Tanggal 1 September 1939 pukul 04.45 pagi, tembakan salvo kapal latih Jerman bernama Schleswig-Holstein yang ditujukan pada sebuah markas garnisun Polandia di Semenanjung Westerplatte mengawali pecahnya Perang Dunia (PD) II.
Inilah puncak petualangan agresi Adolf Hitler setelah ia merobek Perjanjian Versailles tahun 1935, menganeksasi Austria pada Maret 1938 dan dalam bulan September masih pada tahun yang sama ; tentara Jerman menduduki Sudetenland serta sebagian wilayah Cekoslowakia. Dan Maret 1939, Jerman menyerbu seluruh wilayah Cekoslowakia – sebuah pengingkaran terhadap Perjanjian Muenchen dengan pihak Inggris-Prancis.
Polandia dilibas Jerman dengan kekuatan 44 divisi, sementara Polandia memiliki 40 divisi ditambah 10 brigade pasukan berkuda yang terdiri dari 1,75 juta tentara, 935 pesawat terbang dan 500 tank yang kebanyakan usang. Gerakan ofensif Jerman mengandalkan kecepatan yang dibuka dengan kekuatan udaranya, lalu diikuti dengan penetrasi korps lapis bajanya yang dibidani oleh Jenderal Heinz Guderian.
Ketika rencana ini dicetuskan Hitler ; reaksi Kepala Staff Umum Jenderal Franz Halder hanya setengah hati, dingin dan jauh dari antusias. Masalahnya Halder teringat mantan Kepala Staff Umum Jenderal Ludwig Beck yang digantikannya beberapa bulan sebelumnya, yang justru mengundurkan diri gara-gara protes terhadap agresi Jerman ke Cekoslowakia. Kini tiba giliran dirinya menghadapi situasi yang sama.
Sayangnya selera agresi Hitler lebih terakomodasi oleh lemahnya sikap Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain dan Edouard Daladier Perdana Menteri Prancis dalam Perjanjian Muenchen. Dan kini Halder bersama Marsekal Walter von Brauchitsch, pucuk pimpinan angkatan bersenjata Jerman, mati-matian berusaha mengangkat isu reaksi Uni Soviet karena serbuan ke Polandia tentu akan memancing reaksi keras Josef Stalin. Adalah lebih baik Hitler mengurungkan niatnya ini. Tapi Hitler dengan enteng menepis hal itu dan malah mengkuliahi mereka berdua tanpa henti tentang konsep Kerajaan Ketiga (Third Reich) yang memerlukan lahan wilayah kekuasaan yang lebih luas sebagai ruang hidup, ketimbang tanah Jerman yang telah tersedia, buat menopang masa 1.000 tahun ke depan. Seperti biasa Hitler pun panjang lebar ‘pidato’ dan tanpa ada yang bisa menghentikannya. Hasilnya ? Seperti sudah-sudah, agresi Hitler tetap dilaksanakan.
Yaitu dengan diterapkannya strategi jepitan ganda yang mematikan terhadap Polandia. Sayap kirinya, Grup Tentara Utara dipimpin oleh Marsekal Feodor von Bock dengan 630.000 personil dan sayap kanan Grup Tentara Selatan dipimpin Kolonel-Jenderal Gerd von Rundstedt dengan 886.000 personil ; kedua kekuatan dahsyat yang didukung dengan 2.000 pesawat tempur dan 1.700 tank menyerbu untuk menjepit Polandia. Dalam gerakan ini pusat kekuatan Polandia di Posen sengaja oleh Jerman diabaikan agar terputus logistiknya ; sehingga tidak akan mampu bergerak untuk mempertahankan Warsawa. Sementara Warsawa sendiri dijepit lagi dari arah utara oleh Tentara Ke-4 Pommerania dan Tentara Ke-3 Prusia Timur di bawah pimpinan Jenderal Walther von Reichenau.
Di lain pihak Korps lapis baja Guderian terus menerobos memasuki Polandia. Setelah dua minggu, ia sudah tiba di benteng Bret Litowsk. Dan tiga hari kemudian, 17 September 1939, ia sudah bertemu dengan pasukan tank Jerman yang bergerak dari arah selatan di bawah von Rundstedt di Woldowa, di tepi Sungai Bug. Kini kekuatan Polandia terpotong-potong tanpa daya dan hanya menunggu waktu. Strategi Nazi Jerman ini dikemudian hari diistilahkan sebagai Blitzkrieg, Perang Kilat ; yang juga kembali diterapkan oleh Hitler untuk menyerbu Eropa Barat, Mei 1940.
Ketika perlawanan Polandia kian dijinakan. Halder dan Brauchitsch sepaham untuk membiarkan Warsawa yang telah terisolasi untuk menyerah dengan sendirinya, mereka memastikan hal itu akan segera terjadi oleh sebab minimnya logistik yang artinya kelaparan masif terjadi pada penduduk Warsawa. Tapi Hitler ikut campur tangan dengan memerintahkan agar ibukota Polandia yang tak berdaya ini diluluh-lantakan oleh bom. Kedua petinggi militer ini protes keras. Sebab hal itu sungguh suatu hal yang biadab dan tak ada manfaatnya sama sekali dari segi pandang tradisi militer dan kemanusiaan.
Tapi Hitler punya tujuan lain. Ia tidak ingin Warsawa jatuh utuh ke tangan Soviet. Masalahnya kini Stalin pun ikutan menyerbu Polandia dari arah timur pada tanggal 17 September. Ibaratnya membiarkan Jerman kerja keras, Stalin tinggal menanngguk hasil. Bagi Hitler lebih baik Warsawa dihancurkan hingga tidak memiliki nilai ekonomis buat Soviet. Di kemudian hari Halder mengatakan bahwa ia dan Brauchistch begitu marah sebab telah dibohongi Hitler dan Menteri Luar Negeri Joachim von Ribbentrop, yang notabene orang sipil dan para petualang politik ketimbang diri mereka berdua hasil didikan militer tradisional Jerman yang penuh disiplin. Karena ia dan Brauchitsch baru tahu saat di medan tempur Polandia bahwa antara Jerman dan Soviet ada Pakta Molotov-Ribbentrop, pakta non-agresi, tidak saling menyerang yang ditandatangani pada tanggal 23 Agustus 1939 di Moskwa.
Polandia kendati kemudian kalah dengan menyerahnya garnisun terakhir dengan 17.000 personilnya di kota Kock tanggal 6 Oktober, tetap perlawanan yang amat heroik diberikan Polandia selama hampir satu bulan lebih dan bahkan menimbulkan kekaguman para petinggi Wehrmacht, seperti Guderian dan Halder sendiri. Kegigihan Polandia memang mengesankan soalnya pada tahun berikutnya Prancis, Belgia dan Belanda memperoleh giliran dilibas Jerman hanya mampu bertahan dalam hitungan hari. Berbeda dengan Polandia yang harus menghadapi dua raksasa saat itu, Nazi Jerman dan Uni Soviet.
Sementara yang tidak kita ketahui sebenarnya Hitler sempat panik, ketika Inggris menyatakan perang pada tanggal 3 September dan beberapa jam kemudian diikuti oleh Prancis. Ia tidak menduga bahwa setelah sekian kali kedua negara itu bungkam seribu bahasa terhadap ulah agresi sebelumnya, kali ini buat Polandia urusannya sungguh berbeda. Kedua negara itu serentak menyatakan perang terhadap Nazi Jerman. “ Apa yang harus kita perbuat ? “ tanya Hitler berkali-kali kepada Ribbentrop dengan nada panik.
Saat itu dalam ruang tunggu istana kekanseliran Berlin, Marsekal Hermann Goering menukas kepada seorang jenderal yang menunggu giliran sebab dipanggil Hitler : Kalau kita kalah perang ini, oh Tuhan kami ! Menteri Propaganda Dr Joseph Goebbels yang kebetulan berada di ruangan yang sama hanya terdiam membisu.
Di lain pihak rakyat Jerman sendiri amat tidak antusias menyambut timbulnya perang dunia baru ini, berbeda ketika Perang Dunia I meletus pada tahun 1914, saat itu publik bersorak-sorai melambaikan tangannya ke arah barisan demi barisan tentara yang bergerak maju ke front tempur. Kini keadaan berbeda, rakyat Jerman dicekam rasa takut sekaligus ngeri sebab bayangan PD I masih belum hilang tuntas.
Tampaknya kini semua orang di lingkar dalam Hitler teringat pidato protes Fritz Thyssen, industrialis alat berat Jerman ; yang nekad tampil sendirian di gedung Reichstag. Ia tercatat sebagai satu-satunya anggota Reichstag yang terang-terangan memprotes agresi Hitler. Dengan lantang ia meramalkan penyerbuan ke Polandia akan melahirkan perang dunia baru di Eropa. Untuk itu menurutnya, mesin perang Jerman tidaklah akan cukup untuk memenangkan peperangan yang akan terjadi. Dan Hitler adalah orang yang menyulut peperangan itu.
Prediksi Thyssen terbukti benar – tanggal 8 Mei 1945, hampir selama enam tahun, untuk kedua kalinya sejak PD I, Jerman harus mengaku kalah terhadap Sekutu.
sumber :http://jelajahunik.blogspot.com/2011/04/blitzkrieg-perang-kilat-ala-nazi.html"
0 komentar:
Posting Komentar