Oleh: Leonarda Katarina Erika Untung
Doraemon dan Nobita. Pernahkah kamu menonton kisah mereka? Kepribadian sepasang sahabat itu sangat menarik. Di satu sisi, Doraemon adalah pribadi yang selalu ceria dan selalu menyemangati Nobita. Dan di sisi lain, Nobita adalah seorang anak yang selalu merasa bahwa dirinya tidak mampu melakukan apapun dan selalu mengandalkan orang lain, terutama Doraemon.
Pada suatu hari, saya sedang bersantai dan melihat tayangan video Doraemon di YouTube. Dan pada edisi yang saya tonton, ada sebuah pelajaran menarik yang dapat saya petik dan saya ingin membagikannya melalui artikel ini.
Edisi yang saya tonton berjudul “Kacamata Suasana”. Dikisahkan bahwa pada suatu siang, Nobita pulang sekolah dalam keadaan panik karena akan ada ujian olahraga pada esok harinya. Karena itu, Giant (teman Nobita yang paling kuat) memaksa teman-temannya untuk melakukan latihan fisik pada sore harinya. Nobita kemudian mengeluh pada Doraemon bahwa dia pasti akan menjadi yang paling lamban, yang paling lemah, serta diejek oleh teman-temannya yang lain karena ia pikir bahwa biasanya memang begitu. Kemudian karena Doraemon kasihan melihat sahabatnya, maka ia pun mengeluarkan sebuah Kacamata Suasana.
Kacamata Suasana mempunyai 5 tombol yang dapat mengatur suasana hati pemakainya, yaitu merah (marah), kuning (ceria), hitam (sedih), biru (terharu), serta putih (netral). Kemudian Nobita memakainya pada latihan fisik di sore. Ketika latihan lompat jauh, Nobita pun menekan tombol kuning sehingga suasana hatinya menjadi ceria dan ia dapat melambung tinggi karena melompat bahagia. Pada saat latihan memukul baseball, Nobita menekan tombol merah, sehingga suasana hatinya dipenuhi oleh emosi yang menggebu-gebu ketika akan memukul dan pukulannya ternyata menghasilkan home run. Demikian seterusnya hingga latihan fisik tersebut berakhir. Dan hasilnya adalah: Nobita ternyata mempunyai potensi luar biasa yang selama ini tidak disadarinya. Bahkan teman-temannya pun terpana melihat kemampuan Nobita (mereka tidak mengetahui bahwa ternyata Nobita menggunakan Kacamata Suasana untuk mengatur mood-nya).
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu selalu merasa bahwa kamu itu tidak PeDe, lemah, bodoh, payah, dkk? Kemudian kamu menyibukkan pikiran dengan mengeluh dan mengeluh. Kamu juga terlalu sibuk mengucapkan “...seandainya ... seandainya ...“ Bahkan ketika ada tantangan, kamu pun sibuk berpikir bahwa biasanya memang begitu (sama seperti image negatif yang selalu dikeluhkan). Kalau begitu, kamu tidak ada bedanya dengan Nobita donk. Namun bedanya adalah tidak ada robot dari masa depan seperti Doraemon yang dapat menolong kamu.
Saya ingin berbagi pengalaman bahwa memang benar apa yang kita pikirkan itu akan memberikan dampak yang berarti pada apa yang akan dihasilkan. Pada waktu kompetisi saya yang pertama melalui sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di BiNus, sebenarnya saya nekat saja pada waktu ditanya apakah mau mencoba ikut kompetisi tersebut atau tidak (story telling di sebuah universitas). Pada awalnya saya menyetujui untuk didaftarkan bukan karena saya PeDe bahwa kemampuan saya dalam bidang bahasa Inggris itu bagus ... tidak, bukan karena itu. Tapi lebih dikarenakan oleh dorongan dari beberapa senior saya yang yakin bahwa saya cukup ‘gila’ untuk mengikuti kompetisi tersebut (karena saya adalah tipe orang yang nekat).
Seminggu sebelum kompetisi (setelah briefing dari pihak panitia), saya langsung D–O–W-N. Karena apa? Structure grammar, creativity, pronounciation, dkk, semuanya itu dinilai! Ya ampun. Pikiran saya mulai dikuasai oleh hal-hal negatif hingga saya sempat menyesali karena telah mendaftar kompetisi tersebut. Sebagai info, bahwa sebelum masuk kuliah, saya sangat membenci yang namanya bahasa Inggris. Sudah menjadi momok banget karena pengalaman saya belajar bahasa Inggris dengan guru-guru yang bukannya membuat saya termotivasi, malah membuat saya membenci pelajaran tersebut karena kejadian-kejadian tertentu.
Namun, ada 2 orang senior saya yang mungkin dapat dikatakan bahwa tingkat ‘nekat dan gila’-nya sama dengan saya. Mereka kemudian memberikan saya latihan ‘private’ yang darurat. Pada hari pertama dan kedua, saya bahkan hanya dapat menggumam karena saya grogi untuk tampil di depan umum, padahal ketika face to face saya bisa ‘lepas’ bicara dan bertingkah apa adanya. Hari ketiga, senior saya memberi saya motivasi yang sangat bagus: “Ketika kamu berada di depan penonton, jadilah tokoh dalam cerita tersebut. Pada saat itu, jangan masukkan pikiran dan perasaanmu ke dalam cerita. Tapi kamulah yang harus dapat masuk ke dalam mood cerita tersebut. Kamu hanya punya 2 pilihan hasil ketika kamu tampil. Yang pertama, kamu maju ke depan dengan ‘lepas dan PeDe’ atau bahkan bertingkah malu-maluin pun tidak apa-apa karena itu akan meninggalkan kesan bagi yang melihatnya ... dan penonton akan bersorak-sorai karena penampilanmu yang luar biasa. Atau yang kedua, kamu sudah panik dan cemas duluan sehingga ketika di depan kamu terlihat seperti orang bodoh, kemudian penonton akan berteriak ‘huuu..’ pada kamu. Itu malah memalukan. Semua ending itu, kamu yang menentukan.. “.
Pada saat itu juga saya tersentak. Kalau saya hanya sibuk berpikir bahwa saya panik, cemas, takut, dkk. Tetap saja masalah di depan saya tidak akan berubah. Namun, sayalah yang harus berubah agar saya tidak malu-maluin di depan penonton. Saya segera mengubah cara berpikir saya. Setiap kali pikiran negatif saya mulai menggoda, saya berusaha untuk meyakinkan bahwa diri saya mampu. Saya mulai latihan mimik serta gerakan lucu dengan bercermin. Bahkan untuk menambah kefasihan saya berbahasa inggris lisan, saya sampai latihan hingga larut malam. Berulangkali saya yakinkan diri saya kalau bahasa Inggris itu menarik. Hingga lama kelamaan tanpa sadar saya sekaligus belajar hal-hal baru juga, terutama grammar, vocabulary, dan pronounciation. Dan hasilnya ... Puji Tuhan, tanpa disangka penampilan saya menarik perhatian para juri dan penonton hingga membuahkan prestasi.
Sejak kejadian itu, ketika menghadapi tantangan akan masalah apa pun di dalam hidup sehari-hari, saya selalu ingat akan pengalaman di atas. Yakinlah bahwa setiap dari kamu dan saya pada dasarnya mempunyai potensi yang belum disadari. Dan untuk menyadari hingga potensi tersebut dapat dikembangkan. Mulailah dari pikiran kita dulu. Masalah? Inget Kacamata Suasana Doraemon… Jangan sampai salah tekan tombol untuk mengatur bagaimana cara kamu melihat masalah itu…
Ingat, bahwa ending segala sesuatu dalam masalah yang kamu hadapi, sebenarnya itu bergantung pada bagaimana kamu melihat masalah. Ketika kamu melihat bahwa masalah itu pasti ada solusinya, maka suasana hatimu akan senang sehingga kamu bersemangat. Segala sesuatu yang dilakukan dengan bersemangat akan menunjukkan penampilan terbaikmu.
--Terinspirasi dari pengalaman pribadi. Terimakasih kepada Joni Liu (BiNusian 2006) dan Angelina Tejaya (BiNusian 2007) yang telah membuat saya belajar sesuatu yang sangat berharga.--
* Leonarda Katarina Erika Untung lahir di Jakarta, 24 Maret 1987 dan saat ini berstatus sebagai mahasiswa Universitas Bina Nusantara Jurusan Teknik Informatika. Tahun 2005-awal 2007 ia pernah aktif dan berprestasi sebagai story teller, scrabble player, dan tutor di Bina Nusantara English Club. Selain kuliah, ia adalah pengajar lepas komputer, desain, web freelancer, dan moderator di Jawaban.Com. Erika dapat dihubungi di: E-mail: erikauntung@yahoo.com atau blog: http://leoerk.multiply.com/
Doraemon dan Nobita. Pernahkah kamu menonton kisah mereka? Kepribadian sepasang sahabat itu sangat menarik. Di satu sisi, Doraemon adalah pribadi yang selalu ceria dan selalu menyemangati Nobita. Dan di sisi lain, Nobita adalah seorang anak yang selalu merasa bahwa dirinya tidak mampu melakukan apapun dan selalu mengandalkan orang lain, terutama Doraemon.
Pada suatu hari, saya sedang bersantai dan melihat tayangan video Doraemon di YouTube. Dan pada edisi yang saya tonton, ada sebuah pelajaran menarik yang dapat saya petik dan saya ingin membagikannya melalui artikel ini.
Edisi yang saya tonton berjudul “Kacamata Suasana”. Dikisahkan bahwa pada suatu siang, Nobita pulang sekolah dalam keadaan panik karena akan ada ujian olahraga pada esok harinya. Karena itu, Giant (teman Nobita yang paling kuat) memaksa teman-temannya untuk melakukan latihan fisik pada sore harinya. Nobita kemudian mengeluh pada Doraemon bahwa dia pasti akan menjadi yang paling lamban, yang paling lemah, serta diejek oleh teman-temannya yang lain karena ia pikir bahwa biasanya memang begitu. Kemudian karena Doraemon kasihan melihat sahabatnya, maka ia pun mengeluarkan sebuah Kacamata Suasana.
Kacamata Suasana mempunyai 5 tombol yang dapat mengatur suasana hati pemakainya, yaitu merah (marah), kuning (ceria), hitam (sedih), biru (terharu), serta putih (netral). Kemudian Nobita memakainya pada latihan fisik di sore. Ketika latihan lompat jauh, Nobita pun menekan tombol kuning sehingga suasana hatinya menjadi ceria dan ia dapat melambung tinggi karena melompat bahagia. Pada saat latihan memukul baseball, Nobita menekan tombol merah, sehingga suasana hatinya dipenuhi oleh emosi yang menggebu-gebu ketika akan memukul dan pukulannya ternyata menghasilkan home run. Demikian seterusnya hingga latihan fisik tersebut berakhir. Dan hasilnya adalah: Nobita ternyata mempunyai potensi luar biasa yang selama ini tidak disadarinya. Bahkan teman-temannya pun terpana melihat kemampuan Nobita (mereka tidak mengetahui bahwa ternyata Nobita menggunakan Kacamata Suasana untuk mengatur mood-nya).
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu selalu merasa bahwa kamu itu tidak PeDe, lemah, bodoh, payah, dkk? Kemudian kamu menyibukkan pikiran dengan mengeluh dan mengeluh. Kamu juga terlalu sibuk mengucapkan “...seandainya ... seandainya ...“ Bahkan ketika ada tantangan, kamu pun sibuk berpikir bahwa biasanya memang begitu (sama seperti image negatif yang selalu dikeluhkan). Kalau begitu, kamu tidak ada bedanya dengan Nobita donk. Namun bedanya adalah tidak ada robot dari masa depan seperti Doraemon yang dapat menolong kamu.
Saya ingin berbagi pengalaman bahwa memang benar apa yang kita pikirkan itu akan memberikan dampak yang berarti pada apa yang akan dihasilkan. Pada waktu kompetisi saya yang pertama melalui sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di BiNus, sebenarnya saya nekat saja pada waktu ditanya apakah mau mencoba ikut kompetisi tersebut atau tidak (story telling di sebuah universitas). Pada awalnya saya menyetujui untuk didaftarkan bukan karena saya PeDe bahwa kemampuan saya dalam bidang bahasa Inggris itu bagus ... tidak, bukan karena itu. Tapi lebih dikarenakan oleh dorongan dari beberapa senior saya yang yakin bahwa saya cukup ‘gila’ untuk mengikuti kompetisi tersebut (karena saya adalah tipe orang yang nekat).
Seminggu sebelum kompetisi (setelah briefing dari pihak panitia), saya langsung D–O–W-N. Karena apa? Structure grammar, creativity, pronounciation, dkk, semuanya itu dinilai! Ya ampun. Pikiran saya mulai dikuasai oleh hal-hal negatif hingga saya sempat menyesali karena telah mendaftar kompetisi tersebut. Sebagai info, bahwa sebelum masuk kuliah, saya sangat membenci yang namanya bahasa Inggris. Sudah menjadi momok banget karena pengalaman saya belajar bahasa Inggris dengan guru-guru yang bukannya membuat saya termotivasi, malah membuat saya membenci pelajaran tersebut karena kejadian-kejadian tertentu.
Namun, ada 2 orang senior saya yang mungkin dapat dikatakan bahwa tingkat ‘nekat dan gila’-nya sama dengan saya. Mereka kemudian memberikan saya latihan ‘private’ yang darurat. Pada hari pertama dan kedua, saya bahkan hanya dapat menggumam karena saya grogi untuk tampil di depan umum, padahal ketika face to face saya bisa ‘lepas’ bicara dan bertingkah apa adanya. Hari ketiga, senior saya memberi saya motivasi yang sangat bagus: “Ketika kamu berada di depan penonton, jadilah tokoh dalam cerita tersebut. Pada saat itu, jangan masukkan pikiran dan perasaanmu ke dalam cerita. Tapi kamulah yang harus dapat masuk ke dalam mood cerita tersebut. Kamu hanya punya 2 pilihan hasil ketika kamu tampil. Yang pertama, kamu maju ke depan dengan ‘lepas dan PeDe’ atau bahkan bertingkah malu-maluin pun tidak apa-apa karena itu akan meninggalkan kesan bagi yang melihatnya ... dan penonton akan bersorak-sorai karena penampilanmu yang luar biasa. Atau yang kedua, kamu sudah panik dan cemas duluan sehingga ketika di depan kamu terlihat seperti orang bodoh, kemudian penonton akan berteriak ‘huuu..’ pada kamu. Itu malah memalukan. Semua ending itu, kamu yang menentukan.. “.
Pada saat itu juga saya tersentak. Kalau saya hanya sibuk berpikir bahwa saya panik, cemas, takut, dkk. Tetap saja masalah di depan saya tidak akan berubah. Namun, sayalah yang harus berubah agar saya tidak malu-maluin di depan penonton. Saya segera mengubah cara berpikir saya. Setiap kali pikiran negatif saya mulai menggoda, saya berusaha untuk meyakinkan bahwa diri saya mampu. Saya mulai latihan mimik serta gerakan lucu dengan bercermin. Bahkan untuk menambah kefasihan saya berbahasa inggris lisan, saya sampai latihan hingga larut malam. Berulangkali saya yakinkan diri saya kalau bahasa Inggris itu menarik. Hingga lama kelamaan tanpa sadar saya sekaligus belajar hal-hal baru juga, terutama grammar, vocabulary, dan pronounciation. Dan hasilnya ... Puji Tuhan, tanpa disangka penampilan saya menarik perhatian para juri dan penonton hingga membuahkan prestasi.
Sejak kejadian itu, ketika menghadapi tantangan akan masalah apa pun di dalam hidup sehari-hari, saya selalu ingat akan pengalaman di atas. Yakinlah bahwa setiap dari kamu dan saya pada dasarnya mempunyai potensi yang belum disadari. Dan untuk menyadari hingga potensi tersebut dapat dikembangkan. Mulailah dari pikiran kita dulu. Masalah? Inget Kacamata Suasana Doraemon… Jangan sampai salah tekan tombol untuk mengatur bagaimana cara kamu melihat masalah itu…
Ingat, bahwa ending segala sesuatu dalam masalah yang kamu hadapi, sebenarnya itu bergantung pada bagaimana kamu melihat masalah. Ketika kamu melihat bahwa masalah itu pasti ada solusinya, maka suasana hatimu akan senang sehingga kamu bersemangat. Segala sesuatu yang dilakukan dengan bersemangat akan menunjukkan penampilan terbaikmu.
--Terinspirasi dari pengalaman pribadi. Terimakasih kepada Joni Liu (BiNusian 2006) dan Angelina Tejaya (BiNusian 2007) yang telah membuat saya belajar sesuatu yang sangat berharga.--
* Leonarda Katarina Erika Untung lahir di Jakarta, 24 Maret 1987 dan saat ini berstatus sebagai mahasiswa Universitas Bina Nusantara Jurusan Teknik Informatika. Tahun 2005-awal 2007 ia pernah aktif dan berprestasi sebagai story teller, scrabble player, dan tutor di Bina Nusantara English Club. Selain kuliah, ia adalah pengajar lepas komputer, desain, web freelancer, dan moderator di Jawaban.Com. Erika dapat dihubungi di: E-mail: erikauntung@yahoo.com atau blog: http://leoerk.multiply.com/