Gara-gara ulah seorang anak terhadap tetek ibunya, saya mendadak menjadi konsultan keluarga. Ini kisah sebuah keluarga yang tengah kerepotan mencegah anaknya untuk berhenti memain-mainkan tetek ibunya. Anak itu sudah menginjak tujuh tahun, sudah naik ke kelas dua. Sudah lama berhenti minum ASI, tapi masih kesulitan tidur, jika tidak sambil meremas-remas dada ibunya. Persis anak saya, dan bisa jadi anak Anda. Jadi mari kita saling bertukar cerita.
Kembali pada anak seorang kawan itu, yang tidak cuma waktu tidur, tetapi di manapun ia berada, sepanjang dekat dengan ibunya, tangannya akan refleks singgah ke dada ibunya. Tidak peduli di sekolah, di dalam mobil, dan di tempat-tempat umum. Refleks itu malah begitu hebatnya sehingga siapapun yang ada di dekatnya, tidaak peduli itu ibunya, tante dan budhenya, tangan si anak ini akan singgah ke dada mereka secara otomatis.
Ibunya sendiri saja sudah menjerit-jerit jika dadanya diraba-raba di tempat umum, meskipun oleh anaknya sendiri, apalagi sekadar tante dan budhe-budhenya. Pendek kata, anak itu akan menyerang siapa saja, termasuk bapaknya. Di dalam lelap tidur, jika posisinya keliru dan tidak sedang menghadap sang ibu, ia bisa meraba dada bapaknya, tanpa peduli kalau bentuk keduanya berbeda.
Saya amat bergembira mendengar cerita teman ini. Bukan gembira karena ulah anaknya yang dianggap kurangajar itu, melainkan karena kelakuan anak saya juga tidak lebih baik dari anaknya. Saya yang sempat risau, jadi merasa punya teman. Dan beginilah watak orang Indonesia, apapun keadaannya, jika banyak temannya, kita merasa aman-aman saja. Itulah kenapa dalam membeli kendaraan pun, mutu kendaraan bisa menempati ranking kedua. Ranking pertama diduduki apakah kendaraan ini bagus purna jualnya. Sebuah produk kita beli, lebih karena ia banyak yang membeli dan menjualnya. Banyak teman itu adalah prioritas pertama, yang lain-lain baru menyusul kemudian.
Lepas dari sisi baiknya, saya kadang bertanya, jangan-jangan inilah biang keladi terbentuknya mentalitas gerombolan itu. Kita takut berjalan sendiri-sendiri dan memilih menjadi burung pipit atau ikan koi, yang ke mana-mana harus berkoloni. Bahkan korupsi pun tidak akan kita lakukan jika kita tidak berombongan. Itulah kenapa di negeri ini sampai melahirkan istilah penjarahan berjamaah.
Tapi mari kembali ke anak teman saya itu, anak saya dan bisa juga anak Anda juga. Anak yang hingga umur tujuh tahun belum bisa tidur jika tidak sambil memegangi tetek ibunya itu. Bahkan untuk itupun masih bersyarat, ia hanya mau meremas, jika ibunya tidak mengenakan BH, baru kemudian ia bisa tertidur pulas.
Saya tidak bisa menganjurkan istri Anda, tetapi saya bisa meminta kepada istri saya. ''Berilah apa yang anak itu mau, sampai ia tidak butuh lagi,'' kata saya. Semula istri melotot atas permintaan ini. Ia menyangka saya hanya main gampangan, mentang-mentang bukan dada saya yang menjadi korban penjarahan. Saya tegas membantahnya.
Tidak! Kamu dengan tetekmu adalah aku dengan gendonganku. Aku akan menggendong anak-anak itu setiap ada waktu, mumpung ia masih bisa digendong dan mau digendong. Sebentar lagi anak itu, akan tumbuh besar dan tidak butuh lagi tetekmu dan gendonganku. Selain anak itu akan membesar dan tanganku sendiri akan menua, akan mudah gemetar dan lemah oleh usia, anak itu juga pasti menolak untuk digendong dan diteteki lagi. Jangankan digendong, bahkan untuk pergi bersama bapak ibunya pun ada saatnya ia enggan karena malu. Remaja yang terlalu banyak pergi dengan orang tua, pasti dianggap tidak gaul. Jangankan anakmu, bahkan pemain-pemain bola Italia itu, yang ke lapangan terlalu sering mengajak pacar dan ibu-ibu mereka diledek sebagai anak mami.
Jadi masa gendong-menggendong itu singkat belaka. Bukan cuma singkat, tetapi cuma sekali dalam hidup mereka dan kita tidak bisa mengulanginya. Kenapa untuk masa yang begitu singkat, mahal dan begitu penting, kita tidak memberikan sepenuhnya. Maka tetekilah anakmu sepanjang ia mau! Relakan dadamu diremas-remas sepanjang itu adalah bekal terbaiknya untuk pulas. Karena saya percaya, sambil menggenggam dada ibunya, anak-anak di seluruh dunia ini akan tidur dengan mutu yang nyaris sempurna!
