayar bahkan kurang dari 3%. Itu berarti sebagian besar pembeli atau pelanggan anda, baik yang melakukan pembayaran secara cicilan maupun yang pasca bayar saja akan sangat sedikit.

Pertanyaan saya berikut, apakah menurut anda, di negeri yang saya katakan tadi tidak seorangpun pembeli atau pelanggan yang lalai melakukan pembayaran, apapun alasan mereka? Ada! Jumlah pelanggan atau pembeli yang lalai melakukan pembayaran juga tidak banyak berbeda dengan yang terjadi di negara kita yang tercinta ini. Lalu apakah kita masih harus terus mempertahankan sikap untrust kita kepada para pelanggan atau pembeli?

Sekarang jadi pertanyaan buat saya, apakah benar kata-kata ‘pelanggan adalah raja’? Apakah itu bukan sekedar terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sebuah sikap yang nyata-nyata tidak kita miliki? Sebuah sikap yang ada di negara tempat kata-kata tersebut berasal. Karena dengan begitu banyak bukti statistik yang kita punya, tetap saja kita tidak memperlakukan pelanggan sebagai raja.

Pemikiran yang saya usulkan, adalah seberapa besar kesediaan kita untuk mulai trust kepada pelanggan sehingga kita benar-benar dapat memperlakukan mereka sebagai raja? Memberi lebih banyak kepada mereka daripada yang dapat kita terima dari mereka. Tentu saja tanpa melupakan cost and benefit, serta tetap mempertahankan konsep bahwa perusahaan adalah wealth multiplying organization.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Selasa, 11 November 2008

ABS BUKAN AMANAH

Oleh: Ardian Syam


Pasti banyak yang sudah tahu istilah Asal Boss Senang. Laporan yang hanya menyajikan keunggulan kinerja yang direkayasa untuk menjadi laporan yang baik, dapat dikategorikan ABS. Menyampaikan informasi yang direkayasa sehingga terlihat hanya yang dapat memuaskan atasan, dapat dikategorikan ABS. Memilih untuk mengikuti keinginan atasan walaupun berdampak buruk ke perusahaan, juga dapat dikategorikan ABS. Menyembunyikan hal-hal buruk untuk tidak dilaporkan ke atasan, juga berkategori ABS.

Jadi yang sedang kita bahas di sini adalah ABS yang berkonotasi negatif. Beberapa teman pernah ‘memplesetkan’ istilah ABS dengan maksud melaporkan setiap keberhasilan. Yang saya maksud dalam tulisan ini hanya ABS yang melaporkan laporan palsu sehingga bagi atasan seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi di organisasi yang dia pimpin.

Beberapa unit organisasi seringkali berusaha menyenangkan atasan dengan memodifikasi laporan sehingga terlihat baik-baik saja. Hanya 2 hal yang mereka dapatkan (1) mereka tidak dimarahi atasan karena performansi yang buruk. (2) mendapatkan bonus karena performansi yang dilaporkan baik padahal secara real performansi mereka buruk.

Sekedar mengingatkan ada hal yang sangat baik dalam laporan yang buruk. Dari laporan yang buruk seluruh pimpinan dalam jalur unit kerja tersebut ke atas akan dengan segera mengetahui kelemahan perusahaan. Dengan laporan yang buruk maka akan segera dapat diketahui di faktor apa saja perbaikan perlu dilakukan. Dengan laporan yang buruk pula dapat ditentukan berapa biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan. Sehingga laporan yang buruk dapat jadi pendamping untuk usulan permintaan penambahan anggaran.

Laporan yang buruk tentang penjualan beberapa jenis produk bahkan dapat menjadi indikasi tentang posisi produk tertentu dalam kurva product life cycle. Sehingga laporan yang buruk ini dapat membantu pimpinan dalam pengambilan keputusan apakah perusahaan akan terus menjual produk tersebut dengan beberapa perbaikan atau lebih baik produk tersebut tidak dijual lagi.

Pengusulan tambahan anggaran tanpa bukti bahwa memang ada hal yang perlu mendapat perhatian untuk segera diperbaiki, akan menyebabkan pengambil keputusan akan menunda pemberian tambahan anggaran yang diminta. Sehingga bila pengusulan tambahan anggaran bila didampingi oleh laporan yang buruk akan memudahkan pimpinan untuk memberikan tambahan anggaran.

Produk yang sudah mulai decline dalam product life cycle seringkali menyebabkan biaya yang dikeluarkan akan lebih besar dari pendapatan yang dapat diperoleh. Sehingga bila produk tersebut masih tetap dijual perusahaan akan banyak menanggung kerugian. Penghentian penjualan produk tersebut mungkin saja akan menyebabkan biaya yang cukup besar dalam proses pengehentian, tetapi sekaligus juga menghentikan biaya-biaya yang akan terus muncul untuk usaha mempertahankan produk tersebut tetap dapat dijual. Sehingga penghentian produk yang sudah decline akan mempertinggi laba yang dapat diraih perusahaan, berarti laporan yang buruk bahkan dapat meningkatkan laba perusahaan.

Dalam pelaporan keuangan, laporan yang buruk justru menjadi sangat penting. Laporan buruk tentang piutang usaha, dalam arti banyak piutang usaha yang sudah lama tidak tertagih akan menyebabkan perusahaan melakukan beberapa strategi yang cukup tepat untuk penagihan. Di sisi laporan laba rugi piutang akan diindikasikan dengan pendapatan tetapi pendapatan tersebut sama sekali masih semu, karena bila pendapatan tersebut tidak tertagih maka tidak ada uang yang masuk untuk digunakan membayar biaya operasi atau membayar gaji.

Begitu pula laporan yang buruk dalam persediaan barang dagang, dalam arti banyak persediaan yang belum terjual. Hal ini berarti akan muncul banyak biaya untuk penyimpanan, belum lagi resiko yang harus ditanggung karena telah banyak uang yang keluar sementara barang tersebut kemungkinan akan rusak dalam tempat penyimpanan. Dengan laporan yang buruk pimpinan perusahaan dapat mengambil keputusan apakah persediaan yang telah lama disimpan dapat segera dijual walau dengan harga yang rendah, bahkan di bawah biaya produksi agar dapat mengurangi resiko keluar biaya yang lebih besar untuk penyimpanan.

Maka seluruh laporan yang buruk dalam laporan keuangan sangat penting bagi perusahaan karena berarti pimpinan dapat segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan keuangan perusahaan.

Posisi yang kita pegang dalam perusahaan berarti 2 hal. (1) Kita memiliki kompetensi dan sekaligus dipercaya untuk menjalankan fungsi yang diharapkan dari posisi tersebut. (2) diberi amanah oleh perusahaan untuk menjalankan fungsi yang diharapkan dari posisi tersebut.

Amanah yang kita emban pada saat kita menduduki posisi tertentu bukan hanya dari perusahaan. Setiap pejabat yang membuat laporan mendapat amanah dari perusahaan untuk menjaga perusahaan tetap menjadi wealth multiplying organization dengan mengusahakan perusahaan mendapatkan sustainable outstanding financial performance. Setelah mendapatkan sustainable outstanding financial performance, berarti perusahaan dapat meningkatkan laba karena berhasil mengambil keputusan yang tepat, maka perusahaan dapat memberikan tambahan penghasilan berupa bonus, jasa produksi, bahkan menaikkan gaji karyawan.

Dengan peningkatan pada penghasilan pribadi kita berarti kita juga sedang meningkatkan pemenuhan kebutuhan utama seluruh anggota keluarga kita, makanan yang baik-sehat-cukup jumlah untuk setiap anggota keluarga, pendidikan yang lebih layak untuk anak-anak, rumah yang lebih sehat dan banyak lagi kebutuhan utama yang sudah dapat kita penuhi karena tambahan penghasilan. Dengan demikian berarti kita juga memegang amanah dari keluarga untuk meningkatkan penghasilan yang akan digunakan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan utama. Sehingga dengan laporan yang buruk, bahkan kita sedang berusaha menunaikan amanah kita terhadap keluarga.

Padahal dengan berbagai cara dan dari berbagai sisi laporan yang buruk justru akan berakhir pada kebaikan. Dengan melaporkan apa adanya maka kita justru sedang menunaikan banyak amanah yang kita emban. Sedangkan bila kita melaporkan dengan ABS atau laporan yang ada apa-apanya (bukan yang apa adanya) maka kita berarti sedang mengkhianati amanah yang kita emban.

Selain itu, melaporkan apa adanya berarti kita tidak sedang berbohong kepada siapapun, salah satu amanah yang diturunkan SANG PEMILIK KEHIDUPAN kepada kita.

Masih perlukah anda membuat laporan yang ABS?

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

INI BARU TRENDY

Oleh: Ardian Syam


Sampai tahun lalu Indonesia mulai menjadi negara yang tidak menarik untuk didiami. Bayangkan saja sejak tahun 1970-an akhir selalu saja berita di koran tentang korupsi, kemudian berlanjut dengan berita bahwa tindakan korupsi tersebut tidak terbukti. Bayangkan, 20 tahun lebih urut-urutan berita yang terjadi selalu begitu. Cerita yang sama dengan tertuduh yang berbeda. Pernah anda bayangkan, anda sedang menonton film, berulang-ulang dengan aktor dan aktris yang berbeda tetapi dengan cerita yang tetap sama. Bahkan urut-urutan adegan yang terjadi dalam film tersebut sama. Setiap menonton suatu adegan, anda sudah bisa menebak adegan apa yang kemudian akan muncul. Mungkin hanya satu hal lain yang berubah, Benar-benar membosankan!

Lebih membosankan lagi adalah bahwa kasus korupsi tersebut terjadi seperti sebuah antrian tiket. Lihat saja bahwa Akbar Tanjung ketika masih menjadi mahasiswa menjadi salah satu pendemo tindak korupsi yang dilakukan pemerintah saat itu, kemudian ternyata yang bersangkutan naik ke posisi pemerintahan dan diakhiri dengan berita bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi dan ternyata tidak cukup bukti untuk menghukum. Lalu ingatkah anda pada tahun 1998 Anas Orbaningrum merupakan pimpinan demo terhadap kekisruhan pemerintah yang saat itu diduga korupsi. Cerita kemudian seperti berulang, Anas menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Belakangan ini muncul berita, terutama dari pernyataan bendahara KPU bahwa seluruh anggota KPU memperoleh dana dengan kegunaan yang tidak jelas, sekali lagi dugaan korupsi muncul.

Seorang teman berkata, dulu Akbar mendemo kemudian Akbar korupsi. Dulu Anas mendemo, kemudian Anas diduga ikut korupsi. Sekarang kita tinggal lihat siapa saja yang jadi pimpinan demo. Ketika Anas nanti tidak dihukum karena tidak cukup bukti maka tinggal diingat-ingat wajah para pimpinan demo, kalau mereka-mereka itu nanti masuk ke jajaran pemerintahan, maka jangan kaget bila mereka kemudian akan menjadi koruptor. Teman lain juga mengingatkan bahwa hal tersebut sudah terjadi pada Mulyana Wira Kusumah yang sekarang ditahan dan Husnul Mar’iyah yang tidak bisa dihubungi oleh wartawan. Mereka berdua dulu juga pernah memprotes dengan keras urusan korupsi di pemerintahan.

Berita terbaru terdapat 21 BUMN yang terdapat korupsi di dalam perusahaan tersebut. PLN salah satu perusahaan yang membukukan kerugian perusahaan malah memberikan bonus kepada direksi mereka dan kemudian diduga terjadi korupsi di perusahaan tersebut sebesar 4,3 miliar rupiah. Total di seluruh perusahaan BUMN tersebut diperkirakan sekitar 50 triliun rupiah. KPU yang merupakan orang-orang independen dan berasal dari banyak Lembaga Swadaya Masyarakat juga tanpa tanggung-tanggung melakukan pembagian dana taktis kepada seluruh anggota dan diduga merupakan korupsi dengan total senilai 11 milyar rupiah. Bank BUMN juga ikut melakukan korupsi (dengan 150.000 berkas di Kejaksaan) senilai 16 triliun rupiah. Tidak tanggung-tanggung, Kantor Kementrian BUMN Mei 2005 mengumumkan bahwa sekitar 16 perusahaan BUMN yang diindikasikan korupsi. Masyarakat Profesional Madani menambahkan 4 perusahaan BUMN lagi sehingga total terdapat 20 BUMN yang secara total dinilai kerugian sebesar 50 triliun rupiah tersebut.

Kemudian muncul pula berita menggelikan dari Departemen Keuangan, terutama yang disampaikan oleh Kantor Lelang Negara, bahwa utang sampai dengan 2 triliun rupiah akan dipilah pilah dan utang dengan nilai sampai dengan 10 milyar rupiah akan dihapus. Hal yang bertentangan dengan yang dilakukan Bank Indonesia yang menginginkan para pengutang yang macet tersebut dituntut secara hukum.

Bukan hanya Departemen Keuangan, korupsi terjadi juga di departemen dan kementrian lain termasuk Departemen Agama. Sebuah prestasi yang sangat memalukan! Presiden Yudhoyono bahkan menyatakan keheranan, bagaimana negara dengan penduduk yang taat beragama bisa menyimpan begitu banyak kasus korupsi. Saat-saat kedatangan Presiden Yudhoyono ke Amerika Serikat, bahkan disambut dengan pertanyaan banyak masyarakat Amerika Serikat akan isu-isu penting yang terjadi di Indonesia, terutama tentang pemberantasan korupsi.

Ada sebuah joke beberapa negarawan diajak keliling neraka tempat sebuah ruangan yang memonitor tindakan korupsi setiap negara di dunia. Terdapat banyak jam di ruangan itu dan seorang penjaga sedang duduk. Penerima tamu menjelaskan negara dengan jam yang berjalan lambat berarti sedikit korupsi terjadi di negara tersebut. Semua negarawan melihat bahwa jam dengan label RRC berjalan agak cepat, begitu pula dengan India dan beberapa negara Asia dan Afrika. “Itu berarti di negara-negara tersebut korupsi terjadi cukup banyak”, kata petugas pengantar. Jam dengan label Amerika Serikat, Swedia dan Swis berjalan sangat lambat. “Itu berarti korupsi di negara-negara tersebut tidak banyak terjadi”. Semua negarawan lalu mencari-cari sesuatu, hingga salah seorang bertanya “mana jam yang berlabel Indonesia”. Tiba-tiba si penjaga ruangan yang tadi duduk terkantuk-kantuk menjawab “ruangan ini kan panas karena dekat neraka. Nah ini jam Indonesia saya bawa ke dekat saya, lumayan kan bisa jadi kipas angin”.

Prof. JE Sahetapy pernah mengatakan bahwa untuk menangkap tindakan korupsi yang dilakukan Suharto harus dimulai dengan menangkap tindak korupsi yang kecil-kecil di bawah. Saya menyimpulkan bahwa beliau menyatakan bahwa benar memang akan lebih populer bila kita mengejar pelaku yang korupsi di level tinggi dan nilai korupsi yang besar, tetapi juga perlu dikejar para pelaku korupsi di tingkat bawah dengan nilai korupsi yang kecil-kecil. Sehingga selain dapat mengungkap lebih jelas (mencukupkan bukti) bagi pelaku tindakan di atas dengan nilai besar, juga untuk menjaga agar yang kecil tidak menjadi besar.

Analogi yang sama dengan pemadaman kebakaran hutan. Di pusat kebakaran akan terdapat api yang sangat besar, dan di pinggir akan terdapat api yang kecil-kecil. Dengan demikian kebakaran tidak meluas terdeteksi dengan baik dan dapat padam dengan sendiri. Dengan kata lain, untuk masalah korupsi, mulailah dengan menangkap yang kecil-kecil, maka yang kecil-kecil akan mulai bicara tentang yang besar-besar, bahkan mungkin mereka akan mengajukan data-data, dokumen-dokumen dan banyak bukti yang dapat menunjukkan tindak korupsi yang dilakukan oleh yang besar-besar. Bukti yang selama ini selalu tersimpan rapat dan menyebabkan upaya pemberantasan korupsi bagi koruptor besar berakhir dengan kata “tidak cukup bukti”.

Lihat saja kasus yang ada sekarang. Sejak Mulyana Wira Kusuma mulai ditahan karena dugaan korupsi atas pengadaan alat-alat pemungutan suara, kemudian bahwa Chusnul Mar’iah juga mulai dikejar-kejar wartawan, maka bendahara KPU mulai gerah dan membuka cerita baru bahwa terdapat sejumlah uang yang dibagikan dari dana taktis KPU kepada seluruh anggota KPU. Cerita yang kemungkinan besar dilengkapi banyak dokumen yang dapat dijadikan bukti tersebut kemudian menggiring Nazarudin Amin untuk menemani Mulyana.

Ini cerita baru, ini baru cerita. Ini baru trendy. Kita sudah begitu bosan mendengar banyak orang diduga korupsi, kemudian dilakukan proses hukum yang diakhir penghentian pengusutan karena ketidakcukupan bukti.

Perlu diperhitungkan kembali tentang Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terutama tentang tiga hal bila undang-undang tersebut dapat dianggap sejajar dengan Whistleblower Act di Amerika Serikat. Pertama, perlindungan bagi para whistleblower yang belum terlalu jelas. Terutama perlu dukungan dari media tentang perlindungan pada whistleblower untuk kasus KPU terutama dari BPK dan KPU.

Kedua, nilai uang yang harus dikembalikan oleh para koruptor kepada negara. Di Amerika Serikat, seorang koruptor yang terbukti melakukan korupsi harus mengembalikan uang yang diambil termasuk bunga, yang dihitung dari suku bunga rata-rata bank komersial di Amerika Serikat, dihitung sejak uang tersebut dikorupsi hingga saat pengembalian. Perhitungan bunga tersebut tentu saja masih cukup kecil dengan multiplying effect yang dapat dihasilkan uang tersebut bila digunakan pemerintah untuk membangun perekonomian negara. Namun paling tidak nilai itu dianggap dapat menutupi sebagian besar multiplying effect tersebut.

Ketiga, nilai uang yang akan diberikan kepada para whistleblower. Di Indonesia hanya diberikan sebesar 2 permil dari nilai yang dikorupsi, sehingga bila diperhitungkan korupsi yang didugakan kepada Mulyana sebesar 150 milyar rupiah, maka Khairiansyah, sang auditor BPK, sebagai whisleblower akan mendapat sekitar 300 juta rupiah. Sebuah nilai yang agak tidak sesuai dengan resiko yang akan ditanggung sebagai whistleblower. Akan lebih terbayar resiko tersebut bila paling tidak sang whistleblower dibayar senilai 1% dari nilai yang dikorupsi, sehingga bila terbukti korupsi yang dilakukan Mulyana senilai 150 milyar rupiah maka Khairiansyah akan mendapat 1,5 milyar rupiah. Selain dapat membayar resiko yang akan ditanggung, nilai tersebut juga akan menggugah banyak orang untuk menjadi whistleblower, terutama orang-orang yang memiliki dokumen yang dapat dijadikan bukti.

Bagaimanapun kita acungkan jempol pada KPK, saya memang belum pernah meragukan niat baik Eri Riana Harjapamekas untuk memperbaiki negara ini. KPK benar-benar telah bekerja keras untuk membongkar satu per satu tindak pidana korupsi di negara tercinta ini. Salut juga pada jajaran Kejaksaan yang dipimpin orang yang selama ini saya hormati, Bang Arman (Abdurrahman Saleh). Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) juga perlu dapat acungan jempol tersendiri dengan keseriusan beliau membentuk Timtas Korupsi. Para pihak yang membantu Timtas juga perlu diacungi jempol, tentu saja dengan sedikit saran, kinerja anda akan membuktikan apakah anda melakukan sesuatu yang trendy atau hanya ‘lagu lama’. Terakhir, di atas semua itu tentu saja pada Presiden Yudhoyono yang berhasil menunjukkan keseriusan beliau dalam menciptakan trend baru, tidak kenal takut dengan korupsi. Sikat terus yang skala kecil dan menengah karena mereka nanti yang akan mengantar kita ke koruptor dengan skala besar.

Saya, seperti juga anda ingin merasakan trend baru tersebut karena kita memang sudah sama-sama bosan dengan cerita lama. Kita sama-sama ingin mendengar keluhan dari penjaga ruangan di dekat neraka itu, “payah sekarang tidak bisa lagi memakai jam Indonesia untuk menjadi kipas angin”

*Ardian Syam – Medan – Mei 2005

BERANI TUKAR

Oleh: Ardian Syam


Ini memang diinspirasi juga oleh acara di televisi yang dipandu oleh Adi Bing Slamet dengan judul yang mirip. Acara yang begitu berani menukar barang-barang lama yang kita miliki dengan barang baru yang sejenis. Dari televisi terlihat barang baru yang ditukarkan kira-kira memiliki kualitas yang setara dengan barang lama yang dimiliki. Memang ada resiko dalam pertukaran tersebut, karena kita baru mendapatkan barang baru yang ditawarkan bila bisa menjawab dengan benar pertanyaan yang diajukan Adi. Bila tidak terjawab maka barang lama kita akan diambil tetapi kita tidak mendapatkan barang baru yang dijanjikan, tetapi pertanyaan yang diajukan tidak terlalu berat sejauh kita memang sering membaca koran atau menonton berita di televisi.

Belum lagi, barang lama kita akan dilelang. Hasil lelang akan diserahkan pula kepada kita. Sebuah acara yang sangat menguntungkan bagi orang-orang yang mendaftarkan diri untuk ikut acara tersebut. Kira-kira apa yang diharapkan oleh pembuat acara? Sama sekali tidak dapat diduga, karena Adi sama sekali tidak menyebut merek barang, baik barang lama yang dimiliki maupun barang baru yang akan diberikan. Lagipula tidak semua barang tersebut adalah barang spesifik atau barang yang sangat populer sehingga dapat dikenali merek barang hanya dari melihat barang-barang tersebut.

Saya juga tidak akan berpanjang-panjang kata untuk membahas acara televisi tersebut, tetapi ada hal yang saya anggap baru bagi saya mungkin juga bagi Anda.

Ada sebuah jalan di sekitar Jalan HZ Arifin, Medan yang di kiri kanan jalan tersebut dibangun tenda-tenda untuk berjualan makanan tiap malam. Suatu malam saya dan teman-teman makan di sana. Ketika sedang makan, meja kami didatangi oleh 2 orang perempuan dengan dandanan yang sangat bisa ditebak. Sales Promotion Girl. Mereka menawarkan produk rokok. Salah satu rokok yang memiliki kata “mild” sebagai merek produk mereka.

Mereka langsung menawarkan produk tersebut kepada kami. Ditawarkan dengan harga yang sama dengan harga yang bisa didapat di supermarket. Agar tidak lama-lama terganggu kami segera mengeluarkan uang senilai yang dikatakan dan mengambil sebungkus rokok dari mereka. Tetapi ternyata mereka tidak mau pergi. Salah satu dari perempuan itu berbisik ke yang seorang lagi sambil menunjuk rokok “mild” dari perusahaan lain yang terletak di atas meja kami. Kebetulan memang rokok itu yang terletak di meja kami dan memang hanya 1 bungkus, tentu saja selain rokok dari merek yang baru mereka jual.

Si perempuan bertanya kepada kami, “...’Mild’ nya masih ada Pak?” Seorang teman saya membukakan bungkus rokok itu dan memperlihatkan bahwa dalam bungkus tersebut masih terdapat 4 batang rokok. Si perempuan lalu bertanya “Kalau mau tukar, rokok itu buat kami, kami ganti dengan satu bungkus utuh rokok dari kami” Seorang teman saya memberikan saja sambil tertawa tidak percaya. Ternyata benar mereka memberikan 1 lagi gratis, rokok dari mereka. Sehingga di meja kami tidak ada rokok merek lain selain rokok dari mereka.

Benar-benar taktik pemasaran yang sangat berani. Dengan melakukan pertukaran tersebut, secara nyata mereka ingin mengeluarkan pernyataan bahwa saat produk mereka ada di meja, maka tidak ada produk lain yang pantas mendampingi sehingga mereka berani menukarkan produk lain dengan produk mereka. Hal itu mereka lakukan untuk setiap rokok yang diletakkan di atas masing-masing meja. Mungkin saja beberapa orang akan mengeluarkan kembali bungkus lain dari produsen rokok yang berbeda ke atas meja, tetapi bila pengunjung malam itu bersedia menukarkan bungkus rokok mereka masing-masing dan tidak mengeluarkan bungkus lain dari merek yang berbeda maka malam itu di setiap meja hanya akan ada bungkus rokok dari produsen tersebut.

Terbayangkankah oleh Anda efek dari taktik mereka pada malam itu? Setiap pengunjung yang baru datang dan masuk ke dalam salah satu tempat makan yang tersebar di wilayah tersebut. Pengunjung baru itu akan memperhatikan bahwa di setiap meja hanya ada rokok dari perusahaan tersebut.

Efek mengingatkan sudah pasti muncul saat itu. Setiap pengunjung akan teringat pada produk yang mereka jual selama ini. Efek provokatif juga akan segera muncul kemudian. Pengunjung akan terniat untuk mencoba produk mereka karena melihat ada sekian banyak produk tersebut tersebar di hampir setiap meja yang ada. Andaipun ada meja yang tetap mengeluarkan rokok lain, produk mereka tentu masih mendominasi di setiap meja.

Wilayah itu buka hingga pukul 12 malam hari dan mereka turun berpasangan berdua, ada kurang lebih 3 pasang SPG berkeliling wilayah itu sehingga ketersediaan produk di saat itu juga tidak menjadi masalah. Sehingga akan semakin banyak yang mengetahui, mencoba dan kemungkinan akan menjadi pembeli aktif produk mereka.

Bukan cara yang susah ditiru, bukan pula cara yang sama sekali baru. Banyak sekali yang dapat melakukan cara ini. Hanya membutuhkan keberanian SPG untuk menawarkan pertukaran tersebut. Siapapun tidak akan merasa terlalu dirugikan karena tidak perlu bungkus rokok yang masih penuh yang dipertukarkan. Kualitas dan rasa produk mereka juga tidak lebih buruk dari rokok “mild” lain.

Mungkin Anda merasa produk Anda sudah menjadi market leader dan tidak merasa perlu untuk menancapkan ingatan baru kepada konsumen. Boleh saja, tetapi bila produk Anda tidak berada di posisi tersebut, maka tindakan tersebut sangat perlu dipertimbangkan karena dengan begitu Anda bisa mulai ‘mengganggu’ kepemimpinan market leader.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com.

KONSEP MANAJEMEN

Oleh: Ardian Syam


Ada begitu banyak konsep manajemen yang pernah dipergunakan hingga saat ini. Ada Total Quality Management, Value Based Concept, Kaizen, Just in Time, Balanced Scorecard, Six Sigma, Management by Objective, Competency Based Human Resources Management, dan banyak lagi yang lain. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Charles Darwin the survival of the fittest maka semua konsep manajemen tersebut satu persatu hilang bersama waktu yang berlalu. Beberapa masih bisa terpakai tetapi beberapa sudah tidak bergaung lagi.

Beberapa orang dengan sinis mengatakan bahwa semua konsep manajemen tersebut lebih banyak mudarat dibanding manfaat bagi perusahaan. Tetapi di sisi lain, konsep manajemen memberikan banyak sekali manfaat bagi konsultan manajemen. Pernahkah Anda bertemu dengan konsultan manajemen atau bisnis yang telah berhasil? Di mana mereka berkantor? Di sebuah ruko? Di perumahan kelas menengah? Tidak, mereka berkantor di kawasan bisnis elite, di salah satu atau beberapa lantai dari sebuah gedung pencakar langit.

Bagaimana dengan client mereka? Setiap orang dari perusahaan pengguna jasa mereka akan bekerja di dengan berlumur keringat, berpanas-panas di ruang-ruang pabrik. Tidak hanya pegawai dari kelas pekerja tetapi bahkan CEO mereka akan sering turun ke tempat-tempat tersebut lebih sering untuk memastikan apakah seluruh konsep yang mereka implementasikan berjalan lancar. Sebuah ironi yang sangat tajam.

Lalu apa yang Anda cari sehingga menyewa konsultan manajemen bagi perusahaan yang Anda pimpin? Semua yang Anda cari adalah sebuah pertumbuhan yang lebih baik daripada yang selama ini didapatkan. Perkembangan yang merupakan loncatan atau lonjakan dari posisi sekarang.

Tahap pertama tentu saja sang konsultan akan melakukan observasi dan wawancara ke banyak pihak di tempat Anda. Sebuah upaya mengidentifikasi masalah yang mungkin terjadi. Kemudian bersama-sama dengan Anda, mereka akan mendiskusikan konsep manajemen yang dianggap paling cocok untuk perusahaan Anda, atau mereka sudah punya konsep yang akan diajukan maka diskusi yang dilakukan hanya bagaimana mengimplementasikan konsep tersebut di tempat Anda.

Dari tahap observasi dan wawancara seringkali terdapat kelemahan. Setiap orang di perusahaan Anda akan melihat dan mengetahui bahwa perusahaan Anda sedang akan melakukan perubahan. Apa yang mungkin terjadi dalam setiap perubahan di perusahaan? Beberapa posisi atau hilang, atau bahkan akan muncul beberapa posisi baru.

Apa yang kemudian terjadi? Pada kondisi bila beberapa posisi akan hilang, maka beberapa pejabat dalam posisi yang akan hilang, juga akan kehilangan jabatan yang selama ini dia pegang. Itu berarti akan hilang pula beberapa fasilitas dan ada kemungkinan akan berkurang pula penghasilan mereka. Coba Anda bayangkan berada di posisi mereka. Bersediakah Anda kehilangan penghasilan? Seratus ribu, lima ratus ribu, atau bahkan hingga dua juta rupiah per bulan?

Apa yang akan Anda lakukan agar Anda tidak kehilangan penghasilan tersebut? Yang perlu Anda lakukan adalah membuat Anda atau unit kerja yang Anda pimpin terlihat baik, kan? Lalu bagaimana bila orang-orang di perusahaan Anda mengira akan ada beberapa posisi lowong yang akan muncul?

Akibat dari dua kemungkinan dugaan tersebut tidak jauh berbeda. Bila beberapa posisi yang akan dihilangkan maka hanya para pimpinan saja yang “bersolek” dan membuat diri mereka terlihat lebih baik. Tetapi bila dugaan yang muncul adalah bahwa akan ada beberapa posisi baru yang akan muncul maka pejabat menengah akan berharap bisa menduduki posisi baru dengan level hirarki lebih tinggi. Kemudian para pegawai yang belum menduduki posisi apapun juga akan “bersolek” untuk mendapatkan posisi baru yang akan muncul atau paling tidak menduduki posisi kosong yang ditinggalkan pejabat lama yang mendapatkan promosi.

Lalu apakah sang konsultan bisa mendapatkan gambaran menyeluruh, lengkap dan akurat bila demikian? Sangat tidak mungkin. Belum lagi bahwa observasi dan wawancara tersebut hanya dilakukan dalam beberapa minggu saja.

Hal berat berikut yang mungkin akan Anda hadapi adalah tahap implementasi konsep baru yang akan ditanamkan dalam perusahaan. Ada perilaku individu dan perilaku organisasi yang telah terbentuk sekian lama dan cukup susah diubah. Anda bayangkan analogi yang sering digunakan oleh para konsultan manajemen, es batu. Sebuah perilaku sama seperti sebuah es batu. Bila air Anda masukkan ke dalam wadah yang bulat maka akan menjadi es batu yang berbentuk bulat. Sekarang Anda ingin membuat es batu tersebut berbentuk persegi.

Yang Anda perlu lakukan pertama, menurut konsultan manajemen, adalah defrosting. Ya benar, es batu tersebut harus mencair terlebih dahulu. Hampir sama dengan es batu dan air. Es batu bisa dengan mudah Anda letakkan di tempat yang bersuhu lebih tinggi daripada suhu tempat mereka berada selama ini, baru kemudian es batu tersebut mencair atau menjadi air. Tempat yang lebih panas! Masalah juga sama dengan mencairkan es. Bila es tersebut terbungkus dalam plastik maka air tidak akan berpencaran ke segala arah, tetapi bila Anda tempatkan di wadah lain yang mungkin memiliki volume yang lebih kecil dari volume es, maka air akan tumpah karena wadah yang tersedia tidak cukup.

Sayang sekali tidak ada “kantong plastik” buat orang-orang dalam perusahaan. Sehingga Anda tidak dapat meletakkan mereka dalam satu “kantong plastik” sehingga tidak berpencaran ketika es batu menjadi air. Padahal tidak demikian yang terjadi dengan manusia. Wadah yang disediakan tetap saja tidak akan mencukupi. Sedangkan untuk melakukan defrosting, perusahaan harus menciptakan suasana yang sedikit ‘lebih panas’ daripada kondisi sehari-hari.

Suasana yang lebih panas, wadah yang tidak mencukupi, maka air akan tumpah keluar dari wadah. Dalam kasus air, tidak ada beda fungsi atau manfaat antara air yang tertumpah maupun air yang masih tertampung di dalam wadah. Beda dengan manusia. Dalam perusahaan kita punya beberapa orang yang bisa dikategorikan sebagai key person. Beberapa dari mereka mungkin telah Anda tempatkan di posisi yang memiliki penghasilan yang baik, namun beberapa di antara mereka bahkan belum sempat Anda berikan tempat yang berpenghasilan cukup tinggi.

Mari kita lihat paragraf terdahulu, beberapa orang yang sudah memiliki posisi ‘bersolek’ karena khawatir kehilangan jabatan. Beberapa orang yang belum memiliki posisi ‘bersolek’ karena khawatir tidak mendapatkan jabatan di organisasi baru. Kekhawatiran tersebut mungkin saja juga menyerang pada key person Anda.

Suasana yang panas, wadah yang tidak cukup besar, dan air akan berpencar serta sebagian keluar dari wadah. Terbayangkankah bagi Anda sekarang, bahwa ‘air’ yang keluar dari wadah adalah key person Anda? Lalu siapa yang tertinggal?

Tahap berikut adalah refrosting. Analogi air ini memang sangat baik. Pernahkah Anda melihat bahwa pada saat refrosting kadang-kadang ada wilayah tertentu dari wadah yang berisi angin dan berlubang? Sama dengan kondisi perusahaan Anda. Analogi tersebut menunjuk pada sebuah posisi yang tidak diisi oleh seorangpun karena Anda terlalu ragu-ragu. Karena ada lebih dari satu orang yang Anda anggap menduduki posisi tersebut, sementara Anda ragu apakah orang yang tidak Anda pilih tidak akan merusak unit kerja secara keseluruhan. Kondisi tersebut juga bisa menunjuk pada kesalahan Anda memilih orang yang mengisi posisi tersebut, mungkin saja orang tersebut terlihat berisi sehingga pantas menduduki posisi itu, sementara kenyataan kemudian menunjukkan bahwa isi kepala orang tersebut hanya ‘angin’.

Akan mudah bagi Anda, memang, bila perusahaan yang Anda pimpin berkapasitas kecil. Karena semua orang dalam perusahaan bisa Anda kenal bukan hanya performansi mereka, bukan hanya perilaku mereka, bahkan Anda bisa saja mengenal anggota keluarga mereka.

Sekarang Anda pasti bertanya, apakah bila orang-orang dalam perusahaan tidak dikenal dengan baik, maka perusahaan tidak boleh melakukan transformasi? Tidak boleh melakukan pengubahan pada konsep manajemen? Tidak boleh melakukan quantum leap? Tidak boleh mendapatkan perkembangan yang tidak incremental?

Apa boleh buat karena saya terpaksa menjawab dengan: ya! Orang-orang dalam perusahaan tidak boleh hanya merupakan data statistik bagi Anda. Sama seperti Anda, mereka juga individu yang unik. Mereka mempunyai perilaku individu yang dibentuk oleh perusahaan dan secara bersama-sama dengan individu yang lain membentuk perilaku organisasi. Mereka juga memiliki kebutuhan yang unique, kenali mereka dan selamatkan transformasi di perusahaan Anda.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com.

POPULIS TAPI TIDAK POPULER

Oleh Ardian Syam


Bukan hal yang baru bila belakangan ini kita sering mendengar bahwa beberapa kasus korupsi mulai dibuka. Bukan pula hal yang baru, bahkan sudah sejak tahun 1998, sejak 7 tahun lalu banyak Lembaga Swadaya Masyarakat atau Non Governmental Organization berteriak-teriak soal korupsi, soal pendidikan dan soal perbaikan moral.

Suatu pagi (8/6/05) ada berita di televisi bahwa beberapa selebritis mulai membuka sekolah. Beberapa membuka sekolah sesuai dengan profesi masing-masing seperti Dewi Hughes, Purwa Tjaraka, Oki Asokawati. Tetapi beberapa membuka sekolah biasa, dan bahkan Susan Bachtiar mengajar bahasa inggris di sebuah SD Swasta.

Kusuma Andrianto menulis artikel Pendidikan Awal ‘Economics of Corruption’ di Pembelajar.Com (yang juga pernah dimuat di Kompas Minggu 13 April 2005), menyarankan agar pendidikan tentang korupsi dilakukan sejak dini. Andrianto menulis “Ambil contoh misalnya pengalaman negara Kamboja (Integrating Anti-Corruption into School Curricula, hal. 53-59) yang mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi ke dalam kurikulum pendidikan di negara tersebut. Mirip dengan pengalaman Amerika Serikat (Ethics at School: A Model Programme, hal. 38-44) dan Italia (Taking Anti-Corruption Heroes into Schools, hal. 25-29). Tulisan tentang tiga negara yang masing-masing mewakili tiga benua yang berbeda ini, Asia, Amerika, dan Eropa, menunjukkan betapa kewaspadaan akan bahaya korupsi memang seyogyanya diusahakan sejak usia dini peserta didik.”

Kusuma kemudian menulis upaya anti-korupsi yang dilakukan di Georgia (Youth Against Corruption: A National Essay Contest, hal.45-52) dan Uganda (The Power of Information, Training Young Journalists, hal 60-73) yang menggunakan jurnalisme, Moldova (An Anti-Corruption Day in a Youth Camp, hal.74-80) yang menggunakan program pelatihan dan training. Brazil, Zambia dan Kolombia dengan tulisan-tulisan (Go: Fiscal Education for Citizenship, hal 11-16, Working With Universities: The Cátedra Programme, hal.17-24, dan Educating Future Leaders: Good Governance in Schools, hal. 30-37), termasuk juga yang buku-buku yang diterbitkan oleh penulis dari Argentina dan Makau. Kusuma menyarankan agar buku-buku tersebut diterjemahkan dengan baik dan disediakan di pustaka-pustaka di sekolah-sekolah di Indonesia.

Mengapa tulisan ini saya awali dengan sikap yang dijalankan oleh para aktivis LSM atau NGO? Mengapa kemudian tulisan ini diarahkan pada berita yang didapat dari infotaintment? Kemudian saya lanjutkan dengan cuplikan dari tulisan Kusuma Andrianto?

Para aktivis LSM adalah orang-orang pintar yang kemungkinan telah membaca tulisan yang disebutkan oleh Kusuma dan mungkin pula membaca lebih banyak tulisan daripada tulisan yang dibaca oleh Kusuma, apalagi dibandingkan dengan yang saya baca. Maka tidak ada masalah lagi tentang definisi korupsi bagi semua aktivis LSM. Mereka pasti bisa menjawab dengan tegas definisi tersebut, dan menjawab dengan lantang karena mereka tidak melakukan korupsi apapun seperti Umar (silakan lihat bagian awal tulisan Kusuma tersebut).

Saya mencoba mengungkap salah satu pendapat istri saya. Kritik paling tajam bagi para koruptor adalah kritik yang datang dari anak mereka. Bayangkan bila anak mereka bertanya “Pak, mobil yang aku pakai ke sekolah ini dibeli pakai uang dari mana? Kan Bapak hanya pejabat di Pemerintahan yang gajinya nggak lebih dari 10juta sebulan?” Atau bila si anak bertanya “Pak kenapa kita bisa beli dan pasang 5 AC Split yang harganya (masing-masing) di atas 2juta dan kita juga berarti butuh daya listrik yang tinggi dan bayar listriknya mahal padahal gaji Bapak hanya berapa?”

Sang Bapak cenderung melakukan korupsi justru untuk memenuhi kebutuhan utama maupun kebutuhan tambahan para anggota keluarga. Maka, bila anggota keluarga yang menyampaikan kritik tentang korupsi si Bapak akan menyebabkan si Bapak berpikir lebih bijaksana. Karena tidak ada kebajikan yang bisa dia ajarkan kepada anak bila si Bapak tidak bisa menjelaskan dengan uang dari mana semua barang tersebut dibeli.

Usul Kusuma dengan menyediakan buku-buku anti-korupsi di pustaka-pustaka sekolah-sekolah sangat bagus. Masalah yang muncul di negara kita adalah keinginan membaca kita, terutama di diri anak-anak belum cukup tinggi. Sehingga, buku tersebut akan sangat sedikit kemungkinan dibaca.

Anak-anak di Indonesia justru lebih cenderung percaya akan semua hal yang dikatakan guru mereka. Seringkali bahkan mereka berani mengkritik orang tua masing-masing bila sang orangtua menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan yang disampaikan oleh guru mereka.

Maka akan lebih baik, bila orang-orang pintar yang menjadi aktivis LSM tersebut, masuk ke sekolah-sekolah. Menjadi guru. Bisa guru apa saja. Fisika, Biologi, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, pelajaran apapun yang mereka mampu ajarkan. Tentu saja termasuk pelajaran Pendidikan dan Pengetahuan Kewarga Negaraan (mungkin saya salah, tetapi yang saya maksud adalah pelajaran yang lebih dikenal dengan sebutan PPKn).

Pelajaran apa pun yang diajarkan para aktivis, akan selalu ada waktu luang yang dapat diisi dengan pelajaran tentang moral. Saat-saat inilah para aktivis dapat memasukkan ide-ide anti-korupsi ke dalam kepala masing-masing siswa. Bila konsep anti-korupsi telah masuk, maka seluruh siswa mereka akan menjadi penentang korupsi yang paling tangguh.

Dengan demikian akan sangat banyak orang yang melakukan pergerakan anti-korupsi di negara ini. Orang-orang yang masih berhati tulus (anak-anak) seperti yang diinginkan Kusuma. Anak-anak yang menyebar di semua kalangan, dan akan memimpin bangsa dan negara ini di saat yang tepat, nanti. Sebuah gerakan yang cukup populis. Gerakan yang dilakukan oleh sangat banyak orang, terjadi di banyak lapisan, di banyak lingkungan. Sebuah gerakan yang seperti bom atom, merayap pelan, tapi secara bertahap akan menutupi seluruh wilayah.

Masalah yang terjadi adalah, bila para aktivis melakukan hal tersebut di sekolah-sekolah, kepada para siswa SD dan SMP maka tidak akan ada wartawan surat kabar harian, tidak akan ada wartawan majalah, tidak akan ada wartawan radio, tidak akan ada wartawan televisi yang meliput dan memberitakan kegiatan mereka. Sebuah gerakan yang memiliki daya sebar yang sangat luas, memiliki tingkat keefektifan yang sangat tinggi, tapi dijamin tidak akan membuat mereka menjadi terkenal, tidak akan membuat mereka menjadi populer.

Maka pertanyaan bagi semua aktivis LSM: siapkah anda melakukan tindakan yang sangat populis tetapi tidak akan membuat anda populer? Apakah pemberantasan korupsi yang menjadi prioritas anda? Ataukah pemberantasan korupsi hanya menjadi alat untuk membuat anda menjadi populer? Jawaban ada pada anda semua.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com.

Senin, 10 November 2008

SISTEM INFORMASI

Oleh: Ardian Syam


Ada apa dengan informasi? Apakah anda mendefinisikan informasi sekedar data yang diolah? Pernahkah anda membedakan informasi dengan sampah? Saya ingin tanya anda yang memiliki e-mail address, pernahkah anda menerima kiriman e-mail yang berisi berita, iklan, dan hal lain yang sama sekali tidak anda perlukan atau tidak anda butuhkan?

Apakah content e-mail tadi menjadi informasi buat anda? Yakinkah anda bahwa itu informasi buat anda, bukan sampah? Saya ingin membuka sedikit wawasan fikiran tentang informasi. Banyak orang mengatakan bahwa sekarang mereka kebanjiran informasi. Oh ya? Saya pernah dengar bahwa Christianto Wibisono bilang orang yang memegang informasi akan mengendalikan dunia. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kebanjiran informasi?

Beberapa teman saya telah mencoba meredefinisi informasi. Informasi adalah data yang diolah dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan individu atau kelompok. Dengan demikian informasi berkesan sangat individualis. Sesuai kebutuhan. Sesuatu yang tidak bermanfaat untuk individu atau kelompok bukanlah informasi. Karena itu apapun yang masuk ke dalam e-mail address anda tetapi tidak anda butuhkan, itu bukan informasi, itu sampah. Segera delete dan jangan simpan dalam e-mail address anda, karena bila penuh, justru e-mail yang lebih penting yang akan dihapus secara otomatis.

Dengan definisi baru ini, masih mungkinkah anda kebanjiran informasi. Informasi tentang penjualan produk di tempat anda, bagi kelompok marketing adalah informasi tetapi bagi kelompok manajemen SDM tidak ada manfaat.

Saya coba beri anda contoh. Di Yogyakarta, angkutan umum yang paling banyak adalah bis sebesar metro mini Jakarta. Di beberapa tempat sepanjang jalur masing-masing bis akan ada orang-orang yang dibayar untuk memberitahu supir atau kernet bis, ada bis apa saja yang sudah lewat di depan mereka dan berapa menit yang lalu bis tersebut lewat. Dengan demikian supir atau kernet bis dapat memutuskan apakah mereka akan terus berjalan atau menunggu beberapa menit. Mengapa?

Bila mereka segera jalan padahal bis sebelum mereka belum 10 menit yang lalu lewat tempat itu maka akan terjadi rebutan penumpang di jalur depan, dengan demikian mereka akan memutuskan untuk menunggu sebentar sehingga cukup jauh dengan bis terdahulu.

Para pekerja angkutan di Yogyakarta sangat mengerti arti berkompetisi tanpa saling membunuh. Dengan menunggu, maka mereka akan mendapatkan penumpang yang tidak dapat atau tidak sempat terangkut oleh bus di depan mereka. Dengan demikian pula maka mereka tidak perlu kebut-kebutan di jalan raya demi mendapatkan penumpang dan berarti mereka dapat melayani semua calon penumpang dengan baik. Karena tidak ada dua bis yang beriringan pada saat yang sama dan mengakibatkan penumpang akan menunggu cukup lama hingga datang bis yang ke tiga.

Satu lagi hal yang tadi saya belum sampaikan dalam definisi baru tentang informasi. Pengambilan keputusan. Sesuatu menjadi bermanfaat bila dapat membantu kita mengambil keputusan. Dari hal kecil seperti menunggu atau langsung menjalankan bis, hingga ke apakah kita akan melakukan discount akhir tahun di toko retail kita atau tidak.

Anda mungkin belum pernah mendengar kisah toko retail 7 eleven. Toko swalayan tersebut berhasil dengan memiliki perputaran persediaan barang cukup cepat dan berhasil mempercepat pendapatan di masing-masing outlet sehingga dapat meningkatkan laba mereka.

Data perputaran barang dagang benar-benar dimanfaatkan oleh toko swalayan ini. Berdasarkan data penjualan mereka, dapat diketahui dengan pasti barang-barang apa saja yang sering dibeli oleh konsumen pada jam-jam tertentu. Kemudian mereka berhasil mendapatkan pola pembelian barang untuk setiap 2 jam sekali. Dalam setiap periode 2 jam sekali hanya beberapa barang tertentu saja yang terbeli oleh konsumen.

Mereka tahu bahwa jam 8 hingga 10 lebih banyak dibeli produk makanan dan minuman untuk sarapan, karena para penghuni rumah baru saja selesai sarapan sehingga para ibu rumah tangga tahu bahwa makanan atau minuman yang mereka biasa sediakan untuk sarapan telah habis dan perlu dibeli kembali. Mereka juga menjadi tahu kapan para pegawai yang sibuk membutuhkan bahan bacaan yang ringan tapi bermanfaat seperti majalah.

Berdasarkan informasi tersebut maka mereka akan mengaturkan barang-barang tersebut berada di rak paling depan, dekat kasir pada jam yang tepat pula. Sehingga konsumen mereka bisa langsung menemukan barang yang dibutuhkan mengambil sesuai kebutuhan dan membawa ke meja kasir yang tidak jauh dari rak tempat barang-barang yang baru saja mereka ambil. Kemudian konsumen akan segera membayar dan membawa pulang barang tersebut.

Pernah Anda ingin masuk ke dalam sebuah toko swalayan yang terlalu penuh dan mengurungkan niat Anda untuk masuk dan tidak jadi berbelanja di toko itu? Itulah yang mereka berhasil hindarkan. Bila konsumen dapat langsung keluar dari toko swalayan begitu selesai membayar, maka toko tidak akan pernah terlihat terlalu ramai, karena konsumen tidak harus berkeliling toko hanya untuk mencari barang yang dibutuhkan.

Manfaat berikut yang didapat oleh toko itu adalah bahwa mereka tidak perlu menyediakan ruangan toko yang terlalu besar untuk menempatkan rak pajang mereka. Lalu karena mereka mengawasi inventory turn over dengan ketat, maka mereka lebih mudah mengendalikan waktu pemesanan, economic order quantity, dan reorder point dengan lebih akurat. Hal tersebut mengakibatkan mereka tidak perlu menyimpan terlalu banyak barang untuk tiap jenis produk. Itu juga berarti mereka tidak perlu menyediakan ruangan yang terlalu luas untuk tempat penyimpanan barang.

Karena mereka tidak perlu menyediakan ruangan yang luas maka mereka dapat menghemat biaya sewa gedung. Karena mereka tidak perlu menyimpan barang terlalu banyak maka mereka juga dapat menghemat biaya penyimpanan barang, dan mengurangi resiko barang rusak di penyimpanan.

Di sisi lain, ruangan toko mereka yang tidak pernah terlihat terlalu ramai akan memperbanyak orang yang masuk dan berbelanja. Dengan demikian akan semakin baiklah pendapatan mereka, dan bila biaya dapat mereka hemat, maka laba dapat ditingkatkan dengan lebih cepat.

Sekarang masihkah Anda akan mengabaikan informasi yang tersedia di sekitar Anda?

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ia dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Telecommuter

Oleh: Ardian Syam

Anda sudah membaca majalah SWA edisi 29 September – 12 Oktober 2005? Ada tulisan bahwa beberapa pebisnis di Jakarta lebih suka bekerja di tempat-tempat umum, di cafe atau restoran yang menyediakan hot spot sehingga mereka bisa mengakses server perusahaan tempat mereka bekerja atau situs-situs internet yang mereka butuhkan untuk membantu pekerjaan mereka.

Mereka bekerja sebagai designer, marketer, atau account officer/manager, maupun eksekutif di perusahaan tempat mereka bekerja, atau bahkan pemilik usaha tersebut. Mereka melakukan hal tersebut atas dasar kepraktisan karena client mereka bekerja di sekitar mal atau plasa yang mereka pilih dan yang menyediakan hot spot tersebut. Mereka mengambil keputusan tersebut demi agar client mereka dapat bertemu muka langsung dengan mereka tanpa harus menerobos rimba kemacetan lalulintas metropolitan. Begitulah cara mereka menunjukkan bahwa usaha mereka telah menjadi customer centric organization/company.

Saya mencoba merujuk sebuah istilah dari www.wikipedia.org yaitu telecommuter sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jack Nilles di Amerika Serikat. Telecommuting adalah pekerjaan yang dirancang sehingga pekerja menikmati fleksibilitas dalam lokasi dan waktu kerja. Dalam kata lain, commute (perjalanan pulang pergi) antara rumah dan tempat kerja mereka yang berjarak cukup jauh digantikan dengan jaringan telekomunikasi. Kaum pekerja telecommuting memiliki moto “pekerjaan adalah sesuatu yang Anda lakukan, bukan sesuatu yang mengharuskan Anda bepergian ke sana kemari”. Program telecommuting yang berhasil mempersyaratkan gaya manajemen yang didasarkan pada hasil dan tidak hanya pada kerutinan seseorang.

Telecommuting dapat dilihat sebagai solusi bagi kemacetan lalu lintas (akibat hanya ada satu penumpang di setiap mobil) dan sebagai solusi bagi polusi udara serta penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Investemen awal bagi infrastruktur jaringan dan hardware akan tertutup dengan peningkatan produktifitas dari pegawai telecommuting. Masih ingat diskusi dalam tulisan saya tentang “Quality Time”? Pegawai yang berhasil mengelola waktu antara waktu untuk keluarga dan waktu untuk pekerjaan akan menurun tingkat stress mereka sehingga akan lebih produktif.

Di sisi lain telecommuting juga dapat berarti penghematan yang cukup besar bagi perusahaan. Bila secara bersama-sama sekelompok orang harus berada dalam satu ruangan atau gedung dan setiap orang menggunakan PC atau notebook maka dibutuhkan kapasitas listrik yang cukup besar, namun bila mereka masing-masing bekerja di tempat yang berbeda (karena telecommuting) maka masing-masing membutuhkan kapasitas listrik yang rendah.

Mari kita berhitung langsung dengan angka-angka, bila ada 500 (lima ratus) PC atau notebook dalam sebuah gedung dan masing-masing membutuhkan daya listrik sebesar 100 watt saja, maka dibutuhkan 50.000 watt. Walaupun seluruh orang tersebut menggunakan 50 kWh tetapi tarif per kWh untuk kapasitas lebih dari 50 kWh akan jauh lebih tinggi bila mereka bekerja di rumah masing-masing yang memiliki kapasitas listrik sekitar 900 atau 1.300 watt. Sehingga perusahaan harus membayar Rp42.500,- (50kWh x Rp850,-) bila mereka bersama-sama bekerja di kantor, sedangkan bila mereka masing-masing bekerja di rumah maka biaya yang dikeluarkan per jam hanya Rp24.750,- (50kWh x Rp495,-).

Dari hitungan tersebut di atas berarti per jam telah terjadi penghematan hingga Rp17.750,- dan bila seminggu semua pegawai bekerja 40 jam berarti sebulan semua pegawai bekerja selama 160 jam. Dengan demikian penghematan yang dapat dilakukan adalah sebanyak Rp2.840.000,- Bila total pegawai di perusahaan tempat Anda bekerja hingga 10.000 orang maka penghematan yang dapat dilakukan hingga sebanyak Rp56.800.000,- yang berarti selama setahun perusahaan tempat Anda bekerja dapat menghemat hingga Rp681.600.000,- Coba Anda teruskan perhitungan tersebut bila ada 20.000 lebih pegawai telecommuting.

Baru dari satu perhitungan tentang penggunaan listrik oleh PC atau notebook. Sementara kantor juga seringkali membutuhkan AC yang mungkin tidak dibutuhkan para pegawai ketika mereka bekerja di rumah. Sudah Anda perhatikan gedung kantor tempat Anda bekerja? Kebanyakan gedung dibangun sedemikian rupa sehingga dibutuhkan lampu untuk membantu penerangan karena cahaya matahari tidak mudah masuk.

Kemudian, ketika 500 orang berkumpul bersama, maka kemungkinan dibutuhkan lebih dari satu lantai kantor. Bila kantor tersebut berlantai empat atau lebih maka tentu saja dibutuhkan lift. Tambah satu lagi penghematan yang dapat dilakukan bila para pegawai menjadi telecommuter.

Untuk listrik saja ada kemungkinan dalam setahun sebuah kantor dengan 500 pegawai dapat menghemat lebih dari Rp3 milyar. Bila kondisi tersebut dilakukan di semua kantor di perusahaan tersebut yang memiliki pegawai 10.000 orang saja, maka penghematan setahun mencapai Rp60 milyar.

Mari kita berhitung lagi bila space untuk kantor bagi masing-masing orang dibutuhkan sekitar 9 meter persegi. Berarti untuk 500 orang dibutuhkan 4.500 meter persegi. Mari kita asumsi biaya kebersihan dan keamanan setara dengan sewa space per meter persegi. Maka dengan sewa sekitar Rp200.000,- per bulan, kantor tersebut membutuhkan sekitar Rp900 juta per bulan berarti sekitar Rp10,8 milyar per tahun. Bila kantor itu merupakan bagian dari perusahaan dengan total pegawai 10.000 orang maka penghematan untuk space adalah Rp216 milyar per tahun.

Sekarang dari dua perhitungan saja yaitu listrik dan space perusahaan tempat Anda bekerja telah menghemat lebih dari Rp200 milyar per tahun. Sebuah perusahaan yang saya kenal dan memiliki pegawai sekitar 30 ribu orang selama dua tahun berturut-turut meraih laba Rp6 triliun. Tetapi dari penghematan yang telah kita bicarakan perusahaan tersebut bisa menghemat sekitar Rp600 milyar yang berarti laba bersih perusahaan tersebut akan naik sekitar 10% dibandingkan laba yang diperoleh sebelum melakukan penghematan dengan telecommuting.

Penghematan tersebut akan diperbesar lagi bila kita juga memperhitungkan biaya pengoperasian ruang-ruang rapat, fasilitas parkir, biaya untuk mesin presensi, biaya perawatan gedung kantor, dan masih banyak lagi biaya-biaya yang dapat dihemat bila perusahaan hanya membutuhkan gedung kantor yang kecil atau bahkan sama sekali tidak mempunyai gedung kantor.

Dengan menjadi telecommuter, para pegawai dapat mengurangi resiko lalu lintas termasuk kemacetan maupun kecelakaan (yang sekali lagi berarti dapat menghemat biaya yang harus dikeluarkan perusahaan). Pegawai dapat mengatur waktu mereka dengan lebih leluasa dan itu berarti dapat menempatkan pekerjaan kantor di waktu yang tepat atau waktu paling produktif tanpa kehabisan waktu untuk melakukan perjalanan kantor – rumah.

Hanya satu hal yang perlu benar-benar berubah secara mendasar yaitu gaya manajemen. Manajemen tidak lagi berdasarkan observasi dalam arti tidak perlu lagi mengawasi masing-masing bawahan, tetapi bergeser menjadi manajemen berdasarkan tujuan atau hasil. Hal yang cukup sulit memang adalah menetapkan hasil yang diharapkan perusahaan dari masing-masing individu.

Tetapi di sisi pekerjaan, perusahaan akan mendapatkan manfaat tambahan dengan membuat organisasi yang lebih langsing dan bersinergi secara matriks. Belum lagi bila didukung oleh para pegawai yang memiliki multi kompetensi, maka pekerjaan kelompok secara matriks akan lebih mudah terlaksana.

Bila perusahaan memiliki pegawai-pegawai yang multi kompetensi maka perusahaan pun bisa menghemat dalam jumlah pegawai. Kita kembali ke perusahaan yang tadi saya bicarakan. Gaji rata-rata per tahun di perusahaan tersebut adalah sekitar Rp150 juta per orang. Bila dengan pegawai yang memiliki multi kompetensi dan perusahaan dapat melangsingkan organisasi atau mengurangi 10 ribu dari 30 ribu pegawai mereka, maka perusahaan dapat menghemat lagi biaya gaji hingga Rp1,5 triliun atau akan meningkatkan 25 persen lagi laba bersih mereka. Sehingga dari hitungan tersebut maka telecommuting akan menyebabkan laba bersih perusahaan tersebut akan menjadi Rp8 triliun.

Terbayangkankah dalam pikiran Anda bila perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang memperdagangkan saham mereka di bursa? Apa yang terjadi dengan harga saham mereka? Kemudian apabila saham mereka merupakan blue chip, apa yang terjadi pada indeks harga saham gabungan?

Indeks harga saham gabungan akan naik semakin tinggi bila perusahaan-perusahaan blue chip melakukan strategi telecommuting. Terbayangkah apa yang akan terjadi pada pasar saham Indonesia? Kemudian bila pasar saham semakin diminati, apa yang kemudian terjadi dengan perekonomian Indonesia? Anda bisa saja menggunakan istilah efek domino atau multiplying effect tetapi lihatlah bahwa telecommuting tidak hanya berdampak bagi satu perusahan saja.

– Medan – Oktober 2005

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ia dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Sabtu, 08 November 2008

Quality Time

Oleh: Ardian Syam


Istilah quality time sudah bukan hal baru bagi semua pembaca, saya bisa pastikan itu. Tetapi benarkah kita telah menjalankan konsep tersebut dengan benar? Bagaimana kita bisa menjalankan dengan benar?

Pekerjaan di kantor seringkali menuntut fokus perhatian dan konsentrasi yang tinggi. Karena hal tersebut pula lah maka Anda bisa dengan optimal mengeluarkan seluruh kompetensi yang dimiliki untuk penyelesaian pekerjaan. Sehingga konsentrasi yang sangat tinggi di kantor akan terbawa ketika tiba di rumah kembali. Konsentrasi kita masih kepada pekerjaan di perusahaan tempat kita bekerja dan kurang konsentrasi terhadap masalah yang terjadi di rumah maupun yang terjadi dalam keluarga kita sendiri.

Saya bahkan punya teman yang sama sekali tidak bisa mengalihkan perhatian kepada pekerjaan di perusahaan tempat dia bekerja. Teman saya ini bahkan menderita penyakit hepatitis karena sering terlalu lelah bekerja. Lebih buruk lagi ketika penyakit teman saya itu kambuh dan diharuskan istirahat oleh dokter yang merawat, tetap saja dia tidak dapat mengalihkan perhatian pada pekerjaan di kantor.

Perusahaan tempat dia bekerja telah menggunakan teknologi informasi sehingga seluruh data tersimpan dalam beberapa server dan bila diberikan akses maka data tersebut dapat dilaksanakan dari rumah. Lalu bagaimana bisa Anda memberikan quality time kepada keluarga bila Anda tetap tidak bisa mengalihkan perhatian dari pekerjaan bahkan ketika ada di rumah.

Pernah ada teman yang menyatakan bahwa dia bekerja lebih dari 12 jam setiap hari, berangkat ketika matahari belum benar-benar muncul di langit dan keluar dari kantor ketika matahari telah tidak terlihat di langit.

Saya mencoba mengutip sebuah tulisan yang saya dapat dari sebuah milis:
Suatu hari, seorang ahli 'Manajemen Waktu' berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan oleh para siswanya.

Ketika dia berdiri di hadapan siswanya dia berkata: "Baiklah, sekarang waktunya kuis" Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkan di atas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu ke dalam toples. Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya: "Apakah toples ini sudah penuh?"

Semua siswanya serentak menjawab, "Sudah!"

Kemudian dia berkata, "Benarkah?” Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkan, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah-celah batu-batu itu. Lalu ia bertanya kepada siswa sekali lagi: "Apakah toples ini sudah penuh?"

Kali ini para siswa hanya tertegun. "Mungkin belum!", salah satu dari siswa menjawab.

"Bagus!" Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan. Sekali lagi dia bertanya, "Apakah toples ini sudah penuh?"

"Belum!" serentak para siswa menjawab.

Sekali lagi dia berkata, "Bagus!" Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas. Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang para siswa dan bertanya: "Apakah maksud dari ilustrasi ini?"

Seorang siswanya yangg antusias langsung menjawab, "Betapapun penuh jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain!"

"Bukan!" jawab si ahli. "Bukan itu maksud ilustrasi ini. Ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa: JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA KALI KAMU MASUKKAN, MAKA KAMU TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMASUKKAN BATU BESAR ITU KE DALAM TOPLES TERSEBUT.

"Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yang kamu sayangi, persahabatanmu, kesehatanmu, mimpi-mimpimu, ibadahmu pada Tuhanmu. Hal-hal yang kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar tersebut sebagai yang pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk memperhatikan hal tersebut. Jika kamu mendahulukan hal-hal yang kecil dalam prioritas waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal yang kecil, kamu tidak akan punya waktu untuk melakukan hal yang besar dan berharga dalam hidupmu.”

Saya pikir sangat sedikit orang yang menganggap keluarga sebagai hal yang paling dapat diabaikan dibandingkan pekerjaan di kantor. Maka sangat sedikit orang yang menganggap pekerjaan di kantor sebagai batu besar.

Ada sekian banyak unsur dalam hidup kita. Ada keluarga, ada pekerjaan, ada hobi, ada kesehatan dan masih banyak lagi yang lain. Kesemua hal tersebut harus diperhatikan, harus seimbang.

Ada sebuah computer game yang patut Anda perhatikan pada saat Anda tertarik untuk bicara tentang keseimbangan, tentang quality time: SIM. Sekarang sudah ada begitu banyak add-ins untuk game tersebut, cobalah cari seri yang paling standar dan cobalah miliki manual untuk memainkan game tersebut. Permainan dapat Anda pilih apakah menjadi seorang bujangan sendirian, bujangan kakak beradik, keluarga tanpa anak atau keluarga dengan anak. Sebagai pemula lebih baik Anda pilih peran sebagai bujangan sendirian.

Dari game tersebut Anda akan belajar bagaimana menyeimbangkan hidup. Ada delapan indikator termasuk tingkat kesehatan, tingkat kesenangan, tingkat rasa cinta, dan tingkat kepintaran. Lebih unik lagi adalah Anda tidak akan mendapatkan promosi di tempat pekerjaan Anda dalam game tersebut bila ada stau indikator yang menyatakan tingkat yang buruk. Berarti Anda baru dapat promosi bila semua indikator menunjukkan nilai baik dan ada indikator yang menunjukkan tingkat yang istimewa.

Anda lihat, bahkan sebuah computer game mengajarkan keseimbangan antar sisi-sisi kehidupan Anda. Lalu bagaimana Anda bisa lebih fokus pada pekerjaan dan melupakan hal lain dari sisi kehidupan Anda? Keseimbangan sehingga tidak ada yang sangat tinggi sementara ada tingkat yang sangat rendah.

Anda mungkin merasa sudah terlalu banyak hal yang selama ini Anda abaikan sehingga akan sulit untuk memulai kembali. Bila itu menjadi masalah bagi Anda saya ingatkan bahwa Anda mungkin pernah naik sepeda dulu di waktu Anda kecil kemudian sekarang Anda sudah terlalu sering tidak naik sepeda maupun sepeda motor, lalu Anda ingin mencoba naik sepeda lagi. Anda tahu bahwa Anda akan kaku dan mungkin akan jatuh, tetapi tidak akan terlalu lama sehingga Anda bisa mengendarai sepeda lagi.

Jadi cobalah lagi lakukan hal yang selama ini telah Anda abaikan. Anda mungkin sudah lama tidak membaca buku, cobalah membaca buku pembangkit motivasi, pilih yang cukup tipis. Bila keluarga sudah mulai Anda abaikan, cobalah bicara dengan anak Anda, tentang siapa saja teman mereka di sekolah sehingga pembicaraan akan meluncur ke hal-hal apa saja yang teman mereka lakukan di sekolah. Bila kesehatan Anda sendiri yang Anda abaikan cobalah sekali waktu Anda bangun sangat pagi dan cobalah berlari keliling lingkungan tempat tinggal Anda.

Seimbang bukan harus melakukan semua hal tersebut setiap hari, karena mungkin Anda beralasan tidak ada waktu yang cukup untuk melakukan semua itu dalam stau hari. Sekarang, buat daftar apa saja yang selama ini telah Anda abaikan lalu rencanakan untuk melakukan satu hingga tiga dari hal tersebut setiap hari dan dalam satu minggu semua hal itu bisa Anda lakukan.

Ada sebuah perusahaan yang menetapkan hari Rabu sebagai hari quality time. Tidak tanggung-tanggung, karena hari quality time tersebut justru dicanangkan langsung oleh Direksi perusahaan tersebut. Pencanangan tersebut didorong karena selama ini Direksi memperhatikan bahwa sebagian besar pegawai perusahaan tersebut masih berada di kantor jauh setelah jam kerja harian berakhir. Tidak hanya itu, pada hari-hari Sabtu dan Minggu pun ada beberapa pegawai yang masih tetap ke kantor. Sehingga ditetapkan bahwa setiap hari Rabu, pegawai perusahaan tersebut harus pulang ke rumah masing-masing begitu jam kerja hari itu berakhir.

Sebuah upaya yang sangat serius karena bila hidup tidak Anda jadikan cukup berarti, maka jangan harap pekerjaan Anda juga akan cukup berarti. Dengan keseimbangan, dengan quality time akan mendorong Anda untuk menghasilkan quality product atau service. Berniat mencoba?

* Ardian Syam dapat dihubungi melalui email: ardian.syam@gmail.com

INSTRUMEN ORANG KAYA

Oleh: Ardian Syam*


Sebagian besar orang kaya di Indonesia adalah pengusaha. Sebagian adalah pegawai dengan posisi tertinggi di perusahaan tempat mereka masing-masing bekerja. Sebagian besar dari semua orang kaya Indonesia, saya yakin, suka memberikan sumbangan. Baik diketahui publik maupun tidak. Sangat menyenangkan memang bila kita lihat dari sisi tersebut. Setiap orang akan saling membantu sehingga masalah yang sangat besar menjadi mengecil dan dapat ditanggulangi.

Satu hal yang dilupakan oleh para pengusaha tersebut. Pasar tidak hanya bisa dicari, tetapi juga bisa dibuat. Setiap kali Anda, para pengusaha, mengalami hambatan di satu pasar yang selama ini menjadi tempat mereka berusaha, maka mereka akan mencari pasar yang baru. Mungkin juga Anda akan mencari produk baru yang biasa disebut second curve product karena Anda menganggap pasar mulai jenuh dengan produk yang selama ini Anda jual.

Tetapi pasar bisa dibuat. Bila sekelompok orang di wilayah atau di negara Anda berada di bawah tingkat ekonomi tertentu sehingga saat ini belum mampu membeli produk yang Anda jual, pernahkah Anda pikirkan bahwa bila mereka menjadi lebih makmur, maka mereka akan mampu membeli produk Anda?

Ya, Anda pasti ingin produk Anda lebih banyak terjual. Hal yang paling sering Anda lakukan adalah menghemat biaya produksi. Anda menggunakan konsep activity-base cost system sehingga tercapai cost effectiveness bagi produk yang Anda jual, sehingga harga jual produk menjadi lebih kompetitif dibanding pesaing. Tetapi apa yang terjadi kemudian?

Kompetitor Anda kemudian akan merasa bahwa mereka yang sekarang mulai kehilangan pembeli, produk mereka yang terjual menjadi berkurang. Mereka kemudian akan melakukan hal yang kurang lebih sama dengan yang telah Anda lakukan. Kemudian harga produk mereka menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan produk yang Anda jual. Dan perang ini tidak akan pernah selesai sampai salah satu dari Anda kemudian mati dan menambah jumlah orang miskin di negara ini.

Sebuah kejadian yang sama sekali tidak lagi menarik? Anda sedang berusaha dengan gaya petinju. Anda baru bisa menang bila lawan tergeletak lemas dan tidak lagi bisa melanjutkan pertandingan. Pernah terpikir berusaha dengan gaya pembalap? Anda menang karena lebih baik dan tidak perlu menyebabkan lawan berhenti dan tidak lagi bisa melanjutkan permainan. Bila belum pernah melakukan, cobalah sesekali Anda lihat pertandingan balap F1 atau balap sepeda. Semua peserta pertandingan terus melakukan permainan, terus berlomba sampai mereka menyelesaikan lintasan yang harus dilalui walaupun telah ada pemenang. Anda tidak perlu membuat pesaing kehilangan kemampuan berusaha sekedar agar Anda bisa menang.

Daripada mematikan pesaing Anda, bagaimana bila kita semua mulai memikirkan bagaimana meningkatkan daya beli, makmurkan lebih banyak lagi orang, sehingga mereka berada di tingkat ekonomi yang dapat membeli dan mengkonsumsi produk Anda. Anda bukan hanya memenangkan kompetisi, Anda juga akan dihargai oleh kompetitor, juga oleh orang-orang yang Anda makmurkan.

Lalu pada saat Anda ingin membuat mereka menjadi lebih makmur, menjadi konsumen yang memiliki daya beli untuk mendapatkan produk Anda, maka tidak ada jalan lain selain dimakmurkan dengan menggunakan instrumen yang Anda gunakan untuk menjadikan diri Anda lebih makmur.

Merujuk pada 4 kuadran yang diajarkan oleh Robert T Kiyosaki, maka yang menjadi cara yang paling tepat untuk menjadi kaya adalah 2 kuadran yang berada di kanan: menjadi pemilik bisnis atau menanamkan investemen kepada bisnis lain yang sudah ada.

Andai Anda masih belum percaya mari kita lihat 2 kuadran sebelah kiri yaitu: employee dan self employment. Sebagai seorang pegawai perusahaan Anda tidak akan bisa benar-benar kaya sebagaimana yang Anda inginkan. Bahkan sebagai seorang Direktur Utama, Anda harus menunggu waktu satu kali setahun minimal, yaitu pada saat rapat umum pemegang saham, bila Anda ingin meningkatkan gaji Anda. Bahkan bila Anda menduduki posisi lebih rendah tentu saja Anda harus menunggu orang lain termasuk Direktur Utama bila ingin naik gaji. Sehingga employee bukanlah cara untuk menjadi orang kaya. Menjadi pegawai bukan instrumen orang kaya.

Self employment yang dicontohkan oleh Kiyosaki adalah pengacara atau dokter yang praktek sendiri. Sebagai profesional Anda dapat mengendalikan biaya yang akan Anda keluarkan dalam usaha. Tetapi kalau Anda tidak dapat meningkatkan laba usaha, Anda tidak dapat mempercepat perolehan pendapatan. Mengapa demikian? Anda hanya berusaha sendiri. Andai pun ada perawat atau paralegal membantu Anda, tetapi mereka hanya membantu dalam pekerjaan yang datang. Tidak ada seorang pun yang membantu untuk memasarkan usaha Anda.

Tanggung jawab, kewenangan, kerja keras untuk melakukan pemasaran hanya berada di pundak Anda. Anda akan kelelahan melakukan dua hal yang berbeda. Tanggung jawab memasarkan dan tanggung jawab menjaga kualitas layanan yang Anda berikan. Anda yang bekerja di perusahaan tentu tahu bahwa kedua tanggung jawab tersebut tidak dilakukan oleh tim yang sama. Akan lebih berat lagi bila dua tanggung jawab tersebut dilaksanakan oleh satu orang yang sama.

Saya pernah tahu seorang dokter obgin yang kemudian punya klinik bersalin. Tiga tanggung jawab bahkan dia rangkap sendiri. Menjaga kualitas layanan sebagai dokter, melakukan upaya-upaya pemasaran, dan mengelola klinik. Dokter itu sangat kelelahan dan kemudian sering melakukan kesalahan diagnosa ataupun kesalahan dalam melakukan tindakan atas kasus-kasus yang muncul. Apa yang kemudian terjadi? Klinik itu semakin lama semakin sepi karena para pasien mulai tidak percaya dengan kualitas layanan sang dokter.

Berarti sekarang tinggal 2 kuadran yang di sisi kanan yang masih bisa dianggap sebagai instrumen orang kaya. Pemilik bisnis, adalah salah satu instrumen orang kaya. Dengan memiliki bisnis sendiri, sesuai sumber daya yang dimiliki maka kita bisa memiliki tim yang melakukan operasi harian usaha kita dan ada tim lain yang melakukan upaya-upaya pemasaran. Cari kesenangan Anda yang bisa dijadikan produktif. Pendidikan, perdagangan umum, pertanian, penginapan apa saja yang Anda minati. Karena Anda bisa lebih konsentrasi dalam mengelola, mengarahkan langkah-langkah operasional dan memandu upaya-upaya pemasaran karena minat Anda cukup tinggi di bisnis tersebut.

Anda bisa memodali bisnis tersebut sendiri atau bersama-sama dengan orang lain. Silakan baca buku yang ditulis Purdi E Chandra bila ingin tahu cara memulai bisnis dengan modal atau uang orang lain. Dengan menjalankan bisnis maka Anda dan tim yang menentukan berapa penghasilan yang akan Anda terima. Baca lagi pula Cashflow Quadrant karya Kiyosaki sehingga Anda tahu bagaimana mengatur cash flow Anda dengan baik.

Bila Anda telah menjalankan bisnis sendiri dan telah mencapai omset di atas 1 miliar rupiah per tahun, apalagi telah mencapai 1 miliar rupiah per triwulan, maka sudah tiba saat bagi Anda untuk memperhatikan orang-orang yang punya semangat, konsentrasi penuh, dan bersedia menjalankan bisnis sendiri. Dengan demikian Anda akan menumbuhkan satu pebisnis baru sekaligus mengajarkan orang itu bagaimana cara yang terbaik untuk menjalankan bisnis dengan uang orang lain.

Berusahalah untuk tidak terlalu serakah. Buatlah pembagian laba 50:50, toh Anda tidak menjalankan sendiri bisnis tersebut. Anda hanya menginveskan modal untuk menjalankan bisnis tersebut. Semakin banyak bisnis orang lain yang Anda bantu untuk tumbuh maka akan semakin banyak kemakmuran tumbuh di sekitar Anda. Bila bisnis Anda sendiri menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas tinggi, maka bisnis mereka akan mengkonsumsi produk atau jasa yang dihasilkan oleh bisnis Anda. Bisa Anda bayangkan seberapa banyak konsumsi mereka bila bisnis mereka sudah tumbuh semakin besar. Dengan demikian Anda akan memiliki pelanggan yang setia, tentu saja selain karena kualitas produk atau jasa dari bisnis Anda memang baik, toh Anda yang membantu mereka untuk tumbuh. Sehingga sangat sedikit alasan bagi mereka untuk mengkonsumsi produk atau jasa dari perusahaan lain.

Sekarang selain Anda telah memasuki kuadran investemen untuk menjadi lebih makmur, Anda juga sudah membuat orang lain menjadi lebih makmur. Orang-orang yang akan menjadi pasar dari bisnis Anda sendiri. Orang-orang yang akan bersama-sama Anda membantu orang lain lagi untuk mempunyai bisnis sendiri dan menjadi lebih makmur. Kemudian semua orang makmur dalam kelompok ini akan membantu banyak orang miskin, membantu sekolah-sekolah, menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja, memintarkan generasi muda.

Menjadi kaya dengan instrumen orang kaya ternyata bisa membuat hidup banyak orang menjadi lebih indah. Hidup memang indah, bukan?

* Ardian Syam adalah seorang akademisi yang tinggal di Medan dan saat ini sedang menyusun sebuah buku. Ia dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Gitar

Oleh: Ardian Syam


Lahir di Hampstead, London tanggal 23 Juli 1965 dan dibesarkan di Stoke-On-Trent, Staffordshire, Inggris. Ketika lahir diberi nama Saul Hudson. Lahir dari ibu yang turunan AfroAmerika dan ayah Inggris kulit putih. Sang ibu berpenghasilan dari kegiatan menjadi pendesain pakaian bagi entertainer seperti David Bowie.

Umur 11 tahun dia dan sang ibu pindah ke Los Angeles yang kemudian disusul oleh sang ayah. Keluarga Hudson sering didatangi para seniman seperti Iggy Pop, Ron Wood, David Bowie, David Geffen dan masih banyak seniman lain sehingga menularkan gaya hidup bohemia bagi Saul kecil. Sekitar saat itu pula Saul menggemari BMX (bicycle motorcrossing) dan sering kali berkendara tanpa menggunakan rem. Dia sering mendapatkan hadiah dan uang karena kegiatan ini.

Ketika berusia 15 tahun, sang nenek memberi gitar, walaupun hanya satu senar tetapi Saul tetap senang dengan gitar itu dan tetap bisa main. Pengaruh awal dari Led Zeppelin, Eric Clapton, Rolling Stones, Aerosmith, Jimi Hendrix, Jeff Beck, Neil Young benar-benar mengubah jalan hidup Saul. Dua belas jam setiap hari Saul bermain gitar. Semula dengan rambut panjang keriting dan gaya hidup bohemian, Saul dijauhi teman-teman. Begitu dia menunjukkan kepiawaian bermain gitar, teman-teman menganggap Saul cool dan pantas diajak bergaul.

Suatu saat Saul bertemu dengan Steven Adler dan membentuk Road Crew Band dan membutuhkan penyanyi. Dia bertemu dengan Izzy Stradlin yang menampilkan seorang penyanyi yang ingin diambil Saul dari Izzy. Saul mencari pemain bass dan menemukan Duff McKagan ketika Duff menjawab iklan yang dimuat di koran. Mulai terbentuklah gaya bermusik dari sekian banyak orang berbakat tadi. Masing-masing memberi warna, terbentuk pula warna yang khas dari sebuah band yang mereka namai Guns N’ Roses.

Sebagian dari Anda dapat saya pastikan sudah dapat menebak siapa yang sedang saya bicarakan. Ya, Slash. Gitaris yang mempunyai gaya bermusik yang khas, diimbuhi oleh W. Axl Rose yang mempunyai aksi panggung dan gaya bernyanyi yang khas pula. Seorang gitaris yang berambut keriting panjang. Anda bisa buka situs resmi klub penggemar Slash di http://www.snakepit.org/bio.html untuk sekedar memperhatikan wajah sang gitaris ketika muda.

Ya, karena sejak dia dikenal dengan GNR sangat jarang wajah sang gitaris terlihat penuh. Selalu saja hanya bagian hidung ke bawah yang terlihat, bagian lain dari wajah sang gitaris akan tertutup dengan rambut panjang nan keriting. Selain hal tersebut, ciri khas lain dari penampilan Slash adalah rokok yang selalu terjepit di sela kedua bibir. Bahkan ketika di panggung, akan ada orang yang membakarkan rokok tersebut dan menyediakan untuk dijepit kembali oleh bibir Slash bila rokok terdahulu sudah habis.

Apakah terjadi sesuatu dengan mata sang gitaris?

Coba saja lihat beberapa gambar dari situs ini:

• http://www.showbizireland.com/images/stars2/slash-velvetrevolver3.jpg
• www.snakepit.org/slash-rollingstone.jpg
• www.robertmknight.com/photos/various/20-slash.jpg, dll.

Anda akan benar-benar yakin tidak terjadi apa pun dengan mata sang gitaris. Sebuah mata yang dapat dikatakan normal. Kita memang tidak sedang ingin membicarakan mata Slash yang selalu tertutup oleh rambut keriting panjang itu. Kita juga tidak ingin membicarakan tentang kebiasaan sang gitaris di atas panggung dengan rokok yang selalu terjepit di sela bibir.

Kita sedang membicarakan tentang keseriusan. Tentang fokus. Indonesia juga tidak kekurangan orang-orang seperti ini. Titik balik awal selalu sama. Ada seseorang baik itu nenek, kakek, tante, oom, ayah, ibu, kakak yang menghadiahi mereka gitar dan karena itu mereka menjadi serius. Keseriusan untuk terus berlatih bermain gitar juga terjadi pada Dewa Bujana dan Tohpati. Keseriusan untuk terus berlatih sepak bola terjadi pada Ronaldinho dan banyak jago bola lain.

Betapa tidak, tidak satupun kompetensi di dunia ini yang tidak dapat dicapai dengan jam terbang. Semakin sering berlatih maka akan semakin cepat pula kompetensi kita meningkat. Lalu Anda mungkin bertanya bagaimana dengan orang-orang yang sering berpindah kantor?

Pernahkah Anda mencoba memperhatikan apa yang mereka kerjakan di banyak perusahaan tersebut? Sebagian besar orang yang berpindah perusahaan seringkali mencapai posisi tertinggi di tempat terakhir dia bekerja, karena mereka bekerja di jalur pekerjaan yang sama. Mereka baru benar-benar pindah jalur ketika sudah sampai di puncak.

Ada banyak contoh untuk itu. Cacuk Sudarjanto almarhum walaupun memiliki gelar kesarjanaan geologi tetapi fokus pada penjualan jasa di bisnis teknologi informasi. Baru di puncak beliau berpindah ke jalur telekomunikasi. Begitu pula dengan Arwin Rasyid yang berserius di bisnis jasa perbankan, ketika di puncak berpindah ke jalur telekomunikasi. Teddy P Rachmat terus berkarir di bisnis otomotif. Mochtar Rijadi terus berkarir di perbankan.

Suatu saat Anda mungkin pernah terseret ke pola pikir multi-kompetensi. Memang sangat bagus. Karena Anda bisa dipekerjakan di banyak proyek sekaligus. Tetapi fokus Anda bahkan tidak akan hilang. Bila Anda lulusan fakultas teknik informasi maka pada proyek apapun Anda dipekerjakan maka mau tidak mau yang paling awal Anda pertimbangkan adalah dukungan teknologi informasi. Bila Anda sarjana akuntansi maka di proyek mana pun Anda bekerja Anda tidak akan pergi jauh meninggalkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, buku panduan utama para akuntan.

Lalu bila Anda memang tidak bisa jauh-jauh dari jalur yang sudah sejak awal Anda tempuh, mengapa Anda pergi terlalu jauh? Saya sangat menyarankan Anda untuk tetap memiliki multi-kompetensi, tetapi menjadi lebih seriuslah di jalur yang Anda pilih.

Kembali kepada Slash, tidak kah Anda lihat sikap pemusik satu ini? Tidak banyak gosip buruk yang kita dengar tentang dia. Mengapa bisa begitu? Kegiatan yang dia pilih, bermain gitar, sudah cukup membuat dia sibuk berlatih teknik-teknik bermain yang baru. Cara bermain yang menimbulkan bunyi-bunyi yang tidak biasa. Begitu pula bila Anda tetap fokus pada jalur yang Anda pilih. Anda akan terus berupaya untuk meningkatkan kompetensi Anda. Sehingga tidak banyak waktu tersisa untuk hal-hal lain yang tidak berguna bagi siapa pun.

Di akhir dari semua hal tersebut, kembali kepada Slash, sikap yang dia tunjukkan benar-benar hebat. Sebagai salah satu ‘dewa gitar’ dia benar-benar rendah hati. Benar-benar ilmu padi: semakin berisi semakin merunduk. Mengapa bisa demikian? Pada saat Anda terus mengejar peningkatan kompetensi Anda, maka Anda akan terus menerus bertemu dengan orang yang memiliki kompetensi yang lebih tinggi dari Anda. Seberapa tinggi pun kompetensi Anda saat naik, akan selalu ada yang lebih tinggi. Inilah yang memberi sikap rendah hati. Selamat mengikuti jejak Slash.[]

* Ardian Syam adalah seorang pendidik dan praktisi bisnis. Bukunya sedang dalam proses penerbitan dan akan segera beredar dalam waktu dekat. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

toko-delta.blogspot.com

Archives

Postingan Populer

linkwithin

Related Posts with Thumbnails

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.