Rasulullah Muhammad S.A.W, lebih dari 14 (empat belas) abad yang lalu telah bersabda, ”Tututlah Ilmu Walaupun ke Negeri Cina”. Kemudian Napoleon Bonaparte lebih dari dua abad yang lalu pernah berkata, ”Biarkan Cina tidur dan jangan sampai dia bangun, karena jika ia terbangun dunia akan geger dibuatnya!”
Ternyata Cina, baca RRC, telah bangun sejak awal tahun 1980-an dan hanya dalam waktu dua dasawarsa telah tumbuh bak meteor dan telah mengoncangkan dunia. Betapa tidak, fakta-fakta berikut ini mendemonstrasikan bahwa RRC telah beralih dari negara miskin yang tertutup diawal tahun 1980-an, sekarang telah menjadi negara kaya yang terbuka.
Dua puluh tahun yang lalu cadangan devisanya masih minus, sekarang di tahun 2004 sudah memiliki cadangan devisa sekitar US$ 500 miliar, yakni nomor dua terbesar setelah Jepang yang cadangan devisanya sekitar US$ 900 miliar.
Dulu di tahun 1980-an, jumlah Penanaman Modal Asing (PMA)-nya sama sekali tidak ada, sekarang setiap tahun terealisasikan Penanaman Modal Asing (PMA) di Cina sebanyak US$ 60 miliar, yakni nomor dua setelah Penanaman Modal Asing (PMA)-nya Amerika Serikat yang jumlahnya sebesar US$ 215 miliar pertahun.
Kenapa RRC begitu drastis bisa berubah? Apa yang menjadi kuncinya? Apakah memang orang-orang RRC itu merupakan mahluk/manusia yang berbeda dari manusia lain di dunia? Sebenarnya tidak ada yang aneh.
Pada prinsipnya di dalam ilmu ekonomi, manusia itu dianggap sama sifatnya. Kalau bisa makan perei, ya mari dinikmati. Jika mencuri atau menggerogoti harta/kekayaan negara tidak dihukum, ya mari rame-rame kita gerogoti saja.
Jika rakyat diberikan milik awal (initial endowment) seperti tanah dan penguasaan terhadap bahan-bahan tambang yang ada di bawah tanah itu, setiap rakyat akan berpotensi untuk menjadi kaya. Rakyat juga masih bisa menjadi kaya walaupun milik awal adalah nol, akan tetapi jika memiliki keterampilan yang misalnya diperoleh dari Balai Latihan Kerja (BLK), ia juga bisa tetap menjadi kaya.
Lihatlah contoh Inul Daratista dengan tarian ngebor-nya. Inul menjadi kaya karena keterampilannya menari yang ditekuninya semenjak masa anak-anak. Terakhir, rakyat pun masih bisa menjadi kaya walaupun tidak memiliki tanah dan atau keterampilan, akan tetapi ia memiliki kepandaian (professional).
Tulisan singkat ini mengajak pembaca untuk belajar dari pengalaman RRC atau belajar ke RRC bagaimana mereka beralih secara dratis dari sistem ekonomi yang direncanakan dan dikontrol oleh Pemimpin Pusat (Central Committee - CC) Partai Komunis Cina ke sistem ekonomi yang bersahabat kepada pasar (market friendly).
Tidak Percaya
Saya tidak percaya bahwa orang Cina itu mahkluk spesial atau mahkluk istimewa. Selama fa’al fisiknya sama dengan rakyat Indonesia, berarti selama itu pula kitapun bisa menyaingi Cina (RRC). Uraian tentang ”Belajar ke dan dari Cina”. kita fokuskan dulu kepada sumber daya alam (tanah). Pada kesempatan berikutnya akan kita bahas pula faktor sumber daya manusianya (SDM).
Sejarah dunia memperlihatkan bahwa negara di mana rakyatnya diberikan modal awal berupa tanah, karena itu rakyatnya lalu doyan bekerja keras. Hasil akhirnya pendapatan rakyat meningkat dan pada gilirannya meningkatkan penerimaan Pemerintah Pusat (pajak penghasilan, pajak pertamabahan nilai, dan sebagainya) dan juga Pemerintah Daerah berupa penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan sebagainya.
Amerika Serikat pada awalnya meneriakkan slogan, ”Go west, you may become rich”. Realisasinya rakyat Amerika Serikat banyak yang eksodus ke Amerika bagian Barat, dan mengambil tanah negara secara bebas bea dan langsung bersertifikat.
Menurut Hernando De Soto, berarti telah terjadi pengkayaan nilai tanah (asset recapitalization) yang dimiliki oleh rakyat. Hal yang sama telah dipraktikkan oleh Cina, Taiwan di tahun 1949 di bawah pimpinan Jenderal Chiang Kai Sek.
Juga oleh Korea Selatan di awal tahun 1960-an oleh Presiden Park Chung He. Jepang juga melaksanakan hal yang sama di zamannya Restorasi Meji. Malaysia pun memberikan tanah kepada rakyat di zamannya Tun Abdurazak dengan proyek Pelda (pemberian lahan dan bantuan untuk membangun kebun sawit rakyat).
RRC juga mempraktikkan hal yang sama, yaitu tanah-tanah yang dikuasai negara oleh rezimnya Mao Tse Dung, oleh Deng Xiou Ping dikembalikan lagi kepada petani. Slogan nasional yang semula oleh Chairman Mao, berbunyi ”From each according to his ability to each according to his need”.