Kembali pada anak seorang kawan itu, yang tidak cuma waktu tidur, tetapi di manapun ia berada, sepanjang dekat dengan ibunya, tangannya akan refleks singgah ke dada ibunya. Tidak peduli di sekolah, di dalam mobil, dan di tempat-tempat umum. Refleks itu malah begitu hebatnya sehingga siapapun yang ada di dekatnya, tidaak peduli itu ibunya, tante dan budhenya, tangan si anak ini akan singgah ke dada mereka secara otomatis.
Ibunya sendiri saja sudah menjerit-jerit jika dadanya diraba-raba di tempat umum, meskipun oleh anaknya sendiri, apalagi sekadar tante dan budhe-budhenya. Pendek kata, anak itu akan menyerang siapa saja, termasuk bapaknya. Di dalam lelap tidur, jika posisinya keliru dan tidak sedang menghadap sang ibu, ia bisa meraba dada bapaknya, tanpa peduli kalau bentuk keduanya berbeda.
Saya amat bergembira mendengar cerita teman ini. Bukan gembira karena ulah anaknya yang dianggap kurangajar itu, melainkan karena kelakuan anak saya juga tidak lebih baik dari anaknya. Saya yang sempat risau, jadi merasa punya teman. Dan beginilah watak orang Indonesia, apapun keadaannya, jika banyak temannya, kita merasa aman-aman saja. Itulah kenapa dalam membeli kendaraan pun, mutu kendaraan bisa menempati ranking kedua. Ranking pertama diduduki apakah kendaraan ini bagus purna jualnya. Sebuah produk kita beli, lebih karena ia banyak yang membeli dan menjualnya. Banyak teman itu adalah prioritas pertama, yang lain-lain baru menyusul kemudian.
Lepas dari sisi baiknya, saya kadang bertanya, jangan-jangan inilah biang keladi terbentuknya mentalitas gerombolan itu. Kita takut berjalan sendiri-sendiri dan memilih menjadi burung pipit atau ikan koi, yang ke mana-mana harus berkoloni. Bahkan korupsi pun tidak akan kita lakukan jika kita tidak berombongan. Itulah kenapa di negeri ini sampai melahirkan istilah penjarahan berjamaah.
Tapi mari kembali ke anak teman saya itu, anak saya dan bisa juga anak Anda juga. Anak yang hingga umur tujuh tahun belum bisa tidur jika tidak sambil memegangi tetek ibunya itu. Bahkan untuk itupun masih bersyarat, ia hanya mau meremas, jika ibunya tidak mengenakan BH, baru kemudian ia bisa tertidur pulas.
Saya tidak bisa menganjurkan istri Anda, tetapi saya bisa meminta kepada istri saya. ''Berilah apa yang anak itu mau, sampai ia tidak butuh lagi,'' kata saya. Semula istri melotot atas permintaan ini. Ia menyangka saya hanya main gampangan, mentang-mentang bukan dada saya yang menjadi korban penjarahan. Saya tegas membantahnya.
Tidak! Kamu dengan tetekmu adalah aku dengan gendonganku. Aku akan menggendong anak-anak itu setiap ada waktu, mumpung ia masih bisa digendong dan mau digendong. Sebentar lagi anak itu, akan tumbuh besar dan tidak butuh lagi tetekmu dan gendonganku. Selain anak itu akan membesar dan tanganku sendiri akan menua, akan mudah gemetar dan lemah oleh usia, anak itu juga pasti menolak untuk digendong dan diteteki lagi. Jangankan digendong, bahkan untuk pergi bersama bapak ibunya pun ada saatnya ia enggan karena malu. Remaja yang terlalu banyak pergi dengan orang tua, pasti dianggap tidak gaul. Jangankan anakmu, bahkan pemain-pemain bola Italia itu, yang ke lapangan terlalu sering mengajak pacar dan ibu-ibu mereka diledek sebagai anak mami.
Jadi masa gendong-menggendong itu singkat belaka. Bukan cuma singkat, tetapi cuma sekali dalam hidup mereka dan kita tidak bisa mengulanginya. Kenapa untuk masa yang begitu singkat, mahal dan begitu penting, kita tidak memberikan sepenuhnya. Maka tetekilah anakmu sepanjang ia mau! Relakan dadamu diremas-remas sepanjang itu adalah bekal terbaiknya untuk pulas. Karena saya percaya, sambil menggenggam dada ibunya, anak-anak di seluruh dunia ini akan tidur dengan mutu yang nyaris sempurna!
Read more: http://www.dhaniels.com/2010/03/seorang-anak-dan-tetek-ibunya-ngeres.html#ixzz1BGfEsPXb
Related Posts : berita
0 komentar:
Posting Komentar