Apa itu epifani? Epifani didefenisikan sebagai peristiwa istimewa dalam kehidupan seseorang yang menjadi titik balik dalam kehidupannya. Pengaruhnya berbeda-beda, bisa negatif atau positif, bergantung pada apakah epifaninya besar atau kecil. Contoh menarik dari sebuah epifani adalah kisah yang dialami oleh Martin Seligman. Martin Seligman adalah seorang profesor di bidang psikologi. Psikologi yang digelutinya dulu adalah psikologi yang senantiasa berorientasi pada sifat-sifat buruk manusia. Bahkan pada saat sekarang ini pun banyak pakar psikologi yang memulai analisanya pada sifat-sifat negatif manusia. Apa yang menyebabkan manusia berperangai buruk? Kenapa manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan negatif? Ini adalah sebagian pertanyaan yang senantiasa menggambarkan psikologi kita. Pada intinya manusia itu bertabiat buruk, sehingga perilaku-perilaku aneh manusia, selalu dicari sebab-sebab negatif yang menyebabkannya.
Psikologi senantiasa berkutat pada kekurangan-kekurangan manusia, dan penyakit-penyakit kejiwaan. Tidak ada satu pun aliran psikologi yang membahas dan fokus pada kekuatan-kekuatan manusia. Aliran psikologi yang berkutat pada kelebihan-kelebihan manusia inilah, yang diusung oleh Martin Seligman. Seperti yang telah saya gambarkan, bahwa Seligman pun dulu bergelut dengan psikologi “negatif” hingga beliau menemukan epifaninya. Martin Seligman kemudian mengisahkan dirinya:
Waktu itu saya sedang menyiangi taman kami bersama putri saya, Nikki, yang berumur lima tahun. Saya harus mengakui bahwa walaupun telah menulis sebuah buku dan banyak artikel tentang anak-anak, saya tidak terlalu pandai menghadapi mereka. Saya berorientasi-tujuan dan hemat waktu, dan ketika menyiangi taman, saya hanya menyiangi. Namun, Nikki melemparkan rumput-rumput liar itu ke udara sambil menari dan menyanyi. Oleh karena dia mengganggu, saya berteriak kepadanya, dan dia berjalan menjauh. Beberapa menit kemudian dia kembali, dan berkata, “Ayah, aku ingin bicara dengan Ayah.”
“Ya, Nikki?”
“Ayah ingat sebelum ultahku yang ke-5? Sejak berumur 3 tahun sampai 5 tahun, aku suka merengek. Aku merengek setiap hari. Pada hari ultahku yang ke-5, aku memutuskan untuk tidak lagi merengek. Itu hal tersulit yang pernah kulakukan. Dan kalau aku bisa berhenti merengek, Ayah juga bisa berhenti menjadi penggerutu.”
Setelah “menemukan” epifani di atas, Martin Seligman kemudian berkata, “Ini ilham bagi saya. Perkataan Nikki tepat sasaran. Saya memang penggerutu. Saya telah menghabiskan lima puluh tahun hidup saya sebagian besar dengan cuaca mendung di dalam jiwa, dan sepuluh tahun terakhir saya bagaikan awan nimbus yang berjalan di sebuah rumah tangga yang disinari mentari. Nasib apa pun yang saya dapatkan barangkali bukan karena saya seorang penggerutu, lebih tepatnya saya tetap bernasib baik walaupun saya penggerutu. Pada saat itu, saya memutuskan untuk berubah.”
Dan pada akhirnya, Martin Seligman kemudian melahirkan sebuah aliran baru dalam psikologi, yang disebutnya sebagai Psikologi Positif. Jika selama ini psikologi selalu meneliti penyakit-penyakit kejiwaan pada manusia, maka psikologi positif ini memfokuskan dirinya untuk meneliti kekuatan-kekuatan dan kelebihan-kelebihan yang ada pada manusia, yang akan mengantarkan dirinya untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan.
Kita telah melihat sebuah epifani dari Martin Seligman. Saya ingin mengajak Anda untuk melihat sebuah epifani yang dialami oleh Malcolm. Kisah ini dituturkan oleh Mark Victor Hansen:
“Pada suatu akhir pekan, seorang pria bernama Malcolm, bertempat tinggal di Vancouver, mengajak tunangannya berjalan-jalan melewati hutan utama British Columbia.
Entah bagaimana mereka terjebak di antara seekor induk beruang dan anak-anaknya. Induk beruang itu, karena ingin melindungi anak-anaknya, menarik dan mencengkeram tunangan Malcolm. Tinggi badan Malcolm hanya sekitar 157 cm, sedangkan beruang itu sangat besar. Namun, dia mempunyai keberanian dan berhasil membebaskan tunangannya. Kemudian, induk beruang menangkap Malcolm dan mulai meremukkan setiap tulang pokok di tubuhnya.
Induk beruang mengakhiri serangan dengan menancapkan cakarnya pada wajah Malcolm dan mencakar lurus hingga ke kepala bagian belakang.
Ajaib, ternyata Malcolm tetap hidup. Selama delapan tahun dia berulang-ulang menjalani operasi pemulihan. Selama itu, para dokter telah melakukan semua bedah kosmetik yang mungkin bisa mereka lakukan. Namun, semua itu tidak cukup menolong Malcolm dan Malcolm memandang dirinya sebagai si buruk rupa. Dia tidak ingin lagi tampil di hadapan umum.
Oleh karena itu, pada suatu hari Malcolm naik dengan kursi rodanya ke atap lantai-sepuluh gedung pusat rehabilitasi. Ketika sedang bersiap-siap untuk mendorong tubuhnya melintasi batas bangunan, ayahnya muncul. Sebelumnya, sang ayah mendengar bisikan hatinya yang menyuruh dia untuk menemui anaknya.
Pada waktu yang tepat, sang ayah muncul di puncak tangga dan berkata, “Malcolm, tunggu sebentar.”
Mendengar suara ayahnya, Malcolm membalikkan badan di atas kursi rodanya.
Ayahnya berkata, “Malcolm, setiap manusia memiliki bekas luka di suatu tempat yang tersembunyi dalam dirinya. Rata-rata mereka menyembunyikannya dengan senyuman, kosmetik, dan pakaian indah. Kebetulan kau harus memakai bekas luka itu di bagian luar. Namun, kita semua sama, Anakku. Kita sama-sama punya luka.”
Malcolm tidak lagi mampu melompat dari atap gedung itu.
Tidak lama kemudian, seorang teman membawakan beberapa rekaman kaset mengenai motivasi. Pada salah satu kaset, dia menyimak kisah Paul Jeffers, yang kehilangan pendengarannya pada usia empat puluh dua tahun dan berhasil menjadi salah satu wiraniaga terkenal di dunia. Malcolm mendengar saat Paul berkata, “Halangan diberikan kepada orang-orang biasa agar mereka menjadi luar biasa.”
Malcolm berkata pada dirinya sendiri, “Itu kan saya. Saya luar biasa!”
Malcolm harus melawan rasa takut ditolak karena fisiknya kini cacat. Dia bangun setiap hari dengan kesadaran bahwa selalu ada kemungkinan (untuk ditolak), namun dia tetap melangkah maju sedikit demi sedikit. Malcolm memutuskan untuk bekerja sebagai wiraniaga asuransi – suatu pekerjaan yang akan menghadapkan dia pada penolakan berkali-kali setiap hari. Dia memutuskan untuk menjadikan kekurangannya yang utama sebagai modal.
Dia memasang foto diri pada kartu bisnisnya, dan ketika dia memberikannya kepada orang lain, dia akan berkata, “Saya buruk rupa di luar, tetapi ganteng di dalam jika saja Anda punya kesempatan untuk mengenal saya.”
Setahun kemudian, Malcolm menjadi agen asuransi nomor satu di Vancouver.
Malcolm telah menemukan epifaninya, dan hal itu telah mengubah hidupnya. Epifani ini adalah sejenis pembimbing. Setiap orang yang ingin sukses, “haruslah” memiliki pembimbing. Dalam buku The One Minute Millionaire, dijelaskan bahwa pembimbing itu tidak harus manusia. Apa pun yang membuat Anda mengubah arah kehidupan Anda bisa berfungsi sebagai pembimbing.
Tiba-tiba saya teringat lagi sebuah epifani yang dialami oleh Huo Yuanji – seorang ahli Wu Shu cina, yang memopulerkan Wu Shu di dunia. Peristiwa pertama yang mengubah hidup Huo Yuanji adalah kekalahan ayahnya – sebagai ahli Wu Shu – pada pertandingan bela diri antar sesama ahli bela diri. Sebenarnya ayahnya telah menang, akan tetapi pada pukulan terakhir, ayahnya menahan pukulan, sehingga membuat lawannya memanfaatkan kesempatan ini untuk membuatnya ke luar arena, hingga dinyatakan kalah. Dan inilah kekalahan pertama ayahnya.
Kekalahan itu membuat Huo Yuanji terpukul dan bersumpah untuk tidak terkalahkan dengan mengalahkan lawan-lawannya, dengan menggunakan kemampuan Wu Shu, yang menjadi tradisi bela diri di keluarganya. Inilah epifani pertama dalam hidupnya.
Pertandingan demi pertandingan dilewati dan tidak satu pun lawannya yang mampu mengalahkannya, hingga menjadikan dirinya sombong. Ibunya sering menasehati bahwa lawan terbesarnya adalah dirinya sendiri. Hingga suatu ketika, kesombongan dan kepongahannya membawa dendam pada keluarga lawan yang dibunuhnya. Dan hal ini mengakibatkan kematian ibu dan anak tercintanya. Inilah epifani kedua dari Huo Yuanji.
Epifani itu telah membawanya ke suatu desa, dimana penduduk desa itu mengajarkan arti hidup yang sesungguhnya pada dirinya. Huo Yuanji pun kemudian mengubah lagi hidupnya. Dia tampil sebagai ahli bela diri Wu Shu yang bijaksana, yang bukan mencari lawan tapi senantiasa mencari teman. Pertandingan bela diri dijadikan untuk intropeksi diri, melihat kekurangan-kekurangan dirinya untuk kemudian diperbaiki. Ia telah memahami nasehat ibunya untuk mengalahkan diri sendiri, dan telah memahami kenapa ayahnya dulu tidak jadi melanjutkan pukulannya di saat ayahnya hampir menang.
Huo Yuanji telah beberapa kali mengalami epifani. Dan, setiap epifani telah menjadi pengubah dan pelajaran bagi hidupnya. Saya sendiri pun telah mengalami epifani. Menurut saya epifani itu bukanlah peristiwa yang dicari-cari. Anda tidak harus bertanding dengan beruang untuk menjadi seperti Malcolm. Anda tidak harus menjadi penggerutu dan memiliki anak yang menegur Anda untuk menjadi seperti Seligman. Begitu pula Anda tidak harus menjadi ahli bela diri Wu Shu yang sombong untuk menjadi seperti Huo Yuanji. Yang perlu Anda lakukan adalah membuka pikiran Anda untuk senantiasa memperhatikan detil-detil kehidupan Anda. Karena boleh jadi epifani itu terjadi ketika Anda membaca sebuah buku, atau mungkin ketika Anda membaca artikel sederhana ini. Temukan Epifani Anda dengan senatiasa membuka pikiran Anda setiap saat!
* Syahril Syam adalah seorang trainer tentang peningkatan kualitas hidup, yang berdomisili di Makassar. Syahril bisa dihubungi di ril_faqir@yahoo.co
0 komentar:
Posting Komentar