Jika bicara topik creative writing, maka jangan ragu lagi, Naning Pranoto-lah pakarnya. Dialah satu di antara sedikit penulis yang benar-benar menekuni dunia creative writing, sekaligus secara formal belajar mengenai bidang tersebut di University of Western, Sydney, Australia. Mantan wartawan majalah Mutiara dan Kartini, serta mantan Pemimpin Redaksi majalah Jakarta-Jakarta ini sungguh-sungguh all out di bidang penulisan. Tak kurang dari 15 novel yang telah dia garap dengan judul-judul yang memukau, di antaranya: Mumi Beraroma Minyak Wangi, Miss Liu, Musim Semi Lupa Singgah di Shizi, Bella Donna Nova, Azalea Jingga, Angin Sorrento, Perempuan dari Selatan, Dialog Antar Dua Topeng, dan Wajah Sebuah Vagina. Bukan hanya bergerak di buku-buku fiksi, Naning Pranoto juga telah menulis buku nonfiksi berjudul Creative Writing – 72 Jurus Seni Mengarang (PM Pustaka, 2004) dan belasan buku panduan lainnya.
Naning yang kelahiran 6 Desember 1957 di Yogyakarta ini juga tercatat sebagai salah satu pakar penulisan yang aktif membagikan ilmunya melalui berbagai workshop penulisan kreatif. Pelatihan-pelatihan menulis yang diadakannya terbukti diminati khalayak, terutama untuk teknik penulisan kreatif. Tampaknya, Naning menjadi satu di antara sekian banyak penulis yang sangat bergairah untuk melahirkan penulis-penulis baru, baik melalui ceramah-ceramah, pelatihan-pelatihan, termasuk mengadakan sejumlah lomba penulisan.
Yang juga cukup khas dari seorang Naning adalah pada kemampuannya untuk terus menulis dalam dua ranah penulisan; fiksi maupun nonfiksi. Tampaknya, latar belakangnya sebagai jurnalis serta kekayaan imajinasinya memungkinkan hal tersebut. Suatu kemampuan mengawinkan dua dunia penulisan yang mungkin saja tidak dimiliki oleh banyak penulis umumnya. Nah, untuk mengetahui proses kreatif yang luar biasa tersebut, berikut wawancara Edy Zaqeus dari Pembelajar.com dengan pendiri situs Rayakultura.net ini:
Anda dikenal sebagai salah satu penulis yang sering mengadakan pelatihan menulis. Apa tujuan dan motivasi aktivitas tersebut?
Pelatihan Penulisan Kreatif atau Creative Writing Workshop (CWW) yang sering saya lakukan tujuannya yang utama mengajak siapa saja gemar menulis. Karena selama ini banyak yang menyakini hanya mereka yang berbakat menulis-lah yang bisa menulis atau mengarang. Padahal tidak demikian. Siapa saja bisa menulis asalkan ia mau dan disiplin menulis, serta tahu apa yang mau ditulisnya. Memang, untuk menjadi penulis yang berkualitas harus banyak membaca. Tetapi bagi pemula, cukup menulis dari pengalaman-pengalamannya atau impian-impiannya dan sebagainya. Menulis itu banyak manfaatnya, selain untuk mengekspresikan butir-butir pemikiran, ide-ide atau gagasan untuk menjadi inspirasi pembacanya, juga sebagai terapi jiwa—semacam pelepasan dan pencerahan—paling tidak itu, yang saya rasakan.
Seberapa besar minat masyarakat terhadap kegiatan semacam itu?
Menurut pengamatan dan pengalaman saya, animo masyarakat untuk menulis cukup baik, bahkan mengejutkan. Buktinya, setiap kali saya diundang untuk jadi tutor CWW pesertanya mbludak, bahkan sering sampai menolak. Pesertanya tidak hanya kaum muda saja tapi manula. Juga anak-anak. Saya membuka les privat menulis pesertanya selalu ada. Mereka datang ke rumah saya dan saya senang sekali, karena punya teman untuk sharing dan menjadi sumber inspirasi dan energi untuk terus berada di track yang sudah saya jalani di bidang penulisan.
Biasanya, apakah pesertanya kemudian tergerak untuk berkarya?
Setahu saya, mereka yang telah mengikuti CWW pada umumnya menulis. Bahkan tidak sedikit yang menulis naskah untuk diterbitkan menjadi buku. Tapi ada juga yang sekadar ikut, terus tidak menulis dengan alasan tidak punya waktu atau tidak in the good mood. Menurut saya, kalau memang mau menulis seharusnya tidak usah menunggu in the good mood, menulis saja seperti bernafas. Soal waktu memang kadang sulit bagi yang sibuk. Akhir-akhir ini saya juga merasa kekurangan waktu untuk menulis karena banyak kegiatan sosial.
Ok, Anda termasuk penulis yang juga suka menggunakan judul kontroversial, seperti novel “Wajah Sebuah Vagina”. Seberapa besar kontribusi judul kontroversial bagi penjualan buku?
Judul kontroversial tidak selalu mendongkrak oplag penjualan buku. Sekarang ini, buku bisa jadi laris karena tidak mutlak tergantung pada judul atau isi yang menarik. Melainkan, bagaimana buku tersebut ditangani secara baik marketingnya, promosinya, dan adanya peran media tertentu ysng memberitakan. Misalnya, menulis resensi, wawancara penulisnya, dll. Pasar sekarang ini bisa ramai melariskan suatu produk kalau didukung promosi. Penerbit di Indonesia belum mau mengeluarkan dana untuk promosi, bahkan untuk meluncurkan atau launching saja tidak mau. Jadi, penulisnya mesti ikut aktif, kalau perlu membiayai peluncurannya.
Belakangan, Anda juga merambah nonfiksi untuk buku-buku how to remaja. Apa motivasi membidik segmen tersebut?
Saya menulis buku how to karena ingin memberi semacam ‘menu suplemen’ buat remaja yang akhir-akhir ini banyak mengkonsumsi bacaan semacam junkfood. Mereka perlu vitamin – ya berbagai pengetahuan tentang dunia remaja sebagai bekal memasuki gerbang dewasa. Sebab kalau hanya macam junkfood terus, mau jadi apa mereka? Tapi para pengelola toko buku saya lihat, lebih senang menghidangkan junkfood daripada buku-buku yang saya tulis. Saya tahu, buku-buku jenis junkfood di mana-mana diminati. Tapi, apa akibatnya kelak untuk kesehatan konsumennya?
Segmen itu menjanjikan?
Sebetulnya buku-buku untuk remaja pasarnya cukup subur. Untuk buku saya, hasil penjualannya biasa-biasa saja karena tidak didukung promosi. Tapi, kalau buku itu saya jual sendiri di seminar-seminar yang digelar oleh yayasan saya, atau saya diundang oleh pihak lain, cukup laris. Mungkin, saya harus menjual sendiri buku-buku saya ha…ha…ha… Penulis merangkap pedagang! Saya pikir bagus, lalu apa pekerjaan penerbit?
Bergerak pada tulisan fiksi dan nonfiksi bukan hal mudah. Kiat Anda?
Saya sebetulnya tidak pernah berpikir apakah saya pengarang yang menulis fiksi atau penulis yang menulis nonfiksi. Karena prinsip saya menulis! Menulis apa saja, seperti halnya saya suka membaca buku apa saja sejak saya masih usia dini. Sumber bacaan saya sangat variasi, apalagi selama saya tinggal di luar negeri, saya memanfaatkan waktu hanya untuk membaca dan belajar. Apa yang saya baca menjadi sumber tulisan saya.
Apa yang membuat Anda begitu produktif menulis?
