“Treat every customer as if your world revolves around them…it does”
“The growth of any organization is nurtured one customer at a time.”
Lalu, hal-hal apa saja (yang praktis, dong) atau langkah-langkah apa saja (yang konkrit, pleaaase…) yang bisa Anda lakukan untuk menerapkan pelayanan konsumer topcer ini? Sebenarnya hal ini pun sudah pernah saya singgung dalam artikel yang lalu, tapi baiklah kali ini saya akan menuliskan semuanya dengan lebih to the point, praktis dan lebih konkrit lagi untuk lebih memudahkan Anda sekalian menerapkannya dalam aktifitas bisnis Anda sehari-hari.
Tapi sebelumnya, saya ingin mengajak Anda sekalian untuk jalan-jalan santai sembari menikmati keindahan alam dan merasakan secara langsung kesantunan masyarakat Bali tercinta di Pulau Dewata—the so-called Paradise on earth itu.
Omong-omong, pada bulan Juni-Juli yang lalu saya dan istri tercinta bersama rombongan kesenian Gamelan Galaktika dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) di kota Cambridge, USA berkunjung ke Bali dalam rangka mengikuti Pesta Kesenian Bali (PKB) XXVII tahun 2005 yang luar biasa itu. Saat itu saya hanya menemani istri (Cynthia C. Laksawana) yang selain berkarier di bidang sains (ahli kimia) juga memiliki hobi profesional sebagai penari dan koreografer tari Bali.
Sedikit cerita tentang PKB. Tahun 2005 lalu merupakan PKB yang ke-27. Ini adalah sebuah pesta seni budaya khas masyarakat Bali yang secara gemilang telah berhasil diselenggarakan setiap tahunnya oleh seluruh lapisan masyarakat di pulau Dewata itu. PKB ini adalah juga salah satu bentuk eskpresi dan manifestasi kebersamaan, kekerabatan, dan kesadaran warga Bali untuk tetap mau secara bersama-sama meleluri (melestarikan) dan mengembangkan kekayaan seni budaya peninggalan para leluhur. Ini adalah sebuah contoh yang baik sekali dan sepatutnya bisa kita tiru—semangat kerjasama, kerelaan dan kemauan secara terbuka untuk terus berkarya dan berkiprah bersama-sama bagi kebaikan semuanya. Pantas saja kalau pesta seni budaya edi peni lokal ini lalu mampu bergema ke tingkat internasional.
PKB ini merupakan aktifitas yang amat penting sebagai salah satu wahana terpuncak bagi pementasan karya seni budaya para seniman/wati di Bali. Maka tak heran bila setiap tahun warga Bali, khususnya para seniman/wati disana selalu menanti-nanti dan bersiap-siap menyongsong datangnya PKB ini. Lebih-lebih jika mereka diundang secara khusus untuk tampil dalam panggung utama di PKB itu, seperti halnya seorang penari balet yang diundang untuk manggung di Carnegie Hall, New York, sebuah kesempatan emas yang tak mungkin disia-siakan.
Baiklah, selama kurang lebih delapan tahun terakhir ini, istri sayalah yang bertanggung-jawab dan yang secara langsung menangani seksi seni tari Bali di Grup Gamelan Bali milik MIT ini sebagai Dance Director mereka, tak pelak lagi, lawatan budaya kali ini pun menjadi salah satu lawatan yang super-sibuk buat Diajeng Cynthia dan grup Gamelan MIT-nya itu. Dia harus tampil menari di pelbagai tempat di panggung-panggung utama PKB di sepenjuru Bali bersama dengan seniman/wati Bali lainnya.
Singkat kata, pada hari-hari tertentu ketika tidak ada jadwal pentas, kami berdua pun segera berkeliling ke tempat-tempat wisata alamiah yang hanya ada di Bali dan yang sungguh indah tak ada duanya di dunia itu. Tak lupa seperti biasanya—kami selalu berusaha mampir dan mencicipi menu-menu pelbagai rumah makan yang pernah kami kunjungi itu untuk kemudian hasil observasi kami itu pun kami jadikan sebagai semacam Zagat Survey ala JosCyn (Joshua-Cynthia) yang biasanya dengan senang hati lalu kami sharing-kan dengan jaringan pertemanan kami lainnya.
