Beberapa waktu lalu saya mengikuti pelatihan writing skill yang diselenggarakan oleh Sekolah Penulis Pembelajar (SPP). Di dalam salah satu sesi latihan menulis kami peserta diminta oleh trainer menuliskan pesan terakhir. Saat itu, kami diilustrasikan kedatangan Malaikat Maut yang hendak menjemput kami meninggalkan dunia yang fana ini. Sebelum sang Malaikat Maut menjalankan tugasnya, kami diberi kesempatan sejenak untuk memohon kepada Tuhan guna menyampaikan pesan yang terakhir kepada orang-orang yang kami cintai. Pesan ini hanya dapat disampaikan secara tertulis. Tujuan dari sesi ini tak lain agar para peserta dapat berlatih menulis.
Dengan demikian, peserta tidak dapat lagi beralasan dengan berujar, “Kami tidak bisa menulis, kami tidak tahu apa yang harus ditulis, kami bingung…” Peserta diharuskan menulis pesannya dalam waktu singkat. Ternyata, perserta dapat melakukan tugas yang diberikan.
Kalau saja kita cermati lebih mendalam dan saksama, sesi ini bukan hanya ajang belajar menulis, tapi lebih dari itu. Makna spiritualitas yang terkandung di dalamnya sungguh menyentuh. Bagaimana tidak? Mungkin selama ini belum pernah terlintas di pikiran kita bahwa tiba-tiba Malaikat Maut akan datang dan mengajak kita pergi karena kontrak hidup kita telah berahir.
Saya, yang waktu itu menjadi salah satu peserta, mencoba menuliskan pesan terakhir yang dikhususkan buat kedua buah hati saya. Pesan penting yang saya tulis di antaranya adalah:
* Anakku, terakhir Papa minta jadilah anak yang berbakti kepada orangtua. Sering-seringlah engkau mendoakan orangtuamu ketika engkau beribadah, niscaya orangtuamu akan bangga dan beruntung memiliki anak yang saleh. Sesungguhnya doa anak yang saleh itu akan cepat diterimah oleh Tuhan. Tidak banyak yang diharapkan oleh orangtua yang telah meninggal kecuali doa dari anak-anaknya. Orang yang telah meninggal tapi dia masih bisa menikmati buah pohon yang dia pernah tanam yaitu buah doa dari anaknya.
* Anakku, Papa berharap jangan engkau tinggalkan ibadah kepada Tuhan, karena ini merupakan kewajiban sebagai hamba-Nya. Dengan ibadah membuat engkau lebih dekat dengan Tuhanmu. Engkau harus sadar “dari mana kita berasal dan hendak ke mana kita pergi”. Cintailah Tuhanmu melebih cintamu kepada apa yang ada dunia. Papa sadar hidup ini singkat dan belum banyak yang Papa perbuat untuk bekal kehidupan berikutnya. Papa berharap agar engkau menggunakan waktumu sebaik-baiknya dalam menjalani hidup.
* Anakku, berbuat baiklah kepada sesama niscaya orang pun akan berbuat baik kepadamu. Usahakan untuk dapat membantu orang lain. Seperti kata bijak yang sering kita dengar, bila kita tanam padi maka akan tumbuh padi dan bila kita tanam jagung makan akan tumbuh jagung. Begitu juga dengan kebaikan, bila kita tanam kebaikan maka kebaikan itu akan sendirinya datang pada kita kelak. Tidak ada yang namanya perbuatan sia-sia, asalkan engkau tulus melakukannya.
* Anakku, berlakulah jujur dalam segala hal karena kejujuran itu merupakan modal utama dalam menjalani kehidupan. Hidup dalam ketidakjujuran akan membawa engkau ke jalan yang keliru dan akan jauh dari ketenangan hidup. Menjalani hidup dengan kejujuran sungguh berat tapi itulah tantanganya, bila engkau berhasil melakoninya maka hidupmu akan mulia di mata Tuhan. Harus diingat bahwa Tuhan tidak akan membiarkan hambanya berjuang sendirian.
* Anakku, teruskan belajar dan menimbah ilmu. Perbanyaklah membaca seperti buku, literatur, koran, majalah, dll, agar pengetahun bertambah. Carilah mentor dan orang-orang yang telah sukses lalu belajarlah kepadanya. Ingatlah, ilmu pengetahuan yang engkau dapat haruslah dibagikan kepada orang lain. Berbagi ilmu kepada orang lain, tidak berarti berkurang malahan akan bertambah dan bertambah. Bukankah ilmu yang bermanfaat bagi orang lain, itu merupakan bagian dari ibadah bagimu. Mengutip cuplikan iklan media yang dibintangi Tantowi Yahya, kurang lebih isinya adalah, “Banyak membaca akan banyak pengetahuan, begitu juga sedikit membaca akan kurang pengetahuan. Orang yang pengetahuannya kurang, sangat dekat dengan kebodohan, sedangkan kebodohan itu sangat dekat dengan kemiskinan.” Begitulah, betapa pentingnya pengetahuan itu.
Setelah para peserta menuliskan pesannya, banyak dari peserta tampak tertegun sejenak. Sepertinya ada sesuatu yang sedang direnungkan. Sepertinya, trainer kami dapat menebak apa yang sedang kami lamunkan. Seolah peserta bertanya dalam pikirannya, “Bagaimana bila sesi ini bukanlah latihan tapi ini merupakan kejadian sesungguhnya?” Belumlah berakhir pikiran kami menerawang, trainer mempersilahkan kami melanjutkan tulisan di rumah.
Ilustrasi selanjutnya dibuat begini, seandainya sang Malaikat Maut masih berbaik hati dengan menunda melaksanakan tugasnya, sehingga kami diberi kesempatan untuk menyambung hidup lebih lama. Kami diminta mengajukan rencana apa yang hendak dilakukan. Semua yang hendak dilakukan harus dituangkan dalam bentuk tulisan.
Setibanya di rumah, saya merenung kembali dan melanjutkan menulis rencana tidakan yang akan dilakukan. Ya Tuhan, karena saya telah diberi kesempatan maka saya akan memperbanyak ibadah kepada-Mu dan memperbanyak melakukan hal-hal yang baik. Sungguh, saya sadari bahwa apa yang telah saya perbuat selama ini mungkin masih jauh dari harapan-Mu. Selain itu, saya berharap bukan seberapa lama saya hidup, tapi seberapa besar hidup saya memberi manfaat bagi orang lain.
Pesan in mudah-mudahan dapat menjadi inspirasi dan sarana untuk mengingat dan mengevaluasi diri kita. Hal ini juga dapat dijadikan renungan bagi kita semua, karena suatu saat, entah hari ini, esok, lusa, minggu depan, bulan depan ataukah tahun depan, sang Malaikat Maut itu pasti akan menemui kita. Sudah siapkah kita?[aa]
* Ahmad Abusali adalah staf pada sebuah bank asing dan alumnus Workshop SPP “Writing Skill for Executives and Managers” Angkatan Ke-9. Ia tinggal di Bekasi Selatan dan dapat dihubungi di nomor HP: 0813.811.211.46.
[Pembelajar.Com::]
0 komentar:
Posting Komentar