Menyaksikan penampilan tim nasional di Piala AFF 2010, siapapun setuju, sepakbola Indonesia mengalami kebangkitan kembali. Optimisme terbentuknya satu kesebelasan nasional yang tangguh dan disegani negara-nagara Asia-Pasifik seperti di era akhir 1970-an, menyala lagi.
Perseteruan Nurdin Halid vs Arifin Panigoro, Sepakbola Indonesia Menuju Ambang Kehancuran??
Namun
eforia dan optimisme bercampur kebanggaan itu ternyata tidak
berlangsung lama. Kurang dari sepekan setelah pesta sepakbola di
stadion Bung Karno Senayan berakhir, pecinta sepakbola kembali
disuguhkan konflik baru yaitu persaingan menjurus pada keinginan saling
mematikan antara dua kubu.
Keduanya
adalah kubu yang dipimpin Nurdin Halid dan kubu Arifin Panigoro.
Nurdin mewakili Liga Super Indonesia (LSI) sekaligus PSSI dan Arifin
selaku representasi Liga Primer Indonesia (LPI), sebuah wadah baru
pesepakbola profesional Indonesia.
Pihak
yang baru saja mengikuti perkembangan sepakbola nasional tentunya
bertanya-tanya, ada apa gerangan? Secara singkat digambarkan, persoalan
Nurdin dan Arifin bersumber pada tekadnya meningkatkan prestasi
sepakbola Indonesia.
Nurdin
yang sudah memimpin PSSI selama lebih dari lima tahun dan punya hak
menggelar kejuaraan lewat LSI, di mata Arifin telah gagal. Arifin ingin
masuk ke PSSI dengan niat positif, tapi pintu ditutup Nurdin.
Arifin
yang dikenal sebagai konglomerat minyak dan batubara di Indonesia,
tidak diam. Ia lantas membentuk LPI. Hanya dalam waktu kurang dari
setahun Arifin berhasil menarik sejumlah klub lama dan baru bergabung
ke LPI. Rencananya pekan kedua Januari 2011, LPI akan memulai kompetisi
perdananya diikuti 19 klub.
Terbentuknya
LPI dan bakal berputarnya roda kompetisi baru di luar kendali PSSI,
membuat Nurdin selaku Ketua Umum PSSI tidak nyaman atau mungkin
tersinggung bahkan marah.
Nurdin
yang dikenal politisi Golkar ini merasa disaingi secara ilegal oleh
Arifin yang pernah menjadi anggota DPR dari PDI-Perjuangan. Sedangkan
Arifin tidak peduli dengan sikap Nurdin.
Menurut
kabar perbedaan yang paling mendasar antara LSI (Nurdin) dan LPI
(Arifin), bukan dalam soal ideologi politik melainkan terletak pada
konsep profesionalisme sepakbola.
Untuk
sementara ini konsep LPI lebih menjanjikan, ketimbang LSI. Dalam arti
pemain dan pelatih atau siapapun yang bergabung di LPI, seperti yang
didengung-dengungkan, akan lebih terjamin masa depannya.
Obsesi
LPI, pesepakbola dapat menjadi sebuah profesi pilihan generasi muda
seperti David Beckham (Inggris), Zinadine Zidane (Prancis) dan Pele
(Brazil). LPI membuang semua hal-hal negatif yang ada di LSI atau PSSI,
antara lain meniru konsep pengelolaan Liga Utama sepakbola Eropa.
Paling
nyata dari LPI adalah bergabungnya sejumlah pelatih asing profesional
yang ketika masih muda usia mereka merumput di klub-klub Eropa dan
Amerika Latin.
Sementara
korban pertama yang disebut-sebut bakal terkena imbas dari persaingan
antara LSI dan LPI, antara Nurdin dan Arifin adalah pemain muda
berbakat yang baru saja menjadi warga negara Indonesia. Siapa lagi
kalau bukan Irfan Bachdim.
Irfan
yang secara resmi bermain untuk klub Persema Malang, berada dalam
posisi sulit. Sebab Persema merupakan salah satu peserta LSI yang
mundur, lantas bergabung dengan LPI.
Dengan
demikian, pada kompetisi perdana LPI Januari 2011 ini, Irfan harus
memperkuat Persema. PSSI dan LSI sekaligus Nurdin mengancam Irfan untuk
tidak boleh lagi bermain bagi tim nasional, peluang yang dibanggakan
Irfan.
Irfan
menjadi serba salah. Anak muda ini sejatinya tidak pernah tahu apalagi
menduga dunia sepakbola Indonesia sudah seperti dunia politik dan
ekomomi nasional yang karut marut.
Memang
apa yang dijanjikan LPI belum tentu akan membuat sepakbola nasional
berubah secara signifikan.Tetapi satu hal yang patut diapresiasi adalah
keberanian Arifin mengorbankan dana pribadinya untuk sebuah proyek
nasional yang seharusnya menjadi tangggung jawab pemerintah cq
Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Yang
cukup memprihatinkan, persoalan ini, tidak terpantau banyak pihak.
Termasuk elit bangsa yang ketika final Indonesia-Malaysia dalam Piala
AFF 2010 terkesan sangat peduli pada perkembangan dunia sepakbola,
belum terdengar punya perhatian terhadap konflik baru ini.
Mereka
yang kemarin ini berusaha menggunakan kompetisi Indonesia-Malaysia
sebagai ’panggung politik’ seperti Ketua Umum Golkar, Ketua Umum
Demokrat bahkan Presiden RI sendiri, sepertinya larut dalam liburan
akhir tahun.
Menpora
Andi Mallarangeng termasuk yang tidak melihat persoalan ini sebagai
sebuah pekerjaan yang harus ditanganinya. Menpora tidak sadar
membiarkan Nurdin dan Arifin ‘saling membunuh’, dampaknya dapat
menghancurkan masa depan sepakbola nasional.
Semua
berharap kekhawatiran ini tidak menjadi kenyataan. Kebangkitan
sepakbola nasional harus didukung siapapun. Pecinta sepakbola harus
berani menyingkirkan ’orang-orang bola’, tak peduli apakah dari kubu
Nurdin Halid atau Arifin jika hanya menjadi pembuat masalah.
Sebab
Nurdin dan Arifin, sebagai manusia biasa, cepat atau lambat akan
meninggalkan dunia yang fana. Sedangkan sepakbola, olahraga rakyat ini,
di negara kita harus tetap hidup. [mdr]
Perseteruan Nurdin Halid vs Arifin Panigoro, Sepakbola Indonesia Menuju Ambang Kehancuran??
=================
http://klikunic.com
0 komentar:
Posting Komentar