Buku-buku mengenai how to get rich sesungguhnya tidak terlalu umum dalam literatur Islam. Persoalannya, ada semacam pemahaman pada sebagian umat Islam, bahwa mengejar kekayaan sama saja dengan mengutamakan kehidupan duniawi. Seperti diungkap Safak Muhammad, seolah-olah urusan kaya atau miskin itu sesuatu yang tidak bisa ‘diotak-atik’ atau sudah takdir. “Jadi, tidak usah dibahas lagi bagaimana mendapatkannya! Urusan rezeki, jodoh dan mati itu hanya urusan Tuhan. Inilah yang sering menjadi rujukan berpikir bagi sebagian besar orang Islam,” ugkap Safak, yang baru saja meluncurkan buku ketiganya berjudul Keberkahan Finansial (Solusi Qolbu, 2006).
Namun menurut Safak, sejatinya Islam itu sangat concern dengan masalah kemakmuran umatnya. “Kefakiran atau miskin mendekati kekufuran,” kata Safak mengutip sabda Nabi Muhammad SAW. Tapi sayangnya, Safak melihat selama ini yang dominan dalam Islam adalah kajian-kajian tentang keburukan akibat memiliki kekayaan. “Umat ini ditakut-takuti terus. Sementara, siapa sih yang tidak pingin kaya?” tambahnya.
Itulah sebabnya, melalui buku terbarunya tadi, Managing Director Media Sukses ini hendak membuka mata umat Islam supaya tidak alergi dengan kekayaan. Bahkan, Alumni Magister Managemen Agribisnis IPB Bogor, ini mengajak umat untuk berlomba-lomba mencari kekayaan dengan cara dan tujuan yang benar. Menurutnya, mencari kekayaan dengan cara dan tujuan yang benar, serta dengan prinsip-prinsip Islami pastilah akan membawa kebaikan bagi umat. Itulah sebabnya, penulis buku best seller berjudul Kaya Tanpa Bekerja (Republika, 2004) dan Cara Mudah Orang Gajian Menjadi Entrepreneur (MediaSukses, 2005) ini mencanangkan: Gerakan Nasional Keberkahan Finansial untuk Atasi Kemiskinan dan Korupsi.
Nah, untuk mengetahui seluk-beluk gerakan pengentasan kemiskinan dan korupsi tersebut, serta konsep menjadi kaya secara Islami, Edy Zaqeus dari Pembelajar.com secara khusus mewawancarai Safak Muhamad. Berikut petikan wawancaranya:
Apa pengertian konsep keberkahan finansial dalam buku terbaru Anda itu?
Keberkahan finansial yang saya maksudkan adalah bertambahnya kebaikan atas uang atau finansial yang kita miliki. Bahasa lugasnya, semakin kaya seharusnya semakin bermanfaat kekayaan itu bagi kehidupan ini. Bisa juga dikatakan, kekayaan adalah sarana untuk mendekatkan kita pada kebajikan. Bukan malah mendekatkan kita pada kejahatan. Karena itu, dalam konsep ini saya menjelaskan bagaimana kecerdasan spiritual—bagaimana membuat hidup ini lebih bermakna—justru bisa melipatgandakan kekayaan. Konsep ini akan menghilangkan persepsi yang selama ini ada: bahwa untuk meraih dan melipatgandakan kekayaan harus dengan ‘sedikit’ curang, culas dan sejenisnya.
Apa pijakan dasar konsep tersebut?
Khairunnas – anfauhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Pijakan lainnya adalah pertanggungjawaban terhadap harta itu tidak hanya bagaimana cara mendapatkan harta, tetapi juga bagaimana membelanjakan atau mengelolanya.
Dalam literatur Islam, boleh dibilang buku-buku bertema how to get rich bukanlah jenis tema yang popular. Pandangan Anda?
Mas Edi sangat benar. Saya pun melihat kondisinya seperti itu. Seolah-olah urusan kaya atau miskin itu sesuatu yang tidak bisa ‘diotak-atik’ atau sudah takdir. Jadi, tidak usah dibahas lagi bagaimana mendapatkannya! Urusan rezeki, jodoh dan mati itu hanya urusan Tuhan. Inilah yang sering menjadi rujukan berpikir bagi sebagian besar orang Islam. Bisa juga karena konsep sufi yang keblabasan. Padahal Islam itu sangat concern dengan kemakmuran. Buktinya Nabi mengatakan, “Kefakiran atau miskin mendekati kekufuran.” Tapi sayangnya, selama ini yang dominan adalah kajian-kajian tentang keburukan akibat memiliki kekayaan. Cuman sampai di situ aja! Umat ini ditakut-takuti terus. Sementara, siapa sih yang tidak pingin kaya?
Di sinilah kemudian timbul masalah. Ketika keinginan kaya itu begitu besar sementara orang tidak tahu bagaimana mendapatkannya dengan benar, maka seringkali memakai jalan pintas, misalnya korupsi. Kalau mau jujur, siapa yang banyak melakukan korupsi di negeri ini? Nah, kemudian timbul inspirasi untuk menulis buku ini yang tidak hanya membahas cara mendapatkan kekayaan tetapi bagaimana mengelolanya dengan baik.
Sekilas hampir semua kajian keagamaan kurang memberi tempat mengenai tema cara-cara menjadi kaya. Bahkan tema ini terkesan agak ‘dimusuhi’. Pandangan Anda?
Inilah anehnya. Seolah-olah kalau kita beragama dengan baik itu tidak butuh duit atau tidak boleh kaya. Kalau pun merasa butuh, tapi tidak mau belajar dengan baik tentang cara-cara menjadi kaya karena ada kekhawatiran dianggap serakah. Kalau mau jujur, kita ini kan hidup di dunia yang membutuhkan duit. Orang bilang UUD, ujung-ujungnya duit. Saya sih tidak merasa tema buku saya ini akan mendapatkan ‘perlawanan’. Justru saya merasa ini adalah tantangan. Bahkan saya sudah memiliki ide untuk menyebarluaskan kajian-kajian sejenis ini melalui sebuah gerakan. Mungkin namanya “Gerakan Nasional Keberkahan Finansial”. Untuk itu saya berharap pada teman-teman atau tokoh-tokoh yang lain dapat membantu gerakan ini. Saya yakin gerakan ini akan sedikit membantu upaya pemerintah untuk memberantas korupsi.
Tema entrepreneurship dan cara menjadi kaya cukup dominan dalam buku-buku anda. Bagaimana perspektif Islam yang sesungguhnya mengenai hal ini?
Saya memang concern dengan masalah ini, karena saya sangat prihatin dengan bangsa Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, namun penduduknya masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan. Lebih dari itu, saya sangat prihatin dengan ketimpangan ekonomi di negeri ini. Ditambah lagi begitu meluasnya persepsi bahwa korupsi masih dianggap salah satu jalan ‘legal’ untuk meraih kekayaan. Nah, dari sinilah saya kemudian ingin berbuat sesuatu sesuai kemampuan saya. Apalagi, tidak ada satu pun ayat Qur’an maupun hadits Nabi yang melarang berbisnis dan mencari uang sebanyak-banyaknya, asalkan tetap pada koridor moral. Bahkan pekerjaan berdagang atau menjadi entrepreneur itu dianggap lebih baik dari pekerjaan lain. Nabi pun mengatakan bahwa sembilan pintu rezeki itu berasal dari perdagangan. Demikian juga dalam shalat di dalamnya ada doa “ ……. warzuqni...berilah rezeki…..”. Untuk urusan dunia, Islam juga mengajarkan kepada kita agar bekerja seolah-olah kita akan hidup selamanya, tetapi ketika sudah beribadah, seolah-olah akan mati besok.
Dalam buku Keberkahan Finansial ini tampaknya Anda mencoba mengemas konsep-konsep how to get rich ala ‘barat’—yang nota bene banyak dianggap sebagai ‘sekuler’—dengan bungkus konsep-konsep Islami. Benarkah?
Saya tidak memungkiri bahwa ada pemikiran orang-orang barat di dalam buku saya. Tetapi, nyatanya tidak semua pemikiran orang barat bertentangan dengan Islam. Jadi apa salahnya? Demikian juga, tidak selalu yang datangnya dari Arab—tempat diturunkannya Islam—itu selalu Islami. Nah, berkenaan dengan hal ini, Islam juga sudah memberikan guidance bahwa urusan dunia itu memang diserahkan kepada kita. Antum a’lamu biumuriddun-yaakum: “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Namun demikian, saya tidak membungkus pemikiran mereka dengan konsep Islami.
Menurut Anda, apakah ada perbedaan substansial antara cara-cara menjadi kaya seperti dalam teori Kiyosaki dll itu dengan cara-cara menjadi kaya versi Keberkahan Finansial?
Oh, pasti ada! Kalau mereka lebih menitik beratkan pada usaha dan kerja keras saja dan seolah-olah menjadi kaya itu hanya urusan pribadi (egois), ditambah konsep kapitalisme. Dalam konsep Keberkahan Finansial, menjadi kaya itu bukan urusan pribadi dan kerja keras semata, tetapi harus dimulai dengan keluhuran jiwa dan kecerdasan spiritual. Prinsip khairunnas – anfauhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain—harus didahulukan. Dengan prinsip itu, akhirnya kita akan menjadi kaya secara ‘otomatis’. Uang akan ngikut dengan sendirinya. Kenapa demikian? Karena dengan prinsip itu kita akan berusaha menjadi profesional dalam bidang apa pun yang kita geluti. Orang profesional, tentu banyak yang membutuhkan.
Makanya dalam buku itu ada sub bahasan “Raihlah Akhiratnya, Dapatkan Uangnya” dan “Bertambah Kaya dengan Mensejahterakan Orang Lain”. Selain itu, dalam konsep ini, saya mencoba menguraikan konsep Distributor Rezeki. Semakin dipercaya seseorang untuk menjadi ‘distributor’ rezeki, semakin besar kekayaan seseorang. Ini sejalan dengan konsep Islam yang mengatakan bahwa di dalam harta yang kita miliki terdapat titipan orang lain yang harus kita bagikan atau beramal. Nah, sebenarnya orang yang ingin kaya itu harus berlomba untuk mendapatkan kepercayaan menjadi ‘distributor rezeki’ tersebut.
Menurut Anda, apakah dalam ekonomi Islam dikenal konsep-konsep perencanaan keuangan?
Secara tegas tentang perencanaan keuangan memang belum pernah saya temukan. Tetapi seperti yang saya sebutkan di atas, urusan dunia ini diserahkan kepada kita kok… jadi ya terserah kita, bagaimana baiknya aja! Soal perencanaan keuangan itu kan hanya istilah saja. Dasar-dasar secara umum tentu ada seperti sebuah hadits yang mengatakan “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara yang lain. Pertama, masa hidupmu sebelum datang kematianmu. Kedua, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Ketiga, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. Keempat, masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Kelima, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu”.
Bagaimana cara Anda mendamaikan konsep-konsep meraih kekayaan yang memakai sistem pelipatgandaan uang berbasis bunga dengan konsep ekonomi syariah yang mengharamkan bunga?
Semua ‘ulama sepakat bahwa riba itu haram. Tetapi apakah bunga bank itu termasuk riba, menurut saya masih khilafiyah atau masih terjadi perbedaan pendapat. Biarkanlah itu berkembang menjadi perbedaan, karena masing-masing memiliki alasan. Sah-sah saja. Akan tetapi kalau kita ingin lebih berhati-hati, memilih sistem syariah tentu sangat lebih baik.
Soal ajakan untuk melek finansial ini, Anda optimis akan banyak yang mendengar?
Saya yakin, ‘bola’ ini akan terus bergulir dan mendapat respon yang baik dari masyarakat karena sesungguhnya masyarakat membutuhkan ini. Optimisme ini setidaknya berkat dukungan tokoh-tokoh seperti KH.Abdullah Gymnastiar yang bersedia memberikan kata pengantar pada buku saya. Demikian juga KH. Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Syariah MUI. Safir Senduk, perencana keuangan. Juga Aidil Akbar Madjid, Chairman IARFC, H. Rahmat Hidayat yang pakar syariah, Ida Kuraeny, Ketua Umum IAAI, dan DR. Ir. Wahyu Saidi, MSc, yang pengusaha waralaba Bakmi Tebet. Mereka semua bersedia memberikan endorsement atau testimoni pada buka saya.(ez)
* Safak Muhammad dapat dihubungi di: safak.muhammad@keberkahanfinansial.com
0 komentar:
Posting Komentar