Ada banyak warung, rumah makan dan restoran yang kami kunjungi--semuanya memberikan dan meninggalkan kesan dan rasa yang unik. Tapi kali ini, saya hanya ingin membagi dua pengalaman jelajah menu boga itu sebagai contoh praktis dan konkrit bagi kita semua tentang betapa pentingnya pelayanan (service) topcer ini bagi kelangsungan bisnis Anda itu.
1. Contoh Pelayanan Nggak Topcer (PNT)
Pertama saya ingin berbagi pengalaman bersantap malam kami di salah satu restoran yang ada di Jalan Hanoman, Padang Tegal, Ubud yang mungkin sudah amat terkenal di tanah air itu. Ya benar, namanya: Restoran Bebek Bengil! Ini merupakan kunjungan kami pertama kalinya di restoran ini.
Telah banyak kami dengar dari banyak orang tentang restoran yang satu ini, bahwa banyak orang terkenal yang kalau ke Bali selalu menyempatkan diri makan di restoran Bebek Bengil ini.
”Kalau belum ke restoran Bebek Bengil, belum lengkap dech kunjungan ke Bali-nya!”, begitu komentar mereka.
”Benarkah begitu?”
Di senja yang indah itu, ketika sang mentari perlahan dengan gagahnya kembali ke peraduannya dan sang rembulan nampak bergemulai mempesona tak malu-malu mulai menampakkan dirinya, kami berenam (tujuh dengan bapak supir) pun bergegas menuju ke restoran yang berada di pojok jalan Hanoman itu.
Di halaman parkir yang tak seberapa luas dan kurang begitu dirawat itu sudah terparkir beberapa mobil pengunjung lainnya. Dengan bantuan bapak juru parkir yang baik dan ramah itu, pak supir kami pun akhirnya bisa menembus sudut tempat parkir yang sempit itu.
Bangunan restoran yang berukuran besar dan berarsitekturkan khas Bali yang menawan ini memang sangat apik dan atraktif. Suasana di bagian ruang penerimaan tamu di restoran ini tampak tenang, tak satu pun pengunjung tampak di sana. Yang kami jumpai di ruangan itu adalah mbak-mbak muda berseragam yang berjejer di salah satu undhak-undhakan dekat kolam buatan salah satu desain yang apik di restoran itu.
Tak banyak senyum yang terpampang di wajah mereka saat melayani kami sore itu, entah kenapa. Sikap mereka kaku, dingin, dan sangat angkuh. Kata-kata yang terlontar dari mulut mereka singkat-singkat dan terdengar ketus sekali.
“Tak apa, namanya juga manusia mungkin sore ini mereka pas lagi lelah, sehabis kerja seharian dan berdiri terus-terusan. Santai aja dan nikmati menu yang ada,” bisik-bisik kami saling menghibur diri.
Meja yang kami pesan untuk rombongan kami ternyata sudah tak tersedia lagi. Dengan dingin dan suara yang masih ketus hostess dan waitress kami mengatakan kalau meja sudah tak tersedia berarti memang sudah tidak tersedia lagi, walaupun tepat di belakang kami masih ada meja lesehan kosong yang sebenarnya kami pesan sebelumnya.
Pada saat itu sebenarnya, kami harus segera hengkang dari restoran yang pompous ini. Tapi karena ingin secara langsung membuktikan komentar tentang kelezatan dan kepopulerannya, maka kami putuskan untuk mengalah dan menerima meja besar yang terlalu besar bagi kami berenam yang berada tepat di tengah ruangan pusat lalu-lalang tamu-tamu yang datang dan pergi itu. Hingga rasa kedekatan dan percakapan hati ke hati kami pun amat sangat terganggu karenanya.
Selanjutnya, masih dengan sikap dingin, wajah tanpa senyum, dan kata-kata yang singkat-singkat dan suara yang ketus mbak waitress yang sebenarnya berwajah lumayan manis itu, tanpa ba-bi-bu dan seakan tak sabar menunggu langsung menodong kami serombongan untuk segera memesan menu dari buku menu yang belum semenit berada di tangan kami itu.
“Eh lha dalah, belum apa-apa kok sudah ditodong suruh cepetan order, dengan nada ketus lagi! Mbokya, diberi kesempatan duduk dulu, mbaca menu dan pikir-pikir barang 2-3 menit dulu, yok opo seh rek, rek…”, gumamku dalam hati.
“Mbak, kami belum siap pesan, tolong diberi kesempatan beberapa menit ya, terima kasih,” begitu permintaan kami dengan ramah (kami coba untuk sedikit bersabar).
“Eh, ketika kami telah siap memesan, ternyata ada beberapa menu utama yang tak tersedia, entah kenapa?”
Akhirnya makanan pesanan kami pun datang juga. Di tengah-tengah kami menikmati menu yang kami pesan itu (omong-omong ternyata menu restoran Bebek Bengil termasuk dalam kategori biasa-biasa saja, tidak se-spectacular seperti yang kami bayangkan) mendadak serombongan teman-teman bule dari Amerika pun datang ke restoran ini.
Betapa berbedanya pelayanan mbak-mbak staf di restoran Bebek Bengil itu pada mereka (konsumer asing mereka itu) dibandingkan ketika melayani kami (konsumer sesama anak negeri sendiri) beberapa menit sebelumnya.
Senyum manis, suara lembut dan kata-kata yang meluncur dengan nada halus pun tersedia dengan melimpah bagi konsumer asing teman-teman kami dari luar negeri itu.
”Duh, betapa prihatin dan menjerit hati kami saat itu! Tak heran jikalau bangsaku yang tercinta ini selalu terpuruk dan tersungkur di telapak kaki para penjajah, lha wong mentalnya mental penjilat!” teriakku dalam hati.
Dan yang lebih tak enak lagi adalah ketika tepat di depan batang hidung kami yang memang kalah mancung bila dibandingkan dengan teman-teman bule, hostess itu langsung berubah 180 derajat, jadi sangat ramah dan penuh senyum, mempersilakan tamu-tamu asing itu menempati meja lesehan yang seharusnya bagi kami itu.
Itu semua kami saksikan dengan mata dan kepala kami sendiri. Ini sudah sangat keterlaluan. Perlakuan diskriminasi ini sudah di luar batas. Tak bisa dibiarkan begitu saja. Enough is enough. Kalau diperlakukan seperti ini arek-arek asli Suroboyo pasti akan mbengok, ”Juangkriiikkkk!”
“Juangkriiikkk, edyaaaannnn! Pelayanan model apaan ini?!
Mbak-mbak itu itu agak salah tingkah ketika ternyata rombongan bule tamu yang mereka perlakukan sebagai raja dan ratu mulia itu, ternyata kawan-kawan serombongan kami dari luar negeri yang tak lebih pintar atau kaya daripada kami.
Setelah ngobrol singkat, saya langsung tanya kepada mereka kok tiba-tiba datang ke restoran ini, padahal tadinya nggak ada rencana makan di sini. Juga apakah mereka sudah me-reserve meja lesehan ke bagian reservation restoran yang satu ini?
“Enggak tuh,” begitu jawaban mereka.
“Memangnya kenapa?” tanya mereka pada kami.
“Nanti saja kami beritahu, nikmati dulu makan malam kamu. Enjoy your dinner…have a great meal!” begitu jawaban kami saat itu tak ingin merusak selera makan mereka.
Selera makan kami sendiri sudah hilang. Sekalipun masih tersisa banyak sajian makan malam yang kami pesan di atas meja kami yang besar itu, kami putuskan untuk segera pulang. Cari rumah makan lain dengan pelayanan yang lebih baik, yang topcer dan tak diskriminasi. Pelayanan topcer yang menerapkan Rahasia Satu dan Rahasia Dua itu.
Ternyata tak cukup hanya di situ saja, pengalaman jelajah menu boga kami yang sudah amat pahit dan sangat tidak nyaman serta sangat tidak enak di restoran Bebek Bengil yang katanya terkenal itu, ketika saatnya kami membayar (dengan kartu kredit) bill-nya lha kok nggak bisa-bisa. Dan yang amat tidak mengenakkan hati kami saat itu adalah: sikap dan kata-kata mbak-mbak staf restoran itu yang mengatakan kalau mungkin kartu kreditnya kosong alias nggak ada duitnya. Walah-walah kuwato…
“Juangkriikkkk! Enough is enough!”
Pada momen itu istri saya pun sudah tak tahan lagi, langsung angkat bicara dan menyerbu ke meja kasir restoran pompous yang pelayanannya amat sangat menyebalkan itu alias nggak topcer itu. Setelah istri saya menyampaikan keluhannya, bukannya ditanggapi dengan baik dan ramah, malah diperlakukan dengan kurang baik. Saya pun kini harus angkat suara…
Maka sekarang Anda saya ajak mengingat Prinsip Topcer yang satu ini: “Bila consumer Anda mengeluh, apa pun keluhannya (lebih-lebih bila mereka punya dasar yang kuat); tugas Anda adalah untuk sebisa mungkin menampung, menerima, dan menanggapi keluhan konsumer kita itu dengan sikap yang ramah, sopan dan setulus mungkin. Dan cari solusi yang terbaik dan secepatnya, supaya konsumer kita itu pun merasa puas dan tetap loyal pada kita. Peribahasanya--make a heaven on earth for your customers”.
Beranjak dari meja makan kayu besar itu saya pun menyusul istri ke meja kasir di ruang depan restoran itu. Lalu dengan tegas kami berdua ungkapkan ketaknyamanan, ketakadilan, dan ketidaknikmatan pengalaman yang baru saja kami rasakan sore itu di restoran mereka.
Lain kali kami tak akan datang makan lagi di restoran ini. Sudah kapok dan cukup sekali saja pengalaman pahit ini boleh terjadi. Sekali saja sudah cukup.
Catatan penting:
Perlu pembaca sekalian ingat bahwa tulisan ini berasal dari pengalaman penulis yang pernah dia alami saat kunjungan penulis di restoran Bebek Bengil di akhir bulan Juni 2005 lalu. Ini adalah semata-mata opini pribadi penulis. Harapan penulis: semoga Restoran Bebek Bengil dan para stafnya berkenan menerapkan Rahasia Satu dan Rahasia Dua. Dan semoga Restoran Bebek Bengil tetap populer dan sukses selalu! Ingat dan terapkan Pelayanan Topcer!
2. Contoh Pelayanan Topcer (PT)
Tiga hari sebelum kami mencoba menu dan service restoran Bebek Bengil yang telah saya singgung sebagai contoh Pelayanan Nggak Topcer (PNT) di atas, sebenarnya kami pun telah mencoba menu dan service salah satu restoran yang juga berada di kawasan Ubud, namanya: Café Wayan.
Namun, sebelum saya melanjutkan tulisan saya tentang Café Wayan ini, pertama-tama ingin saya sampaikan pada Anda sekalian bahwa saya tidak pernah memiliki hubungan bisnis atau jalinan kerjasama dengan restoran ini sama sekali. Tulisan yang akan Anda baca ini adalah semata-mata berangkat dari pengalaman pribadi, ketika saya berkunjung ke Café Wayan di akhir bulan Juni 2005 yang lalu. Pengalaman pribadi ini saya sampaikan hanya sebagai salah satu contoh yang konkrit tentang perusahaan yang dengan sungguh-sungguh telah menerapkan standar pelayanan topcer.
Keindahan alam di Ubud sungguh sangat terasa sekali kala pagi hari. Ketika sang surya mulai menyinsing, diiringi suara kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan dan kicauan merdu burung-burung liar di ladang dan lahan persawahan yang tampak ijo royo-royo dan tertata sangat rapi jali di sekeliling hotel tempat kami menginap itu. Sebuah pertunjukan orkestra alamiah yang luar biasa indahnya.
Sang bayu berhembus perlahan meniup batang-batang pepohonan, dedaunan dan warna-warni bunga di sekitar kolam renang di tengah-tengah kompleks hotel mengalirkan hawa segar yang masih bersih bagi organ-organ pernafasan kami (mudah-mudahan wabah ulah manusia modern—polusi udara tak bisa menembus the beautiful Ubud, semoga…).
Dan pada pagi itu kami pun menyempatkan diri berjalan-jalan santai dan secara khusus jelajah menu boga asli Bali yang sedap bin lezat di Café Wayan yang asri dan menawan itu.
Café Wayan ini terletak di tepi jalan Monkey Forest yang merupakan jalan utama di kawasan Ubud. Dari luar memang tampak asri membuat setiap turis yang lewat ingin segera singgah dan menikmati menu masakan yang sedap itu.
Satu hal lagi yang amat memikat dari Café Wayan ini adalah sikap dan pelayanan para stafnya yang siap sedia berdiri di ruang penerimaan tamu itu. Mereka ini tampak sangat ramah, so friendly, senyum nampak selalu mengembang di wajah mereka, dan tak lupa sapaan ucapan selamat datang yang terdengar tulus pun keluar merdu dari bibir-bibir mereka. Perhatian yang mereka berikan pada setiap tamu yang datang sangat fokus, tidak sambil lalu. Mau tak mau pelayanan topcer para staf Café Wayan ini pasti membuat setiap tamu yang singgah ke sana jadi betah dan mereka pasti akan datang lagi dengan setianya.
Pelayanan topcer mbak-mbak dan mas-mas para staf Café Wayan membuat pengalaman santap pagi setengah siang kami itu menjadi salah satu kenangan indah dan menyenangkan yang selalu kami kenang.
Tidak peduli kalau di pagi hari itu kami pesan menu lengkap Bebek Betutu dan beberapa menu lainnya yang tentu saja tidak umum bagi kebanyakan orang pesan menu sejenis itu di pagi hari, dengan senyum ramah Mbak Wayan dan Mas Putu mampu menyajikan menu buat pagi hari itu di atas meja lesehan kami.
Inilah contoh konkrit pelayanan topcer yang saya maksudkan. Pelayanan topcer yang mampu menciptakan rasa kenyamanan, suasana keramahan, nuansa kenikmatan dan aroma sedap bagi selera para konsumer.
Mereka yang telah mengerti apa itu pelayanan topcer pasti akan:
1. Siap sedia menyambut menyambut konsumer yang datang dengan senyum tulus dan ramah (tak peduli panas atau hujan),
2. Tak segan-segan mengucapkan ucapan salam (misalnya: “Selamat pagi, Pak…dsb.) lebih dahulu kepada setiap konsumer yang dijumpai (sekalipun dengan konsumer yang bawel dan cerewet),
3. Menyapa setiap konsumer dengan menyebut nama mereka dengan sopan dan ramah (Selamat pagi BuLu, oh, maaf Bu Lusi…),
4. Tak lupa bila saatnya berpisah, memberikan ucapan perpisahan yang berkesan (fond farewell), a warm good-bye sambil menyebut nama mereka.
Bila Anda/staf Anda mampu memberikan pelayanan topcer, maka saya jamin cepat atau lambat usaha Anda pasti akan terus berkembang, konsumer pasti akan berdatangan, dan konsumer Anda pun pasti akan tetap setia dengan Anda. Lebih daripada itu mereka pun pasti tak akan segan-segan untuk menjadi duta (ambassador) bagi usaha Anda.
Bila kebetulan Anda sekalian tamasya ke pulau Dewata, jangan lupa singgah ke Café Wayan di Jalan Monkey Forest yang menunya sungguh sedap bin nikmat itu. Dan satu hal lagi yang pasti akan Anda suka: para staf Café Wayan pasti akan memberikan pelayanan topcer kepada Anda. Kami telah mencobanya demikian juga beberapa teman kami lainnya. Kini saatnya bagi Anda untuk mencobanya…Bagaimana menurut pendapat Anda?[]
Catatan: Topcer diartikan handal, unggulan, nomer satu, hebat, luar biasa, pokoknya superior.
*Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht., adalah seorang psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah pendiri Heal & Grow Center™ (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) mendirikan Sanggar Kinanthi™(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo Productions™ (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi via prof_jw@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar