Konon keledai pun tidak akan mau terjerumus dua kali ke lubang yang sama. Tapi entah mengapa peribahasa itu sepertinya tak berlaku bagi masyarakat investor di berbagai daerah Indonesia yang dalam lima tahun terakhir entah untuk ke berapa kalinya terjerumus dalam kasus sama.
Investor jadi korban karena tergiur iming-iming mendapatkan untung besar dan cepat sejak dari praktik penggandaan uang, bank gelap, pencarian harta karun raja-raja di Nusantara sampai bisnis bagi keuntungan. Sering kebuntungan itu hanya jadi rentetan kisah sedih yang terpapar di media massa.
Akibatnya sampai kini dana berbilang triliun rupiah milik puluhan ribu investor itu terkatung-katung nasibnya. Korban biasanya tak bisa banyak menuntut karena aset pemberi janji—yang mestinya merupakan kumpulan modal yang disetor banyak orang—telah mengkeret jauh bahkan bagai hilang tak berbekas.
Simak kasus Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), Pohon Mas (Pomas), Pro Best, sampai skandal Bank Global. Yang terbaru tak jelasnya nasib dana senilai jutaan dolar yang menurut agen pemasaran Trust Property, Singapura, diinvestasikan pada pembangunan hotel dan resort di Pulau Hainan serta perkebunan lengkeng di Huazhou, China.
Dalam banyak kasus para pelaku kunci biasanya melarikan diri—dan aset usahanya—yang seketika membuat investor blingsatan dan bahkan memicu rusuh massal. Masih segar dalam ingatan saat sebagian kota Pinrang, Sulawesi Selatan, hangus. Juga ketar-ketirnya warga Medan, Surabaya, Jakarta, serta beberapa kota besar lainnya.
Proses itu diawali pemberian keuntungan—setelah korban menyetor modal—yang semula lancar tapi lambat laun kian seret dan mandek. Saat modal akan ditarik, biasanya sudah macet total. Entah itu karena usahanya [yang benar-benar ada] tak bisa memberi tingkat keuntungan sesuai janji maupun proses ‘gali lubang tutup lubang’ sudah mentok.
Jelasnya administrasi usaha mulai kacau dan yang terpenting, setoran modal yang didapat dari nasabah baru yang bergabung dalam bisnis, nilainya sudah tidak mencukupi untuk membayar bonus maupun bagi hasil kepada nasabah yang bergabung sebelumnya. Sistem mulai runtuh karena ‘makin besar pasak, kian mengkerut tiang pendukungnya’.
Misterius malah efektif
Karena itu beruntunglah investor bila masalah ‘tipu-tipu’ ini sudah bisa diendus sejak awal sehingga bisa diselesaikan secara damai maupun ditangani polisi dan diajukan ke pengadilan. Yang sering terjadi investor hanya bisa sekadar menyesali nasib dan tak tahu harus mengadu ke mana.
Modus penawaran bisnis dengan menyetor modal dengan janji pembagian keuntungan atau menyimpan uang dengan rate bunga per bulan yang jauh di atas bunga deposito itu tampaknya akan tetap marak di masa mendatang. Sepertinya tetap ada saja orang ‘pintar’ yang pandai membujuk dan berani menempuh risiko melanggar hukum demi keuntungan besar yang akan diraih.
Mereka sepertinya sudah sangat tahu profil psikologi investor lokal yang belum rasional. Artinya ikut berbisnis atau menyetor modal dengan [hanya] berpedoman pada naluri, ikut-ikutan, tak terbiasa meganalisis detil situasi dan kondisi sektor usahanya, bahkan percaya pada aspek mistik dari investasi yang ditawarkan.
Proposal sistem investasi—yang dalam sejumlah kasus—sengaja dikesankan misterius ini terbukti malah efektif guna menarik perhatian dan menyihir khalayak. Dalam proses yang hanya memperkaya segelintir orang itu,salah satu perusahaan diberitakan bisa merekrut 80 anggota biasa dan 20 anggota kelas eksekutif dalam hitungan bulan.
Setiap anggota memiliki ratusan anggota lain di bawah kendalinya karena organisasinya berkedok maupun mengklaim menerapkan sistem yang lazim terjadi di bisnis MLM (Multi Level Marketing). ‘Bonus’ senilai puluhan sampai ratusan ribu rupiah akan didapat anggota bila bisa memasukkan satu nasabah yang membeli paket yang per buahnya bernilai jutaan rupiah.
Bonus ini membuat setiap anggota berupaya mendapatkan nasabah sebanyak mungkin. Sedangkan nasabah diiming-imingi duitnya akan berbiak jauh lebih cepat daripada perolehan bunga deposito yang hampir stagnan. Jadi satu lagi aspek penting yang tampaknya terlalu penting untuk tidak dimanipulasi, yaitu sifat dasar manusia yang [cenderung] serakah.
Sekte merusak
Praktik penggandaan uang yang berkedok maupun menggunakan metode atau sistem MLM menurut Steve Hassan, psikolog dan penulis Combatting cult mind control, ternyata tak ada bedanya dengan praktek sekte (cults) yang merusak.
Pengertian cults, lanjutnya, adalah sekelompok manusia yang mengorganisasi diri di sekitar figur otoritas yang kuat. Seperti banyak kelompok lain, ungkapnya, sekte juga berupaya memperluas pengaruhnya demi tujuan mendapatkan uang ataupun kekuasaan.
"Organisasi piramid maupun multi-level marketing adalah satu dari empat tipe dasar sekte yang bersifat destruktif. Motivasinya adalah komersial," katanya seraya mengatakan tiga tipe lainnya adalah sekte keagamaan, psikologis, dan politis.
Hassan mengatakan sekte tidak secara otomatis sesuatu yang jelek. Menurutnya sekte baru berkonotasi merusak saat pimpinan kelompok menerapkan cara manipulatif dan destruktif untuk mengendalikan atau menggunakan anggota kelompoknya guna mencapai agendanya sendiri.
"Sekte destruktif biasanya menggunakan gabungan teknik bujukan (influence) dan penipuan untuk mendapatkan kontrol psikologis terhadap anggota atau orang yang baru saja direkrut."
Perbedaan mendasar dengan kelompok agama yang sudah mantap ataupun gerakan sosial lain, kata dia, adalah tujuannya. Sekte, tambahnya, melayani kepentingannya sendiri karena kegiatannya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pemimpinnya.
Menurut psikolog yang pakar sekte Margaret T. Singer, kelompok semacam ini tumbuh subur selama periode ketidakpastian sosial dan politis. Selain itu juga saat hancurnya struktur dan aturan masyarakat yang semula diagung-agungkan.
Menyangkut krisis moral
Kondisi ini sedikit banyak sejalan dengan ungkapan A.S. Munandar, guru besar psikologi UI, bahwa meskipun Indonesia tampak sudah mulai bisa mengatasi krisis ekonomi dan politik, sampai sekarang belum tampak adanya kemajuan dalam mengatasi krisis moral.
"Padahal krisis moral lebih merugikan karena membuat kinerja seseorang kurang atau tidak bermutu akibat rendahnya pengetahuan, keterampilan, motivasi dan etik kerjanya," ungkapnya dalam seminar Membentuk angkatan kerja bermoral dan bermutu serta kaitannya dengan etika bisnis di Indonesia.
Krisis moral dalam kaitannya dengan kerja inilah yang terutama membuat produktivitas angkatan kerja Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Moral tenaga kerja kita sangat rendah dan ini mudah kita saksikan sehari-hari.
Khususnya kesenangan untuk untuk memperoleh uang dengan dengan menyalahgunakan kekuasaan melalui jabatan yang dipegangnya. Prinsipnya senang untuk mendapatkan uang secara mudah tanpa usaha keras.
Untuk mengatasi hal ini, Munandar menyarankan perlunya dilakukan tindakan terpadu dan menyeluruh dari semua kalangan agar masyarakat, khususnya mereka yang tergolong usia kerja, menjadi lebih bermutu dan bermoral.
"Salah satunya adalah bagaimana mengubah cara dan sistem pendidikan untuk merangsang siswa bisa berpikir mandiri dan kreatif. Dengan ini siswa siap untuk menghadapi berbagai masalah di masa depan.”
Ilmu, menurut dia, bukan sekadar untuk diterima dan ditiru tapi bagaimana bisa dikuasai dan selanjutnya dikembangkan. Pendidikan hendaknya diarahkan agar lulusan siap menjadi pencipta kerja atau pekerja andal.
Kiat penanggulangan Untuk mengatasi godaan agar tidak terjerumus praktek sekte merusak yang terbukti akan terus mengancam mengandaskan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan banyak orang itu, Hassan mengungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan.
"Bila Anda berminat pada suatu organisasi, cari tahu latar belakang pimpinannya. Seperti: apakah dia memiliki catatan kriminal serta apakah dia pernah berprofesi salesman, penjual obat, penulis cerita fiksi ilmiah, ataupun pengusaha yang cenderung melanggar hukum."
Dia mengungkapkan tidak ada hal yang salah secara mendasar pada semua profesi itu. Tapi, tambah dia, tampaknya ada persamaan umum bahwa semuanya adalah profesi yang sering menggunakan bujukan.
"Semua profesi itu memberi bekal istimewa untuk berkarir sebagai pemimpin spiritual," ujar Hassan seraya mengatakan banyak pemimpin sekte belajar trik-trik memanipulasi orang pada profesi atau karir yang dijalani sebelumnya.
Sedangkan menyangkut struktur kekuasaan dalam organisasi, katanya, sekte punya satu pemimpin otoriter yang menuntut pengabdian total anggota. Dalam sekte komersial yang merusak, strukturnya berbentuk piramid yang mana orang yang di puncak menjadi penangguk untung terbesar.
"Pertanyaan terpenting yang harus ditanyakan pada diri sendiri adalah apakah Anda merasa direkrut untuk menjadi anggota. Agar tidak terjebak, langkah perekrutan ini perlu diwaspadai karena seringkali dilakukan meski tidak selalu terjadi."
* Rab A. Broto adalah penulis dan editor alumni Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Yogyakarta (LP3Y) dengan pengalaman 10 tahun. Sebelumnya, ia bekerja sebagai wartawan dan redaktur di Harian Ekonomi Bisnis Indonesia. Hingga kini ia telah menulis 2.000 straight news (berita pendek ekonomi, politik dan budaya), 400 features (ekonomi, psikologi, iptek dan kesehatan), 5 makalah seminar dan buku Parent Guide (bagian dari paket pendidikan anak My First One Year Activity Book produksi Pustaka Lebah). Kini Rab A. Broto adalah ketua dewan redaksi pada majalah bulanan Indonesian Tax Review Digest dan Buletin Bee Parent yang diterbitkan Lembaga Manajemen Formasi. Ia dapat dihubungi melalui e-mail: nauram@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar