Siapa yang tak kenal Edam Burger? Bila Anda kebetulan berbelanja di Alfamart atau Indomart, kemungkinan besar akan menemui gerai burger ini. Di sebagian besar Alfa atau Indomart, memang selalu ada Edam Burger khususnya di Jabotadebek. Ukuran gerainya kecil, hanya satu meter persegi. Penjualnya pun hanya satu orang, tapi selalu sigap menggoreng roti dan daging lalu menjepitnya, bila ada pelanggan memesan. Edam ada di mana-mana dan menjelma menjadi jaringan burger paling luas di Indonesia.
Tapi, siapa yang mengenal nama Made Ngurah Bagiana? Nama Edam memang lebih terkenal ketimbang Made Ngurah, sang pemilik. Padahal, Edam berasal dari kebalikan namanya. Made jadi Edam. Suatu hari, Made kedatangan seorang wartawan. Dia bertanya, “Dari siapa Anda tahu saya?” Sang wartawan menjawab, “Wah siapa yang tak kenal Bapak?” katanya yakin sambil tersenyum. Made menukas dengan cepat, “Siapa bilang semua orang kenal saya? Tetangga-tetangga di sekitar saya aja belum tentu kenal saya…” Wartawan itu melongo, dia tidak menyangka pujiannya justru jadi bumerang. Made memang suka ceplas-ceplos dalam berbicara dan tak suka dipuji berlebihan. Dia mau yang sederhana-sederhana saja, dalam segala hal. Walaupun prestasinya harus diakui… luar biasa! Edam bisa disebut sebagai ikon burger kelas menengah bawah di Indonesia. Bicara burger lokal memang tidak bisa lepas dari Edam. Iniah salah satu perusahaan burger paling fenomenal di Indonesia. Bayangkan… gerainya kini sudah menyentuh angka 3.000. Yang bisa menyamainya mungkin hanya gerai Indomaret digabung dengan Alfamart!!!
Made Ngurah Bagiana, kelahiran Bali 1956, memulai bisnis burger secara tidak sengaja pada 1990. Dia melihat pedagang keliling burger yang sering lewat rumahnya dan kemudian tertarik untuk mencobanya. Lalu, berubah bukan hanya mencoba mencicipi melainkan mencoba berjualan. Dari mengayuh sendiri, Made mengembangkan burger kelilingnya dari satu perumahan ke perumahan lain di wilayah Jakarta Timur. Perlahan tapi pasti, Made sukses membiakkan gerobak burger kelilingnya menjadi puluhan buah. Dan, dia pun pensiun menjadi pengayuh gerobak, lalu menjelma menjadi juragan burger.
Tentu kerja keras dan keuletan menjadi salah satu kunci keberhasilan Edam. Disamping kesederhanaan Made, yang mempertemukannya dengan maestro wirausaha Bob Sadino, yang memberinya banyak ilmu, motivasi serta pengalaman. Pengusaha ini hanya lulusan STM, tapi bisa membuktikan diri mampu menjadi pengusaha sukses dengan bekal keuletan, kerja keras dan kesederhanaan tadi.
Berikut hasil wawancara reporter Pembelajar.com, Dodi Mawardi, dengan Made Ngurah Bagiana di gerai kafenya di Malaka Raya Klender Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Apakah latar belakang keluarga Anda pedagang sehingga bisa menjadi pengusaha burger?
Oh, bukan. Dulu saya justru seperti preman. Tapi bukan preman kayak zaman sekarang. Dulu premannya saya paling-paling jarang bayar ongkos kalau naik bis, rambut digondrongin. Ya, nakal-nakal gitu aja. Saya pindah ke Jakarta dari Bali sempat juga jadi tukang cuci pakaian, jadi kuli bangunan, dan kondektur PPD. Semua dilakukan untuk mengisi perut, termasuk jadi preman itu.
Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur. Saya beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha saya mandek. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan. Bentuknya bukan seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa pick-up yang belakangnya dikasih terpal. Saya menjalani rute Kampung Melayu-Pulogadung-Cililitan. Selama setahun pahit getir menjadi sopir dan kenek saya nikmati bulat-bulat. Saya sangat menikmati prosesnya. Bagi saya, menjalani hidup itu enaknya sepeti air yang mengalir. Jalani saja tanpa perlu merencanakan menjadi apa kita nanti.
Terus bagaimana ceritanya bisa berbisnis burger?
Sepertinya tak ada usaha yang mudah saat itu. Semuanya dimulai dengan modal apa adanya. Saya teringat, waktu itu keluarga saya kesulitan ekonomi. Untuk makan saja sepertinya sudah pas-pasan. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger di depan rumah saya di sekitar Perumnas Klender. Saya pikir, tak ada salahnya mencoba. Saya nekat meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam Rp1,5 juta ke teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor. Belakangan giliran bank-bank itu yang mengejar saya ha ha ha.
Lalu kenapa namanya Edam?
Awalnya bukan Edam. Dulu saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah. Tapi kemudian berubah jadi Edam. Itu nama pemberian dari Bob Sadino. Saya kan lama menggunakan daging Kemchick. Mungkin karena track record yang bagus, cash flow yang baik dan volume yang terus meningkat, membuat Pak Bob tertarik untuk mengenal saya lebih jauh. Bob ingin bertemu dengan saya. Dari pertemuan itu, akhirnya terjalinlah hubungan kemitraan yang makin harmonis. Saya bernama Made, istri saya pun bernama Made. Oleh Pak Bob, diberi nama “Edam” yang artinya, ya, Made kalau dibaca dari kanan ha ha ha…
Bagaima ceritanya Edam bisa tersebar di mana-mana?
Wah, ceritanya panjang Mas. Banyak suka dan duka yang saya alami. Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri. Padahal, seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah. Susahnya kalau hujan turun, saya tak bisa jalan. Roti tak laku, akhirnya ya dimakan sendiri. Masih untung karena istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Tapi pas hujan itu ada cerita yang membuat saya miris juga. Saya hampir mati disambar petir. Saya sudah tertelungkup di tanah dan basah kuyup.
Tahun 2000-an lah yang menjadi titik awal perubahan Edam. Ya sejak kenal dengan Bob Sadino. Lalu bekerja sama dengan Bogasari, Edam makin cepat berkembang. Saya pun mengajak banyak orang untuk bergabung sebagai mitra. Ya, saya nggak tahu sekarang berapa gerai yang sudah ada.
Kok bisa harga Edam lebih murah dibanding burger yang lain?
Burger ini kan makanan dari barat dan diposisikan di kelas atas. Dia tidak memosisikan di menengah dan ke bawah. Setelah saya coba ternyata cost-nya ini murah. Ini strategi pemasaran yang dianggap salah, tapi dibenarkan masyarakat. Bahkan di perkampungan di gang-gang itu Edam bisa hidup. Saya bikin roti cuma 500 perak, daging 700 perak. Beserta bumbu dan sayurnya cuma 2.000 perak. Kita mau cari untung 1.000 perak saja cuma 3.000. Jadi, mengapa dijual 10.000 perak? Jadi, saya memosisikan ini buat masyarakat di bawah.
Anda menggunakan konsep yang mirip waralaba, sebelum konsep ini marak di Indonesia. Belajar darimana?
Wah, awalnya saya ndak tahu istilah itu. Saya hanya jalan saja, lakukan saja. Ndak pakai mikir-mikir yang panjang. Waktu itu untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya dengan harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil. Dalam dua tahun, gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah. Saya pun pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.
Anda sering menyebut waralaba ini sebagai franchise Pancasila. Apa maksudnya?
Saya hanya berikan keadilan bagi yang punya modal besar, modal kecil, bahkan tidak punya modal. Jadi saya sudah menjalankan sila kelima. Kalau sudah begini, maka sila pertama juga otomatis Tuhan akan bantu saya mengatasi kemelut persoalan yang saya alami. Franchise Pancasila ini tidak ada di mana pun di dunia ini. Kalau yang namanya franchise itu kan aturannya baku. Misalnya Rp10 juta dan ada orang tidak punya uang segitu ya tidak bisa. Kalau di sini ada yang mulai dari paket seharga Rp15 ribu. Kalau tidak punya yang dua juta, maka bisa ambil counter-nya saja. Kompor gas pakai punya sendiri. Nah, di sinilah kekuatan Edam, hingga tiap kabupaten minta.
Wah, ternyata Anda pengikut setia Pak Harto ya he he he. Kok bisa membuat franchise semacam itu?
Saya ini sudah membangun Edam sejak 1990, berarti 17 tahun. Saya bilang melayani orang berak itu tidak boleh sombong. Ya saya tidak franchise-kan. Jadilah saya franchise-kan dengan pemikiran saya itu. Bahwa uang itu bukan segala-galanya. Saya tidak mau meninggalkan masyarakat bawah yang pakai sendal jepit, karena saya dulu juga dari situ juga asalnya. Kalau saya franchise-kan seperti franchise-nya orang luar negeri, orang itu tidak bisa menemui saya dan membeli produk saya kecuali dengan membawa uang sekian juta. Sekarang mereka dengan 1.000 rupiah saja bisa. Silahkan datang ke tempat saya. Tapi yang jujur ya, soalnya banyak juga yang bohong.
Anda menyebut Edam Burger sebagai burger dengan cita rasa Indonesia. Bagaimana ceritanya?
Tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di berbagai restoran cepat saji. Ini bukan kata saya saja lho, tapi pendapat dari konsumen. Buktinya, Edam Burger disukai mereka. Tidak hanya sampai di situ. Saya juga bekerja sama dengan Bogasari untuk pengadaan roti yang bercita rasa khusus. Lalu kepada Pak Bob, saya memaparkan keinginan agar daging untuk burger saya mempunyai rasa yang berbeda. Pak Bob pun membuatkannya.
Seperti apa sih konkretnya burger cita rasa Indonesia itu?
Ya, sulit Mas menjelaskannya. Mas harus mencobanya. Tapi sebagai contoh saya punya rasa burger di tiap wilayah berbeda. Saya bikin burger di Yogya agak manis, Kalau di Padang agak pedas. Jadi ikuti selera penduduk setempat. Itu inovasi saya.
Oh, Anda juga suka berinovasi?
Inovasi itukan pelayanan. Mungkin sekarang burger bulat, jadi saya bikin lonjong, atau kalau perlu kotak. Sekarang ada burger namanya Blenger. Itu harganya Rp8.000-10.000, orang dewasa sekali makan langsung kenyang. Ok, saya tidak mau kalah, saya bikin burger Blengsek. Itukan lahir karena adanya kompetitor, maka saya bikin burger Blengsek. Jadi orang yang makan akan keblengsek.
Jadi sekarang berapa jumlah gerai Edam?
Wah, saya sendiri ndak tahu persis. Nggak sempat ngitung. Tapi hampir di semua kabupaten ada Edam. Setiap hari selalu ada permintaan. Saya juga ke sana ke mari berkeliling.
Sekalian jadi pembicara seminar juga, ya?
Sebenarnya saya ndak bisa ngomong. Saya kalau ngomong ya apa adanya. Ndak pakai teori-teori. Ini pengalaman saya, ya ini yang saya omongkan. Tapi katanya justru itu yang menarik. Saya diundang perusahaan, para pensiunan, malah sempat beberapa kali seminar di kampus. Saya senang banget, karena lulusan STM bisa mendikte calon dokter. Saya itu suka kalau disuruh jadi pembicara di kampus, karena saya kan dulu tidak kuliah. Jadi sekarang saya tanpa uang bisa masuk kampus, bahkan bisa jadi orang. Lucu jadinya.
Berkali-kali Edam mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak. Apa maknanya buat Anda?
Jujur saja, saya tak pernah memimpikan bakal punya usaha sebesar ini. Dulu, ketika memulai, saya hanya memodalkan dua gerobak roti burger dengan modal apa adanya. Karena saya ulet, akhirnya usaha saya selama 17 tahun ini membuahkan hasil. Saya merasa ini sebagai karunia Tuhan yang patut saya syukuri.
Ini pertanyaan yang paling ingin diketahui banyak orang. Apa kunci sukses Anda?
Kuncinya tak banyak. Cukup fokus pada satu bidang, yaitu menjual roti burger berkualitas tinggi dengan harga terjangkau, ulet meluaskan pangsa pasar dan menjaga hubungan dengan para pelanggan. Saya yakin dengan filosofi menabur dan menuai. Siapa yang menabur kebaikan, pasti berbuah kebaikan juga. Saya juga tidak pernah malu dan gengsi mengerjakan apa pun asal halal dan terhormat. Bagi saya, kesuksesan itu seperti pintu yang bisa dilewati siapa saja, asal orang itu punya komitmen terhadap usahanya.
Edam sudah besar dan berbiak kemana-mana. Anda masih punya impian apalagi?
Saya ndak tahu mau apa nanti. Yang saya dapat ini juga tidak saya rencanakan. Edam ini kan bergerak di bidang makanan. Dan makanan itu kan tidak pernah berhenti. Di situ kan banyak potensi. Potensinya itu orang. Kalau saya punya usaha roti, maka potensinya adalah orang yang memakannya. Ke depannya saya akan mengurusi orang makan. Entah apa atau apa itu akan mengalir dan nanti seleksi alam. Harapan saya, di sini kan saya usaha burger. Dan ada roti, sayuran, dan daging. Di sini ada komposisi mineral karbohidrat dan protein. Ini agar orang-orang itu mengonsumsi makanan yang berprotein, mineral, dan karbohidrat. Jangan sampai kayak di Bogor banyak sayur, tapi orang Bogor kurang makan sayur. Ke depan saya ingin paling tidak orang Indonesia makan burger sebulan sekali lah. Tidak usah seminggu sekali.[dm]
* Dodi Mawardi dapat dihubungi di: dmawardi2000@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar