Kata tersebut sering digunakan untuk menyebut tindakan yang hanya didasarkan pada stimulus dari luar (eksternal), tindakan yang membabi buta, gelap mata dan lain-lain. Stimulus ini disebut aksi – untuk selanjutnya kita akan bereaksi. Begitulah proses yang terjadi dalam sebuah hubungan saling memengaruhi atau resiprokal. Adakah hal tersebut terkait dengan kemiskinan? Jawabannya bisa jadi sangat beragam.
Kita sering mendengar dari para pakar dan analis ekonomi maupun politik, istilah kebijakan pemerintah yang bersifat reaktif dan jangka pendek. Menariknya istilah ini sering kali dipergunakan untuk menyebut kebijakan pemerintahan negara berkembang atau miskin.
Di sisi lain kita juga mendengar tentang sikap reaktif orang “miskin”, saya beri tanda kutip karena ada beberapa sudut pandang dalam menyebut kata tersebut. Bagi pakar psikologi dan ilmu jiwa menyebut miskin bisa berkaitan dengan persoalan mental dan bukan semata-mata kondisi fisik dan materi. Sedangkan bagi kalangan lainnya menyebut miskin akan identik dengan kondisi prasejahtera – meskipun ada banyak versi dan indikator yang belum seragam – secara fisik dan materi.
Mereka - orang yang disebut miskin ini - sering kali bertindak otomatis begitu ada stimulus dari luar – kalau bahasa mereka disebut keterpaksaan. Kalau ditanya siapa yang memaksa? Jawabannya bisa macam-macam, tapi yang paling umum dituduh sebagai biangnya adalah “keadaan”. Misalnya mereka berutang yang pada akhirnya memberatkan atau malah menjerat mereka sendiri – walaupun mereka sadar konsekuensinya – tetapi tetap dilakukan dengan alasan dipaksa oleh keadaan.
Benarkah sesuatu yang bernama “keadaan” ini demikian kejamnya sehingga sering kali memaksa orang miskin atau negara miskin untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan dan sukai? Untuk menjawab hal ini pun bisa diajukan pernyataan yang beragam.
Tapi coba kita lihat pada kasus yang lainnya – misalnya pengambilan keputusan dan tindakan karena ketidaktahuan – apakah mereka termasuk kategori “miskin”? sepertinya jawabannya adalah YA. Alasannya adalah – bahwa ketidaktahuan adalah bukti kemiskinan (kekurangan) informasi dan ilmu. Tetapi ada juga lho orang yang miskin data tapi bisa mengambil tindakan dengan bijak. Ini kasus lain, mereka biasanya adalah orang yang memiliki intuisi yang tajam – dan ini berkaitan dengan kapasitas diri yang mumpuni, bahkan bisa jadi berlebih.
Lantas bagaimana halnya dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa kemiskinan identik dengan kebodohan? Apakah hal tersebut salah? Ataukah hal itu merupakan salah satu dari pernyataan yang mendukung premis di atas? Saya akan balik bertanya, apakah kebodohan itu suatu kondisi “kekurangan” atau “kelebihan” ilmu? Jawabannya saya pastikan sudah di tangan Anda. Lantas bagaimana jika kemiskinan ilmu dan wawasan atau informasi digabungkan dengan kemiskinan materi? Sebuah kolaborasi mahadahsyat – yang sering kali dialami oleh mayoritas masyarakat atau negara miskin. Inilah jawaban mengapa sikap reaktif identik dengan kemiskinan. Karena dengan demikian lengkaplah sudah alasan kejamnya keadaan sebagai landasan untuk bertindak atau lebih tepatnya bereaksi terhadap keadaan tersebut.
Secara naluriah, orang yang mendapatkan tekanan dari keadaan mestinya dia akan menekan balik. Sayangnya tekanan balik yang ditunjukkan dari sikap reaktif sering kali justru terbalik – yaitu menekan diri sendiri dan bukan kepada pihak lain (lawannya).
Saya yakin, kalau dalam Tai Chi (ilmu beladiri dari China) – hal ini pasti dianggap sebagai sebuah kesalahan yang sangat mendasar. Karena mereka – para Tai Chi Master - justru menggunakan teknik menyerang balik dengan menggunakan tenaga (tekanan) dari lawan – sehingga semakin besar tekanan dari lawan, maka akan semakin hebat serangan balik yang bisa dilakukan.
Jika demikian, sikap reaktif sebenarnya bukanlah sebuah proses membela diri (defend) atau mencari selamat (survival) tetapi lebih tepat disebut sebagai tindakan bunuh diri (suicide). Coba kita periksa relevansinya dengan kasus nyata di negeri ini. Apakah kebijakan pemerintah yang bersifat reaktif (seperti pembatasan BBM, Listrik, pencabutan subsisdi di saat yang tidak tepat, kebijakan pembebasan bea impor bahan pangan tertentu, dll) apakah bisa disebut sebagai sebuah mekanisme bertahan hidup? Ataukah sedang mencoba untuk bunuh diri? Karena kekurangan kepercayaan diri dan ketakberdayaan (powerless) menghadapi keadaan atau pihak lain?
Bandingkan juga dengan sikap orang miskin yang berutang kepada rentenir atau “terpaksa” berutang untuk konsumsi, bisakah disebut sebagai tindakan bertahan hidup? Ataukah sedang berusaha untuk membunuh diri sendiri daripada dibunuh pihak lain? Lagi-lagi tidak tepat jika hal tersebut dikategorikan sebagai aksi heroik untuk mempertahankan hidup. Lebih tepat jika disebut sebagai tindakan bunuh diri yang terselubung.
Lantas apakah tindakan bunuh diri yang terang-terangan - seperti minum racun serangga rasa jeruk (bercanda, lho..), terjun dari gedung tinggi, menggantung diri, dll – apakah juga merupakan tindakan reaktif? Dan apakah mereka – yang melakukan hal tersebut – termasuk kategori miskin? Jawabannya saya yakin, YA. Bisa miskin harta, miskin ilmu, miskin mental, miskin teman (hubungan), miskin hati, miskin kepercayaan (baik terhadap diri maupun orang lain), miskin pertimbangan, miskin wawasan, miskin stimulus, miskin pujian, dan miskin-miskin yang lain.
Tetapi kata kunci yang menyebabkan mereka bertindak reaktif atau gelap mata tersebut tetaplah berakar dari kemiskinan atau kekurangan (poverty or lack) sesuatu atau bahkan sering kali lebih dari satu atau kolaborasi dari beberapa kemiskinan. Hati-hatilah terhadap kemiskinan, bantulah orang yang miskin dan kekurangan – begitu salah satu pesan orang bijak. Dan masih menurut orang bijak, salah satu cara untuk menolong orang miskin adalah dengan tidak menjadi bagian dari mereka. Sehingga menurut hemat saya – yang kebetulan belum bisa disebut orang bijak - mudahnya, cukup dengan tidak bertindak reaktif – itu sudah berarti turut membantu mereka, karena kita tidak menjadi seperti mereka. Termasuk dalam menyikapi tulisan singkat ini. Jangan reaktif! Lihat dulu judulnya.[rbs]
* Riyanto B. Suwito adalah entrepreneur, trainer, konsultan, dosen dan sedang belajar menulis. Dapat dihubungi di hp: 081 227 12426 atau email: riyantosuwito@gmail.com – aktif di PKPEK – fairbiz@indo.net.id . Salah satu trainer bersertifikat dari CRS-Links Certified Trainer on Financial Education for the Poor).
0 komentar:
Posting Komentar