Oleh Paulus Winarto
Sehari sebelum acara wisuda sarjana, seorang sahabat yang merupakan salah satu calon wisudawan memberikan satu pernyataan yang betul-betul mengejutkan saya. “Besok akan menjadi hari yang menggembirakan sekaligus menyedihkan dalam hidup saya,” katanya dengan wajah sedih. “Bagaimana bisa?” tanya saya penuh rasa penasaran. “Saya gembira karena terbukti mampu menyelesaikan studi sarjana saya. Yang menyedihkan hati saya adalah mulai besok saya akan jadi pengangguran di negeri ini. Status sosial saya turun drastis dari mahasiswa menjadi pengangguran!” lanjut calon sarjana teknik ini.
Ia juga mengemukan sejumlah kekhawatirannya. Beberapa hari sebelumnya, dalam sebuah perbincangan dengan dosen walinya, sang sahabat ini diberikan sejumlah wejangan penting oleh sang dosen wali. “Perlu kamu sadari ada banyak sekali kriteria seleksi sarjana untuk terjun di dunia kerja. Misalnya ketrampilan berkomunikasi, kejujuran, kemampuan bekerja dalam sebuah tim, kemampuan berhubungan baik dengan orang lain, etos kerja, kemampuan analisis, engineering skills, motivasi diri yang kuat, kepercayaan pada diri sendiri, fleksibilitas, dsb. Sayangnya pendidikan di perguruan tinggi sampai saat ini lebih banyak menekankan pada kemampuan analisis dan engineering skill,” kata sang dosen.
Cerita di atas sekaligus mengingatkan saya bahwa pendidikan formal saja tidak pernah cukup. Mohon maaf, saya tidak sedang menghujat sekolah atau kampus (lembaga pendidikan formal). Yang ingin saya tekankan di sini adalah prestasi akademik saja tidak akan menjadikan seorang sarjana sukses di masyarakat. Persis seperti yang saya sampaikan ketika seminar kewirausahaan di Universitas Kristen Petra Surabaya, Maret 2003 lalu, “Jangan menghujat sekolah namun jangan pula memuja sekolah!” Intinya, masih banyak sekali yang harus dipelajari seseorang setelah ia lulus. Belajar adalah sebuah proses seumur hidup. Jika kita berhenti bertumbuh (termasuk berhenti belajar) artinya kita telah mati dalam hidup. Artinya, jangan menjadi orang yang sama dari dulu, sekarang sampai selama-lamanya. Kita harus selalu bertumbuh ke arah yang lebih baik dari hari ke hari. Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan mantan rektor sebuah perguruan tinggi ternama di kota Bandung tengah memborong sejumlah buku di sebuah toko buku. Rupanya beliau secara rutin mengunjungi toko buku. Salut!
Pendidikan formal memang penting. Bukankah banyak sekali penelitian ilmiah (misalnya di bidang kedokteran) yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal? Sayangnya banyak mahasiswa yang memilih DO (drop out) setelah membaca buku-buku kewirausahaan yang menceritakan bagaimana orang-orang yang putus sekolah bisa menjadi pengusaha sukses. Sebagian kemudian beranggapan agar bisa menjadi pengusaha sukses harus DO. Jika mau jujur, berapa banyak sih persentasi mereka yang DO yang kemudian sukses? Jika dibandingkan, mana yang lebih banyak, orang yang tidak berpendidikan yang kemudian menjadi bajingan dengan orang yang tidak berpendidikan yang kemudian menjadi orang sukses? Semoga kita bisa cukup bijaksana menilai sesuatu sebelum mengambil keputusan. Ingat, penyesalan selalu datang belakangan.
Dengan semakin meningkatnya angka pengangguran di negeri ini –yang telah mencapai 40 juta orang- tentu akan makin sulit menemukan lapangan pekerjaan di negeri ini. Itulah sebabnya kita harus memikirkan jalan keluarnya. Saya rasa salah satu pilihan yang bisa diambil adalah dengan menjadi wirausaha (entrepreneur). Dengan berwirausaha, kita bukan saja menolong diri kita tapi dapat juga menjadi saluran berkat bagi orang lain. Kita dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Yang lebih baik lagi apabila kita kemudian dapat mendidik karyawan kita agar suatu saat nanti ia pun memiliki keberanian untuk berwirausaha.
Ada seorang teman saya yang ketika itu sudah setahun menganggur namun tidak pernah berkecil hati. Ia kemudian membuka usaha yang berawal dari hobinya: membaca komik. Kini ia telah memiliki 2 cabang rental komik yang lokasinya dekat dengan kampus. Keuntungan perbulannya mencapai Rp 3 juta. Salut! Yang menarik, ia memulai bisnis ini dengan modal hanya beberapa juta rupiah. Maklum, buku-buku yang ada di rental tersebut sebagian adalah koleksi pribadinya. Anda pun bisa menempuh jalan yang sama. Sebuah hobi jika dijadikan bisnis akan sanggat menggairahkan karena Anda akan mengerjakannya sepenuh hati.
Membangun sebuah bisnis tentu bukan hal yang mudah. Apalagi ada kecenderungan dalam diri manusia ingin langsung besar (instant). Padahal alam mengajarkan kita untuk berlaku sebaliknya. Tidak ada pohon yang bisa tumbuh besar dalam semalam. Bayi pun tidak bisa langsung berlari ketika dilahirkan. Memulai bisnis dari kecil tentu sangat berat namun di situlah tantangannya. Bisnis yang dibangun dari bawah akan memiliki pondasi yang lebih kuat karena Anda sudah terbiasa menghadapi segala macam permasalahan.
Dalam buku First Step to be An Entrepreneur, saya menulis bahwa untuk menjadi seorang entrepreneur Anda harus berani mengambil risiko, menyukai tantangan, memiliki daya tahan yang tinggi, memiliki visi jauh ke depan dan selalu memberikan yang terbaik. Persoalannya selalu muncul di risiko, lantas sering timbul pertanyaan, risko macam apa yang harus diambil jika saya ingin berwirausaha? Jawabannya jelas, risiko yang telah Anda perhitungan dengan matang (calculated risk). Ada sejumlah pertanyaan mendasar yang bisa Anda ajukan untuk itu. Misalnya, adakah pasar untuk produk saya? Mampukah saya menciptakan pasar jika produk saya benar-benar baru? Bagaimana cara saya memasarkan produk saya? Bagaimana dengan tingkat persaingan saat ini? Apa kelebihan produk saya dibandingkan dengan kompetitor? Bagaimana dengan penyediaan bahan baku? Dsb.
Ketika mulai berwirausaha saya juga menemukan setidaknya ada 4 hal yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir risiko. Pertama, kita bisa mencari pembimbing yakni pengusaha yang sudah sukses. Kedua, membentuk tim. Ketiga, memiliki jaringan yang luas (ini penting untuk perluasan pasar) dan keempat, jika masih ragu-ragu coba beli sistem yang telah mapan (misalnya sistem pemasaran jaringan atau sebuah franchise). Setahu saya ada franchise yang berani mengembalikan uang yang telah Anda investasikan jika dalam jangka waktu tertentu usaha Anda tidak menguntungkan meski telah mematuhi semua hal dalam sistem tersebut).
Jika risiko telah bisa Anda kalkulasi dengan matang buatlah rencana dan action! Konsep sebagus apa pun tidak akan berhasil jika tidak dilaksanakan. Lagipula agar bisa sukses dalam hidup ini kita harus menghindari 5 sikap: NATO (no action talk only), NACO (no action concept only), NADO (no action dream only), NAPO (no action plan only) dan NARO (no action review only). Action is power!
Yang terakhir, jangan lupa apa pun yang Anda kerjakan akan berhasil jika mendapat restu dari-Nya. Di sinilah pentingnya kekuatan doa. Saya selalu teringat akan nasihat dari seorang sahabat mengenai pentingnya berkerja bersama Allah untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,” begitu nasihatnya. Salam sukses buat Anda semua!
* Paulus Winarto adalah entrepreneur, trainer dan penulis buku-buku motivasi best seller (First Step to be An Entrepreneur, Top Secrets of Success dan Reach Your Maximum Potential). Ia tinggal di Bandung dan dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id
0 komentar:
Posting Komentar