Artinya setiap orang bekerja keras dan hanya mendapat jatah untuk kebutuhan hidup sederhana saja. Tidak heran, di RRC di periode 1960-an dan 1970-an, banyak pengangguran dan banyak kelaparan dan miskin. Tidak ada insentif bagi pelaku ekonomi (economic agent) untuk bekerja lebih keras. Karena, kalaupun bekerja lebih keras, dapatnya sama untuk semua rakyat.
Deng Xiou Ping selanjutnya mengubah slogan nasional dan ia hanya mengubah satu huruf saja, yang lalu berbunyi, ”From each according to his abilitv. to each according to his deed.” Artinya, semakin keras ia bekerja semakin tinggi penghasilannya dan ini bisa langsung ia nikmati. Jadi satu huruf saja yang diubah, yaitu dari huruf n pada kata need menjadi huruf d pada kata deed. Hasil akhirnya, semua rakyat senang bekerja keras dan rakyat tidak mau lagi menganggur.
Keadaan menjadi lebih baik lagi karena peraturan perburuhannya lebih mengacu kepada produktivitas dan bukan kepada prinsip-prinsip sosial. Buruh-buruh yang prestasinya di bawah suatu standard produktivitas yang telah ditetapkan, buruh seperti ini dibebastugaskan. Akibatnya, buruh-buruh di Cina bekerja rajin dan keras sekali, sebanyak 15 jam sehari, 7 hari seminggu, dan 30 hari sebulan dan sepanjang tahun.
Dikuasai Negara
Di Indonesia tanah dikuasai oleh negara, dan karena negara itu yang memilikinya adalah rakyat, disimpulkan oleh penguasa bahwa tanah ini adalah milik negara dan negara adalah milik rakyat, otomatis tanah ini sudah menjadi milik rakyat. Akhirnya yang menguasai tanah adalah pejabat-pejabat negara atau pengusaha yang dekat dengan pejabat-pejabat.
Adapun rakyat, mereka tidak memiliki atau mendapat pembagian tanah dari negara. Terjadilah distorsi dalam pemilikan/penguasaan tanah. Beberapa pengusaha mengusai tanah/memiliki hak atas tanah itu seluas 5,5 juta hektar Hak Penguasa Hutan (HPH), atau 1 juta hektar sebagai HGU untuk perkebunan sawit, dan sebagainya.
Akibatnya, rakyat miskin setiap hari bertambah banyak. Sekarang sudah hampir 40 juta orang miskin di Indonesia dimana mereka hidup dengan uang kurang dari US$ 2,- ekivalen Rp. 1.800 perhari.Untuk membuat rakyat Indonesia menjadi kaya, pemerintah haruslah mau memberikan tanah milik negara kepada rakyat yang miskin itu dengan sistem yang sederhana, murah, dan efektif, serta langsung bersertifikat.
Untuk itu, orang-orang asli mendapat duluan, setelah itu baru kepada saudara-saudara pendatang (transmigrasi) dan langsung bersertifikat. Misalnya, orang Papua Barat mendapat 50 ha per kepala keluarga langsung bersertifikat dan orang-orang pendatang memperoleh 10 ha per kepala keluarga. Agar rakyat doyan bekerja keras, sistem pengupahannya haruslah berorientasi kepada prioduktivitas dan bukan kepada prinsip sosial.
Lebih jauh, nanti terhadap HPH yang sudah habis masa konsesinya, tanahnya dikembalikan ke negara dan terus dibagi-bagi kepada rakyat disekitar HPH itu. Demikian pula dengan Hak Guna Usaha (HGU), apabila telah selesai masa berlakunya HGU itu, tanahnya dikembalikan kepada negara dan terus dibagi-bagikan kepada rakyat.
Dengan demikian usul Hernando De Soto untuk merekapitalisasi aset rakyat kita terapkan di Indonesia. Pada gilirannya usaha mikro, kecil, dan menengah akan memperoleh kemudahan terhadap pembiayaan dan perbankan berupa kredit, karena, ia para petani telah memiliki kekayaan yang secara legal dapat di agunkan (diajukan sebagai jaminan).
Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara yang mengkayakan rakyat yaitu dengan memberikan tanah kepada rakyat, maka rakyatnya menjadi kaya dan negarapun menjadi kaya, karena rakyatnya menjadi sangat mampu untuk membayar pajak.
Negara-negara seperti ini akan awet. Sebaliknya, negara-negara yang menganut paham bahwa jika negaranya kaya berarti rakyatnya juga menjadi kaya. Di dalam kenyataannya negara seperti ini pada bubar. Contoh Uni Soviet, Rusia, dan beberapa negara Afrika.
Menarik juga untuk disitir tabel yang terbit di Majalah Time edisi bulan Maret 2005, di situ ditayangkan hubungan antara pendapatan per kepala (rich) dengan tingkat kebahagiaan (happy). Ternyata Jepang yang pendapatan per kepala di atas US$ 20.000/tahun, tingkat kebahagiaannya (happy) jauh di bawah Indonesia yang pendapatan per kepala masih tetap berkutat di kisaran US$ 1.000.
Jadi rakyat yang tinggal dikawasan kumuh dan miskin, ternyata lebih happy dibandingkan dengan orang Jepang yang sudah kaya raya. Di Jepang tidak heran kenapa banyak yang merasa tidak bahagia lalu hara kiri.
*Penulis adalah pengamat ekonomi dan mantan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Artikel ini dimuat dengan meminta izin dari redaksi Sinar Harapan.
0 komentar:
Posting Komentar