Ayah meninggal pada tahun 1980 ketika saya masih berumur 14 tahun. Namun tanpa disadari, ayah telah meninggalkan sebuah warisan yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup saya. Hal ini bermula ketika saya masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD). Karena saya suka menyanyi, ayah sering membelikan kaset-kaset lagu berbahasa Inggris dan Mandarin untuk saya.
Suatu hari ketika suara Tom Jones sedang mengalunkan sebuah lagu yang sangat populer di tahun 1966 yaitu Green Green Grass of Home …
The old home town looks the same
As I step down from the train
And there to meet me is my Mama and Papa
……
Ayah pun bertanya apakah saya mengerti lirik lagu tersebut. Karena saat itu Bahasa Inggris belum diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, maka saya pun menjawab tidak. Dengan senang hati dan penuh kesabaran, ayah menjelaskan arti dari lagu tersebut. Bukan itu saja, saya pun diajari bagaimana caranya menggunakan kamus Bahasa Inggris untuk lebih memahami lagu-lagu yang suka saya nyanyikan.
Terus terang, hal kecil yang ayah lakukan saat itu mampu mengobarkan rasa penasaran akan arti kata-kata baru yang saja jumpai. Awalnya dari lagu-lagu yang saya dengar, kemudian ketika saya duduk di kelas III Sekolah Menengah Atas (SMA), saya pun mulai membaca majalah berbahasa Inggris, misalnya Reader’s Digest, kemudian Newsweek, dan Business Week. Bahkan sampai hari ini, saya terus saja meningkatkan perbendaharaan kata Bahasa Inggris dari buku-buku yang saya baca.
Beberapa waktu lalu, ketika cerita ini saya sampaikan di hadapan para orangtua di seminar parenting di sebuah sekolah di Cibubur, ayah-ayah yang hadir sangat bersemangat mendengarkannya. Pesan yang saya sampaikan adalah hal sekecil apa pun jika dilakukan dengan positif dan tulus kepada anak kita pasti akan bermanfaat. Siapa tahu suatu hari nanti akan menjadi motivasi dan inspirasi seumur hidupnya seperti yang terjadi pada saya. Inilah yang saya sebut warisan positif yang ayah tinggalkan untuk saya.
Tumbuhkan Rasa Ingin Tahu dalam Diri Anak
Memiliki banyak kenangan yang indah dari orangtua telah memberikan keuntungan tersendiri bagi saya. Di saat saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membesarkan anak-anak yang dititipkan Tuhan, maka saya pun selalu mencari hal-hal positif yang dapat diwariskan kepada anak-anak kelak.
Saat ini anak-anak saya, Eric dan Lisa sudah berumur 16 dan 14 tahun. Sejak kecil sampai usia SD, hampir setiap malam saya selalu mendongeng atau membacakan cerita buat mereka. Saat itu yang saya pikirkan adalah siapa tahu mendengarkan cerita akan menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri anak-anak. Kadang-kadang saya bercerita dua sampai tiga kalimat dan meminta mereka adu cepat untuk menyebutkan judul cerita tersebut. Di sini terlihat kalau putri saya yang kolerik selalu lebih cepat dari abangnya yang melankolis. Untuk mengimbangi adiknya, maka saya mencari cerita-cerita yang sudah didengar Eric tapi belum dikenal Lisa. Sampai hari ini mereka masih ingat kalau saya suka bercerita buat mereka.
Ketika mereka kecil, saya pun senang mendendangkan lagu buat mereka. Bahkan sampai hari ini jika ada lagu yang saya kenal sedang dinyanyikan di salah satu stasiun televisi, saya selalu ikut nyanyi. Biasanya putra saya, Eric yang suka tanya, ”Ma, apa sih judul lagu yang mama nyanyikan tadi?” Setelah tahu judulnya, biasanya Eric akan search dan download dari internet untuk disimpan agar sewaktu-waktu bisa diputar kembali.
Eric sangat menyukai dan menguasai pelajaran Matematika. Setiap ada perlombaan Matematika, dia sering diutus mewakili sekolah untuk ikut lomba. Dan, yang membuat dia semangat ikut lomba adalah karena dia ingin tahu dan penasaran dengan soal-soal apa yang akan didapatkan dari perlombaan tersebut.
Rasa ingin tahu dan penasaran ini juga yang membuat Eric dan Lisa kembali meneruskan pelajaran KUMON (belajar matematika dengan metode Kumon yang berasal dari Jepang dengan level 7A, 6A, 5A, 4A, 3A, 2A, kemudian level A, B, C sampai Q) yang sempat mereka tinggalkan selama bertahun-tahun (Eric berhenti selama lima tahun ketika masih di level L, sedangkan Lisa stop selama tiga tahun ketika masih di level H).
Saat ini mereka sudah di level terakhir yaitu level Q. Hampir tidak ada anak yang telah meninggalkan les KUMON (lebih jauh tentang KUMON lihat di http://www.kumon.co.id) selama bertahun-tahun kembali lagi untuk mencapai finish (menyelesaikan sampai akhir tingkat Q). Alasan mereka sama yaitu ingin tahu soal-soal tingkat tinggi itu seperti apa dan penasaran ingin mencapai finish.
Ketika anak-anak kita mempunyai rasa ingin tahu, maka belajar dan mengikuti pelajaran sekolah menjadi gampang. Sebagai orangtua kita tidak perlu lagi menyuruh-nyuruh mereka untuk belajar. Otomatis dengan adanya rasa ingin tahu, mereka selalu memiliki motivasi untuk belajar.
Jadi, sebagai orangtua adalah penting bagi kita untuk memupuk rasa ingin tahu dalam diri anak. Mungkin dulu ayah tidak sengaja melakukannya kepada saya. Tetapi dengan kenangan yang saya dapatkan dari ayah, saya dengan sengaja mencari jalan bagaimana bisa menumbuhkan rasa ingin tahu itu dalam diri anak-anak saya.
Orangtua zaman dulu tidak mengenal teori-teori canggih dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Mereka hanya mengandalkan naluri dan ketulusan dari lubuk hati yang terdalam. Menjadi ibu bagi kedua anak saya di zaman modern ini, mau tidak mau, suka tidak suka, telah memaksa saya untuk memadukan cara tradisional yang saya dapatkan dari orangtua saya dan cara-cara baru yang saya dapatkan dari buku-buku parenting yang pernah dan masih saya baca sampai hari ini.
Alasannya adalah saya ingin warisan positif yang ditinggalkan ayah saya akan terus hidup di dalam diri anak-anak saya agar dapat diteruskan kepada generasi berikutnya.[vin]
* Vina Tan adalah nama panggilan Wivina Tampusari, seorang Parent Coach. Alumnus workshop SPP “Cara Gampang Menulis Buku Bestseller” Angkatan ke-2 ini sedang menyusun sebuah buku tentang keluarga dan parenting. Ia dapat dihubungi di nomor 021-5604207 atau melalui email: vina.coach@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar