Anda sudah membaca majalah SWA edisi 29 September – 12 Oktober 2005? Ada tulisan bahwa beberapa pebisnis di Jakarta lebih suka bekerja di tempat-tempat umum, di cafe atau restoran yang menyediakan hot spot sehingga mereka bisa mengakses server perusahaan tempat mereka bekerja atau situs-situs internet yang mereka butuhkan untuk membantu pekerjaan mereka.
Mereka bekerja sebagai designer, marketer, atau account officer/manager, maupun eksekutif di perusahaan tempat mereka bekerja, atau bahkan pemilik usaha tersebut. Mereka melakukan hal tersebut atas dasar kepraktisan karena client mereka bekerja di sekitar mal atau plasa yang mereka pilih dan yang menyediakan hot spot tersebut. Mereka mengambil keputusan tersebut demi agar client mereka dapat bertemu muka langsung dengan mereka tanpa harus menerobos rimba kemacetan lalulintas metropolitan. Begitulah cara mereka menunjukkan bahwa usaha mereka telah menjadi customer centric organization/company.
Saya mencoba merujuk sebuah istilah dari www.wikipedia.org yaitu telecommuter sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jack Nilles di Amerika Serikat. Telecommuting adalah pekerjaan yang dirancang sehingga pekerja menikmati fleksibilitas dalam lokasi dan waktu kerja. Dalam kata lain, commute (perjalanan pulang pergi) antara rumah dan tempat kerja mereka yang berjarak cukup jauh digantikan dengan jaringan telekomunikasi. Kaum pekerja telecommuting memiliki moto “pekerjaan adalah sesuatu yang Anda lakukan, bukan sesuatu yang mengharuskan Anda bepergian ke sana kemari”. Program telecommuting yang berhasil mempersyaratkan gaya manajemen yang didasarkan pada hasil dan tidak hanya pada kerutinan seseorang.
Telecommuting dapat dilihat sebagai solusi bagi kemacetan lalu lintas (akibat hanya ada satu penumpang di setiap mobil) dan sebagai solusi bagi polusi udara serta penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Investemen awal bagi infrastruktur jaringan dan hardware akan tertutup dengan peningkatan produktifitas dari pegawai telecommuting. Masih ingat diskusi dalam tulisan saya tentang “Quality Time”? Pegawai yang berhasil mengelola waktu antara waktu untuk keluarga dan waktu untuk pekerjaan akan menurun tingkat stress mereka sehingga akan lebih produktif.
Di sisi lain telecommuting juga dapat berarti penghematan yang cukup besar bagi perusahaan. Bila secara bersama-sama sekelompok orang harus berada dalam satu ruangan atau gedung dan setiap orang menggunakan PC atau notebook maka dibutuhkan kapasitas listrik yang cukup besar, namun bila mereka masing-masing bekerja di tempat yang berbeda (karena telecommuting) maka masing-masing membutuhkan kapasitas listrik yang rendah.
Mari kita berhitung langsung dengan angka-angka, bila ada 500 (lima ratus) PC atau notebook dalam sebuah gedung dan masing-masing membutuhkan daya listrik sebesar 100 watt saja, maka dibutuhkan 50.000 watt. Walaupun seluruh orang tersebut menggunakan 50 kWh tetapi tarif per kWh untuk kapasitas lebih dari 50 kWh akan jauh lebih tinggi bila mereka bekerja di rumah masing-masing yang memiliki kapasitas listrik sekitar 900 atau 1.300 watt. Sehingga perusahaan harus membayar Rp42.500,- (50kWh x Rp850,-) bila mereka bersama-sama bekerja di kantor, sedangkan bila mereka masing-masing bekerja di rumah maka biaya yang dikeluarkan per jam hanya Rp24.750,- (50kWh x Rp495,-).
Dari hitungan tersebut di atas berarti per jam telah terjadi penghematan hingga Rp17.750,- dan bila seminggu semua pegawai bekerja 40 jam berarti sebulan semua pegawai bekerja selama 160 jam. Dengan demikian penghematan yang dapat dilakukan adalah sebanyak Rp2.840.000,- Bila total pegawai di perusahaan tempat Anda bekerja hingga 10.000 orang maka penghematan yang dapat dilakukan hingga sebanyak Rp56.800.000,- yang berarti selama setahun perusahaan tempat Anda bekerja dapat menghemat hingga Rp681.600.000,- Coba Anda teruskan perhitungan tersebut bila ada 20.000 lebih pegawai telecommuting.
Baru dari satu perhitungan tentang penggunaan listrik oleh PC atau notebook. Sementara kantor juga seringkali membutuhkan AC yang mungkin tidak dibutuhkan para pegawai ketika mereka bekerja di rumah. Sudah Anda perhatikan gedung kantor tempat Anda bekerja? Kebanyakan gedung dibangun sedemikian rupa sehingga dibutuhkan lampu untuk membantu penerangan karena cahaya matahari tidak mudah masuk.
Kemudian, ketika 500 orang berkumpul bersama, maka kemungkinan dibutuhkan lebih dari satu lantai kantor. Bila kantor tersebut berlantai empat atau lebih maka tentu saja dibutuhkan lift. Tambah satu lagi penghematan yang dapat dilakukan bila para pegawai menjadi telecommuter.
Untuk listrik saja ada kemungkinan dalam setahun sebuah kantor dengan 500 pegawai dapat menghemat lebih dari Rp3 milyar. Bila kondisi tersebut dilakukan di semua kantor di perusahaan tersebut yang memiliki pegawai 10.000 orang saja, maka penghematan setahun mencapai Rp60 milyar.
Mari kita berhitung lagi bila space untuk kantor bagi masing-masing orang dibutuhkan sekitar 9 meter persegi. Berarti untuk 500 orang dibutuhkan 4.500 meter persegi. Mari kita asumsi biaya kebersihan dan keamanan setara dengan sewa space per meter persegi. Maka dengan sewa sekitar Rp200.000,- per bulan, kantor tersebut membutuhkan sekitar Rp900 juta per bulan berarti sekitar Rp10,8 milyar per tahun. Bila kantor itu merupakan bagian dari perusahaan dengan total pegawai 10.000 orang maka penghematan untuk space adalah Rp216 milyar per tahun.
Sekarang dari dua perhitungan saja yaitu listrik dan space perusahaan tempat Anda bekerja telah menghemat lebih dari Rp200 milyar per tahun. Sebuah perusahaan yang saya kenal dan memiliki pegawai sekitar 30 ribu orang selama dua tahun berturut-turut meraih laba Rp6 triliun. Tetapi dari penghematan yang telah kita bicarakan perusahaan tersebut bisa menghemat sekitar Rp600 milyar yang berarti laba bersih perusahaan tersebut akan naik sekitar 10% dibandingkan laba yang diperoleh sebelum melakukan penghematan dengan telecommuting.
Penghematan tersebut akan diperbesar lagi bila kita juga memperhitungkan biaya pengoperasian ruang-ruang rapat, fasilitas parkir, biaya untuk mesin presensi, biaya perawatan gedung kantor, dan masih banyak lagi biaya-biaya yang dapat dihemat bila perusahaan hanya membutuhkan gedung kantor yang kecil atau bahkan sama sekali tidak mempunyai gedung kantor.
Dengan menjadi telecommuter, para pegawai dapat mengurangi resiko lalu lintas termasuk kemacetan maupun kecelakaan (yang sekali lagi berarti dapat menghemat biaya yang harus dikeluarkan perusahaan). Pegawai dapat mengatur waktu mereka dengan lebih leluasa dan itu berarti dapat menempatkan pekerjaan kantor di waktu yang tepat atau waktu paling produktif tanpa kehabisan waktu untuk melakukan perjalanan kantor – rumah.
Hanya satu hal yang perlu benar-benar berubah secara mendasar yaitu gaya manajemen. Manajemen tidak lagi berdasarkan observasi dalam arti tidak perlu lagi mengawasi masing-masing bawahan, tetapi bergeser menjadi manajemen berdasarkan tujuan atau hasil. Hal yang cukup sulit memang adalah menetapkan hasil yang diharapkan perusahaan dari masing-masing individu.
Tetapi di sisi pekerjaan, perusahaan akan mendapatkan manfaat tambahan dengan membuat organisasi yang lebih langsing dan bersinergi secara matriks. Belum lagi bila didukung oleh para pegawai yang memiliki multi kompetensi, maka pekerjaan kelompok secara matriks akan lebih mudah terlaksana.
Bila perusahaan memiliki pegawai-pegawai yang multi kompetensi maka perusahaan pun bisa menghemat dalam jumlah pegawai. Kita kembali ke perusahaan yang tadi saya bicarakan. Gaji rata-rata per tahun di perusahaan tersebut adalah sekitar Rp150 juta per orang. Bila dengan pegawai yang memiliki multi kompetensi dan perusahaan dapat melangsingkan organisasi atau mengurangi 10 ribu dari 30 ribu pegawai mereka, maka perusahaan dapat menghemat lagi biaya gaji hingga Rp1,5 triliun atau akan meningkatkan 25 persen lagi laba bersih mereka. Sehingga dari hitungan tersebut maka telecommuting akan menyebabkan laba bersih perusahaan tersebut akan menjadi Rp8 triliun.
Terbayangkankah dalam pikiran Anda bila perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang memperdagangkan saham mereka di bursa? Apa yang terjadi dengan harga saham mereka? Kemudian apabila saham mereka merupakan blue chip, apa yang terjadi pada indeks harga saham gabungan?
Indeks harga saham gabungan akan naik semakin tinggi bila perusahaan-perusahaan blue chip melakukan strategi telecommuting. Terbayangkah apa yang akan terjadi pada pasar saham Indonesia? Kemudian bila pasar saham semakin diminati, apa yang kemudian terjadi dengan perekonomian Indonesia? Anda bisa saja menggunakan istilah efek domino atau multiplying effect tetapi lihatlah bahwa telecommuting tidak hanya berdampak bagi satu perusahan saja.
– Medan – Oktober 2005
* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ia dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar