Tidak ada orangtua yang membiarkan anak-anaknya terlantar, oleh sebab itu mereka berjuang kerja mati-matian demi anak-anaknya supaya kelak “menjadi orang” . Nah, untuk menjadikan anaknya “menjadi orang” ini maka mereka perlu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang bagus dan bermutu. Bagi orangtua yang mampu maka mereka tidak segan-segan menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya mahal, asalkan mereka kelak menjadi anak yang pintar dan berhasil.
Untuk mengimbangi tren ini, maka tidak jarang para pakar sekolah membuka sekolah yang pengajarannya setara dengan sekolah luar negeri, misalnya program Singapura atau internasional. Upaya ini sejak dini sudah dilakukan oleh para orangtua. Anak-anak mereka sudah belajar bahasa Inggris sejak kecil, bahkan ada les privat untuk mata pelajaran tertentu. Dengan demikian apabila suatu hari mereka hendak mengirimkan anak-anaknya ke luar negeri, mereka sudah tidak merasa canggung lagi. Atau, mereka yang berkecimpung di sekolah menawarkan sekolah yang berlabel “plus” atau “bilingual”, artinya sajian pengajarannya bakal melebihi kurikulum sekolah biasa.
Ketika Amerika Serikat sulit menjadi pilihan utama, karena mungkin ada satu masa proses visa masuk agak diperketat, maka sebagian orangtua beralih mengirimkan anak-anak mereka ke Malaysia, Australia, Kanada, dan Singapura. Belakangan karena melihat majunya RRC, dan bahasa Mandarin tidak kalah penting di dunia Internasional, maka tidak jarang pula orangtua menyekolahkan anak-anaknya di sana . Saya yakin semua itu diawali dengan satu tujuan utama supaya masa depan anak-anak lebih baik.
Kita coba memperkecil fokus artikel ini. Kebetulan saya tinggal di Amerika Serikat dan banyak bergaul dengan mahasiswa dari Indonesia. Sekolah di luar negeri bukan suatu alternatif yang buruk, namun itu akan menjadi sisi buruk bila sang anak belum siap dilepaskan begitu saja. Ada beberapa hal yang menurut pengamatan saya menjadi masalah, tatkala seorang anak itu sekolah di luar negeri.
1. Adaptasi
Kondisi Amerika Serikat jelas berbeda dengan kampung halaman kita. Di sini kehidupan lebih bersifat sangat individualis, walaupun sesungguhnya di Indonesia sebagian mereka yang tinggal di komplek perumahan baru juga sudah mulai mengadopsi sifat ini. Lingkungan yang tidak mau tahu satu dengan yang lain itu menyebabkan orang-orang dapat melakukan apa saja. Kalau di Indonesia atau Asia, berciuman antara laki dan perempuan masih tabu dipertontonkan (sehingga bisa berurusan dengan hansip). Namun di sini tidak. Anda dapat melihat pemandangan seperti ini mulai di restoran, lapangan parkir, hingga di persimpangan lampu merah. Nah, kalau kondisi seperti ini diadaptasi tanpa adanya seleksi dan pengontrolan diri, tentu akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Selain itu cara berpakaian juga merupakan tantangan tersendiri, khususnya kaum wanita, dari mulai baju you can see hingga yang all you can see. Belum lagi kebiasaan merokok merajarela juga bagi kaum hawa, sehingga tidak jarang para gadis remaja terlibat akan hal merokok. Tato di dalam tubuh yang dipertontonkan mulai dari kaki, lengan, bawah pusar, pantat hingga, maaf, buah dada mereka. Keadaan seperti ini yang masih terasa sangat sulit diterima oleh kita yang lahir di Indonesia. Makanya, jika pergaulan anak-anak kita tidak ada rambu-rambunya sejak kecil, tentu mereka akan mudah terjerumus ke dalam kondisi yang demikian. Tidak heran bila suatu hari anak Anda yang putra tatkala pulang liburan di Indonesia terlihat tubuhnya bertato di sana-sini, rambut gondrong warna pirang, kadang ada yang gundul, dan telinganya penuh anting-anting. Inilah akibat dari mereka mengadaptasi dan mengadopsi apa saja dalam hidupnya tanpa seleksi.
2. Moralitas
Luar negeri tidak menjanjikan akan hidup yang lebih bermoral, sopan, dan setia bergama, kalau sang anak sendiri tidak berkeinginan untuk berkumpul atau bergaul dalam komunitas dan lingkungan yang baik. Terlalu bebas merupakan gambaran dan keadaan di mana seorang anak sangat mudah terpengaruh dan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan keagamaan. Apalagi pada zaman ini teknologi internet yang juga turut menawarkan pemandangan dan gambar-gambar yang seronok yang dapat memicuh nafsu anak-anak muda.
Banyak mahasiswa yang karena hendak menghemat biaya maka tidak jarang mereka yang lawan jenis tinggal dalam satu apartemen. Dalam kondisi tidak ada yang melarang dan hidup bebas merdeka ini tentu sangat terbuka bagi kedua lawan jenis tadi melakukan tindakan yang amoral. Walaupun sesungguhnya mungkin mereka sejak di kampung halaman sudah dipersiapkan dengan berbagai pengajaran agama, tetapi godaan itu lebih kuat, dan manusia itu ternyata sangat lemah. Oleh karenanya, hal tersebut merupakan satu pergumulan dan tantangan yang cukup berat bagi seorang anak yang sedang belajar di negeri orang.
3. Hidup Mandiri
Hidup mandiri merupakan pokok soal penting bagi seorang anak yang tinggal seorang diri di luar negeri. Pada saat mereka masih berada di Singapura karena masih dekat dengan Indonesia, maka mungkin para orangtua masih dapat mengirim pembantu dari Indonesia secara khusus melayani sang anak. Namun pada saat posisi mereka sudah di Amerika, maka mau tidak mau mereka harus melakukan segala pekerjaan sehari-harinya sendiri.
Mulai dari masalah dapur, ia harus masak nasi, sayur-mayur, dan semuanya sendiri. Lalu membersihkan kamar mandi, kamar tidur, cuci piring, dan pakaian. Bagi anak-anak sekolah yang tidak biasa melakukan itu maka tidak mengherankan tatkala Anda berkunjung ke tempat tinggal mereka kebanyakan barang berantakan dan berserakan. Anda tentu kaget bila saya katakan pada Anda bahwa di dalam apartemen yang cukup mewah dan mahal di Amerika Serikat, namun oleh karena kurang terawat maka ada ulat-ulat muncul juga di dapur.
Hidup mandiri juga memerlukan penguasaan dan disiplin diri, sebab tidak tanggung-tanggung waktu sang anak akan habis begitu saja. Berbagai kegiatan dan permainan, internet dan games sudah merupakan barang yang tidak asing lagi mereka. Oleh sebab itu, kadang kala mereka dapat memainkannya berjam-jam hingga larut malam bahkan hingga pagi hari. Makanya, tidak jarang kita temui banyak anak yang kerjanya hanya menghabiskan uang orangtuanya di sini, berfoya-foya dengan mobil mewah, namun sekolahnya tidak pernah selesai.
Kartu kredit begitu gampang digesek, habis bulan tinggal minta orangtua transfer uang. Bagi orangtua yang sibuk dan tidak jeli acap kali hal ini dipergunakan oleh anak yang tidak bertanggung-jawab. Oleh karena itu, sikap mandiri juga harus dibarengi dengan sikap yang dewasa. Dengan sikap kekanak-kanakan terus maka seorang anak yang sedang sekolah di luar negeri itu akan mengalami kesulitan untuk maju.
4. Tekad Bulat
Tekad bulat ini tidak kalah pentingnya. Sebab, tatkala mereka yang mengandalkan kekayaan orangtua sekolah di sini, kadang belajarnya santai-santai saja. Namun tidak jarang penulis menemukan anak-anak Indonesia yang bertekad belajar, akhirnya menimba hasil yang memuaskan. Tekad belajar yang bulat kadang harus juga dibarengi dengan separuh bekerja, namun mereka tetap dapat mencapai hasil yang dibanggakan. Beberapa orang Indonesia cukup berhasil di sini, mereka menjadi dosen di universitas terkenal dan menjadi pengusaha besar.
Penulis pernah bertemu dengan anak-anak yang sudah disekolahkan oleh orangtua di sini, lalu karena sang anak tidak belajar dengan baik-baik, hanya menghambur-hamburkan uang orangtuanya saja, mengendarai mobil mewah, tinggal di apartemen yang mahal, dan berfoya-foya. Maka hasilnya adalah dia harus kembali ke negeri asal tanpa meraih gelar, gelarnya hanya mantan mahasiswa di luar negeri. Oleh sebab itu tekad bulat itu sangat penting di sini. Atau alternatif lain, supaya tidak malu pada tetangga dan sanak famili maka dengan terpaksa pindah ke sekolah pinggiran yang tidak terkenal kemudian lulus dan pulang ke Indonesia, yang penting tamatan luar negeri.
Lalu sekarang bagaimana supaya sukses sekolah di luar negeri?
Tidak banyak tip yang bisa diberikan, namun dari pengalaman beberapa orang yang pernah saya amati di sini adalah mereka bersandar penuh pada Tuhan dan tekad bulat belajar adalah kunci utama. Tanpa itu jangan berharap akan berhasil. Godaan dan cobaan bertubi-tubi, tidak jarang anak yang baik sewaktu di Indonesia dapat terpengaruh buruk di sini dan terjadi perubahan total dalam hidupnya.
Selain itu, perlu hati-hati dengan pergaulan. Sebab, tidak jarang pergaulan bebas begitu mengikat dan menggoda seseorang untuk tidak belajar. Itu sebabnya di mana-mana carilah teman yang rajin belajar; hindari atau kurangi bergaul dengan mereka yang kerjanya main, nonton, dan yang berfoya-foya.
Bagi mereka yang baru mulai kuliah lalu terlibat dalam berpacaran, hal ini juga dapat menyita waktu untuk belajar. Memang tidak semua mereka yang berpacaran secara otomatis mendapat nilai-nilai ujiannya jelek. Namun ada bukti nyata bahwa kebanyakan mereka yang kuliah sambil berpacaran akan terpecah konsentrasinya. Prestasinya kebanyakan lebih rendah dari yang lain.
Oleh sebab itu, sebagai orangtua pantauan dari jarak jauh sedikit ada gunanya ketimbang tidak sama sekali. Walaupun kemungkinan besar sang anak dengan berbagai tipu daya dapat mengelabui Anda, namun paling sedikit ada upaya untuk memantau anak Anda. zaman sekarang kita dapat memantau anak dengan SMS, melalui telepon gengam, atau melalui chating di internet. Dengan cara demikian diharapkan paling sedikit dapat membantu agar sang anak tetap mengingat tujuan utamanya dikirim ke negeri orang yakni melanjutkan sekolah, bukan dengan tujuan lain. Jika nantinya dia akan bekerja di negeri ini tentu harus ditempuh setelah tamat kuliahnya.
Inilah sedikit cuplikan singkat tentang anak sekolah di luar negeri, kiranya dapat bermanfaat bagi para orangtua dan anak-anaknya. Kesuksesan tidak dapat diraih tanpa adanya pengorbanan dan tekad bulat. Berfoya-foya dan hidup santai sudah pasti mendatangkan kegagalan. Selamat berjuang, sekolah yang giat, semoga berhasil sukses, dan Tuhan memberkati.[sas]
* Saumiman Saud adalah rohaniwan, penulis buku, dan pemerhati yang saat ini berdomisili di San Jose, California, USA. Ia dapat dihubungi via email saumiman@gmail.com.
0 komentar:
Posting Komentar