Ajaib! Saya bisa menyelesaikan bacaan dalam waktu kurang dari tiga jam, yaitu sebuah buku yang berjudul Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang karya Andrias Harefa yang bertebal 105 termasuk daftar isi dan biografinya. Saya semangat membacanya karena dua hal: pertama, buku itu aku pinjam dari perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, jadi waktu dan pinjaman tersebut membuatku terpacu ingin cepat meyelesaikannya. Kedua, buku tersebut tentang menulis. Pasti saya akan semangat membacanya, karena itu akan membantu saya dalam menempuh impian. Impianku adalah ingin menjadi seorag penulis profesional. Saya berharap bisa mendapatkan uang dari menulis dan dijadikan sebagai karir. Selain itu karena penulisnya sangat terkenal di belantika tulis-menulis dan juga beliau seorang pakar motivasi. Semua itu menggerakanku untuk membaca dan ingin terus membacanya sampai-sampai aku tak bisa tidur karena tak tenang, karena belum selesai membacanya dan rasa penasarannya. Aku telah mengalami flow.
Ada beberapa hal yang kudapatkan dari bacaanku tadi. Jika saya membandingkan dengan buku-buku lain tentang motivasi menulis, buku ini terasa beda. Buku ini terasa membangkitkan semangat, terutama tentang “Menopang Hidup” bab ke 12. Tidak munafik, saya yakin semua orang—mayoritas—menerjunkan diri dalam dunia kepenulisan bukan hanya sekadar hobi tapi ada juga sisi lainnya yaitu ingin mendapatkan uang. Saya kira ini alasan yang logis selain tulisan kita dimuat di media massa. Dalam bab tersebut telah menjawab pertanyaanku yang selama ini saya cari, “Apakah menulis bisa diandalkan untuk menopang hidup, sebagai tempat mendapatkan rizki?”, Andrias menjawab, bahwa orang yang sudah profesional, menulis bisa dijadikan andalan untuk menopang hidup, bahkan gajinya lebih besar dengan manajer perusahaan atau seorang profesor, asalkan ia bisa menghasilkan, contohnya, 3 tulisan dalam satu minggu. 1 tulisan biasanya mendapatkan honor antara Rp.200.000 hingga Rp.600.000. Jika seandainya 1 minggu 3 tulisan, satu tulisan, misalnya, dihargai Rp.300.000, kemudian dikali 1 bulan, rinciannya (4 minggu X 12 X 300.000), berapa hayo?
Wah sangat menggiurkan bukan? Sungguh kalkulasi itu menggiurkan saya sebagai penulis pemula yang baru belajar (dari dulu-dulu). Ini membuatku semangat dan tak putus asa untuk tetap belajar menulis. Dia juga menceritakan kalau kita menulis itu harus disiplin, komitmen, atau janji pada diri sendiri. Belum lagi misalkan kalau kita menulis buku. Dari menulis buku kita akan mendapatkan royalti minimal (biasanya) 10% per eksemplar. Walau dia sendiri tidak menjamin kalau profesi menulis itu bisa menjamin kelangsungan hidup seorang pengarang, tetapi arah ke sana telah ada dan bahkan sangat memungkinkan karena jaman sekarang adalah zaman knowledge economy. Pengen bukti yang telah ada? Selain dirinya sendiri ada juga yang lainnya misalnya Iwan Gayo yang terkenal dengan Buku Pintar-nya, Ayu Utami dengan novel Saman-nya yang mendapat penghargaan, Dewi Lestari dengan Super Nova-nya, dan atau Helvi Tiana Rosa.
Saya kira itu merupakan bukti kalau jadi penulis pun bisa dijadikan andalan hidup kita, artinya, kita mencari rizqi bisa lewat menulis. Namun untuk menjadi penulis sebagai profesi tidaklah gampang, butuh pengorbanan yang banyak. Masalahnya adalah tulisan yang kita buat adalah untuk konsumsi orang lain, maka belum tentu bisa dimuat ketika mengirimkannya ke media massa atau penerbit. Ada beberapa hal yang saya salutkan dari Andrias mengenai latihan atau pun komitmennya yang tinggi untuk jadi penulis profesional. Dan kita patut mencontohnya. Di bawah ini adalah ungkapan-ungkapannya yang begitu menggugah saya:
“Apa yang disebut komitmen dapat dipahami sebagai “janji pada diri sendiri”. Dan mengarang akan gampang kalau kita mau berjanji pada diri sendiri, bahwa “saya akan menulis dan terus menulis sampai menjadi penulis profesional”.
“Saya berjanji pada diri sendiri untuk meluangkan waktu mengarang sedikitnya 1 halaman per hari, 7 halaman per minggu, selama 12 bulan. Kalau dalam satu hari saya sempat menyelesaikan satu artikel yang panjangnya 7 halaman, maka saya mengijinkan diri saya untuk “berlibur” 6 hari berikutnya. Kalau saya berhasil menyelesaikan beberapa artikel yang total berjumlah 30 halaman dalam seminggu, maka saya boleh cuti selama 3 minggu berikutnya. Itu saja janji atau komitmen saya."
Alangkah dahsyat kata-katanya itu, sampai-sampai saya begitu merinding membacanya. Ungkapan-ungkapannya itu telah merasuk dan mengalir dengan darah saya. Sekali lagi bahwa menjadi penulis pun kita bisa hidup. Sudah banyak orang-orang yang telah membuktikannya. Sekarang tinggal bagaimana kita berlatih, berlatih, sekali lagi berlatih menulis yang baik. Untuk menjadi penulis yang baik, Onno W. Purbo telah memberikan modalnya, yaitu (1) banyak membaca dan mendalami hal-hal yang kita sukai dan (2) fokus dan berdedikasi pada hal yang kita sukai.
Menurut novelis Amerika, William Faulkner, Menulis adalah 90 % kerja keras, 10 % bakat. Itu pendapat novelis terkenal lho? Lantas bagaimana menurut kita yang baru saja mau belajar menulis? Mungkin bagi saya menulis adalah 100% kerja keras dan 0% bakat. Bagaimana tidak? Saya semenjak SD belajar menulis hingga duduk di bangku kuliah masih saja selalu kesulitan menulis. Beberapa kali saya mengirimkan cerpen atau pun tulisan yang lain selalu saja ditolak. Tapi, aku selalu menghibur diri sendiri, mungkin bukan saat ini aku jadi penulis, mungkin suatu hari nanti, ya suatu hari nanti. Kata-kata itu selalu saya ucap dalam hati kala tulisan saya ditolak oleh media massa. Dan yang penting bagiku adalah selalu belajar, belajar dan belajar menulis hingga semua yang aku cita-citakan tercapai.
Kini peluang menjadi penulis sangat lebar sekali di tanah air kita. Berbagai media massa baik cetak maupun elektrik telah melimpah-ruah. Dan tinggal pilih saja media- media massa yang bisa memuat cerpen-cerpen kita. Kesempatan begitu luas untuk mengarah pada profesi penulis. Karena hampir semua—mayoritas—berbagai media massa memuat karya fiksi terutama cerpen. Sebut saja misalnya, Kompas, Republika, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, dan masih banyak lagi. Kemudian majalah-majalah seperti An Nida, Ummi, Sabili, Aneka Yess, Hai, Femina, Kartini, dan yang lainnya. Belum lagi tabloid-tabloidnya, belum lagi media-media elektrik di dunia cyber. Semuanya sedang menanti tulisan-tulisan kita. Yang pentiing bagi kita adalah siapkah kita menjadi seorang penulis profesional? Dalam arti siapkah kita melejitkan diri dalam menulis dengan cara terus belajar, menambah wawasannya, dan berdisiplin? Karena, sebagaimana perkataan Helvy Tiana Rosa bahwa belajar menulis adalah belajar seumur hidup, sampai kapanpun. Selamat berkarya dan ditolak!
*M. IQBAL DAWAMI Lahir di Pandeglang, 02 Mei 1982 telah menyelesaikan program pendidikan S-1 jurusan Bahasa dan Sastra Arab di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta . Pernah aktif di HMI cabang Yogyakarta komisariat fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan sebagai redaktur pelaksana bulletin Progress HMI. Selain itu juga pernah mengurus media kampus yaitu jurnal Wahatul Adab sebagai sekretaris redaksi. Sekarang mengurus lembaga penerjemahan Tape Translation, dan koordinator komunitas GARIS.
0 komentar:
Posting Komentar