Ternyata Dewi Lestari atau Dee memiliki keprihatinan yang sama dengan sejumlah pekerja seni dan kalangan penggerak kreatifitas, bahwa di negeri ini sedang tumbuh suasana ‘tidak toleran’. Ada sebagian kelompok atau orang yang suka memaksakan kehendak, pikiran, pendapat, dan keyakinannya. Akibatnya, orang lain atau siapa saja yang tidak sependapat dengan kehendak dan pikiran kelompok tersebut, sepertinya harus segera ‘ditundukkan’ atau ‘dipaksa’ mengikuti kemauan mereka.
“Saya agak khawatir dengan adanya kelompok-kelompok ekstremis yang memaksakan nilai tertentu dalam kerangka berekspresi. Kalau dibiarkan bisa membawa kesenian Indonesia terpuruk mundur, bahkan bisa membentuk karakter masyarakat yang tidak lagi kondusif untuk berkesenian,” tegas Dewi kepada Pembelajar.com.
Dalam serial novel Supernova-nya maupun esai-esainya, Dee memang dikenal memiliki ketajaman berpikir dan beranalisis. Ada nuansa pendobrakan, anti kemapanan, kegelisahan dan pencarian hal-hal yang sangat substantif sifatnya. Dee memang suka berfilsafat, seperti yang dia perlihatkan dalam karya terbarunya berjudul Filosofi Kopi (True Books & Gagas Media, 2006). Dalam buku yang berisi esai dan cerita pendek ini ia seperti hendak menggoda pembacanya supaya tidak sekadar memandang segala sesuatu seperti di permukaannya saja.
Dalam Filosofi Kopi, kembali Dee yang kelahiran Bandung, 20 Januari 1976, ini mengajak kita untuk berpikir lebih menjorok ke ranah substantif. Istri dari penyanyi kenamaan Marcell ini juga mengajak pembacanya untuk jadi cerdas. Seperti yang dia ungkapkan sendiri, “Tulisan saya harus bisa mencerdaskan dan mengusik keingintahuan orang untuk belajar lebih banyak lagi.” Tak heran jika karya-karya best seller-nya banyak dipuji kritikus sastra serta beberapa kali masuk dalam nominasi Katulistiwa Literary Award, sebuah penghargaan bergengsi di bidang sastra.
Kepada Edy Zaqeus dari Pembelajar.com, Dee mengungkap proses kreatif di balik karya terbarunya, Filosofi Kopi. Ia juga mengungkap soal arti sukses dalam dunia kepenulisan dan pentingnya branding bagi seorang penulis, motivasi menulis, cara memperlakukan ide, termasuk keprihatinannya terhadap panggung kreatifitas di negeri kita akhir-akhir ini. Berikut petikannya:
Kalau diungkap dalam kalimat-kalimat sederhana, Filosofi Kopi itu buku tentang apa?
Filosofi Kopi pada dasarnya adalah kumpulan cerita yang saya kumpulkan dalam kurun waktu 10 tahun. Jadi isinya bermacam-macam. Setelah selesai mengompilasi barulah saya menyimpulkan sendiri bahwa benang merah cerita-cerita dalam buku ini adalah kisah tentang cinta yang bertransformasi, dari sekadar kumpulan emosi menjadi sebuah jatidiri.
Mengapa memilih judul Filosofi Kopi?
Filosofi Kopi saya pilih karena catchy saja. Asosiasinya ke suasana orang mengobrol, berfilsafat kecil-kecilan, sambil ngopi-ngopi sore. Dan pada momen seperti itu, kisah apa saja bisa jadi bahan obrolan. Jadi, judul tersebut memiliki ruang tafsir yang luas dan bisa memayungi cerita-cerita lain.
Hal baru apa yang ditawarkan?
Membuat kumpulan cerpen merupakan hal baru bagi saya, karena sebelumnya saya dikenal sebagai novelis, dan orang mengetahui saya selalu dari kerangka Supernova. Jadi bagi saya, maupun pembaca saya, buku ini bisa jadi refreshment. Sekalian menguak sisi-sisi dari Dewi Lestari yang belum diketahui. Formatnya yang beragam bisa juga jadi hal baru. Dalam Filosofi Kopi, ada prosa-prosa pendek juga. Jadi nggak selalu dalam bentuk cerpen sekalipun judulnya adalah kumpulan cerita. Variasi format ini saya dapat dari buku kumpulan cerita penulis favorit saya, Ana Castillo. Gara-gara baca bukunya saya jadi terinspirasi untuk membuat kumpulan cerita. Selama ini, soalnya saya terpentok soal format. Saya kalau bikin sesuatu susah patuh pada batasan format. Bikin cerpen suka kepanjangan. Bikin puisi yang keprosa-prosaan. Atau prosa yang kepuisi-puisian, dsb. Yang melatarbelakangi penulisan buku ini?
Pertama, untuk mengisi jeda waktu. Berhubung saya masih belum kelar menuntaskan Supernova Partikel. Selain itu juga untuk refreshing. Setelah saya bongkar-bongkar dokumen di komputer, saya menemukan banyak karya saya yang belum ‘keluar rumah’. Saya selalu mengibaratkan karya itu seperti anak. Supaya anak tumbuh sehat, dia harus keluar rumah, jangan dikurung terus, kenalan sama orang banyak. Nah, jadi ini kesempatan juga bagi karya-karya saya yang selama ini masih tersekap di komputer untuk berkenalan dengan publik.
Dari mana saja ide penulisannya?
Dari mana-mana. Ada dari kecoak, dari kopi, dari orang yang obsesi mencari Herman, kisah cinta sendiri, kisah cinta orang lain, dsb. Semua penulis itu pasti seorang pengamat juga. Dan saya semata-mata menuliskan apa yang saya amati dari hidup.
Masih ada benang merahnya dengan novel-novel terdahulu?
Secara tema nggak ada. Benang merahnya adalah sama-sama ditulis oleh Dewi Lestari. Hehehe....
Apa buku ini menyiratkan Dee “yang baru” saat ini?
Dibilang baru juga enggak ya, karena kumpulan cerita ini hasil dari sejak tahun 1995. Jadi justru memberikan gambaran Dewi yang dulu. Karya yang bisa dibilang baru, yakni 2003-2005 hanya ada tiga judul.
Ok, berapa lama buku ini dipersiapkan?
Saya melakukan penyuntingan ulang atas manuskrip yang lama, dan itu kira-kira empat bulan.
Apa hambatan yang paling sering ditemui?
Hambatannya justru dimulai begitu naskahnya jadi. Jadi hal-hal teknislah. Produksi, promosi, distribusi, dll. Cukup alot juga cari penerbit yang bisa diajak join-production, sampai akhirnya saya memutuskan untuk kerja sama dengan Gagas Media. Karena itu kan masalah trust, chemistry, dan kecocokan dalam bekerja, dll. Sampai sekarang pun masih proses sama-sama menjajaki. Saya juga orang yang perfeksionis masalah produksi, jadi sampai sekarang pun masih terus menyempurnakan kualitas kertas, cetak, dll.
Punya waktu-waktu paling cocok untuk menulis?
Malam sampai pagi hari. Pokoknya setelah semua tugas ‘duniawi’ selesai dan setelah semua orang tidur. Nggak mungkin menulis kalau HP masih krang-kring, atau harus main sama anak, dsb.
Bagaimana cara mengatasi problem kemacetan menulis?
Saya sih membiarkan saja writer’s block itu hilang dengan sendirinya. Dalam arti nggak usah dipaksa atau jadi frustrasi kalau lagi mandek. Justru saya memanfaatkan momen-momen seperti itu untuk istirahat. Menulis itu kan menguras stamina mental dan batin. Jadi kalau ada mandek justru kita bisa penyegaran. Tulisannya jangan dipikirin dulu, pikirin yang lain-lain aja. Kalau ide itu kuat, pasti akan kembali dan bertahan. Kalo ide itu nggak kuat, pasti gugur dan kita harus cari lagi. Jadi konsep ‘survival of the fittest’ itu juga berlaku untuk masalah ide, menurut saya.
Siapa penulis-penulis yang paling menginspirasi karya Anda?
Saya sempat terpengaruh sekali oleh Sapardi Djoko Damono. Saya juga suka tema kontemporer yang ditawarkan Seno Gumira Ajidarma. Dan saya mengagumi gaya menulis Ayu Utami dan kepiawaiannya dalam mengolah bahasa.
Hal apa saja yang paling memotivasimu untuk terus menulis?
Menulis bagi saya adalah kebutuhan, ya. Jadi theurapetic sifatnya. Untuk menjadi manusia seimbang ya saya harus menulis. Memang untuk beberapa karya, seperti Supernova, saya punya misi khusus. Tapi tanpa itu semua, saya pasti terus menulis, karena butuh.
Dee, novel-novel Anda laris sekali di pasaran. Selain faktor isi, tampaknya sosok Dee sebagai selebritis juga berpengaruh?
Pada awalnya pasti berpengaruh. Karena saya sudah jadi penyanyi lebih dulu, otomatis saya adalah bagian dari media hiburan. Jadi ketika saya menulis buku akhirnya mendapat liputan dari media hiburan, dan ini tidak didapatkan oleh semua penulis. Tapi pada akhirnya sih isi tulisan yang paling menentukan laku atau tidaknya sebuah buku. Kalau hanya faktor sensasi pasti tidak akan bertahan lama, karena orang beli buku kan karena isi. Mungkin apa yang saya tulis adalah sesuatu yang bisa ‘relate’ dengan orang banyak.
Seberapa penting sih peran branding bagi seorang penulis?
Dengan gaya marketing dan tren pasar yang mengedepankan image seperti sekarang, branding memang jadi penting. Tidak lantas jadi segala-galanya, tapi bisa sangat menunjang kalau memang pas. Penulis sih pada dasarnya akan selalu kembali ke kualitas dan isi tulisannya. Jadi branding itu semata-mata strategi di level superfisial saja. Ada baiknya penulis itu tahu cara memposisikan diri dan memainkan image-nya, karena sekarang untuk bisa mempromosikan buku kita bisa kolaborasi brand dengan produk-produk komersial. Dan untuk bisa seperti itu, pihak sponsor pasti akan tanya dulu branding kita seperti apa, selaras atau enggak dengan produknya, dsb.
Anda pernah di puncak popularitas saat Supernova meledak di pasaran. Apakah Anda memaknainya sebagai sebuah kesuksesan bagi seorang penulis?
Salah satu parameter kesuksesan penulis memang ada di kuantitas penjualan bukunya. Tapi menurut saya banyak aspek lain. Bagi saya lebih bermakna ketika tulisan saya bisa menyentuh orang lain, atau mengubah hidup seseorang. Jadi kesuksesan itu individual sifatnya. Hanya kalau dilihat dari perspektif industri perbukuan sajalah kesuksesan itu sama dengan laku atau tidaknya buku di pasar.
Penulis, sama seperti pegiat kreatifitas lainnya, membutuhkan ruang kebebasan yang seluas-luasnya. Bagaimana pandangan Dee terkait kondisi kebebasan berekspresi dalam masyarakat kita belakangan ini?
Saya agak khawatir dengan adanya kelompok-kelompok ekstremis yang memaksakan nilai tertentu dalam kerangka berekspresi. Kalau dibiarkan bisa membawa kesenian Indonesia terpuruk mundur, bahkan bisa membentuk karakter masyarakat yang tidak lagi kondusif untuk berkesenian. Saya percaya kok masyarakat sesungguhnya lebih pintar dari yang diduga. Jadi mereka sendiri punya mekanisme sendiri untuk memilah mana yang baik dan tidak. Tapi sayangnya, sebagian masyarakat yang ‘kurang pintar’ sedang mendapat angin segar karena lemahnya regulasi pemerintah. Jadi seolah-olah seluruh masyarakat Indonesia itu begitu bodohnya dan tak berakal budi sampai segala objek yang berkenaan dengan panca indera itu harus diatur. Pendekatan ini sungguh salah dan tidak dewasa. Pengendalian itu dari pikiran, bukan lantas objeknya yang dikendalikan.
Harapan Dee?
Saya hanya berharap bangsa ini bisa semakin open-minded, semakin cerdas, dan semakin bijaksana, terutama masalah lingkungan. Moga-moga karya-karya saya bisa menyumbang sedikit kontribusi, karena prinsip saya dalam menulis adalah tulisan saya harus bisa mencerdaskan dan mengusik keingintahuan orang untuk belajar lebih banyak lagi.
Karya-karya apa lagi yang sedang dan hendak digarap saat ini?
Saya sedang menggarap Supernova Partikel. Masih dalam fase riset. Selain itu juga akan ada proyek ganda buku-musik, tapi mungkin baru dimulai akhir tahun ini.[ez]
Foto: Majalah Lisa.
0 komentar:
Posting Komentar