Diakui atau tidak, sebagian besar masyarakat kita saat ini masih beranggapan bahwa sekolah (kuliah) atau menuntut ilmu hanya bisa dilakukan di jalur formal semata, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi (PT). Anggapan ini dilatar belakangi adanya pemahaman bersama bahwa pendidikan formal dipercaya mampu mengantarkan anak didik menuju kesuksesan. Baik secara materi (finansial) maupun non-materi (kebahagiaan).
Menuntut ilmu, entah itu namanya sekolah, kuliah, kursus, atau yang lain, tidak mesti dilakukan di lingkungan formal. Karena, jika hal itu dimaknai sebagai proses belajar, maka kita bisa melakukannya di mana pun kita berada dan kapan pun. Prinsipnya, belajar adalah proses yang punya tujuan pasti. Jika tidak, maka proses itu akan berakhir dengan sis-sia.
Melihat kenyataan angka pengangguran yang semakin meningkat dewasa ini, mestinya masyarakat tidak menggantungkan nasib hanya dari modal kuliah semata. Rumusan bahwa kuliah menjamin pekerjaan mapan seharusnya ditinggalkan.
PT yang selama ini dituduh menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pengangguran juga tidak mampu berubah dari kebiasaan lamanya. Yaitu, tetap menganggap mahasiswa sebagai bagian dari faktor produksi semata. Akibatnya, kemajuan sebuah PT baik negeri maupun swasta saat ini sangat ditentukan dari besarnya input mahasiswa diterima dan besarnya sumbangan yang dibayarkan.
Kita lihat saja di Yogyakarta misalnya, sebanyak 84 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan 4 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), hidupnya sangat bergantung pada pemasukan dari mahasiswa. Fenomena PTS yang gulung tikar selama ini lebih disebabkan karena tiadanya mahasiswa yang mendaftar. Menjadi lulusan PTN (meski sekarang mahal biayanya) juga tidak menjamin bisa langsung diterima kerja. Semua terasa sama saja.
Menurut saya, setidaknya ada tiga alasan mendasar yang bisa diungkap berkaitan dengan masalah sulitnya lulusan PT bisa diterima dunia kerja.
Pertama, institusi pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, PT) telah menjadi alat politik kekuasaan, sehingga membonsai kemajuan pendidikan itu sendiri.
Kedua, kurikulum yang diajarkan sejak awal tidak berorientasi pada kebutuhan pasar. Sehingga, ketika lulus, dia kesulitan mau kerja apa dan di mana. Lahirlah generasi mertanggung (pintar tidak, bodoh juga tidak).
Ketiga, kesejahteraan pendidik (guru maupun dosen) masih sulit diharapkan. Akibatnya, mengajar bukan lagi menjadi profesi utama melainkan profesi sampingan.
Berdasarkan realitas di atas, muncul pertanyaan mendasar, apakah pendidikan tinggi itu diperlukan atau tidak? Jawabannya, tentu bukan perlu atau tidak perlu, namun karena sekolah, kuliah, maupun pendidikan formal lainnya tetap diperlukan. Lebih-lebih dalam menghadapi persaingan global. Akan tetapi, masyarakat jangan lagi terjebak pada mitos bahwa kuliah adalah cara paling ideal meraih sukses.
Karena itu, bagi yang tidak bisa kuliah sampai sekarang karena makin tingginya biaya kuliah, maka jangan berpikiran masa depannya akan suram. Karena, banyak jalan menuju kesuksesan hidup, salah satunya adalah dengan berwirausaha (menjadi entrepreneur atau buka bisnis).
Dalam Buku Kaya Tanpa Bekerja (2004) Safak Muhammad memberikan jawaban bagaimana orang melanjutkan kuliah atau tidak kuliah sangat tergantung pada empat hal.
Pertama, tujuan hidup. Jika tujuan hidup anda ingin sukses dan ukurannya adalah pekerjaan 'aman' dan gaji bagus, maka kuliah (mungkin) tepat. Akan tetapi, anda harus bersiap-siap kecewa bahkan frustasi jika dikemudian hari tidak berhasil mendapatkannya.
Berbagai penelitian di Amerika, seperti yang dilakukan Thomas Stanley terhadap lebih dari 730 miliarder ternyata memiliki bisnis sendiri (entrepreneur) dan sisanya profesional yang bekerja sendiri (self employee) seperti dokter dan akuntan publik. Riset ini, membuktikan bahwa kuliah ternyata tidak mampu menjadi satu-satunya jalan untuk meraih kemakmuran hidup.
Kedua, bakat, minat dan potensi diri. Jika anda yakin kuliah merupakan cara tepat mengembangkan bakat, minat, dan potensi diri anda, serta mendekatkan kepada tujuan hidup anda, maka pilihan kuliah cukup realistis. Jika tidak, maka anda harus memilih cara lain seperti berbisnis daripada membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan potensi anda. Jika dipaksakan, meski anda mendapat pekerjaan, maka anda tidak akan mencintai pekerjaan anda. Akibatnya, anda terpaksa bekerja dan karir anda akan sulit berkembang.
Ketiga, biaya. Sekali lagi, ada pemahaman salah di tengah masyarakat yang berkata satu-satunya cara mendapatkan pekerjaan harus dengan kuliah. Puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah mereka keluarkan untuk kuliah agar nanti dapat pekerjaan. Kenyataannya, jika tidak mendapat pekerjaan atau dapat kerja namun dengan gaji pas-pasan maka ia akan kecewa, stres, dan semakin miskin. Bayangkan, jika biaya ratusan juta itu dipakai untuk modal membuka bisnis (menjadi entrepreneur). Maka, peluang kecewa itu bisa diminimalisir. Tidak rugi waktu juga uang.
Keempat, waktu. Untuk menjadi sarjana, sedikitnya dibutuhkan waktu empat sampai lima tahun, sehingga jangan sampai anda sia-siakan waktu panjang itu. Itu artinya, jika anda tidak yakin bahwa kuliah bisa mendekatkan pada tujuan hidup sementara anda tetap saja kuliah, maka Anda akan membuang waktu percuma. Hasilnya, anda akan menjadi manusia setengah-setengah dan tidak mampu bersaing ditingkat nasional maupun global. Karena itu, jangan sampai anda membuat keputusan yang salah dalam masalah penting ini.
Nah, dengan empat pertimbangan di atas, diharapkan seluruh masyarakat khususnya para mahasiswa menyadari betul apa sebenarnya tujuan hidup yang ingin dicapai. Bila Anda sekarang kebetulan telah memilih menjadi entrepreneur karena tidak kuliah, maka jangan takut dikatakan tidak intelek atau tidak berpendidikan. Karena, Anda bisa belajar secara otodidak. Bisa dengan cara membaca buku, mengikuti seminar, diskusi, workshop, training, dan lain sebagainya.
Karena itu, belajar tidak harus di sekolah formal. Sebab, ilmu ada di mana-mana, di "sekolah besar" kehidupan ini. Dengan bahasa lain, mulai sekarang kita perlu mengubah mindset (pola pikir) masyarakat Indonesia pada umumya bahwa sukses (kemakmuran, kekayaan, penghasilan tinggi) tidak selalu identik dengan gelar akademik, tetapi sukses adalah hak semua orang meski tidak pernah mengenyam bangku kuliah sekalipun.
Melihat realitas hidup yang ada sekarang, kebutuhan melahirkan generasi entrepreneur untuk bisa meraih kemakmuran hidup bisa menjadi solusi bangsa ini ke depan. Sejak kecil anak didik kita mesti diajarkan bagaimana hidup mandiri, mengenal dan mengelola uang, serta belajar untuk hidup disiplin. Peran orangtua dalam menumbuhkembangkan jiwa dan mentalitas mandiri bagi lahirnya generasi entrepreneur sangat dibutuhkan. Bagaimana mungkin, bangsa ini bisa mengurangi pengangguran jika tidak ada keberanian untuk melahirkan generasi entrepreneur (wirausaha).
Pesan yang disampaikan Shibusawa Eiichi, seorang wirausahawan dan aktor perubahan sosial di Jepang patut kita renungkan: "Jika engkau seorang yang berkemampuan jadilah pedagang, namun jika engkau setengah-setengah jadilah pegawai. Semoga, bangsa ini bisa bercermin diri akan masalah banyaknya pengangguran dewasa ini. Sehingga, tidak lagi disebut bangsa besar bermental kuli, namun bangsa besar yang berdikari dalam bidang ekonomi.[]
* Abdul Muid Badrun adalah Direktur Eksekutif Center for Education and Entrepreneurship Studies (CEES) dan Pembelajar Bisnis dan Manajemen STIE Widya Wiwaha Yogyakarta. Ia dapat dihubungi di: abdulmuidbadrun@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar