Oleh: Roni Djamaloeddin
Sesat menyesat, seolah menjadi bagian peradaban manusia. Hampir di setiap masa (zaman), tudingan "miring" ini ada. Akhir-akhir ini pun ia mencuat kembali. Misalnya tuduhan sesat yang ditujukan pada Al Qiyadah Al-Islamiyah, Al Quran Suci, maupun puluhan aliran “sesat” lainnya, hingga yang cukup memprihatinkan tudingan yang dialamatkan pada aliran Ahmadiyah (karena disertai tindakan anarkis dan perusakan).
Klaim sesat sebelumnya juga pernah diberikan pada kelompoknya Lia Aminuddin--yang mengaku menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Jauh sebelumnya ia disandangkan pada Al Hallaj--yang karena mengaku "akulah Tuhan" lantas dipenggallah kepalanya.
Kejadian serupa sebenarnya juga telah menimpa kaum muslim sepeninggal Nabi SAW. Kaum Khawarij diklaim sesat karena tidak mau taat pada pemimpinnya, yang kemudian memisahkan diri dari pasukannya Sayidina Ali (saat perang shiffin). Saling sesat menyesat juga terjadi antara Syiah-Sunni, serta masih sangat banyak lagi kasus serupa lainnya.
Yang menarik dan bertahan cukup lama adalah vonis sesat yang diberikan pada Syeh Siti Jenar--berikut ajarannya. Walau kejadiannya sudah sangat lama (beberapa abad silam), namun fenomena kesesatannya masih "abadi" sampai sekarang. Terbukti dengan banyaknya para penulis yang membahasnya menjadi buku. Puluhan buku telah lahir dengan topik yang nyaris sama.
Lebih dari itu, apa sebenarnya fenomena sesat (tersesat) itu sendiri, sehingga begitu gampang ditudingkan? Siapa yang paling berhak memutusnya? Dan bagaimana menyikapi secara arif berdasar kebijakan Tuhan?
Makna Praktis
Dalam kamus bahasa Indonesia, sesat didefinisikan tidak tahu jalan, salah jalan, keliru, berbuat tidak senonoh, berbuat buruk dan melanggar aturan kebenaran (agama, adat, dsb). Definisi ini sifatnya masih umum, karenanya perlu diperjelas agar lebih konkret.
Secara logika (perihal perjalanan), sesat (tersesat) adalah tidak sampainya sebuah perjalanan pada tujuan yang semestinya. Andai perjalanan itu menuju Roma, maka yang dikatakan sesat (tersesat) adalah bila perjalanan yang dilakukan tidak mengantar pejalannya sampai Roma. Singkatnya, selama suatu perjalanan itu tidak sampai pada tujuan yang dikehendaki, tersesat namanya.
Dari definisi praktis ini nampak jelas bila hakikat sesat (tersesat) adalah ending-nya. Bukan teori, rencana, aksi, strategi, apalagi sekadar pemikiran tentangnya. Karenanya, proses mencapainya bisa diabaikan. Yang penting akhirnya, sampai tujuan atau tidak. Walaupun jalan ke arah tujuan itu beribu-ribu banyaknya, tidak otomatis menjadikan pejalannya sampai, masih dimungkinkan tersesat.
Sebaliknya, walau jalan yang dilewati itu sama sekali baru, yang biasanya cara-cara seperti ini menurut penganut paham “konvensional-tradisional” dituding sebagai jalan (aliran pemikiran) yang sesat menyesatkan, masih dimungkinkan sampai tujuan. Misalnya pejalan yang menggunakan ilmu "menembus bumi" (miliknya Ontorejo, tokoh wayang) ataupun ilmu "panglimunan" (bisa menghilang), yang memang tidak terjangkau oleh pemikiran konvensional-tradisional, namun bisa mengantar pejalannya sampai tujuan.
Definisi dan gambaran sesat (tersesat) tersebut jelas sekali rasionalnya. Pikiran sehat dapat menangkap kebenarannya. Oleh karenanya, suatu peristiwa (perjalanan) yang mengacu sebagaimana konsep di atas, maka tudingan sesat (tersesat) memang layak bila diberikan.
Contoh sederhana tudingan sesat yang layak diberikan adalah seorang musafir yang buta (matanya) berjalan menuju Roma. Ia berangkat tanpa persiapan peta dan konsep apa-bagaimana Roma itu sebenarnya, maupun langkah yang harus diambil menuju kotanya. Ia hanya mengandalkan pemikiran dan pengalaman yang dimiliki. Ia juga "gengsi" bertanya pada siapa pun. Maka dapat dipastikan bila si musafir ini 99,99 persen akan tersesat. Tidak akan sampai Roma.
Tetapi sebaliknya, walau buta, bodoh tidak tahu apa, tidak pernah sekolah sama sekali, tapi mau mencari dan bertanya (berguru) pada yang tahu pasti tentang Roma, serta pasrah bongkokan di hadapan “guru” yang membimbing perjalanannya, tidak berselisih paham sedikit pun atas nasehat, anjuran, pitutur, maupun tuntunan yang diberikan sang pembimbing, maka dapat dipastikan bila 99,99 persen akan berhasil sampai Roma. Kemungkinan tersesatnya sangat kecil.
Namun bila si pejalan itu sehat bugar, pikirannya pun juga normal, maka tudingan sesat sama sekali tidak layak diberikan. Sebab, kemungkinan sampai tujuan sangat besar, walau tidak menutup kemungkinan bisa tersesat pula.
Itu adalah contoh yang sangat sederhana, sangat jelas, dan sangat rasional. Akal dapat menangkap secara pasti nilai kebenarannya. Akal juga dapat memprediksi seberapa besar potensi tersesat tidaknya, bila suatu perjalanan tidak berdasar teori logis-praktisnya.
Lantas, bagaimana dengan agama? Sejauh mana sesat (tersesat) dapat digambarkan secara jelas?
Tinjauan Ilmu Pengalaman
Secara sufism-experience, definisi sesat (tersesat) dalam agama tidak jauh beda dengan gambaran orang buta di atas. Hampir (mirip) sama. Cuma bedanya terletak pada objek tujuannya. Bila sesat tidaknya musafir buta objek tujuannya real (nyata, dan dapat ditangkap oleh akal pikiran), maka dalam agama objeknya imajiner-irrasional (tidak nyata dan tidak dapat ditangkap oleh akal pikiran).
Sebab objek tujuannya adalah Tuhan Sang Pencipta manusia. Ia tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran sedikit pun, tapi logika mengakui keberadaan-Nya. Irrasionalnya, keberadaan objek tujuan ini justru sangat-sangat dekat. Lebih dekat Ia dibanding urat nadi lehernya sendiri. Bahkan lebih dekat Dia dibanding napasnya sendiri. Namun, sekali lagi, kedekatan sang objek tujuan ini tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran. Tetapi dapat dijangkau oleh hati nurani--yang di dalamnya meliputi roh dan rasa (unsur dasar/utamanya manusia).
Oleh karenanya, pandangan agama (khususnya pengalaman saya), sesat (tersesat) adalah tidak bisanya manusia (yang asalnya dari Tuhan) kembali pada pencipta-Nya. Lonceng kematian sebagai pintu pulang kembali pada-Nya, tidak mengantar rohnya kembali (masuk) ke alam asalnya (alamnya Tuhan). Roh yang lepas dari jasadnya kemudian terdampar di alam lain. Masuk ke alamnya jin, demit, hantu, setan, gendruwo, memedi, pocongan, maupun “alam penasaran” lainnya (alamnya makhluk gaib diluar alamnya manusia yang tidak dapat dijangkau oleh indra, tetapi bukan alamnya Tuhan).
[Bila sementara ini ada persepsi bahwa setiap kematian “pasti” masuk (kembali) ke alamnya Tuhan, maka persepsi seperti ini bagaikan pendapatnya “suku pedalaman” (komunitas terbelakang pendidikannya) yang menganggap TV adalah sihir. Mempersepsi ilmu lain yang sama sekali belum pernah dikaji dan didalami, dari sudut pandang pengetahuan-pengalamannya sendiri. Sebuah sikap yang sama sekali tidak rasional, karena hanya didasari duga-duga, kira-kira, maupun prasangka belaka dari tempat yang jauh.]
Inilah yang dikatakan sesat (tersesat). Ia bisa menimpa siapapun tanpa memandang agama yang dianutnya. Ia bisa menimpa kelompok mana pun tanpa membedakan golongan dan jumlah pengikutnya. Ia juga tidak mempedulikan siapa imamnya, bagaimana kesaktian-kharisma-kondangnya, seberapa banyak penganutnya, seberapa banyak kitabnya, dst-dsb. Yang dilihat hanya ending-nya, kematiannya. Asal matinya tidak masuk kembali ke alamnya Tuhan, tersesat namanya.
Definisi inilah yang “pas” dengan gambaran orang buta di atas. Bila sementara ini begitu mudahnya cap/tuduhan aliran A-B-C..., ataupun bahkan agama 1-2-3... adalah agama/aliran sesat dan menyesatkan, kiranya terlalu naif-gegabah bin pongahnya pongah. Sebab Tuhan sendiri nyatanya tidak memandang jenis/nama agama yang dipeluk manusia, apalagi sekadar aliran/mazhab. Bahkan sebaliknya, semua agama--tentu saja beserta semua turunan/pecahan aliran/mazhabnya--sama di hadapan-Nya.
Sebagaimana Undang Undang Mutlak (UUM)-Nya : "Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" (QS.2:62).
Ayat ini jelas sekali bila Tuhan memang tidak memandang jenis agama yang dianut manusia, apakah agama 1-2-3...maupun agama “bumi" buatan manusianya sendiri. Dia juga tidak mencap/menuduh bila aliran A-B-C... yang ada pada masing-masing agama itu sesat menyesatkan.
Tetapi Dia hanya melihat bagaimana mereka semua merealisasikan beriman pada Diri-Nya "pas" dengan kriteria yang Dia kehendaki. Berimannya pas dengan bimbingan “maha duta” (utusan/khalifah)-Nya. Bukan beriman sebagaimana kriteria yang dibawa oleh pengajar agama dan apalagi kriteria buatan (reka-reka, ciptaan, dan serangkaian analisis) manusianya sendiri. Dan bukan pula beriman berdasar warisan pemikiran pendapat adat para nenek moyang.
Sehingga logika-implementasinya, mereka yang berimannya tidak pas menurut kriteria-Nya, itulah yang kemungkinan besar akan tersesat. Tidak bisa kembali pada-Nya. Akan mendapat azab-Nya yang luar biasa. Akan merasakan penyesalan yang hebat ketika pintu pertemuan dengan-Nya (kematian) telah terbuka. Sebab, hati nurani roh dan rasanya “buta” atas Wujud (Dzat) Tuhan yang diimani--disebabkan berimannya pada Wujud/Dzat-Nya hanya duga-duga, kira-kira, katanya-katanya, yang memang tidak pernah ditanyakan pada yang ahli tentang-Nya. Oleh karenanya, mestinya, yang paling berhak memutus sesat tidaknya suatu aliran/mazhab, bahkan agama itu sendiri hanyalah Tuhan Sang pemilik agama. Yang paling tahu benar tidaknya beriman seseorang (pada Tuhannya) juga hanya Tuhan sendiri. Manusia sangat tidak pantas memvonis agama--berikut aliran/mazhab yang ada di dalamnya--sesat menyesatkan. Manusia (sebagai makhluk-Nya) sangat tidak pantas mencampuri urusan Tuhannya. Sebab urusan mati--berikut sesat tidaknya--adalah di tangan Tuhan. Tak seorang pun tahu rahasia besar-Nya.
Namun bila di sekitar kita ada kelompok yang mencap/menuduh suatu aliran itu sesat menyesatkan, seyogianyalah diingatkan, diberi pencerahan, dan lebih mulia lagi didoakan (dimohonkan ampun disisi-Nya). Tentu saja dengan cara-cara yang sangat bijaksana. Atau paling tidak dikatakan “bagimu agama/keyakinanmu bagiku agama/keyakinanku, masing-masing diri berhak dan bertanggungjawab atas keyakinan dan amalnya sendiri-sendiri.”
Sangat tidak pantas bila lantas main hakim sendiri. Merasa paling benar di sisi-Nya. Kemudian dengan seenaknya menuduh sesat pada sesamanya. Apalagi disertai tindakan anarkis. Padahal si penuduh sendiri kemungkinan tersesat terbuka besar, sebab belum tahu pasti hakekat tersesat.
Sebuah Solusi
Karena itu, yang perlu diingat-ingat selama nyawa masih dikandung badan adalah bahwa sesat tidaknya masa depan kita nanti di sisi-Nya adalah akibat sikap dan tindakan kita sekarang. Yang akan menanggung akibatnya pun kita juga. Bukan imam/pemimpin yang kita anut ajaran-fatwanya. Bukan nenek moyang yang kita warisi pengetahuan-pemahaman-pengalamannya. Dan bukan pula mereka yang kita ikuti ajakannya bergabung aliran/mazhab--bahkan agama--yang mereka yakini. Masing-masing diri bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan (agama dan keyakinan)-nya sendiri-sendiri.
Oleh karenanya, mencari ilmu langit di atas langit “mutlak” harus dilakukan. Nabi Musa yang adalah rasul-Nya dipaksa oleh-Nya mengakui ungkapan ini--walau akhirnya gagal. Harapannya, sedikit bisa mengintip misteri yang menggelitik pikiran: “Samakah orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?”, “Apakah kamu tidak berpikir (QS. 3:65)?”, “Mengapa kamu tidak mencari ‘ilmu atas langit’ sampai ke penjuru dunia?”, “Mengapa kamu begitu linglung bin bloon dikuasai nafsu dan pikiranmu?”. [rd]
* Roni Djamaloeddin adalah seorang pendidik dan penulis. Ia dapat dihubungi di email: ronijamal@yahoo.com.
0 komentar:
Posting Komentar