toko-delta.blogspot.com

menu

instanx

Senin, 10 November 2008

Mengubah Kekalahan Menjadi Kemenangan -

Oleh: M. Iqbal*


Judul di atas adalah sub judul yang saya dapatkan dari buku “Berpikir dan Berjiwa Besar” yang ditulis David J. Schwartz. Di dalam sub judul tersebut lengkapnya ialah, “Bagaimana Mengubah Kekalahan Menjadi Kemenangan”. Sengaja saya hilangkan kata ‘bagaimana’ agar judul di atas sedikit nyastra. Dan tulisan ini memang terinspirasi dari buku tersebut. Saat saya membacanya saya mendapatkan kesan yang begitu mendalam.

Kita temukan di kalangan kelas menengah ke bawah, apa pun profesinya sering mengalami kekalahan, keletihan, dan ketakberdayaan. Di antara mereka ada yang bercerita tentang situasi yang saya sebutkan di atas, dan ada juga yang hanya dipendam saja, mengutuk dirinya, dan membiarkan dirinya dalam keadaan seperti itu. Kata-kata negatif bermunculan dari mulutnya entah menyalahkan diri sendiri atau pun orang lain. Di antara kata semacam itu ialah seperti “semua yang aku lakukan sia-sia saja”, “aku merasa bodoh sekali”, “sudah berkali-kali aku menulis namun tak juga dimuat, aku memang tak bakat” dan masih banyak lagi. Akhirnya, mereka putus asa dan membiarkan dirinya dalam keadaan seperti itu, tak ada usaha lagi, menyalahkan nasib, dan menghindar untuk maju lagi, serta tetap berada di zona kenyamanannya. Kenyamanan dalam keresahan, karena kalah. Itulah gambaran dalam dunia orang-orang kalah.

Namun lain halnya dalam dunia orang-orang berhasil. Kita temukan mereka dari kalangan bawah (miskin), menengah (standar), maupun atas (kaya). Dan satu hal yang sama-sama mereka pernah alami dalam menempuh keberhasilannya yaitu “sama-sama pernah mengalami situasi keras” ujar David J. Schwartz dan bisa mengatasinya, tak kenal kalah. Adapun perbedaan antara orang (menjadi) sukses dengan orang (menjadi) gagal ialah “respon mereka terhadap kekalahan“, begitu David membedakannya. “Ketika orang yang sekarang menjadi orang terbuang terpukul jatuh, ia gagal untuk bangkit kembali. Ia cuma berbaring di tempatnya terjatuh. Tuan menengah bangkit berlutut, merangkak menjauh, dan ketika sudah tidak terlihat, berlari ke arah yang berlawanan sehingga ia akan yakin tidak akan terpukul jatuh lagi. Akan tetapi tuan sukses bereaksi secara berbeda ketika ia terpukul jatuh. Ia bangkit, belajar dari kesalahannya, melupakan pukulan tersebut, dan bergerak maju.”. Itulah penjelasan David mengenai perbedaan orang yang gagal dan sukses dalam merespon terhadap kekalahan.

Dalam bukunya, David menyarankan agar kita membaca biografi ataupun autobiografi orang-orang besar, karena kita akan menemukan mereka sebagai seorang individu yang telah mengatasi rintangan besar dan riil. Sungguh, sudah menjadi keniscayaan dalam menuju keberhasilan akan menjumpai kesulitan-kesulitan, seperti yang dialami orang-orang dalam biografi dan autobiografi, yang menggoda kita untuk kalah dan menyerah. Namun bisakah kita menjalani hidup tanpa kekalahan? Dan bisakah kemunduran kita dijadikan sebagai pendorong untuk kemajuan kita?

Ada beberapa kisah menarik mengenai jawaban pertanyaan di atas tersebut, sebagaimana yang ditutur oleh David juga.

”Para penonton film bioskop yang mengenal Lionel Barrymore tidak akan pernah melupakannya. Pada tahun 1936, bintang besar ini mengalami retak pada tulang pinggul. Retakan ini tidak pernah sembuh. Kebanyakan orang mengira bahwa karier Barrymore pun tamat. Akan tetapi tidak untuk Barrymore. Ia menggunakan rintangan ini untuk melicinkan jalan menuju keberhasilan acting yang lebih besar. Selama delapan belas tahun berikutnya, walaupun mengalami nyeri yang tidak pernah berkurang, ia memainkan lusinan peran yang berhasil di atas kursi roda.

“Bintang besar Opera Metropolitan, Risa Stevens, berkata di dalam Reader’s Digest (Juli 1955) bahwa pada saat paling tidak bahagia dalam hidupnya ia mendapat nasihat terbaik yang pernah ia peroleh. Pada awal karirnya, Nona Stevens gagal mendapatkan peran dalam Opera Metropolitan “Auditions of the Air”. Sesudah gagal mendapatkan peran tersebut, Nona Stevens menjadi sangat kecewa. “Saya sangat ingin mendengar,” ujarnya, “Bahwa suara saya benar-benar lebih baik daripada suara gadis lain itu, bahwa putusan itu tidak adil, bahwa saya kekurangan koneksi yang tepat untuk menang. Sering ketika saya ingin mengasihani diri,” Nona Stevens melanjutkan, “kata-kata itu terus terdengar oleh saya. Malam itu kata-kata tadi membangunkan saya. Saya tidak dapat tidur hingga saya menghadapi kelemahan saya. Berbaring di sana di dalam gelap, saya bertanya kepada diri sendiri, ‘mengapa saya gagal?’ bagaimana saya dapat menang pada kesempatan berikutnya?’ dan saya mengakui kepada diri sendiri bahwa suara saya tidak sebagus yang seharusnya, bahwa saya harus menyempurnakan bahasa saya, bahwa saya harus mempelajari lebih banyak peran.”

“Nona Stevens melanjutkan untuk mengatakan bagaimana tindakan menghadapi kesalahannya tidak hanya membantunya berhasil di atas pentas, tetapi juga membantunya mendapatkan lebih banyak teman dan mengembangkan kepribadian yang lebih menyenangkan.”

Mempelajari kesalahan dan lalu memperbaikinya adalah salah satu cara untuk mengatasi kegagalan dimana kegagalan tidak akan terulangi lagi untuk yang kedua kalinya. Seperti halnya dua contoh di atas. Saat Stevens gagal mendapatkan peran dalam suatu opera bergengsi, yang ia lakukan kemudian adalah menasihati dirinya dengan memberikan sugesti positif, dan belajar lebih giat lagi, mempelajari kelemahan-kelemahannya, dan akhirnya ia berhasil. Begitu juga dengan Lionel Barrymore, walau ia mengalami keretakan pada tulang pinggulnya tapi ia tak menjadikannya patah arang, justru menjadikannya ‘mengubah kelemahan menjadi keunggulan’. Walhasil, ia tetap mendapatkan acting walau dalam kursi roda. “Jangan melarikan diri dari kekurangan. Cari tahu kesalahan dan kelemahan anda, kemudian perbaiki.” Begitulah nasihat David J. Schwartz.

Betul, semua orang pernah melakukan kesalahan, siapa saja, dan juga mempunyai kekurangan. Letak perbedaannya adalah dalam SIKAP. Ya, semua orang akan berbeda dalam menyikapi kesalahan dan kelemahannya. Namun, secara garis besar ada tiga golongan dalam menyikapi keduanya:

Pertama, golongan negatif. Golongan ini selalu melihat dari kacamata negatif entah pada diri sendiri maupun orang lain. Mereka selalu mencari kambing hitam atau mencari kesalahan-kesalahan mengapa mereka bisa gagal atau kalah. Ketika mereka ditimpa kedua hal tersebut mereka mengatakan, “gara-gara dia/aku melakukan itu aku jadi gagal, “atau “dia memang jauh lebih pintar dibanding saya, jadi wajarlah kalau saya kalah,” “aku memang bodoh dan sudah ditakdirkan seperti ini, “ “lantaran ia kita jadi kalah dalam pertandingan ini,” “setekun apa pun aku tak kan bisa” dan masih banyak lagi kata-kata negatif seperti itu. Atau bisa juga mereka selalu melihat masa lalu yang kelam yang memberikan efek pada saat ini.

Kedua, golongan objektif. Golongan ini memandang kedua hal itu biasa saja, artinya tidak menyalahkan orang lain maupun diri sendiri, namun cenderung apatis dan tidak juga memperbaiki nasibnya. Mereka menerima hal itu dengan lapang dada, tapi tak berniat untuk memperbaikinya. Kata-kata yang sering dikatakan oleh golongan ini adalah, “mungkin ini sudah takdir saya”, atau “nasib kita memang lagi sial”.

Ketiga, golongan positif. Golongan ini sebetulnya hampir sama dengan golongan kedua, tapi perbedaannya ialah saat terjadi kegagalan mereka menerima dan memperbaiki kesalahannya, tak putus asa, tak menyalahkan nasib, belajar lebih giat lagi, inovatif, dan kreatif. Dengan cara-cara seperti itu dia tak akan mengalami kesalahan yang serupa. Dia terus maju dan maju. Dengan memandang positif terhadap kegagalan akan membantu memecahkan persoalan, dan mempunyai motivasi yang sangat tinggi. Adapun kata-kata yang sering diucap oleh golongan positif ini yaitu, “kegagalan ini adalah salah satu cara lain untuk menjadi pemenang,” “saya bukan gagal, justru saya sedang belajar menuju sukses”, “ah, baru 10 kali tulisanku ditolak media, belum 100 kali. Saya akan coba lagi”, “besok aku akan cari lain untuk melakukannya”, dan masih banyak lagi.

So, kita ingin masuk masuk golongan mana kalau benar-benar ingin sukses? Sungguh. keputusan ada di tangan kita sendiri.

* M. Iqbal Dawami adalah penulis yang aktif di komunitas GARIS, Yogyakarta

Pilih Penghasilan Aktif atau Pasif?

-
Oleh: Masbukhin Pradhana


Menurut klasifikasi penghasilan, ada orang yang bisa mendapatkan uang dengan cara bekerja dan ada orang yang bisa menghasilkan uang tanpa harus bekerja. Istilah kerennya adalah active income untuk pekerja dan passive income untuk orang yang bisa mengahasilkan uang tanpa bekerja.

Robert Kiyosaki membagi klasifikasi ini menjadi 4 kuadran. Ada kuadran kiri untuk active income dan ada passive income di kuadran kanan. Mereka yang di kuadran kiri adalah Employee (pekerja) dan Self Employee (Profesional). Sedangkan yang dikuadran kanan adalah Business Owner (Pemilik Bisnis yang memiliki sistem) dan Investor.

Kuadran kiri miskin waktu
Kuadran kiri menawarkan keamanan finansial. Kemanan finansial adalah kita berada di posisi yang nyaman dengan mengandalkan ketergantungan kita pada sandaran kita.

Sebagai karyawan, tentunya kita akan bersandar pada perusahaan tempat kita bekerja. Apakah perusahaan sedang untung sedikit atau untung banyak, maka kita akan tetap mendapatkan gaji atau upah. Dengan gaji inilah yang membuat posisi finansial kita aman.

Begitu juga profesional, mereka yang tergabung dalam kelompok ini adalah dokter, advokat, programmer lepas, artis, dosen terbang dan lainnya. Bisa juga seorang koki profesional yang memiliki bisnis dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, mereka akan terjebak dalam posisi ini.

Dengan posisinya sebagai profesional ini, mereka akan mendapatkan imbalan sesuai dengan keahliannya. Mereka akan mendapatkan keamanan finansial dari keringat dan atau pikiran yang telah dikeluarkan.

Baik sebagai karyawan atau profesional, mereka harus bekerja dulu sebelum mendapatkan uang. Sehingga, seandainya mereka sudah mendapatkan uang yang banyak, mereka tetap akan kesulitan membagi waktu. Mereka punya uang tapi tidak memiliki waktu.

Ada kelompok yang menyedihkan adalah pekerja keras dengan gaji rendah. Mereka sudah tidak memiliki waktu karena dihabiskan untuk bekerja tapi penghasilannya juga sedikit. Mereka bisa dikategorikan tidak memiliki waktu dan tidak memiliki uang.

Dibandingkan pengangguran, mereka tentu lebih membanggakan karena mampu menghasilkan uang. Ada kelompok pengangguran yang mereka memiliki banyak waktu tapi tidak memiliki uang.

Kuadran Kanan
Kuadran kanan yang kita bahas di depan adalah kelompok yang memiliki uang dan memiliki waktu.

Memiliki uang dan memiliki waktu, “Enak dong?“ pikir Anda.

“Tentu saja“, jawabnya.

Seperti kata pepatah “Berakit rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang senang kemudian.“

Jadi tentu tidak ada kesenangan, keenakan yang didapatkan dengan mudah. Kecuali Anda adalah orang kaya. Tapi cobalah bertanya, apakah kekayaan dari orang tua atau dari keturunan keberapa itu diraih dengan mudah?

Nah, siapa sih mereka ini?

Mereka adalah Business Owner dan Investor. Kalau investor, mereka memiliki banyak uang untuk diinvestasikan, baik berupa properti, deposito atau pun saham. Dari investasi yang telah dikeluarkan ini, secara rutin mereka akan mendapatkan uang sewa, bunga deposito atau deviden (bagi hasil) dari sahamnya. Tentunya uang yang diinvestasikan haruslah besar, sehingga hasilnya pun bisa mencukupi biaya hidup bahkan lebih dan kelebihannya itu bisa dipakai untuk membeli aset yang lain yang berikutnya bisa menghasilkan passive income lagi.

Gabungan Kuadran
Tentu kita bisa saja merangkap berada di dua, tiga atau empat kuadran sekaligus. Bisa saja kita sebagai karyawan yang memiliki properti. Bisa juga profesional yang memiliki bisnis. Bisa juga sebagai profesional, karyawan, pemilik bisnis dan juga sebagai investor.

Pertanyaannya, bagaimana pembagian waktu kita ketika kita berada di 4 kuadran. Pada level tertentu, memang kita masih bisa membagi waktu yang kita miliki hanya 24 jam sehari untuk semua aktivitas. Namun, pada level yang lebih tinggi, tentu Anda sudah bisa memilih, penghasilan mana yang paling besar dan pekerjaan apa yang paling tidak menyita waktu. Bisa saja Anda meninggalkan pekerjaan atau mengurangi aktifitas profesional. Bisnis, pada posisi yang sangat baik dan stabil tentu juga bisa didelegasikan kepada karyawan yang profesional di bidangnya.

Ada senior yang pernah mengatakan “Pengusaha adalah orang yang memperbaiki usaha, bukan orang yang melakukan usaha“. Artinya, pengusaha tidak harus ikut dalam operasional, tapi ketika ada masalah dia bisa memberikan nasehat perbaikan atau pengambilan keputusan untuk memperbaiki bisnis itu.

Business Owner = Pengusaha
Business Owner adalah pemilik bisnis atau istilah keren-nya adalah pengusaha. Untuk menjadi pengusaha, tentu kita dituntut untuk berpikir dan berprilaku sebagai pengusaha. Pengusaha selalu melihat peluang, optimis, berani mengambil resiko, menggunakan insting bisnis, berpikir loncat-loncat dan mengaktualisasikan idenya.

Kalau awalnya kita bukan pengusaha, tentu akan kesulitan karena kita terbiasa berpikir terstruktur dan takut resiko. Pikiran dan tindakan inilah yang perlu diubah menjadi mirip seperti pengusaha.

Caranya? Membiasakan berpikir dan berprilaku seperti mereka dan berkumpul dengan pengusaha.

Pengusaha membangun bisnis, mempekerjakan karyawan, menyiapkan sistem dan memajukannya. Dengan tanpa dirinya, bisnisnya masih bisa berjalan.

Penghasilan bisnis bisa berlipat-lipat, berbeda dengan kenaikan gaji sebagai karyawan yang linier. Setelah bisnis berjalan dan menguntungkan, maka bisa dipergunakan untuk membeli aset yang bisa menghasilkan keuntungan bahkan passive income.

Pada akhirnya, pengusaha ini menjadi memiliki waktu dan memiliki banyak uang.

Penutup
Bagi Anda yang masih berpenghasilan aktif, tentu berkeinginan menjadi Investor. Bila kita belum mampu menjadi investor, ada baiknya menjadi pengusaha yang memiliki penghasilan berlipat dan tidak linier.

Pertanyaannya, apakah Anda berani berpikir dan bertindak seperti pengusaha?

Selamat Datang di dunia pengusaha.

* Masbukhin Pradhana adalah mentor Entrepreneur University, anggota komuinitas Kuadran Empat dan Jakarta Entrepreneur Club (Jakeb). Ia dapat dihubungi di email: bukhin@yahoo.com

Bangga Saya Jadi Orang Indonesia (2): Richard Kartawijaya Akhirnya Memilih

-
Oleh: Eben Ezer Siadari


Richard Kartawijaya tentu Anda kenal. Dulu dia pernah menjadi country manager Microsoft Indonesia. Kemudian sejak tahun lalu ia menjadi salah satu country manager Motorola di Indonesia. Namun, ketika saya menelepon dia beberapa hari lalu untuk berbincang-bincang, dia mengabari saya bahwa dia kini bukan lagi berkarier sebagai eksekutif profesional. Dia sudah 'pindah kuadran,' menjadi seorang entrepreneur.

Maka saya temui dia di kantornya, di gedung Adi Graha di Jl. Gatot Subroto. Kantornya itu di lantai 19, lantai paling tinggi di gedung itu. Ia kini menjadi entrepreneur, dengan membeli setengah kepemilikan dari sebuah perusahaan teknologi informasi penyedia solusi bisnis. Perusahaan itu baru seumur jagung dan Richard berharap dalam lima tahun ke depan sudah dapat mencatatkan perusahaan itu sebagai salah satu perusahaan domestik terkemuka di bidang bisnis yang ia tekuni.

Saya tak banyak menanyakan bisnis barunya itu. Saya lebih tertarik mengapa dia berhenti sebagai seorang country manager sebuah perusahaan multinasional.

Richard yang saya kenal ternyata memang belum berubah. Ia selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan kata-kata yang positif, walau pun maksudnya barangkali bersifat negatif. Kata Richard, dia berhenti karena sebagai eksekutif profesional di sebuah perusahaan multinasional yang sudah demikian mapan, ia ingin mendapatkan kebebasan. Jika ia menjadi eksekutif terus, ia tak akan mendapatkannya. Soalnya, hampir semua kebijakan yang harus ia tempuh sudah digariskan dari kantor pusat. Dan, ini, menyebabkan dia merasa bahwa kalau ia berlama-lama jadi eksekutif, ia akan kehilangan daya kreatifitasnya.

Apakah ini tidak Anda duga sebelumnya?, tanya saya. Sebab dalam hemat saya, tentu ia sudah berpengalaman jadi eksekutif di sebuah perusahaan profesional. Dan, tidakkah ia sudah mengantisipasi hal semacam ini sebelumnya?

Lagi-lagi Richard adalah orang yang selalu menjawab pertanyaan dengan jawaban yang positif.. Kata dia, mungkin dirinya harus banyak belajar lagi tentang dirinya karena ia memang tidak menduga bahwa kebebasan kreatif itu sedemikian berartinya bagi dirinya. Ia menyadari, bila semakin lama ia berada pada posisi itu, ia bisa menajdi tidak dirinya lagi. Itulah sebabnya, dengan sukarela ia mengundurkan diri. Dan, menurut dia, jabatan itu mungkin sudah sepatutnya dijabat orang lain.

***

Saya mengenal Richard kira-kira tiga tahun yang lalu. Majalah tempat saya bekerja menginginkannya menjadi salah seorang kolumnis kami untuk mengulas tentang berbagai hal di seputar marketing di dunia teknologi informasi. Richard memang menguasai bidang ini. Setidaknya menurut Dewan Redaksi kami.

Saya kemudian meneleponnya, membuat janji bertemu dan kemudian kami memang bertemu. Kami bertemu di kantornya, kala itu di sebuah perusahaan domestik di bidang teknologi informasi juga, yakni PT Integrasi (kini Tbk).

Perbincangan kami semula agak kaku karena kami belum saling mengenal latarbelakang. Tetapi pada pertemuan-pertemuan selanjutnya demikian mulusnya. Richard, di mata saya, adalah seorang eksekutif yang supersibuk, tetapi selalu merasa tertantang oleh pertanyaan-pertanyaan aneh dari kaum awam seperti saya.

Dalam menuliskan kolom-kolomnya, ia meminta saya untuk terlebih dahulu menentukan tema. Lalu saya juga diminta memecah-mecah tema itu ke dalam beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu lah yang ia jawab untuk kemudian 'dijahit lagi' menjadi sebuah tulisan kolom.

Richard ternyata adalah kawan kerja yang baik. Saya justru selalu kewalahan, karena kelupaan mengirimkan daftar pertanyaan kepadanya untuk dijawab dan kemudian dijadikan kolom. Tak jarang ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya kirimkan dari perjalanan bisnisnya di luar kota mau pun di luar negeri. Ia menjawab hampir semua pertanyaan atau kadang kala membetulkan pertanyaannya.

Ketika saya bertemu dia kembali baru-baru ini, ternyata Richard yang saya kagumi itu belum berubah. Ketika menceritakan perpindahan kariernya itu, tidak ada sedikit pun nada dramatisasi dalam pembicaraan kami. Senyumnya tetap seperti senyum yang pernah saya temui pada dirinya sebelum-sebelumnya.

Di masa-masa mendatang saya berharap ia akan berhasil dalam jalur entrepreneur yang dipilihnya. Tanda-tanda keberhasilan itu sepertinya sudah tercium ketika saya melihat suasana kantornya. Ruang kantor di perusahaan barunya itu jauh dari glamor. Kata efisien mungkin lebih tepat. Karyawan-karyawannya adalah orang-orang muda. Ruang rapat di sana adalah sebuah ruang terbuka, dimana hanya ada satu meja besar yang dikelilingi sejumlah kursi. Satu ruangan dengan ruangan lain hanya disekat oleh dinding pembatas tanpa pintu.

Barangkali Richard memang sedang membangun sebuah perusahaan yang benar-benar transparan. Ia sendiri berharap ia memberikan sesuatu yang bernilai bagi dunia bisnis. Karena menurut dia, dunia teknologi informasi harus terus dibangun. Jangan sampai Indonesia hanya dikenal dari ekspor bahan mentah belaka, seperti kecenderungan yang belakangan ini mulai muncul lagi.

Kalau melihat langkah-langkah yang ditempuh Richard Kartawijaya, saya jadi bangga menjadi teman sebangsa dia, bangsa Indonesia. Dia adalah orang Indonesia yang tidak kenal putus harapan. Mau mencoba dunia yang lain.[]

* Eben Ezer Siadari adalah wartawan, pemimpin redaksi majalah WartaBisnis dan BisnisKita, tinggal di Jakarta. Lahir di Sarimatondang, Sumatera Utara, 27 Juli 1966, ia menamatkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Menimba pengetahuan jurnalistik di Thomson Foundation, Cardiff, Inggris (1994), ia juga adalah alumni International Visitor Leader Program (1997) yang diselenggarakan oleh United States of Information Agency (USIA), Washington. Tercatat sebagai associate pada Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI, karyanya sebagai penyunting antara lain Sketsa 50 Eksekutif Indonesia (1997), Gubernur Gorontalo menjawab Rakyat (2005) dan The Power of Value in Uncertainty World, Reflesi seorang CEO, Herris Simanjuntak (2005). Menikah, dengan satu putri (6 tahun) waktu senggangnya dihabiskan dengan tidur dan berburu makanan etnik murah dan ramah di sekitar tempatnya tinggal. Ia dapat dihubungi melalui email: ebenezersiadari@yahoo.com.

Gelombang Binal Konsumerisme

Oleh: Joshua W. Utomo



Perayaan hari-hari besar keagamaan dari hari ke hari semakin identik dengan 'perayaan' konsumerisme. Pasar swalayan, supermarket dan mal-mal menjadi lebih menarik untuk dikunjungi ketimbang tempat-tempat peribadatan. Bahkan tampaknya, pusat-pusat perbelanjaan ini telah menjadi 'wahana peribadatan' baru bagi para konsumer fanatik yang tergantung sekali pada merek-merek kondang itu. Belanja besar-besaran senyampang musim obralan merupakan ekspresi kerelijiusan mereka pada 'agama' mereka yang 'baru' ini.

Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran keuangan tak mencukupi yang penting bisa memborong hal-hal yang diinginkan merupakan kepuasan pemeluk 'agama baru' ini. Decak kagum dan sorot mata kecemburuan dikombinasi dengan komentar 'wah' dari para tetangga mampu membawa mereka ke 'alam ekstasi"--sebuah nirwana bagi pemeluk gelombang 'agama baru' --konsumerisme ini.

Memang rasanya kurang tepat bila konsumerisme ini dikatakan sebagai sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya isme yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat didalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini. Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme semakin subur dan berkembang amat cepat saja. Pola hidup konsumerisme ini tak ubahnya virus yang 'contagious' yang mampu menular dengan amat dari satu individu ke individu lainnya. Apalagi bila budaya 'gengsi', pamor dan status sosial-keningratan masih saja dileluri dan dijadikan patokan untuk menilai kemanusiaan seseorang.

Gelombang binal 'agama baru' (new-yet-old-ism)--konsumerisme ini telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia di jaman ini. Sayangnya perubahan yang terjadi ini, lebih menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif dan menyengsarakan hidup manusia itu sendiri. Salah satu contoh perubahan image didunia konsumerisme ini adalah: sekitar sosok Santa Klaus (Sinterklas) yang menjadi maskot di bulan Desember saat perayaan Natal sedang marak-maraknya itu. Santa Klaus yang sesungguhnya adalah bernama Bapa Suci Nikolas, Episkop dari Gereja Kristen Orthodoks Timur di wilayah keuskupan Smyrna yang hidup sekitar abad ke-4 itu. Beliau memang adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan baik hati serta selalu memperhatikan umatnya, tapi sosok Santa Klaus yang ada sekarang ini telah berubah dari sosok aslinya.

Bila kehadiran Bapa Episkop Nikolas itu dilakukan secara diam-diam, tanpa diiringi pesan sponsor dan aneka ragam promosi; kini kehadiran Santa Klaus--image beliau yang baru, ciptaan para produsen ternama ini selalu diiringi oleh pelbagai promosi dan pesan sponsor demi menarik minat para konsumen, terutama anak-anak. Pesan-pesannya dikemas sedemikian rupa oleh banyak produsen dan tak satupun yang ada hubungannya dengan pesan rohani.

Bila kita amati, rasanya lengkap sudah struktur 'agama baru'--konsumerisme ini:

1. Selain memiliki wahana buat segala aktifitasnya (viz. supermarket, mal, pasar swalayan,dsb),

2. Format ritualnya (viz. belanja seharian penuh, dorong-dorongan/rebutan barang yang populer, memborong hasil belanjaan dengan keringat bercucuran, dsb),

3. Sejumlah penganutnya (viz. konsumer fanatik),

4. Para pemimpin (viz. produsen, perusahaan ternama),

5. Musik dan lagu-lagu (silahkan datang aja ke mal, nanti khan anda bisa menikmati lagu-lagunya) dan

6. Figur/sosok yang dinanti-nanti (viz. Santa Klaus) plus

7. Usaha dakwah atau misinya dalam kemasan yang amat canggih dan menawan di setiap bentuk media, seakan tak mungkin lagi bagi kita untuk bisa melepaskan diri dari pengaruh pola hidup konsumerisme ini.

Pesan dan semangat serta makna terdalam relijiusitas Natal ataupun Perayaan-perayaan Hari besar agama-agama lainnya seakan tergantikan oleh pesan dan semangat binal dari gelombang konsumerisme ini. Perhiasan intan berlian, baju-baju bermerek, aksesori tubuh kelas dunia, anggur merah dan gelas-gelas champaigne serta menu gourmet kreasi master chef taraf internasional di Symphony Hall atau hotel-hotel berbintang empat yang berada dipusat kota sangatlah dinanti-nanti sebagai puncak dari aktifitas ritual konsumerisme dari para konsumen fanatik ini.

Apakah gelombang binal konsumerisme ini juga telah menerpa kita, yang tahu tentunya diri kita sendiri. Kalau memang ternyata kita tidak tahu, maka sekali lagi mari kita bersama Kang Ebiet G. Ade untuk bertanya pada rumput yang bergoyang....

* Joshua W. Utomo, psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah juga pendiri dari Heal & Grow Center™ (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) dia mendirikan Sanggar Kinanthi™(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo Productions™ (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi di prof_jw@yahoo.com.

Bangga Saya jadi Orang Indonesia (03): Selalu Ada Pagi bagi Suwarti

Oleh: Eben Ezer Siadari


Tidak ada pagi yang tak cerah bagi Suwarti. Pagi adalah matahari bagi hidupnya. Angin yang basah dan dingin, mendung, kabut bahkan hujan, tak pernah menjadi penghalang baginya menyongsong pagi dan matahari hidupnya. Setiap pagi, tak pernah lewat dari pukul 6:30, ketika banyak ibu rumah tangga masih bersiap-siap memberangkatkan putra-putrinya ke sekolah, ketika orang-orang yang akan ke kantor mungkin masih belum menyiapkan baju kerjanya, Suwarti sudah beredar di jalanan kompleks perumahan kami di Ciputat. Suaranya yang nyaring tetapi dengan nada rendah sudah kami kenal dengan akrab. “Kue….kue….. Kue Pak? Kue Bu?” Suara itu berkumandang diiringi dengan langkah kakinya yang cepat dan suara sandalnya yang kadang seperti terseret. Menggendong kue jualannya, ia berjalan kaki sepanjang perumahan berisi ratusan rumah itu. Suaranya masih terdengar terus bahkan dari kejauhan.

Pertama kali saya tertarik pada Suwarti adalah karena wanita ini masih demikian muda, 30 tahun, tetapi ia benar-benar berwajah orang Jawa tempo dulu. Menggendong jualannya dengan busana seperti mbok-mbok jamu, dengan langkah yang gesit, dan, ya, ia selalu hadir dalam ukuran waktu yang tak pernah meleset. Tak urung saya menyetopnya sekali waktu, sepulang ia menjajakan jualannya. Dan, ia dengan kesopanan seorang ibu yang tak mau menaruh curiga kepada siapa pun, melayani pertanyaan-pertanyaan saya.

Suwarti adalah seorang wanita kelahiran Solo. Ibu dari dua orang anak, berumur 10 tahun dan enam tahun, ia bagi saya adalah potret wanita Indonesia yang seharusnya membuat kita selalu bangga jadi orang Indonesia. Tiga tahun terakhir ia jalani hidupnya dengan menjajakan kue di perumahan kami di Vila Dago Tol, dengan berjalan kaki. Dengan mengambil 150 potong kue dari juragannya yang tinggal di belahan lain daerah Ciputat, ia mengantongi keuntungan Rp25 ribu setiap hari. Dari rumah ia berangkat subuh-subuh, untuk mengejar pagi yang penuh rejeki di perumahan kami itu. Ketika hari sudah menunjukkan jam 10, ia biasanya menuntaskan ‘perjalanannya’ sebagai penjaja kue hari itu. Jam 11, ia sudah tiba di rumah kontrakannya seharga Rp200 ribu per bulan, untuk kembali sebagai ibu rumah tangga. Suaminya seorang pekerja bangunan yang rajin, tetapi tak selalu ada proyek yang membutuhkan tenaganya. Dengan kombinasi profesi yang demikian, ia dan suaminya bisa menyekolahkan kedua anaknya, satu di kelas empat SD satu lagi di kelas satu. Kedua anak itu dititipkan di kampung mertuanya, Purwodadi. Setiap bulan mereka mengirimkan uang untuk biaya sekolah anak-anaknya itu.

Suwarti dulunya adalah pembantu rumah tangga. Perkawinannya dengan suaminya yang dia kenal di Jakarta ini, membuat ia lama-lama berpikir untuk menyudahi saja pekerjaannya sebagai PRT, yang ia istilahkan ‘ikut orang.’ Setelah pernah mencoba berjualan macam-macam barang, akhirnya ia menemukan juragan kue yang bagi dia memberikan harapan. Dari juragannya itu ia mengambil kue setiap pagi lalu menjualnya dengan harga yang ia tetapkan sendiri. Setiap hari ia menyetor kepada juragannya Rp50 ribu. Kue yang tersisa dapat ia kembalikan. Dan ini, bagi Suwarti adalah sistem yang benar-benar ia sukai. Makin hari makin besar keuntungan yang ia peroleh. Tiga tahun terakhir ia rasakan sebagai tahun yang penuh pertumbuhan, menyebabkan ia selalu memandang pagi sebagai pagi yang penuh pengharapan.

Tidak menamatkan SD, anak bungsu dari empat bersaudara, pada tahun 1995 Suwarti meninggalkan orang tuanya di kampung halamannya yang hidup sebagai petani kecil. Seperti kebanyakan cerita orang-orang marginal, ia kala itu tak punya pilihan selain menjadi PRT untuk bisa bertahan di Jakarta. Kota ini bagi Suwarti adalah kota yang keras, tetapi kota yang selalu memberikan harapan. Hidup sebagai orang yang termarginalkan tidak dihabiskannya dengan kemarahan dan dendam kepada hidup. Ia, sebagaimana yang dapat saya lihat dari bagaimana ia bekerja, menjalani hari-harinya dengan ketekunan seorang yang menikmati apa yang dapat ia nikmati. Mensyukuri kesehatannya yang menyebabkan ia tampak tak pernah kelelahan di terik Jakarta. Dan, ia tak pernah merasa ada yang perlu ia menangkan karena ia tak pernah menganggap ada yang harus ia taklukkan.

Ketika makin banyak pedagang roti mengendarai motor bahkan mobil, ia tak merasa dagangannya bakal tersingkir. Justru dengan berjalan kaki, ia bisa mengetok pintu demi pintu, bisa berbicara dan berbasa-basi dengan tiap rumah. Ia tidak seperti pedagang roti yang mengendarai mobil, yang sapaannya terkadang terdengar angkuh lewat klakson atau lagu-lagu dari rekaman kaset yang membosankan. “Bu…. Kuenya Bu?” adalah sapaannya yang khas. Lalu dengan cepat ia akan membeberkan dagangannya dari gendongannya. Tahu dan tempe goreng, onde-onde, lepat pisang, lontong, kroket, dadar gulung, kue lapis, bertebaran tinggal pilih. Walau pun ia tahu, tak semua rumah akan sudi menyetopnya dan membeli dagangannya, senyumnya selalu mengembang. “Tiap orang ada rezekinya Pak. Alhamdulilah, selama tiga tahun ini, saya merasa makin banyak langganan. Makin hari makin baik-baik saja orang-orang kepada saya. Syukur alhamdulillah, tidak ada yang marah-marah. Tidak ada anjing yang mengejar-ngejar saya,” kata dia.

Pagi bagi Suwarti adalah harapan. Seburuk apa pun cuaca, seberat apa pun perjalanan yang harus ia tempuh, ia selalu pasti bahwa rezekinya ada pada pagi. Payungnya akan ia kembangkan manakala hujan turun kepagian. Ketika saya menduga bahwa hujan adalah malapetaka baginya karena itu akan menghambat perjalanannya, apalagi ia harus berjalan kaki memutar kompleks kami, ia malah tersenyum. “Justru kalau turun hujan Pak, orang malas keluar cari sarapan. Kue saya malahan lebih laku kalau turun hujan,” katanya. Sebuah jawaban yang bagi saya penuh optimisme dan pengharapan.

Pertanyaan klasik yang sesungguhnya tak perlu lagi dilontarkan manakala berkenalan dengan orang seperti Suwarti adalah untuk apa dan mengapa ia bekerja membanting tulang. Sudah barang tentu orang seperti dia harus membanting tulang. Untuk makan-minum dirinya. Untuk menyambung hidupnya anak beranak. Tetapi toh, saya harus menanyakan itu, untuk mengeksplorasi siapa tahu ada lagi yang membuat dirinya mempunyai energi yang luar biasa. Dan, ternyata memang ada.

Dua anaknya, semuanya diasuh oleh keluarga mertuanya dengan biaya dari suami dan dirinya, adalah energi yang tak pernah habis. Ia selalu membayangkan anak-anaknya itu kelak mendapat pendidikan yang baik. Ia ingin mereka kelak dapat menikmati hidup lebih dari yang dinikmatinya kini. Kemana pun dan sampai setinggi apa pun, ia ingin mendukung anak-anaknya, sepanjang itu berarti menempuh pendidikan yang baik dan lebih tinggi. “Saya sepenuhnya tergantung mereka. Kalau mereka bersekolah dengan baik, mereka belajar dengan baik, saya akan usahakan. Tidak ada kata berhenti bagi saya, Pak,” kata dia. Senyumnya pasti.

Tentulah berat bagi Suwarti menggali energi itu. Anak-anak itu tinggal di tempat yang jauh, yang mungkin hanya bisa ia temui sekali dalam setahun manakala lebaran tiba. Tetapi semakin ia pikirkan itu, semakin besar ia rasakan tenaga yang bisa ia gunakan. Ia bayar kerinduannya kepada anak-anaknya itu dengan bekerja lebih antusias. Menyapa anak-anak di kompleks kami seperti ia menyapa anaknya sendiri. Menjajakan kue kepada orang-orang dengan keyakinan kue-kue itu akan jadi sumber energi juga bagi orang-orang yang bekerja untuk anak-anak mereka.

Tidak kecewa dengan harga-harga yang mulai naik, dan BBM yang membubung?, tanya saya sedikit menggoda pemikirannya untuk berpikir menyalahkan keadaan. Tetapi Suwarti rupanya tak tertarik membicarakan apa yang ia rasa bukan urusannya. “Saya tidak mau memikirkan yang membuat pusing kepala saya Pak,” kata dia. Menurut dia, sepanjang ia masih bisa menabung, dan sepanjang uang yang harus ditabungnya setiap bulan tak berkurang, ia tak mau berpikir susah-susah. Walau pun untuk itu ia mungkin harus mencukupkan uang sisa setelah tabungan itu untuk makan ala kadarnya bersama suaminya. Dan, berarti juga, ia tak boleh sakit. Kalau pun sakit, ia harus berpura-pura tidak sakit.

Lebaran ini Suwarti tidak mudik. Menurut dia, beberapa bulan lalu suaminya telah mudik karena mertuanya laki-laki berpulang. Itu artinya sang suami telah mudik yang berarti pula kemewahan untuk mudik tahun ini telah terpakai, walau pun bukan pada waktunya. Kerinduannya kepada anak-anaknya, mungkin harus ia bayar pada lebaran tahun depan, atau di suatu masa di bulan-bulan depan, manakala ada rezeki yang berlebih.

Ketika saya mengatakan terimakasih banyak, sudah mau saya ajak berbincang-bincang, ia tersenyum dan juga mengucapkan terimakasih. Ketika saya silakan, teh manis yang disuguhkan istri saya ia habiskan sekali teguk, pertanda ia mungkin sudah kehausan sejak tadi. Saya menyalahkan diri sendiri, betapa egoisnya saya tak mempersilakannya minum dari tadi, dan lebih medahulukan kepentingan saya menanyai dia. Ia kemudian merapikan keranjang kuenya dan menggendongnya kembali. Hari masih jam 10 lewat sedikit, ketika ia akan pulang ke rumahnya, lebih kurang lima kilometer dari tempat kami. “Mari Pak,” katanya mengangguk. Senyumnya itu, akan selalu membuat saya bangga sebagai orang Indonesia.***

© Eben Ezer Siadari. Penulis adalah Siadari adalah wartawan, pemimpin redaksi majalah WartaBisnis dan BisnisKita, tinggal di Jakarta. Lahir di Sarimatondang, Sumatera Utara, 27 Juli 1966, ia menamatkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Menimba pengetahuan jurnalistik di Thomson Foundation, Cardiff, Inggris (1994), ia juga adalah alumni International Visitor Leader Program (1997) yang diselenggarakan oleh United States of Information Agency (USIA), Washington. Tercatat sebagai associate pada Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI, karyanya sebagai penyunting antara lain Sketsa 50 Eksekutif Indonesia (1997), Gubernur Gorontalo menjawab Rakyat (2005) dan The Power of Value in Uncertainty World, Reflesi seorang CEO, Herris Simanjuntak (2005). Menikah, dengan satu putri (6 tahun) waktu senggangnya dihabiskan dengan tidur dan berburu makanan etnik murah dan ramah di sekitar tempatnya tinggal. Ia dapat dihubungi melalui email: ebenezersiadari@yahoo.com. Serial tulisannya Bangga Saya jadi Orang Indonesia dapat pula dibaca di www.banggaindonesia.blogspot.com

SISTEM INFORMASI

Oleh: Ardian Syam


Ada apa dengan informasi? Apakah anda mendefinisikan informasi sekedar data yang diolah? Pernahkah anda membedakan informasi dengan sampah? Saya ingin tanya anda yang memiliki e-mail address, pernahkah anda menerima kiriman e-mail yang berisi berita, iklan, dan hal lain yang sama sekali tidak anda perlukan atau tidak anda butuhkan?

Apakah content e-mail tadi menjadi informasi buat anda? Yakinkah anda bahwa itu informasi buat anda, bukan sampah? Saya ingin membuka sedikit wawasan fikiran tentang informasi. Banyak orang mengatakan bahwa sekarang mereka kebanjiran informasi. Oh ya? Saya pernah dengar bahwa Christianto Wibisono bilang orang yang memegang informasi akan mengendalikan dunia. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kebanjiran informasi?

Beberapa teman saya telah mencoba meredefinisi informasi. Informasi adalah data yang diolah dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan individu atau kelompok. Dengan demikian informasi berkesan sangat individualis. Sesuai kebutuhan. Sesuatu yang tidak bermanfaat untuk individu atau kelompok bukanlah informasi. Karena itu apapun yang masuk ke dalam e-mail address anda tetapi tidak anda butuhkan, itu bukan informasi, itu sampah. Segera delete dan jangan simpan dalam e-mail address anda, karena bila penuh, justru e-mail yang lebih penting yang akan dihapus secara otomatis.

Dengan definisi baru ini, masih mungkinkah anda kebanjiran informasi. Informasi tentang penjualan produk di tempat anda, bagi kelompok marketing adalah informasi tetapi bagi kelompok manajemen SDM tidak ada manfaat.

Saya coba beri anda contoh. Di Yogyakarta, angkutan umum yang paling banyak adalah bis sebesar metro mini Jakarta. Di beberapa tempat sepanjang jalur masing-masing bis akan ada orang-orang yang dibayar untuk memberitahu supir atau kernet bis, ada bis apa saja yang sudah lewat di depan mereka dan berapa menit yang lalu bis tersebut lewat. Dengan demikian supir atau kernet bis dapat memutuskan apakah mereka akan terus berjalan atau menunggu beberapa menit. Mengapa?

Bila mereka segera jalan padahal bis sebelum mereka belum 10 menit yang lalu lewat tempat itu maka akan terjadi rebutan penumpang di jalur depan, dengan demikian mereka akan memutuskan untuk menunggu sebentar sehingga cukup jauh dengan bis terdahulu.

Para pekerja angkutan di Yogyakarta sangat mengerti arti berkompetisi tanpa saling membunuh. Dengan menunggu, maka mereka akan mendapatkan penumpang yang tidak dapat atau tidak sempat terangkut oleh bus di depan mereka. Dengan demikian pula maka mereka tidak perlu kebut-kebutan di jalan raya demi mendapatkan penumpang dan berarti mereka dapat melayani semua calon penumpang dengan baik. Karena tidak ada dua bis yang beriringan pada saat yang sama dan mengakibatkan penumpang akan menunggu cukup lama hingga datang bis yang ke tiga.

Satu lagi hal yang tadi saya belum sampaikan dalam definisi baru tentang informasi. Pengambilan keputusan. Sesuatu menjadi bermanfaat bila dapat membantu kita mengambil keputusan. Dari hal kecil seperti menunggu atau langsung menjalankan bis, hingga ke apakah kita akan melakukan discount akhir tahun di toko retail kita atau tidak.

Anda mungkin belum pernah mendengar kisah toko retail 7 eleven. Toko swalayan tersebut berhasil dengan memiliki perputaran persediaan barang cukup cepat dan berhasil mempercepat pendapatan di masing-masing outlet sehingga dapat meningkatkan laba mereka.

Data perputaran barang dagang benar-benar dimanfaatkan oleh toko swalayan ini. Berdasarkan data penjualan mereka, dapat diketahui dengan pasti barang-barang apa saja yang sering dibeli oleh konsumen pada jam-jam tertentu. Kemudian mereka berhasil mendapatkan pola pembelian barang untuk setiap 2 jam sekali. Dalam setiap periode 2 jam sekali hanya beberapa barang tertentu saja yang terbeli oleh konsumen.

Mereka tahu bahwa jam 8 hingga 10 lebih banyak dibeli produk makanan dan minuman untuk sarapan, karena para penghuni rumah baru saja selesai sarapan sehingga para ibu rumah tangga tahu bahwa makanan atau minuman yang mereka biasa sediakan untuk sarapan telah habis dan perlu dibeli kembali. Mereka juga menjadi tahu kapan para pegawai yang sibuk membutuhkan bahan bacaan yang ringan tapi bermanfaat seperti majalah.

Berdasarkan informasi tersebut maka mereka akan mengaturkan barang-barang tersebut berada di rak paling depan, dekat kasir pada jam yang tepat pula. Sehingga konsumen mereka bisa langsung menemukan barang yang dibutuhkan mengambil sesuai kebutuhan dan membawa ke meja kasir yang tidak jauh dari rak tempat barang-barang yang baru saja mereka ambil. Kemudian konsumen akan segera membayar dan membawa pulang barang tersebut.

Pernah Anda ingin masuk ke dalam sebuah toko swalayan yang terlalu penuh dan mengurungkan niat Anda untuk masuk dan tidak jadi berbelanja di toko itu? Itulah yang mereka berhasil hindarkan. Bila konsumen dapat langsung keluar dari toko swalayan begitu selesai membayar, maka toko tidak akan pernah terlihat terlalu ramai, karena konsumen tidak harus berkeliling toko hanya untuk mencari barang yang dibutuhkan.

Manfaat berikut yang didapat oleh toko itu adalah bahwa mereka tidak perlu menyediakan ruangan toko yang terlalu besar untuk menempatkan rak pajang mereka. Lalu karena mereka mengawasi inventory turn over dengan ketat, maka mereka lebih mudah mengendalikan waktu pemesanan, economic order quantity, dan reorder point dengan lebih akurat. Hal tersebut mengakibatkan mereka tidak perlu menyimpan terlalu banyak barang untuk tiap jenis produk. Itu juga berarti mereka tidak perlu menyediakan ruangan yang terlalu luas untuk tempat penyimpanan barang.

Karena mereka tidak perlu menyediakan ruangan yang luas maka mereka dapat menghemat biaya sewa gedung. Karena mereka tidak perlu menyimpan barang terlalu banyak maka mereka juga dapat menghemat biaya penyimpanan barang, dan mengurangi resiko barang rusak di penyimpanan.

Di sisi lain, ruangan toko mereka yang tidak pernah terlihat terlalu ramai akan memperbanyak orang yang masuk dan berbelanja. Dengan demikian akan semakin baiklah pendapatan mereka, dan bila biaya dapat mereka hemat, maka laba dapat ditingkatkan dengan lebih cepat.

Sekarang masihkah Anda akan mengabaikan informasi yang tersedia di sekitar Anda?

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ia dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Bangga Saya jadi Orang Indonesia (04) Seorang 'IBU' yang tak Pernah Pensiun -

Oleh: Eben Ezer Siadari


Televisi pertama kali masuk ke kampung kami kira-kira 25 tahun lalu. Waktu itu saya masih di kelas lima SD. Pemiliknya adalah tetangga dekat kami. Hampir semua orang di kampung itu memanggil pemilik rumah itu 'IBU.' Televisi itu 14 inci, hitam-putih. Sebelum ia bisa mengeluarkan gambar sebagaimana layaknya televisi, kerepotan demi kerepotan terjadi di sekitar rumah. Misalnya, di depan rumah IBU harus ditanamkan antena lebih kurang lima meter. Pohon cengkeh di depan rumah kalah sama itu antena. Kerepotan lain adalah menyambung-nyambungkan kabel. Melekatkannya di dinding rumah IBU yang besar itu.

Itu adalah tontonan yang menarik bagi anak-anak seusia saya. Kami mengerumuni para pekerja yang mengerjakannya. Melihat-lihat penuh rasa ingin tahu. Saya, didalam hati bahkan punya target sendiri: saya harus jadi saksi sejarah pertama melihat siaran televisi di kampung kami.

Ketika televisi itu kemudian menyala, hati saya bertempik sorak. Kawan-kawan dan saya segera menerobos masuk ke rumah IBU, dengan sedikit malu-malu, untuk menontonnya. Seingat saya, acara sore itu adalah paduan suara anak2 asuhan Pranajaya, dengan lagu: "Siapa yang paling manis, pasti mama tersayang….".

Lima menit setelah menyaksikannya, saya bergegas ke rumah. Memanggil adik perempuan saya (sekarang sudah almarhum) yang sedang memasak. Saya bilang, kamu harus lihat itu televisi. Bagus. Dan adik saya ikut berlari. Dan adik saya ikut menikmati keceriaan itu. Malamnya sebagai imbalan, kami kena marah ibu-bapak. Soalnya, adik saya meninggalkan tungku terlalu lama yang menyebabkan kami harus memakan nasi gosong berkerak malam itu…..

Sejak hari itu kami punya acara rutin setiap sore. Jam 5-6 sore, setelah pulang dari ladang dan mandi di sungai, rombongan saya dan kawan-kawan sudah akan berdiri di depan pintu rumah IBU. Mengetok pintu pelan-pelan dan setelah dibukakan, kami duduk bersila di tikar. Menonton televisi. Bila sudah jam 7 atau jam 8, tidak ada ampun, IBU akan berdiri. Mematikan televisi dan menyuruh kami pulang. "Pulang, kalian harus belajar," begitu selalu pesan IBU. Dan samasekali tak ada yang berani membantah.

Mungkin bagi yang tidak tahu riwayatnya, agak aneh kedengarannya, jika di Sarimatondang yang kebanyakan orang berbahasa daerah Batak, ibu itu mendapat julukan IBU, bukan Inang (dalam bahasa Batak Ibu =Inang). Tetapi tidak perlu heran. Julukan IBU itu melekat kepadanya karena beliau adalah guru pertama di kampung kami. Sebagian besar orang-orang tua di kampung kami masih mencicipi didikannya. Dan sebagaimana kita pernah dengar cerita orang tua dahulu, guru zaman dulu adalah guru 24 jam. Di rumah dan di sekolah ia tetap menunjukkan teladannya sebagai guru. Makanya panggilan IBU kepada sang IBU itu melekat terus, sampai kepada kami, anak-anak, yang sepantasnya memanggilnya nenek.

IBU adalah sosok yang terkenal dan berwibawa di kampung kami. Tidak terlalu banyak bicara, tidak suka ngerumpi tetapi ia dikagumi sekaligus ditakuti. Sebenarnya ia sudah lama pensiun dan putra-putrinya sudah jadi 'orang' semua. Tetapi kegiatan rutinnya tak berbeda jauh dengan orang-orang kebanyakan di kampung kami. Pagi-pagi sekali dia sudah bangun. Pergi ke kebun belakang rumahnya, menyiangi pohon cengkeh, menebang tanaman liar yang sering tumbuh tanpa permisi. Kalau hari Jumat, pagi-pagi sekali dia sudah menarik kereta dorong berisi beras, yang jadi dagangannya di pasar.

Tidak sekali-dua kali anak-anak muda di kampung kami kena damprat olehnya. Itu biasanya terjadi jika sedang musim ujian sekolah, ketika kampung kami mendadak sepi. Anak-anak sekolah mendekam di rumah, belajar (entah dengan serius atau tidak). Pada saat-saat semacam itu ada kalanya ada satu dua orang yang membandel, bermain-main gitar di pinggir jalan atau di depan warung sambil mencoba-coba menjadi The Mercys gadungan atau Panbers amatiran. Nah, orang-orang ini bersiap-siaplah kena damprat sang IBU. IBU akan marah besar karena melihat anak-anak itu tidak belajar. Ia juga lebih marah karena dengan bernyanyi-nyanyi begitu, orang yang belajar akan terganggu.

Kampung kami itu dikelilingi oleh enam Sekolah Dasar dan satu SMP Negeri. Banyak ibu guru yang tinggal di kampung kami, tetapi anehnya, hingga ketika IBU berpulang, belum ada satu pun Ibu Guru yang menggantikan posisi sang IBU untuk dipanggil IBU. Barangkali masih akan lama kami menemukan ibu yang sekaliber IBU.

IBU itu memang sudah menjadi ikon tentang bagaimana seharusnya seorang Ibu Guru. Dan yang membanggakan kami, ia bukan hanya Ibu Guru bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Ia buktikan ajarannya di tengah keluarganya.

Tak mengherankan bila ketika jenazahnya disemayamkan di Rumah Duka, ratusan bahkan ribuan karangan bunga dukacita berbaris sepanjang jalan. Bukan hanya dari bekas murid-muridnya, tetapi terutama dari orang-orang yang mengucapkan ikut berdukacita kepada putra-putrinya. Putranya yang tertua adalah Prof. Dr. Bungaran Saragih, menteri pertanian pada Kabinet Gus Dur dan Megawati.

Tiap kali saya ingat IBU, saya selalu bersyukur bahwa ia adalah salah seorang dari banyak IBU di Indonesia. Bangga saya jadi orang Indonesia.

* Eben Ezer Siadari adalah wartawan, pemimpin redaksi majalah WartaBisnis dan BisnisKita, tinggal di Jakarta. Lahir di Sarimatondang, Sumatera Utara, 27 Juli 1966, ia menamatkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Menimba pengetahuan jurnalistik di Thomson Foundation, Cardiff, Inggris (1994), ia juga adalah alumni International Visitor Leader Program (1997) yang diselenggarakan oleh United States of Information Agency (USIA), Washington. Tercatat sebagai associate pada Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI, karyanya sebagai penyunting antara lain Sketsa 50 Eksekutif Indonesia (1997), Gubernur Gorontalo menjawab Rakyat (2005) dan The Power of Value in Uncertainty World, Reflesi seorang CEO, Herris Simanjuntak (2005). Menikah, dengan satu putri (6 tahun) waktu senggangnya dihabiskan dengan tidur dan berburu makanan etnik murah dan ramah di sekitar tempatnya tinggal. Ia dapat dihubungi melalui email: ebenezersiadari@yahoo.com.

Ketika usiaku menjelang Pensiun

Oleh: Masbukhin Pradhana


Juli 2005 tanggal 20, kala itu pertama kali saya men-share pengalaman menjalani bisnis di kelas Entrepeneurship di perusahaan otomotif. Pesertanya rata-rata berusia 52 tahun yang berarti 3 tahun lagi akan pensiun. Usia peserta yang menjelang pensiun itu memang pantas menjadi bapak saya. Namun mereka mengakui telah kalah start dan setengah menyesal, “kenapa tidak memulai dari dulu...” Saya pun berpikir, “Gimana sih rasanya kalau tiga tahun lagi kita pensiun?”

Saya pun berkelana dengan mesin waktu ke tahun 2026. Ketika itu usia saya sudah 52 tahun dan tinggal punya sisa waktu 3 tahun untuk bekerja di perusahaan. Apa yang terjadi jika usia saya dipanjangkan sampai menjelang pensiun.

Kira-kira posisi saya ketika itu, apakah sudah menjadi supervisor, manager, general manager atau sudah director. Bukan kah makin tinggi jabatan, semakin kita merasa takut meniggalkan posisi tersebut. Kalau sebelum pensiun kita sebagai desecion maker dengan kekuasaan yang besar, namun tiba-tiba kekuasaan itu lepas, bukan kah malah terasa bahwa kita “sudah habis“? Mungkin itulah rasanya post power sindrome, gak enak rasanya.

Tapi saya pun berpikir, kalau saya masih menjabat sebagai supervisor apalagi masih menjadi staff, tentu betapa jelek prestasi saya di mata perusahaan, sehingga jabatan pun tak kunjung naik hingga menjelang pensiun. Sehingga terkadang pikiran jelek pun hinggap, kalau saya bekerja di perusahaan saja tidak bisa memberikan kontribusi yang baik padahal perusahaan tersebut didukung oleh tim, apalagi kalau saya sudah pensiun dan hidup sendiri tanpa tim, tentu betapa lebih payahnya hasil kinerja saya.

Apa yang harus dilakukan setelah pensiun? Apakah pulang kampung untuk menekan pengeluaran? Dengan pulang kampung, rasanya kembali ke masa kanak-kanak. Menikmati udara desa yang belum banyak tercampur asap kendaraan dan pabrik. Melihat hijaunya pepohonanan. Jalan pagi tanpa alas di rumput yang masih basah oleh embun.

Ataukah tetap di Jakarta karena sudah mengenal tetangga kanan kiri sejak mempunyai rumah sendiri. Menikmati usia tua bersama tetangga seusia.

“Itu kan masalah aktifitas harian dan lingkungan...,“ pikirku. Padahal masih banyak masalah yang lain.

Yang lebih menggelisahkan lagi, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan rutin.

Apakah saya melamar kerja harian. Kok kerja lagi yaaa...

Atau membuat bisnis? Bukan kah usiaku sudah terlalu tua untuk memulai?

Mungkin usiaku telah tua, tapi semangat harus tetap berkobar. Masak sih pengalaman hidup selama 50-an tahun tidak bisa dipakaia sebagai bekal berbisnis?

Saya pikir, saya harus mulai sekarang, sebelum semuanya terlambat. Masalahnya bukan terlambatnya, tapi mulai nanti atau sekarang adalah sama saja. Bukan kah kalau aku berniat berwira usaha, sekarang atau nanti sama saja?

Tapi kalau aku mulai sekarang, mungkin waktuku akan terbagi.

Tapi kalau tidak mulai, aku tidak akan bisa membuktikan bahwa bisnis adalah “menarik“. Kalau ditunda terus, tentu keberhasilan pun akan tertunda. Jika harus melewati kegagalan pun, tentu harus saya lewati segera, agar ketika saya pensiun, bisnisku sudah berjalan dengan lancar. Jangan sampai ketika aku sudah dapat surat pensiun, dan tidak bekerja lagi, aku baru memulai bisnis yang memang harus melewati jatuh, jatuh, jatuh dan bangun kembali untuk selanjutnya menuju Sukses.

Penutup

Aku pun tersadar. Kini usiaku baru beranjak 31-an.

Akupun berpikir “Apakah aku harus mulai membangun bisnis ketika usiaku 52 tahun atau dari sekarang ?“

Kenapa tidak sekarang ?!

* Masbukhin Pradhana adalah motivator bisnis yang bergabung dalam komunitas Jakarta Entrepreneur Club.

Mission Im [possible]

Oleh: Hari Subagya


(Sebagai renungan di awal tahun 2006)

Sahabat sukses. Dalam perjalanan hidup anda sekarang ini, adalah perjalanan sebuah misi. Misi kehidupan yang hanya sekali saja akan anda jalankan. One way Ticket!

Kehidupan tak akan pernah bisa anda putar ulang. Tidak ada kesempatan kedua, dan anda harus berhasil. Anda harus sukses. Bila anda sukses maka anda menang, bila tidak maka anda akan kalah dan hanya akan menjadi beban kehidupan.

Beban keluarga, beban orang lain, beban masyarakat, beban negara dan bahkan beban dunia. Kehadiran anda hanya akan menjadi masalah dan masalah.

Sahabat sukses,… apakah anda akan relakan kehidupan anda yang hanya sekali ini, sebagai orang yang kalah?

Sahabat sukses,… apakah anda akan relakan kesempatan yang tersisa untuk menyerah?

Hidup anda adalah sebuah misi. Misi ini menjadi bisa sangat berat namun bisa menjadi sangat ringan dan menyenangkan. Misi kehidupan anda haruslah SUKSES!

Anda tidak akan memiliki pilihan lain kecuali anda harus sukses!

Anda terlahir sebagai pemenang..

Anda telah mengalahkan 250 juta sel sperma atau calon manusia. Andalah pemenangnya.

Saat anda masih bayi anda belajar berdiri. Anda terjatuh dan anda bangkit kembali. Saat anda semakin besar anda belajar berjalan dan terjatuh. Namun anda bangkit lagi. Saat anda beranjak lebih besar anda belajar berlari dan terjatuh, anda bangkit kembali. Kini anda bisa berjalan, berlari dan memiliki banyak pengetahuan dan keahlian. Akankah anda menyerah? Atau anda akan tetap bangkit dan bangkit kembali?

Kehidupan begitu indah….

Begitu banyak makanan lezat yang bisa kita nikmati, begitu banyak minuman segar yang bisa kita rasakan. Pemandangan pemandangan yang indah, ada pantai lengkap dengan deburan ombak, ada gunung lengkap dengan udara sejuk yang nyaman. Ada sungai berliku dan bunyi gemericik yang menenangkan jiwa.

Kehidupan begitu indah. Ada saudara yang selalu setia menjadi teman kita, ada keluarga yang selalu menemani dan mendukung kita, ada istri, suami anak yang selalu menggembirakan kita.. Lihat senyuman mereka, dengar tawa candanya… Dunia begitu indah dan nyaman untuk ditempati, dinikmati dan dijadikan tempat untuk bercengkrama.

Kehidupan begitu meriah, ada Mall mall lengkap dengan barang bagus dan indah, Ada panggung hiburan, ada gemerlap lampu, ada suara suara riuh yang menggairahkan, Ada Surau, Masjid, Pure dan gereja, tempat kita menenangkan jiwa dan mengadu pada yang Kuasa. Ada bukit lembah dan pegunungan yang sejuk dan bersih, ada gairah ombak lautan yang setia.....

Apa yang akan kita capai dalam kehidupan ini?

Sebelum Terlambat

Kehidupan adalah sesuatu yang bisa kita jalani dengan suka cita dan cinta. Ingat kembali perasaan cinta itu. Bayangkan anda dengan perasaan jatuh cinta yang luar biasa. Merindu, kangen, ingin bertemu dan memeluk dengan segenap perasaan. Namun anda terganggu oleh keterpurukan dan ketidak berdayaan. Orang yang anda cintai menjauh dan menjauh, karena anda tidak menampakan sinar “kejayaan”, Wajah anda dipenuhi dengan keluhan-keluhan dan suara-suara pesimis.

Sebelum terlambat, segera berbalik arah. Bersemangatlah agar wajah anda lebih cerah dan indah.

Sebelum terlambat, dan orang yang anda cintai menjauh, berprestasilah!

Sebelum terlambat mereka meninggalkan anda. Berbuatlah sesuatu!

Kita BUKAN orang yang bodoh?

Begitu banyak kenikmatan dan keindahan yang bisa dinikmati oleh orang yang pandai. Begitu banyak perasaan dan sensasi yang bisa dicapai oleh orang pandai. Kekayaan, penghargaan, harga diri, status, uang, harta, keluarga yang tercukupi. Bahkan ibadah-ibadah yang hanya bisa oleh mereka yang mampu.

Akankah anda berhenti belajar?

Apakah anda orang yang malas?

Mereka yang sukses adalah mereka yang rajin dan pantang menyerah. Mereka yang selalu berusaha, mereka yang selalu berjuang, mereka yang selalu memperbaiki diri. Sedang orang yang malas akan terlindas, tertinggal, terpuruk, dan menjadi cemoohan.

Lihat dan ingat kembali wajah keluarga anda!

Lihat dan ingat kembali tempat tinggal anda!

Lihat dan telusuri kembali wajah ibunda!

Lihat dan telusuri kembali wajah istri atau suami anda.

Wajah anak anda……

Mereka menunggu kesuksesan anda.

Jangan biarkan kesabaranya tak tertahan…

Bergegaslah untuk menuju kesuksesan yang luar biasa…..

Kini anda sedang dalam sebuah misi, dimana anda tidak boleh gagal!

Ini adalah sebuah kesempatan yang baik bagi anda.

Anda bisa menjadi apa saja yang anda inginkan.

Anda memiliki segala sesuatu untuk memujudkan impian anda.

Ubahlah pikiran sempit dan keyakinan rendah anda.

Besarkan! Besarkan! Besarkan terus!

Lihat nyala api semangat yang berkobar dalam dada anda!

Semakin besar….semakin besar!

Sekarang saatnya anda memulai CITA-CITA besar itu

Tuliskan!

Tuliskan dengan HURUF BESAR! di hati anda yang paling dalam.......

Selamat berjuang, tanhun 2006 akan menjadi tahun kejayaan anda. Doa saya menyertai sahabat sukses! Salam perubahan!

* Hari Subagya adalah penulis buku best seller Time to Change. Kunjungi websitenya: www.bisnispartner.com

Tidak Penting Siapa Anda Sekarang

Oleh: Masbukhin Pradhana

Siapakah Anda hari ini? Tidak lulus sekolah, lulusan SMA , lulusan D3, atau malah sudah sarjana, doktor sekalipun? Tapi apakah posisi Anda sekarang ini? Apakah masih pengangguran, sibuk mencari kerja ataukah karyawan dengan gaji pas-pasan atau menjelang usia pensiun atau malah ada yang sudah pensiun? Itu semua tidak penting. Hari ini boleh jadi Anda belum sukses atau pada posisi kalah, tapi orang lain bisa melihat siapa Anda tiga tahun atau kalau kurang lama lihatlah diri Anda sendiri lima tahun mendatang. Anda yang bisa menggambarkan siapakah Anda lima tahun mendatang.

Kekuatan mimpi
Mimpi bisa saja diartikan cita-cita kalau kita benar benar ingin mewujudkannya. Biasanya kalau cita-cita ini sudah ada rencana untuk pencapaiannya. Tapi kalau mimpi ini lebih ngawur dan bahkan terkesan tidak masuk akal.

Hanya pemimpi yang mampu mengubah wajah dunia. Dulu terkesan aneh bila ada orang yang mampu terbang di angkasa, namun sekarang dengan teknologi pesawat manusia bisa menempuh jarak beratus kilometer lewat udara dengan waktu yang relatif singkat.

Begitu pula Anda, jangan takut bermimpi untuk menjadi siapa, memiliki apa untuk beberapa tahun ke depan.

Begitu pula mimpi bisnis, anda bisa saja melihat peluang di pasaran. Sehingga dengan kemampuan otak kanan dan mimpi, anda mengambil peluang itu dengan harapan dua tahun lagi bisnis inilah yang akan menghantarkan Anda mewujudkan mimpi selanjutnya.

Mimpi Fisik dan Spesifik
Bisnis itu parameternya fisik. Anda bisa dibilang sukses dalam bebrbisnis kalau sudah ada faktanya berupa rumah mewah, mobil mewah dan lain-lain yang mewah. Itu kalau Pengusaha besar.

Kalau pengusaha sedang, paling-paling sudah memiliki mobil kijang, dan pick up bisa dibilang kaya. Tapi yang penting bagi orang umum adalah yang tampak fisik.

Meskipun hakekat bisnis tidak hanya dilihat dari fisik. Jumlah karyawan juga bisa melihat besar kecilnya usaha.

Sehingga, mimpi pun harus fisik, spesifik dan ada target waktu. Karena ini urusannya dunia, jadi harus nyata. Misalnya saya bermimpi lima tahun lagi memiliki rumah berharga Rp2 M dengan mobil Mercy 260 di garasi. Tidak penting siapa Anda sekarang. Kan bermimpi saja gratis.

Jadi apa saja mimpi Anda? Tulis sekarang!

Kekuatan Doa
Berdoa merupakan sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan meminta restu-Nya untuk merealisasikan cita-cita kita. Dengan berdoa insya Allah akan menambah daya optimis dari keinginan kita. Dan yang penting adalah restu dari Allah. Jadi doa ini seperti pengajuan proposal ke Tuhan.

Optimalkan Proses
Setelah kita bermimpi yang boleh tidak terbatas (pakai otak kanan), setelah itu kita pakai otak kitri untuk membuktikannya. Lihatlah kondisi nyata sekarang. Dan bangunlah jembatan untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Dengan kekuatan mimpi, kekuatan doa dan kekuatan Proses ini lah yang akan mendorong mimpi tersebut segera terwujud.

Revisi Mimpi
Namanya saja mimpi, sudah gratis, bisa diubah-ubah semaunya. Bisa saja mimpi Anda mencapai rumah Rp2 M sudah tercapai dalam waktu tiga tahun, maka sah saja kita merefisi mimpi untuk dua tahun sisanya.

Penutup
Naah, mimpi kan gratis. Kenapa kita takut bermimpi. Yang perlu ditakutkan adalah kesiapan mental kita kalau-kalau mimpi tersebut menjadi kenyataan.

* Penulis adalah alumni Teknik Elektro Unibraw Malang dan pernah aktif di Pers Mahasiswa Politeknik Unibraw. Sekarang bekerja di PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia sebagai staff IT. Penulis juga seorang mentor bisnis di Entrepreneur University, kolomnis majalah bisnis,, aktif di komunitas Jakarta Entrepreneur Club, anggota komunitas Kuadran Empat yang sedang mengembangkan bisnis grosir voucher, laundry dan restaurant dengan bendera Priema Persada Ia dapat dihubungi di : bukhin@yahoo.com Profile: http://masbukhinpradhana.blogspot.com

BANGGA SAYA JADI ORANG INDONESIA (5): Pak Sumarso Pahlawan Saya

Oleh: Eben Ezer Siadari


Pak Sumarso tak mengenal saya. Saya pun tak kenal beliau. Ia tak berbicara dengan saya. Saya pun tak sempat menyapa dia. Perjumpaan kami tak lebih dari delapan menit. Bahkan sebenarnya bukan perjumpaan. Hanya secara kebetulan saja kami berada pada satu waktu di satu tempat. Yakni di Kereta Rel Listrik (KRL) AC jurusan Serpong-Tanah Abang. Suatu hari di minggu pertama Januari.

Tapi Pak Sumarso begitu melekat di hati saya. Dan saya mencatat namanya yang tertera di atas saku baju kerjanya yang berwarna biru muda. Saya bahkan sempat memotret wajahnya dengan kamera handphone saya (lihat, www.banggaindonesia.com), meskipun tak sempurna hasilnya. Pak Sumarso kala itu sedang berbicara menjurus kepada berdebat, dengan salah seorang penumpang kereta itu. Di situlah saya mengaguminya. Dan saya jadi bangga jadi orang Indonesia.

Pak Sumarso adalah kondektur KRL AC bertiket Rp10 ribu sekali jalan (tetapi diskon 20% sehingga efektifnya adalah Rp8 ribu). Pagi itu seperti biasa, ia memeriksa satu per satu karcis penumpang. Ketika tiba giliran seorang penumpang yang berdiri tak jauh dari saya, si penumpang menyodorkan uang Rp5.000-an seraya berbisik-bisik. Tapi Pak Sumarso menolak. Ia menasihati si penumpang agar seharusnya tak naik KRL itu jika tak punya tiket.

Pak penumpang masih berusaha bernegosiasi. Mengatakan bahwa ia terburu-buru. Mengatakan bahwa ia harus segera tiba di kantor. Dan terus saja menyodor-nyodorkan Rp5000-an itu. Tapi Pak Sumarso bergeming. Dan Pak Sumarso menjelaskan peraturan bahwa penumpang yang tidak dapat menunjukkan karcis, harus didenda lima kali dari harga karcis. Itu berarti Rp50 ribu.

Pak penumpang merah padam mukanya. Ia masih ngotot dan berkata ia tidak punya uang sebesar itu. Pak Sumarso, dengan kesabaran seorang orangtua, dan emosi sedingin es, kembali berkata bahwa ia harus menjalankan tugasnya. Lalu ia mengatakan jika pak penumpang tak bersedia membayar, atau sedang tidak punya uang, ia akan meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya. KTP itu akan dititipkan di salah satu stasiun. Nanti kalau pak penumpang sudah punya uang, ia dapat menebus KTP itu.

Pak penumpang masih bersungut-sungut. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Ia menyerahkan KTP-nya kepada Pak Sumarso. Lalu Pak Sumarso merogoh tas kecil yang disandangnya. Mengeluarkan surat tanda terima, mengisi dan menandatanganinya lantas menyerahkan kepada pak penumpang.

Pak penumpang merah padam mukanya. Penumpang lain terbelah dua reaksinya. Seorang penumpang berkata, seolah membela pak penumpang yang kena denda. "Biarin aja. Jangan ambil KTP-nya. Nanti bikin KTP baru saja," katanya. Tapi penumpang lain di kereta itu diam menjurus menyalahkan pak penumpang yang tak punya karcis. Memang tak adil jika ada orang yang bersusah payah membeli karcis Rp8000, sementara ada yang ingin naik dengan menyogok sang kondektur.

Apa sih istimewanya Pak Sumarso? Kok ia bisa menyita perhatian dan perlu pula mengambil waktu saya untuk menceritakannya?

Pak Sumarso barangkali tak istimewa bagi mereka yang belum mengenal suasana kereta api di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Tetapi sekali Anda kenal dan memahami apa yang terjadi di atas kereta itu, Anda akan setuju bahwa tindakan kecil yang dilakukan Pak Sumarso adalah kemewahan yang makin susah kita cari.

Hampir setiap hari saya menggunakan jasa kereta api berangkat dari stasiun Sudimara di kawasan Ciputat ke stasiun Tanah Abang di Jakarta Pusat. Sesekali naik KRL AC tetapi lebih sering naik KRL Ekonomi dengan tiket Rp1.500 sekali jalan. Dan saya selalu sedih luar biasa. Di KRL Ekonomi itu, dengan harga tiket yang menurut saya paling murah dibanding ongkos kendaraan umum mana pun di Jakarta ini, toh masih banyak yang tak mau bersusah-susah membeli tiket. Saya tidak tahu mengapa. Ada yang memang samasekali tak mau menyisihkan uang Rp1.500. Ada yang seolah-olah tanpa rasa bersalah menyelipkan Rp1.000-an ke tangan kondektur. Dan semua orang sepertinya sudah tahu sama tahu tentang 'korupsi' kecil-kecilan yang terjadi secara massal itu.

Yang mengherankan saya, para kondektur KRL Ekonomi itu sepertinya juga acuh menjurus senang dengan keadaan itu. Caranya menagih tiket, dengan hanya menggamit satu per satu penumpang tetapi tidak pernah dengan sungguh-sungguh menagihnya, sungguh membingungkan saja. Banyak di antara penumpang itu berpura-pura tidur ketika Pak Kondektur melintas. Dan Pak Kondektur mendiamkan saja. Yang lebih menyakitkan hati, para penumpang yang duduk adem di antara berjubelnya penumpang itu, banyak juga yang sama sekali tidak membayar. Dan terus mengoceh kesana-kemari, tentang enaknya makan di restoran X, tentang sedapnya pulang kampung liburan kemarin dengan naik pesawat terbang. Tetapi giliran Pak Kondektur menagih tiketnya, ia cuma nyengir dan mengangkat tangan, "Halo Pak, he he he..." Dan Pak Kondektur seolah salah tingkah.

Jangan dikira mereka yang tak sudi membeli tiket itu, atau yang menyogok dengan Rp1000-an itu adalah orang-orang tidak mampu. Atau orang-orang yang tidak berpendidikan. Tidak. Para pedagang, ibu-ibu rumah tangga yang mengantarkan anaknya ke sekolah, banyak juga yang disiplin membayar. Justru yang tidak sudi membayar itu, dugaan saya adalah kalangan berpendidikan, terpelajar, dan bekerja di Jakarta. Justru karena mereka sudah terbiasa naik KRL itu, sudah mengenal dengan akrab para kondekturnya, maka mereka menganggap semua bisa diatur. Semua bisa cincai. Dan korupsi kecil-kecilan tapi massal itu terjadi terus-menerus.

Di KRL AC keadaannya memang tak separah di KRL Ekonomi itu. Penumpang pada umumnya disiplin membeli tiket dan menunjukkannya kala Pak Kondektur memeriksa. Tapi tidak selalu. Ada juga kalanya kondektur-kondekturnya termakan oleh sogok. Saya bahkan pernah bersitegang ketika seorang penumpang menyodorkan Rp5000-an kepada Pak Kondektur dan sang Kondektur dengan diam-diam menyelipkan ke kantongnya.

Saya protes. "Pak, kok tidak didenda? Padahal, banyak penumpang manakala tidak dapat menunjukkan karcis, didenda?!" tanya saya kala itu.

Pak Kondektur menoleh kepada saya. Lantas berkata. "Kapan? Tapi bukan oleh saya bukan?" kata dia.

Ah, Pak Kondektur itu salah menangkap pesan yang ingin saya sampaikan. Bukan persoalan apakah dia atau kondektur lainnya yang melakukannya. Melainkan alangkah tidak adilnya bila seorang kondektur seperti dirinya membiarkan orang tak membayar tiket secara penuh, membiarkan orang lain membayar lebih besar dan membiarkan jasa perkertaapian terus terpuruk seperti sekarang. Dan lebih parah lagi, membuat harga diri, kewibawaan para kondektur merosot dari waktu ke waktu.

Dalam sebuah talkshow di TVRI beberapa waktu lalu yang membahas perkeretaapian, seorang pejabat yang menangani kereta api membuat saya gemas dan jengkel. Ketika itu ada seorang penelepon mengeluh bahwa kereta api di Jabodetabek ini sudah seperti rimba tak bertuan. Dan memang penelepon itu benar. Semua orang bisa naik. Dan kondektur sama sekali kehilangan wibawa. Korupsi berjalan tanpa ada yang menghentikan. Kondektur mengutip uang dari para penumpang, bukan mengharuskan penumpang membeli tiket. Dan semua diam. Seperti semuanya sudah berjalan wajar. Seolah-olah kereta itu bisa berjalan dengan sendirinya, tanpa bahan bakar yang ditanggung belanja negara yang padahal itu dibebankan kepada kita dan anak cucu kita. Dalam bentuk pajak. Dalam bentuk utang luar negeri.

Tetapi apa jawab Pak Pejabat itu?

Kata dia, dilihat dari kapasitas KRL Ekonomi Jabodetabek memang sudah tidak memungkinkan lagi bagi kondektur untuk memeriksa tiket. Menurut dia, penumpang demikian berjubel sehingga kondektur tak sempat memeriksa satu per satu. Karena itu, menurut dia, setiap stasiun akan dibenahi lagi sehingga hanya yang punya tiket yang bisa masuk.

Pak Pejabat itu bohong. Atau setidaknya setengah benar. Atau ia memang sama sekali tak pernah naik KRL Ekonomi. Jika ia pernah naik KRL Ekonomi, ia akan tahu, seberjubel apa pun KRL itu, Pak Kondektur pasti akan berkeliling memeriksa tiket. Tetapi Pak Kondektur memang tidak benar-benar memfokuskan tugasnya memeriksa tiket. Ia lebih memusatkan perhatian untuk mengutip Rp1000-an dari tiap-tiap penumpang dan memasukkan ke kantongnya. Dan, di stasiun pemberhentian entah di mana nanti, seperti yang pernah saya lihat, sang kondektur akan menyetorkan hasil kutipannya kepada seseorang di ruang masinis. Dan mereka membagi-baginya entah ke mana saja.

Boleh juga diuji dengan cara lain. Cobalah Pak Pejabat itu naik KRL Ekonomi trip terakhir dari Tanah Abang menuju Serpong. KRL itu biasanya sudah agak sepi dan tidak ada alasan bahwa Pak Kondektur tak bisa menjalankan tugasnya karena berjubel. Pak Pejabat mungkin akan terkejut bahwa praktik yang terjadi sama saja. Kebanyakan penumpang tak membeli tiket seharga Rp1.500 itu. Banyak yang cuma mengangkat tangan, atau satu dua menyerahkan Rp1000-an. Pak Kondektur, dengan keramahan seorang orang baik-baik, segera mengantongi uang itu. Pak Kondektur itu sudah menyalahartikan arti keramahan. Menjadi orang baik, bukan dengan cara demikian. Ia justru akan menjadi orang baik, bila ia menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Sehingga perekerataapian kita sehat. Sehingga uang negara tidak terus-menerus digunakan untuk menomboki kerugiannya. Sehingga negara bisa mengalokasikan lebih banyak lagi uang untuk pendidikan. Dan uang sekolah lebih murah. Uang sekolah anak-anak kondektur itu dan juga uang sekolah anak-anak kita.

Tapi korupsi massal itu berjalan terus. Entah sampai kapan.

Sudah bosan kita bicara tentang parahnya korupsi. Sudah bosan pula kita digemparkan oleh pembongkaran kasus-kasus korupsi di media. Juga kita sudah bosan mendengar para eksekutif perusahaan kereta api kita mengeluh bahwa mereka butuh dana, butuh investasi baru, butuh uang membenahi dan membeli kereta api baru. Tapi mengapa kebocoran-kebocoran seperti itu dibiarkan? Dan itu dibiarkan bukan karena mereka tak mampu mengatasinya, tetapi justru karena sebagian orang kereta api itu sendiri menikmatinya dan mendapatkan keuntungan dari sana?

Pak Sumarso yang saya lihat tipikal sekali dengan kebanyakan orang Jawa yang hidupnya prihatin. Potongan rambutnya rapih, sebagaimana para priyayi umumnya. Cara berpakaiannya mirip seperti para pegawai negeri umumnya. Kemeja biru muda dan celana panjangnya biru tua, terseterika dengan rapih. Tapi tindakannya itu, di KRL AC pada pagi hari itu, benar-benar membuat saya bangga jadi orang Indonesia. Sudah terlalu sering saya tak menemukan orang seperti Pak Sumarso. Yang bisa bertindak tegas dengan suaranya yang lembut. Yang bergeming walaupun ada yang membujuknya. Walaupun tindakaannyaa menyebabkan ia disalah-salahkan. Ia menjadi minoritas di antara mayoritas buruk.

Saya kira kita pantas mencari sebanyak mungkin orang seperti Pak Sumarso.

Jakarta, 19 Januari 2006
© Eben Ezer Siadari

* Eben Ezer Siadari tinggal dan bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Buku karyanya sebagai penyunting antara lain, Sketsa 50 Eksekutif Indonesia (WartaEkonomi, 1996), The Power of Value in Uncertain Business World, Refleksi Seorang CEO (Gramedia Pustaka Utama,2004) dan Gubernur Gorontalo Menjawab Rakyat (2005). Catatan-catatan pribadinya dapat dilihat di THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG, www.sarimatondang.blogspot.com dan BANGGA SAYA JADI ORANG INDONESIA, www.banggaindonesia.blogspot.com.

Telecommuter

Oleh: Ardian Syam

Anda sudah membaca majalah SWA edisi 29 September – 12 Oktober 2005? Ada tulisan bahwa beberapa pebisnis di Jakarta lebih suka bekerja di tempat-tempat umum, di cafe atau restoran yang menyediakan hot spot sehingga mereka bisa mengakses server perusahaan tempat mereka bekerja atau situs-situs internet yang mereka butuhkan untuk membantu pekerjaan mereka.

Mereka bekerja sebagai designer, marketer, atau account officer/manager, maupun eksekutif di perusahaan tempat mereka bekerja, atau bahkan pemilik usaha tersebut. Mereka melakukan hal tersebut atas dasar kepraktisan karena client mereka bekerja di sekitar mal atau plasa yang mereka pilih dan yang menyediakan hot spot tersebut. Mereka mengambil keputusan tersebut demi agar client mereka dapat bertemu muka langsung dengan mereka tanpa harus menerobos rimba kemacetan lalulintas metropolitan. Begitulah cara mereka menunjukkan bahwa usaha mereka telah menjadi customer centric organization/company.

Saya mencoba merujuk sebuah istilah dari www.wikipedia.org yaitu telecommuter sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jack Nilles di Amerika Serikat. Telecommuting adalah pekerjaan yang dirancang sehingga pekerja menikmati fleksibilitas dalam lokasi dan waktu kerja. Dalam kata lain, commute (perjalanan pulang pergi) antara rumah dan tempat kerja mereka yang berjarak cukup jauh digantikan dengan jaringan telekomunikasi. Kaum pekerja telecommuting memiliki moto “pekerjaan adalah sesuatu yang Anda lakukan, bukan sesuatu yang mengharuskan Anda bepergian ke sana kemari”. Program telecommuting yang berhasil mempersyaratkan gaya manajemen yang didasarkan pada hasil dan tidak hanya pada kerutinan seseorang.

Telecommuting dapat dilihat sebagai solusi bagi kemacetan lalu lintas (akibat hanya ada satu penumpang di setiap mobil) dan sebagai solusi bagi polusi udara serta penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Investemen awal bagi infrastruktur jaringan dan hardware akan tertutup dengan peningkatan produktifitas dari pegawai telecommuting. Masih ingat diskusi dalam tulisan saya tentang “Quality Time”? Pegawai yang berhasil mengelola waktu antara waktu untuk keluarga dan waktu untuk pekerjaan akan menurun tingkat stress mereka sehingga akan lebih produktif.

Di sisi lain telecommuting juga dapat berarti penghematan yang cukup besar bagi perusahaan. Bila secara bersama-sama sekelompok orang harus berada dalam satu ruangan atau gedung dan setiap orang menggunakan PC atau notebook maka dibutuhkan kapasitas listrik yang cukup besar, namun bila mereka masing-masing bekerja di tempat yang berbeda (karena telecommuting) maka masing-masing membutuhkan kapasitas listrik yang rendah.

Mari kita berhitung langsung dengan angka-angka, bila ada 500 (lima ratus) PC atau notebook dalam sebuah gedung dan masing-masing membutuhkan daya listrik sebesar 100 watt saja, maka dibutuhkan 50.000 watt. Walaupun seluruh orang tersebut menggunakan 50 kWh tetapi tarif per kWh untuk kapasitas lebih dari 50 kWh akan jauh lebih tinggi bila mereka bekerja di rumah masing-masing yang memiliki kapasitas listrik sekitar 900 atau 1.300 watt. Sehingga perusahaan harus membayar Rp42.500,- (50kWh x Rp850,-) bila mereka bersama-sama bekerja di kantor, sedangkan bila mereka masing-masing bekerja di rumah maka biaya yang dikeluarkan per jam hanya Rp24.750,- (50kWh x Rp495,-).

Dari hitungan tersebut di atas berarti per jam telah terjadi penghematan hingga Rp17.750,- dan bila seminggu semua pegawai bekerja 40 jam berarti sebulan semua pegawai bekerja selama 160 jam. Dengan demikian penghematan yang dapat dilakukan adalah sebanyak Rp2.840.000,- Bila total pegawai di perusahaan tempat Anda bekerja hingga 10.000 orang maka penghematan yang dapat dilakukan hingga sebanyak Rp56.800.000,- yang berarti selama setahun perusahaan tempat Anda bekerja dapat menghemat hingga Rp681.600.000,- Coba Anda teruskan perhitungan tersebut bila ada 20.000 lebih pegawai telecommuting.

Baru dari satu perhitungan tentang penggunaan listrik oleh PC atau notebook. Sementara kantor juga seringkali membutuhkan AC yang mungkin tidak dibutuhkan para pegawai ketika mereka bekerja di rumah. Sudah Anda perhatikan gedung kantor tempat Anda bekerja? Kebanyakan gedung dibangun sedemikian rupa sehingga dibutuhkan lampu untuk membantu penerangan karena cahaya matahari tidak mudah masuk.

Kemudian, ketika 500 orang berkumpul bersama, maka kemungkinan dibutuhkan lebih dari satu lantai kantor. Bila kantor tersebut berlantai empat atau lebih maka tentu saja dibutuhkan lift. Tambah satu lagi penghematan yang dapat dilakukan bila para pegawai menjadi telecommuter.

Untuk listrik saja ada kemungkinan dalam setahun sebuah kantor dengan 500 pegawai dapat menghemat lebih dari Rp3 milyar. Bila kondisi tersebut dilakukan di semua kantor di perusahaan tersebut yang memiliki pegawai 10.000 orang saja, maka penghematan setahun mencapai Rp60 milyar.

Mari kita berhitung lagi bila space untuk kantor bagi masing-masing orang dibutuhkan sekitar 9 meter persegi. Berarti untuk 500 orang dibutuhkan 4.500 meter persegi. Mari kita asumsi biaya kebersihan dan keamanan setara dengan sewa space per meter persegi. Maka dengan sewa sekitar Rp200.000,- per bulan, kantor tersebut membutuhkan sekitar Rp900 juta per bulan berarti sekitar Rp10,8 milyar per tahun. Bila kantor itu merupakan bagian dari perusahaan dengan total pegawai 10.000 orang maka penghematan untuk space adalah Rp216 milyar per tahun.

Sekarang dari dua perhitungan saja yaitu listrik dan space perusahaan tempat Anda bekerja telah menghemat lebih dari Rp200 milyar per tahun. Sebuah perusahaan yang saya kenal dan memiliki pegawai sekitar 30 ribu orang selama dua tahun berturut-turut meraih laba Rp6 triliun. Tetapi dari penghematan yang telah kita bicarakan perusahaan tersebut bisa menghemat sekitar Rp600 milyar yang berarti laba bersih perusahaan tersebut akan naik sekitar 10% dibandingkan laba yang diperoleh sebelum melakukan penghematan dengan telecommuting.

Penghematan tersebut akan diperbesar lagi bila kita juga memperhitungkan biaya pengoperasian ruang-ruang rapat, fasilitas parkir, biaya untuk mesin presensi, biaya perawatan gedung kantor, dan masih banyak lagi biaya-biaya yang dapat dihemat bila perusahaan hanya membutuhkan gedung kantor yang kecil atau bahkan sama sekali tidak mempunyai gedung kantor.

Dengan menjadi telecommuter, para pegawai dapat mengurangi resiko lalu lintas termasuk kemacetan maupun kecelakaan (yang sekali lagi berarti dapat menghemat biaya yang harus dikeluarkan perusahaan). Pegawai dapat mengatur waktu mereka dengan lebih leluasa dan itu berarti dapat menempatkan pekerjaan kantor di waktu yang tepat atau waktu paling produktif tanpa kehabisan waktu untuk melakukan perjalanan kantor – rumah.

Hanya satu hal yang perlu benar-benar berubah secara mendasar yaitu gaya manajemen. Manajemen tidak lagi berdasarkan observasi dalam arti tidak perlu lagi mengawasi masing-masing bawahan, tetapi bergeser menjadi manajemen berdasarkan tujuan atau hasil. Hal yang cukup sulit memang adalah menetapkan hasil yang diharapkan perusahaan dari masing-masing individu.

Tetapi di sisi pekerjaan, perusahaan akan mendapatkan manfaat tambahan dengan membuat organisasi yang lebih langsing dan bersinergi secara matriks. Belum lagi bila didukung oleh para pegawai yang memiliki multi kompetensi, maka pekerjaan kelompok secara matriks akan lebih mudah terlaksana.

Bila perusahaan memiliki pegawai-pegawai yang multi kompetensi maka perusahaan pun bisa menghemat dalam jumlah pegawai. Kita kembali ke perusahaan yang tadi saya bicarakan. Gaji rata-rata per tahun di perusahaan tersebut adalah sekitar Rp150 juta per orang. Bila dengan pegawai yang memiliki multi kompetensi dan perusahaan dapat melangsingkan organisasi atau mengurangi 10 ribu dari 30 ribu pegawai mereka, maka perusahaan dapat menghemat lagi biaya gaji hingga Rp1,5 triliun atau akan meningkatkan 25 persen lagi laba bersih mereka. Sehingga dari hitungan tersebut maka telecommuting akan menyebabkan laba bersih perusahaan tersebut akan menjadi Rp8 triliun.

Terbayangkankah dalam pikiran Anda bila perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang memperdagangkan saham mereka di bursa? Apa yang terjadi dengan harga saham mereka? Kemudian apabila saham mereka merupakan blue chip, apa yang terjadi pada indeks harga saham gabungan?

Indeks harga saham gabungan akan naik semakin tinggi bila perusahaan-perusahaan blue chip melakukan strategi telecommuting. Terbayangkah apa yang akan terjadi pada pasar saham Indonesia? Kemudian bila pasar saham semakin diminati, apa yang kemudian terjadi dengan perekonomian Indonesia? Anda bisa saja menggunakan istilah efek domino atau multiplying effect tetapi lihatlah bahwa telecommuting tidak hanya berdampak bagi satu perusahan saja.

– Medan – Oktober 2005

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ia dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Teroris: Sebuah Fenomena Sosial dan Agama?

Oleh: M. Iqbal

Pada kamis siang (24 November 2005) saya memaksakan diri untuk pergi ke perpustakaan UIN Yogyakarta. Sebenarnya teramat berat melangkah kaki ke sana, karena cuaca yang begitu panas serta badan terasa capek setelah paginya masuk kuliah. Tapi, daripada tidur lebih baik saya gunakan waktu tersebut untuk ke perpustakaan. Pukul. 14.00 aku berangkat. Jarak antara kos saya dengan perpustakaan memang tidak jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki dengan memakan waktu sekitar lima menit.

Singkat cerita, saya telah sampai di perpustakaan UIN Yogyakarta. Jika dibandingkan dengan pagi hari, siang hari terasa sepi perpustakaan tersebut, sehingga membuat saya nyaman untuk membaca. Apalagi di lantai tiga yang isinya buku-buku yang jarang dijamah oleh para mahasiswa. Paling-paling ramainya cuma daerah tempat membaca koran dan skripsi, itu pun pada pagi hari. Pada siang hari hingga sore hari hampir dipastikan tidak ada orang.

Saya mulai menuju lantai satu, kemudian naik menuju lantai dua. Keliling-keliling sebentar, lalu naik lagi ke lantai tiga. Saya bingung, mau baca apa ya? Karena dari kos memang tidak ada niat untuk mencari buku tertentu, atau tentang masalah tertentu. Karena bingung, saya pergi menuju rak surat kabar dan majalah. Sialan, tidak ada koran baru, beritanya sudah kadaluarsa. Entah, saya tidak tahu ke mana koran-koran baru tersebut, padahal perpustakaan ini berlangganan empat surat kabar baik nasional maupun lokal. Tetapi tidak ada satu pun yang nongol.

Kemudian saya balik lagi menuju lantai dua. Saya menuju rak koleksi filsafat. Ah, tidak ada yang menarik, lalu menuju rak koleksi sosial. Saya coba mencari buku yang ada hubungannya dengan fenomena sosial pada saat ini. Aha! Saya menemukan buku yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang heboh di Indonesia saat ini. Buku itu berjudul “Agama dan Masyarakat (Suatu Pengantar Sosiologi Agama) karya Elizabeth K. Nottingham.

Isu hangat saat ini yaitu tentang terorisme, yang diindikasikan oleh para pengamat sebagai fenomena agama dan masyarakat. Para teroris yang didalangi oleh DR. Azahari dan Noordin M. Top ini membom beberapa tempat di Indonesia atas nama jihad, yaitu sebuah usaha atas nama agama untuk melawan orang-orang kafir. Itulah mereka pahami jihad. Kafir yang dimaksud mereka adalah orang-orang barat seperti Amerika dan Australia. Dan mereka menganggap tindakannya benar dan diridhoi Tuhan. Lantas, jika terkena pada orang Indonesia, khususnya muslim, mereka mengatakan, “sudah takdirnya”.

Nah, menurut buku tersebut, bahwa memang antara agama dan masyarakat bisa saling mempengaruhi. Ada kalanya agama dilakoni dengan mengintegrasikan dengan budaya masyarakat setempat. Begitu juga sebaliknya, masyarakat beragama secara simbolis dan sangat menyatu dengan tradisi masyarakat itu sendiri. Seperti dalam Islam dengan adanya tahlilan, halal bihalal, dan lain-lain, sehingga sulit melihat mana agama dan mana budaya.

Namun, hal itu masih dalam buku tersebut tidaklah memunculkan problem sosial. Yang dikhawatirkan adalah sikap keberagamaan yang eksklusif, yaitu yang tidak mau menerima perubahan, atau menyatu dengan budaya masyarakat, sehingga dalam menjalani perilaku keberagamaan begitu sempit, kaku, dan tekstual. Mereka melihat dunia hanya hitam dan putih. Dalam pandangannya yang ada cuma halal-haram dan kawan-lawan. Penafsiran atas teks keagamaan menjadi pola pikirnya dan mengejawantah dalam perilaku kehidupannya. Lantas apa yang terjadi? Ya, sebagaimana yang terjadi saat ini mereka ibarat “ingin masuk sorga dengan mengorbankan orang lain”.

* * * Tak terasa waktu sudah sore. Sebentar lagi perpustakaan ditutup. Saya pun menutup buku tersebut, dan melangkah keluar. Sungguh, waktu yang tak sia-sia saya lalui.

* M. Iqbal Dawami adalah penulis yang aktif di komunitas GARIS, Yogyakarta

Experiential Learning

Oleh: Hari Subagya


Selama 6 tahun ini saya menekuni bidang experiential learning. Sangat menarik, karena dengan methode belajar seperti ini sangat mudah diingat dan sulit untuk dilupakan. Dampaknya akan jauh lebih kuat. Methode ini seakan miniatur sebuah proses belajar dalam kehidupan. Banyak orang menjalani hidup, tersungkur, terperosok hingga ke titik minus, maka setelah itu, mereka baru tersadar dan mampu mengambil hikmahnya. Kadang kesadaran dari benturan itu sudah sangat terlambat.

Banyak sekali kejadian orang yang terperosok, karena kebiasaannya mencuri, korupsi, dan ketika terungkap dan tertangkap, maka sudah hancur semuanya. Begitu kesadaran timbul, begitu titik kebenaran mulai menyinari hatinya, maka semuanya sudah berbeda. Tenaga sudah habis, sahabat sudah pergi, dan usia semakin senja. Kadang kesadaran akan hal-hal kebaikan begitu terlambat datangnya. Siapapun yang mengalami keterpurukan, pasti dalam hatinya akan berkata: "Seandainya aku menghentikan tindakan burukku sebelum ini, maka aku tidak akan seperti ini."

Methode belajar dengan experiential learning, seakan membuat sebuah episode kehidupan dalam waktu beberapa hari saja atau hanya beberapa jam saja, sehingga akan muncul kesadaran-kesadaran yang kuat akan hal-hal positive: Pentingnya berbuat baik, pentingnya sebuah kejujuran, bagaimana berkomunikasi, bagaimana menjalin kerjasama, bagaimana menselesaikan masalah bersama, bagaimana memotivasi, kesadaran akan pentingnya percaya diri, percaya pada rekan, bahkan hingga pengalaman perjuangan yang tidak mengenal mundur atau pantang menyerah. Harus bisa dan ternyata bisa.

Experiential learning, juga sebuah aktivitas yang sangat dahsyat. Kita mengetahui bagaimana Leonardo da Vinci mengajukan pertanyaan pertanyaan mendasar soal terbang. Bagaimana burung mulai ingin terbang? Bagaimana Burung menambah kecepatanya? Bagaimana burung mengurangi kecepatanya? bagaimana burung berusaha berhenti dan hinggap di dahan pohon?

Aktivitas menanyakan dan menggali apa yang kita alami, apa yang kita lihat dan apa yang kita rasakan, bisa memberikan inspirasi yang sangat berguna bagi sebuah perjuangan sukses. Mengamati apa saja, juga bisa memberikan isnsight yang berguna bagi perjalanan sukses anda. Pertajam pengamatan anda terhadap apapun, maka anda akan merasakan begitu bermaknanya kehidupan, begitu dahsyatnya skenario kehidupan, yang pada akhirnya anda akan menemukan rumus-rumus pasti sebuah kehidupan.

Saya pernah meneteskan air mata ketika membaca cerita seorang bapak yang berturut-turut didera derita: Mulai kedua kakinya hilang, ditinggal istri tercinta, ditinggal anak tercinta menjadi TKW, dan terakhir harus menyaksikan anaknya sendiri di tiang gantungan. Saya mencari apa salah darinya? Namun diawal cerita saya membaca, kalau mereka menikah tanpa persetujuan orang tua. Mungkin anda juga mendengar derita artis kita Cut Mey-mey, mungkin anda juga melihat kisah tragis kehidupan beberapa orang, tetangga atau saudara? Jika anda teliti, maka anda akan menemukan rumus pastinya.

Bagaimana kehidupan orang yang hamil sebelum menikah? Anda bisa melakukan observasi kecil? Bagamana kehidupan orang yang menikah tanpa persetujuan orang tuanya? Bagamana Orang yang gemar minum-minuman keras? Bagamana orang yang selalu merokok? Bagaimana kehidupan para wanita tuna susila? Bagamana kehidupan orang yang senang berjudi? atau bagaimana kehidupan orang yang selalu belajar? Bagaimana kehidupan orang yang wajahnya selalu tersenyum? Bagaimana kehidupan orang yang selalu mengkritik?

A-Ha! (saya pinjam icon-nya Pak Andrias Harefa) Saya sangat yakin anda akan menemukan formula pastinya! Rumus-rumus kehidupan itu benar-benar dahsyat! Namun sayangnya kita tidak cukup waktu untuk mengalami semua kejadian itu agar kita belajar. Kita tidak memiliki waktu untuk menjalani semua rangkaian cerita kehidupan. Untuk itulah kita perlu belajar dari orang lain, kita perlu belajar dari pengalaman orang lain. Atau kita membuat miniatur kehidupan dengan experiential learning (belajar dengan mencoba mengalaminya). Melalui permainan permainan yang sudah didesain sedemikian rupa, melalui skenario-skenario tertentu, agar kita mengalami suasana dan perasaan tertentu.

Lebih dari 6 tahun saya menggeluti experiential learning, saya bisa menemukan formula-formula. Jika dalam sebuah kelompok ada yang arogan, maka tim itu akan gagal dan lambat dalam masah A, Jika kelompok itu dominan dengan orang yang pasif, maka akan gagal dalam kasus B, Jika ada tim yang memiliki tipe pemikir yang banyak pertimbangan, maka mereka akan kalah dalam game C. Itu bisa menjadi sebuah pola.

Lebih dari 6 tahun saya mengadapi sekitar ratusan manusia berbeda setiap minggunya dari berbagai organisasi dan perusahaan, maka saya mulai mengenal karakter-karakter manusia yang sangat beragam. Jangan khawatir hampir semua memiliki plus dan minus. Itu juga sebuah keadilan Tuhan, namun bila mengarahkan dan menempatkan dalam pos-pos yang tepat, maka bisa menjadi sinergi yang luar biasa.

Sahabat Sukses! Belajar dengan mengalami, memiliki sensasi tersendiri, belajar dengan mengamati juga memiliki kenikmatan tersendiri, namun pasti bila anda tidak belajar, maka sensasi-sensasi kehidupan itu tidak bisa merambah dalam kehidupan anda. Mungkin anda hanya menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup anda. Mungkin anda hanya tertarik dengan uang! Mungkin anda hanya tertarik dengan wanita cantik atau pria ganteng dan kaya.Ternyata kenikmatan tidak hanya sebatas hal itu. Anda bisa menikmati dinginya udara pegunungan sambil memeluk secangkir kopi panas. Anda juga bisa menikmati berdebarnya jantung ketika anda ingin meloncat dari ketinggian 15 meter dari atas pohon. Anda bisa menikmati kengerian menuruni tebing, bahkan anda bisa menikmati ber-camping di Bantar Gebang (tempat pembuangan sampah).

Anda ingin mencoba?

Coba mulai hari ini, anda amati apa yang anda lihat. Sekali anda berhenti di pangkalan becak dan ngobrol dengan mereka. Temukan pemikiran dan pemahaman mereka tentang hidup, setelah itu simpulkan beberapa pemikiran yang tetap membuatnya menjadi tukang becak bertahun-tahun tanpa kemajuan. Coba anda sesekali makan bakso dari tukang bakso yang selalu lewat di depan rumah anda, tukang asinan, kuli bangunan. Temukan pemikiran dan keyakinan yang mereka anut, lalu simpulkan sikap dan pemikiran apa yang membuatnya "TIDAK BERGERAK".

Kemudian silahkan anda mendengarkan Radio Smart FM: Andrie Wongso, Jansen Sinamo, Fx Hadi Tjokrosusilo, James Gwee, Jacob Esra atau anda temui orang-orang yang anda anggap sukses. Temukan pemikiran mereka, kemudian simpulkan apa yang membuat mereka menjadi DAHSYAT. Menurut anda sendiri.

Pertanyaan berikutnya adalah, jika ada "pemikiran abang becak" ada dalam diri anda dan anda mengetahui itu tidak memberdayakan kehidupan anda, maka segera tinggalkan, namun pemikiran manusia-manusia sukses yang menurut anda belum ada pada diri anda, maka saatnya anda terapkan. Anda coba rasakan sensasinya! Perubahan pasti akan terjadi. Anda akan bangun pagi dengan perasaan penuh semangat dan memiliki agenda yang jelas untuk dilakukan.

Kemudian akan muncul lagi pertanyaan berikut? Jika anda menjalani kehidupan dengan rutinitas yang tinggi (artinya tidak berubah-ubah) maka sebenarnya anda kurang kaya dengan pengalaman kehidupan maupun perjuangan, maka rutinitas itu harus anda pecahkan polanya, ubah polanya, variasikan, perkaya, dan tambahkan "gaya gaya baru" kehidupan anda. Rutinitas yang tinggi tanpa sebuah variasi, bisa menjebak manusia dalam sebuah "kenyamanan" Apa akibatnya? Bisa berakibat enggan berubah, pasrah, bosan, menurunnya daya juang, pesimis dan banyak akibat negatif lainya yang kurang memberdayakan kehidupan kita.

Kesadaran akan perubahan sebenarnya sangat penting, karena dengan kesadaran yang tinggi setiap hal akan berubah, maka seseorang akan jauh lebih waspada! Lebih responsif, lebih siap dan jauh dari krisis. Ingat sebuah krisis adalah perubahan yang membuat kita kehilangan keseimbangan. Kalau anda responsif, maka anda akan segera mendapatkan keseimbangan baru.

Salam Perubahan!

* Hari Subagya adalah penulis buku best seller Time To Change dan buku Success Proposal.

toko-delta.blogspot.com

Archives

Postingan Populer

linkwithin

Related Posts with Thumbnails

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.