Faktor yang berpengaruh pada produktivitas saya adalah karena saya memang selalu terdorong untuk menulis, the strong will to do writing!. Selain itu, saya ini tipe manusia yang tidak bisa tidur lebih dari lima jam. Maka saya suka menulis, membaca, atau mendengarkan musik.
Dari mana ide-ide Anda datang?
Ide-ide novel saya semuanya bersumber dari perjalanan hidup saya ketika bertemu dengan berbagai manusia dari berbagai bangsa. Misalnya, waktu saya tinggal di Sao Paulo dan di Rio de Janiero, Brazil, saya terinspirasi menulis dua novel yaitu Bella Dona Nova Bukan Telenovela dan beberapa cerpen yang isinya mengenai manusia, sosial, kebudayaan dan gaya hidup orang-orang Amerika Latin. Begitu juga waktu saya tinggal di Filipina, Belanda—apalagi di Australia—maka novel-novel saya selalu ber-setting luar negeri. Ada beberapa pihak yang menyindir saya ‘kebarat-baratan’– saya pikir, itu tidak benar. Saya hanya menulis apa yang saya tahu, saya lihat dan saya pahami….
Pengarang mana saja yang mempengaruhi atau menginspirasi tulisan-tulisan Anda?
Saya terpengaruh oleh karya-karya penulis pemenang nobel sastra, antara lain Garcia Marquez, Toni Morrison, Gunter Grass, Hemingway, Fulker – juga pengarang Timur Tengah seperti Nawal El Sadawi yang feminis. Puisi-puisi Jalalludin Rumi sangat merangsang saya untuk menulis bergaya puitis dan filosofis. Masih banyak lagi pengarang yang karyanya saya sukai.
Soal dikotomi penulis idealis versus penulis pasar?
Saya tidak terlalu memaknakan dikotomi tersebut. Tapi saya kagum kepada para penulis kaliber dunia yang punya semboyan: saya menulis untuk diri saya ha…ha…ha… Tapi nyatanya justru mereka ini menulis untuk siapa saja dan karyanya diterima, punya nilai yang luar biasa.
Kalau disuruh pilih, Anda di posisi mana?
Saya di posisi mana saja, tidak peduli. Hanya saya tidak mampu menjadi penulis yang mengikuti pasar.
Definisi penulis sukses?
Penulis yang sukses? Dinilai dari segi mana dan apa? Di Indonesia pada umumnya sukses diartikan dengan ‘kemampuan meraup uang’. Bahkan segala hal yang laris, laku di pasar lalu dicap bagus. Jadi, kalau menurut saya, penulis yang sukses adalah penulis yang menulis berdasarkan misinya, punya misi tertentu, untuk kepentingan orang banyak – dan walau tidak dianggap oleh masyarakatnya ia tetap konsisten pada misinya.
Lagi menggarap karya apa lagi nih?
Saya sekarang sedang menggarap beberapa buku fiksi dan nonfiksi, khususnya Creative Writing untuk Tingkat Lanjut. Juga beberapa text-book. Sayangnya, saya sedang terikat pekerjaan yang membuat saya kekurangan waktu untuk menulis. Wah, kepala rasanya mau pecah, karena banyak yang ingin ditulis tapi waktunya tidak ada… Yang sedikit menyenangkan, baru saja kami meluncurkan buku yang ditulis oleh anak-anak SD yang pernah memenangkan lomba menulis kreatif yang kami selenggarakan. Judul bukunya: 10 Dunia, Refleksi dan Ekspresi Anak-anak Indonesia.
Kabarnya lagi mengadakan lomba penulisan lagi?
Ya, yayasan kami, Garda Budaya didukung PT Rohto Laboratories Indonesia sedang menyelenggarakan Lomba Menulis Cerita Pendek bertema remaja, berhadiah total Rp 50 juta. Tujuannya untuk mendorong dan meningkatkan minat remaja menulis karya sastra. Lihat aja langsung ya di website saya: http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=104.
0 komentar:
Posting Komentar