Sampai tahun lalu Indonesia mulai menjadi negara yang tidak menarik untuk didiami. Bayangkan saja sejak tahun 1970-an akhir selalu saja berita di koran tentang korupsi, kemudian berlanjut dengan berita bahwa tindakan korupsi tersebut tidak terbukti. Bayangkan, 20 tahun lebih urut-urutan berita yang terjadi selalu begitu. Cerita yang sama dengan tertuduh yang berbeda. Pernah anda bayangkan, anda sedang menonton film, berulang-ulang dengan aktor dan aktris yang berbeda tetapi dengan cerita yang tetap sama. Bahkan urut-urutan adegan yang terjadi dalam film tersebut sama. Setiap menonton suatu adegan, anda sudah bisa menebak adegan apa yang kemudian akan muncul. Mungkin hanya satu hal lain yang berubah, Benar-benar membosankan!
Lebih membosankan lagi adalah bahwa kasus korupsi tersebut terjadi seperti sebuah antrian tiket. Lihat saja bahwa Akbar Tanjung ketika masih menjadi mahasiswa menjadi salah satu pendemo tindak korupsi yang dilakukan pemerintah saat itu, kemudian ternyata yang bersangkutan naik ke posisi pemerintahan dan diakhiri dengan berita bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana korupsi dan ternyata tidak cukup bukti untuk menghukum. Lalu ingatkah anda pada tahun 1998 Anas Orbaningrum merupakan pimpinan demo terhadap kekisruhan pemerintah yang saat itu diduga korupsi. Cerita kemudian seperti berulang, Anas menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum. Belakangan ini muncul berita, terutama dari pernyataan bendahara KPU bahwa seluruh anggota KPU memperoleh dana dengan kegunaan yang tidak jelas, sekali lagi dugaan korupsi muncul.
Seorang teman berkata, dulu Akbar mendemo kemudian Akbar korupsi. Dulu Anas mendemo, kemudian Anas diduga ikut korupsi. Sekarang kita tinggal lihat siapa saja yang jadi pimpinan demo. Ketika Anas nanti tidak dihukum karena tidak cukup bukti maka tinggal diingat-ingat wajah para pimpinan demo, kalau mereka-mereka itu nanti masuk ke jajaran pemerintahan, maka jangan kaget bila mereka kemudian akan menjadi koruptor. Teman lain juga mengingatkan bahwa hal tersebut sudah terjadi pada Mulyana Wira Kusumah yang sekarang ditahan dan Husnul Mar’iyah yang tidak bisa dihubungi oleh wartawan. Mereka berdua dulu juga pernah memprotes dengan keras urusan korupsi di pemerintahan.
Berita terbaru terdapat 21 BUMN yang terdapat korupsi di dalam perusahaan tersebut. PLN salah satu perusahaan yang membukukan kerugian perusahaan malah memberikan bonus kepada direksi mereka dan kemudian diduga terjadi korupsi di perusahaan tersebut sebesar 4,3 miliar rupiah. Total di seluruh perusahaan BUMN tersebut diperkirakan sekitar 50 triliun rupiah. KPU yang merupakan orang-orang independen dan berasal dari banyak Lembaga Swadaya Masyarakat juga tanpa tanggung-tanggung melakukan pembagian dana taktis kepada seluruh anggota dan diduga merupakan korupsi dengan total senilai 11 milyar rupiah. Bank BUMN juga ikut melakukan korupsi (dengan 150.000 berkas di Kejaksaan) senilai 16 triliun rupiah. Tidak tanggung-tanggung, Kantor Kementrian BUMN Mei 2005 mengumumkan bahwa sekitar 16 perusahaan BUMN yang diindikasikan korupsi. Masyarakat Profesional Madani menambahkan 4 perusahaan BUMN lagi sehingga total terdapat 20 BUMN yang secara total dinilai kerugian sebesar 50 triliun rupiah tersebut.
Kemudian muncul pula berita menggelikan dari Departemen Keuangan, terutama yang disampaikan oleh Kantor Lelang Negara, bahwa utang sampai dengan 2 triliun rupiah akan dipilah pilah dan utang dengan nilai sampai dengan 10 milyar rupiah akan dihapus. Hal yang bertentangan dengan yang dilakukan Bank Indonesia yang menginginkan para pengutang yang macet tersebut dituntut secara hukum.
Bukan hanya Departemen Keuangan, korupsi terjadi juga di departemen dan kementrian lain termasuk Departemen Agama. Sebuah prestasi yang sangat memalukan! Presiden Yudhoyono bahkan menyatakan keheranan, bagaimana negara dengan penduduk yang taat beragama bisa menyimpan begitu banyak kasus korupsi. Saat-saat kedatangan Presiden Yudhoyono ke Amerika Serikat, bahkan disambut dengan pertanyaan banyak masyarakat Amerika Serikat akan isu-isu penting yang terjadi di Indonesia, terutama tentang pemberantasan korupsi.
Ada sebuah joke beberapa negarawan diajak keliling neraka tempat sebuah ruangan yang memonitor tindakan korupsi setiap negara di dunia. Terdapat banyak jam di ruangan itu dan seorang penjaga sedang duduk. Penerima tamu menjelaskan negara dengan jam yang berjalan lambat berarti sedikit korupsi terjadi di negara tersebut. Semua negarawan melihat bahwa jam dengan label RRC berjalan agak cepat, begitu pula dengan India dan beberapa negara Asia dan Afrika. “Itu berarti di negara-negara tersebut korupsi terjadi cukup banyak”, kata petugas pengantar. Jam dengan label Amerika Serikat, Swedia dan Swis berjalan sangat lambat. “Itu berarti korupsi di negara-negara tersebut tidak banyak terjadi”. Semua negarawan lalu mencari-cari sesuatu, hingga salah seorang bertanya “mana jam yang berlabel Indonesia”. Tiba-tiba si penjaga ruangan yang tadi duduk terkantuk-kantuk menjawab “ruangan ini kan panas karena dekat neraka. Nah ini jam Indonesia saya bawa ke dekat saya, lumayan kan bisa jadi kipas angin”.
Prof. JE Sahetapy pernah mengatakan bahwa untuk menangkap tindakan korupsi yang dilakukan Suharto harus dimulai dengan menangkap tindak korupsi yang kecil-kecil di bawah. Saya menyimpulkan bahwa beliau menyatakan bahwa benar memang akan lebih populer bila kita mengejar pelaku yang korupsi di level tinggi dan nilai korupsi yang besar, tetapi juga perlu dikejar para pelaku korupsi di tingkat bawah dengan nilai korupsi yang kecil-kecil. Sehingga selain dapat mengungkap lebih jelas (mencukupkan bukti) bagi pelaku tindakan di atas dengan nilai besar, juga untuk menjaga agar yang kecil tidak menjadi besar.
Analogi yang sama dengan pemadaman kebakaran hutan. Di pusat kebakaran akan terdapat api yang sangat besar, dan di pinggir akan terdapat api yang kecil-kecil. Dengan demikian kebakaran tidak meluas terdeteksi dengan baik dan dapat padam dengan sendiri. Dengan kata lain, untuk masalah korupsi, mulailah dengan menangkap yang kecil-kecil, maka yang kecil-kecil akan mulai bicara tentang yang besar-besar, bahkan mungkin mereka akan mengajukan data-data, dokumen-dokumen dan banyak bukti yang dapat menunjukkan tindak korupsi yang dilakukan oleh yang besar-besar. Bukti yang selama ini selalu tersimpan rapat dan menyebabkan upaya pemberantasan korupsi bagi koruptor besar berakhir dengan kata “tidak cukup bukti”.
Lihat saja kasus yang ada sekarang. Sejak Mulyana Wira Kusuma mulai ditahan karena dugaan korupsi atas pengadaan alat-alat pemungutan suara, kemudian bahwa Chusnul Mar’iah juga mulai dikejar-kejar wartawan, maka bendahara KPU mulai gerah dan membuka cerita baru bahwa terdapat sejumlah uang yang dibagikan dari dana taktis KPU kepada seluruh anggota KPU. Cerita yang kemungkinan besar dilengkapi banyak dokumen yang dapat dijadikan bukti tersebut kemudian menggiring Nazarudin Amin untuk menemani Mulyana.
Ini cerita baru, ini baru cerita. Ini baru trendy. Kita sudah begitu bosan mendengar banyak orang diduga korupsi, kemudian dilakukan proses hukum yang diakhir penghentian pengusutan karena ketidakcukupan bukti.
Perlu diperhitungkan kembali tentang Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terutama tentang tiga hal bila undang-undang tersebut dapat dianggap sejajar dengan Whistleblower Act di Amerika Serikat. Pertama, perlindungan bagi para whistleblower yang belum terlalu jelas. Terutama perlu dukungan dari media tentang perlindungan pada whistleblower untuk kasus KPU terutama dari BPK dan KPU.
Kedua, nilai uang yang harus dikembalikan oleh para koruptor kepada negara. Di Amerika Serikat, seorang koruptor yang terbukti melakukan korupsi harus mengembalikan uang yang diambil termasuk bunga, yang dihitung dari suku bunga rata-rata bank komersial di Amerika Serikat, dihitung sejak uang tersebut dikorupsi hingga saat pengembalian. Perhitungan bunga tersebut tentu saja masih cukup kecil dengan multiplying effect yang dapat dihasilkan uang tersebut bila digunakan pemerintah untuk membangun perekonomian negara. Namun paling tidak nilai itu dianggap dapat menutupi sebagian besar multiplying effect tersebut.
Ketiga, nilai uang yang akan diberikan kepada para whistleblower. Di Indonesia hanya diberikan sebesar 2 permil dari nilai yang dikorupsi, sehingga bila diperhitungkan korupsi yang didugakan kepada Mulyana sebesar 150 milyar rupiah, maka Khairiansyah, sang auditor BPK, sebagai whisleblower akan mendapat sekitar 300 juta rupiah. Sebuah nilai yang agak tidak sesuai dengan resiko yang akan ditanggung sebagai whistleblower. Akan lebih terbayar resiko tersebut bila paling tidak sang whistleblower dibayar senilai 1% dari nilai yang dikorupsi, sehingga bila terbukti korupsi yang dilakukan Mulyana senilai 150 milyar rupiah maka Khairiansyah akan mendapat 1,5 milyar rupiah. Selain dapat membayar resiko yang akan ditanggung, nilai tersebut juga akan menggugah banyak orang untuk menjadi whistleblower, terutama orang-orang yang memiliki dokumen yang dapat dijadikan bukti.
Bagaimanapun kita acungkan jempol pada KPK, saya memang belum pernah meragukan niat baik Eri Riana Harjapamekas untuk memperbaiki negara ini. KPK benar-benar telah bekerja keras untuk membongkar satu per satu tindak pidana korupsi di negara tercinta ini. Salut juga pada jajaran Kejaksaan yang dipimpin orang yang selama ini saya hormati, Bang Arman (Abdurrahman Saleh). Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) juga perlu dapat acungan jempol tersendiri dengan keseriusan beliau membentuk Timtas Korupsi. Para pihak yang membantu Timtas juga perlu diacungi jempol, tentu saja dengan sedikit saran, kinerja anda akan membuktikan apakah anda melakukan sesuatu yang trendy atau hanya ‘lagu lama’. Terakhir, di atas semua itu tentu saja pada Presiden Yudhoyono yang berhasil menunjukkan keseriusan beliau dalam menciptakan trend baru, tidak kenal takut dengan korupsi. Sikat terus yang skala kecil dan menengah karena mereka nanti yang akan mengantar kita ke koruptor dengan skala besar.
Saya, seperti juga anda ingin merasakan trend baru tersebut karena kita memang sudah sama-sama bosan dengan cerita lama. Kita sama-sama ingin mendengar keluhan dari penjaga ruangan di dekat neraka itu, “payah sekarang tidak bisa lagi memakai jam Indonesia untuk menjadi kipas angin”
*Ardian Syam – Medan – Mei 2005
0 komentar:
Posting Komentar