Oleh: Her Suharyanto
SUATU HARI saya pernah mendapatkan email, mungkin anda juga mendapatkan email yang sama. Email tersebut disertai satu file gambar, yang dimaksudkan sebagai lelucon. Dalam file itu tampak gambar Sumanto yang sedang tertawa (lebih tepatnya meringis), dan di sampingnya ada satu botol minuman dengan teks iklan: Apapun Makanannya, Minumannya Teh Botol Sosro…
Ingat nama Sumanto, bukan? Saat tulisan ini dibuat, dia masih berstatus sebagai nara pidana, karena kasus “makan jenazah manusia”. Dia memakan potongan jenazah tersebut setelah memasaknya lebih dulu. Bahkan dia sempat berbagi “makanan” itu dengan ayahnya sendiri, yang mengaku tidak tahu daging apakah yang telah dimakannya itu.
Peristiwa ini langsung menjadi santapan media massa, baik cetak maupun elektronik, sehingga terbangunlah satu brand atau citra: Sumanto sang pemakan (jenazah) manusia. Citra ini sedemikian meluas sehingga ibu-ibu menakut-nakuti anaknya yang nakal: awas nanti digigit Sumanto. Atau, orang-orang kantoran sering menempatkan “brand” Sumanto itu dalam humor: Gue kirim Sumanto lu, baru nyaho… dan sebagainya.
Sumanto adalah orang yang mempunyai brand dengan cakupan yang sedemikian luas. Brand Sumanto sebagai “pemakan jenazah” begitu cepat meluas karena beberapa alasan. Pertama, Sumanto mempunyai tingkat keunikan yang sangat tinggi. Dia adalah orang yang “luar biasa”. Jangankan memakan daging orang. Memakan daging-daging tertentu yang lain pun (anjing, kucing, kuda) oleh (sebagian) masyarakat kita ditabukan. Kalau pun tidak dianggap tabu, bagi sebagian orang ada semacam rasa tidak sampai hati untuk makan daging, katakanlah daging ular, katak, bekicot dll. Apalagi daging manusia, dan lebih-lebih lagi jenazah. Tetapi Sumanto justru telah memakan jenazah manusia dengan sadar dan merasa tidak ada yang salah dengan itu. Dan bagi Sumanto, berbeda dengan prinsip umum dalam masyarakat bukanlah suatu masalah. Maka jadilah keunikan itu sebagai sesuatu yang melekat kuat pada diri Sumanto.
Kedua, brand seperti itu langsung menjadi santapan media, karena fenomena Sumanto telah merebut tiga syarat berita sekaligus, yaitu faktor aktualitasnya (pada waktu itu), keunikannya, dan faktor human interest-nya. Pada saat peristiwa itu baru terjadi, tentu saja berita tentang Sumanto si pemakan jenazah adalah berita yang sangat aktual, dalam arti baru jerjadi. Di samping itu berita ini adalah unik, karena (hampir) tidak pernah terjadi dalam peradaban modern. Dan yang lebih menghentak lagi, ini menyangkut “perlawanan” terhadap sesuatu yang dianggap sakral dalam tata hidup bersama.
Maka itulah yang kemudian terjadi: Sumanto made headlines dan mendapatkan brand-nya, betapapun negatif dan tidak produktifnya brand tersebut.
SUMANTO ADALAH potret tragis kegagalan manusia untuk mengendalikan citra atau brand pribadinya. Dalam masyarakat kita terlalu banyak orang seperti Sumanto: tidak mampu mengendalikan citranya. Ada begitu banyak orang yang begitu “pasrah”, terserah orang mau bilang apa. Pencitraan oleh publik seperti ini sangat umum terjadi dalam berbagai masyarakat tradisional kita, tanpa yang bersangkutan sendiri mau mengubahnya. Di Jawa ada nama Joyo Gule di samping Joyo Pece karena yang satu adalah penjual gulai kambing, yang satu punya cacat penglihatan. Ada Pardi Keling dan Pardi Ludruk karena yang satu berkulit hitam dan yang satu pemain teater tradisional jawatimuran, ludruk. Orang menerima begitu saja brand yang dilekatkan oleh masyarakat, entah berdasarkan profesinya, kebiasaannya, bahkan berdasarkan ciri fisik yang paling menghina sekalipun.
Tentu tidak ada masalah ketika citra yang diterapkan oleh publik memang pas dengan citra yang ingin didapat oleh orang yang bersangkutan. Saya senang-senang saja ketika orang-orang sekomplek saya menyebut saya Her Wartawan. Tetapi saya mulai agak gerah ketika teman-teman wartawan menyebut saya Her Asuransi, karena semasa tergabung di media cetak liputan saya lebih luas dari sekadar asuransi. Maka jangan heran kalau ada orang yang mengganti nama. Mungkin saja ada orang yang mengganti nama untuk mendapatkan nama yang lebih bertuah dan sebagainya, tetapi cukup banyak yang bermaksud ingin membentuk brand pribadinya baru. Ini adalah awal dari sebuah personal branding. Cara menuliskan nama yang berbeda dengan nama dalam akte kelahiran, misalnya, juga merupakan bagian dari proses branding tersebut.
Proses personal branding di sini dimaksudkan sebagai langkah proaktif dari seseorang untuk membangun persepsi publik terhadap dirinya. Lebih dari sekadar proaktif, kalau perlu dalam proses ini orang bisa sampai pada tahap membentuk persepsi publik terhadap dirinya. Langkah seperti ini sangat umum dilakukan pada massa kampanye, terutama dalam kampanye pemilu yang baru lalu. Dalam pemilu 1999, yang dikampanyekan atau dipromosikan adalah nama partai. Tetapi dalam pemilu 2004, orang sudah mempromosikan nama diri, entah sebagai calon legislatif atau sebagai calon presiden. Promosi itu dilakukan dengan gencar, dengan biaya yang sangat mahal, karena kesuksesan atau kegagalan mereka ditentukan oleh persepsi publik. Semakin populer, semakin besar kemungkinan bagi mereka untuk menang. Dan itulah yang sungguh terjadi, terutama dalam proses pemilihan presiden.
Trend personal branding dalam konteks pemilu masih akan berjalan panjang, bahkan dalam ruang lingkup yang meluas, karena pemilihan kepala daerah pun akan dijalankan secara langsung. Di luar faktor politik uang, yang akan sangat menentukan siapa calon pemenang dalam Pilkada ini adalah soal bagaimana proses membangun citra tersebut.
DALAM DUNIA profesional, soal personal branding tidak kalah pentingnya. Siapa akan menjadi apa dalam banyak kasus sangat bergantung pada seberapa kuat personal brand yang berhasil dibentuknya. Dalam kasus politik, proses personal branding secara strategis memang cukup umum dilakukan. Tetapi dalam konteks profesional belum banyak orang yang melalukan itu. Dari sedikit orang itu, sebut saja Agnes Monica, artis remaja yang berani menyewa manajer yang sungguh peduli dan paham akan pentingnya personal brand. Selebihnya orang lebih mengandalkan proses branding yang alamiah, kalau tidak mau disebut pasif. Banyak artis yang coba nyanyi kesana kemari… siapa tahu ada produser yang mengajak rekaman. Kaum profesional ngobrol sana ngobrol kemari…. Siapa tahu ada yang mengundang sebagai pembicara seminar.
Setelah itu, siapa tahu ada wartawan yang mengutip pendapatnya, dan menjadikannya terkenal untuk kemudian layak jadi staf ahli presiden. Tapi apa yang dilakukan secara konkrfet? Nothing. Maka kita pasti tidak terkejut kalau ada begitu banyak ahli dan profesional di negeri ini yang setelah pensiun harus kesana kemari mencari pekerjaan dan tak ada yang mengenal nama dan keahliannya.
Hal ini terjadi karena orang memang tidak pernah melakukan proses branding. Mengapa? Bisa jadi ini adalah satu bentuk rendah hati yang salah kaprah. Orang merasa tidak pantas untuk menonjolkan keahliannya. Orang merasa perlu bersikap humble menerima diri apa adanya. Padahal branding adalah soal mengubah, membentuk dan membangun persepsi publik atas diri seseorang. Tetapi atas nama rendah hati tersebut orang sering terpaksa menjadi korban pencitraan yang sedemikian tidak benar, bahkan sering secara kejam, sehingga sulit bagi yang bersangkutan untuk merevisinya.
* Her Suharyanto adalah penulis dan editor independen dengan pengalaman belasan tahun. Tulisannya tersebar di sejumlah media seperti Mingguan Hidup, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Minggu Pagi, Utusan, dan Kompas. Sebelumnya, ia pernah bekerja di PH Idola Citra Utama, wartawan Indonesia Business Weekly, Bisnis Indonesia, dan Dow Jones Newswires. Ia memenangi beasiswa British Chevening Award dari British Council untuk studi jurnalistik di Cardiff, Wales, Inggris (1995). Hingga kini ia telah menulis 7 buku (4 atas nama sendiri, 3 sebagai ghost writer), 1500 straight news (berita pendek), 300 features, 100 artikel, 10 cerpen, 120 sandiwara radio, satu iklan televisi, 20 advertorial, 30 bahan presentasi seminar. Ia banyak diundang untuk berbicara dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik dan kepenulisan di berbagai kalangan dan kelompok profesi. Kini Her Suharyanto adalah executive editor pada Scripta Production, rumah produksi yang menangani penulisan biografi dan manuscript buku populer. Ia dapat dihubungi melalui email: her_suharyanto@hotmai.com.
0 komentar:
Posting Komentar