toko-delta.blogspot.com

menu

instanx

Sabtu, 08 November 2008

Menguak Rahasia Etos Pelayanan Konsumer yang Topcer (1)

Oleh: Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht.

Rahasia Satu:

“Pelayanan topcer adalah jantung dan urat nadi serta tulang sumsum dari setiap organisasi, nir-laba ataupun yang untuk laba”.

Beberapa waktu yang lalu saya berjumpa lagi dengan salah seorang kawan lama saya, seorang pakar di bidang Kepemimpinan (leadership), SDM (human resources), dan Pelayanan Konsumer (customer service) saat dia diundang untuk memberikan workshop di beberapa perusahaan dan rumah sakit di kota Boston.

Setelah ngobrol santai saling bertanya tentang keadaan masing-masing sambil menikmati hidangan teh herbal hangat dan blueberry scone manis di sebuah kafe kecil di pojok Harvard Square di kota Cambridge dekat kampus Harvard University yang selalu penuh dengan atraksi jalanan dan merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup populer bagi para turis baik lokal maupun internasional itu, kami pun akhirnya mulai berbincang sedikit serius berbagi ilmu dan pengalaman.

Perbincangan kami pun menjadi semakin seru dan menarik ketika dengan suaranya yang berat dan kharismatik itu dia menyinggung tentang etos pelayanan dalam sebuah organisasi. Dia mengatakan bahwa pelayanan konsumer yang topcer (handal) itu memiliki peran yang amat kunci. Pelayanan topcer ini bisa dengan mudahnya menaikkan pamor dan income perusahaan seseorang, atau sebaliknya bisa juga menjatuhkan dan menghancurkan perusahaan yang bersangkutan dalam waktu relatif singkat.

Sambil sesekali membetulkan kacamatanya yang tak terlalu tebal dan meluruskan rambutnya yang telah memutih seperti salju itu, dengan tak segan-segan dia membeberkan pada saya Rahasia Pelayanan Topcer terhadap Konsumer yang sangat vital bagi maju-mundur, meningkat atau ambruknya usaha seseorang baik dalam konteks bisnis mencari laba ataupun yang nirlaba.

Rahasia etos Pelayanan Topcer pada konsumer yang akan segera saya ungkapkan dalam artikel berseri ini bila Anda mengerti dan terapkan secara sungguh-sungguh dalam organisasi Anda, saya yakin pasti akan membawa perubahan yang positif dan konstruktif bagi berlangsungnya dinamika kehidupan organisasi Anda.

Saya yakin Anda semua pasti menginginkan sebuah organisasi yang sehat, yang bermutu, yang bisa terus maju dan bertumbuh-kembang. Bila demikian, selamat menikmati artikel berseri ini dan semoga setiap usaha Anda selalu maju dan sukses selalu!

Rahasia Satu: “Pelayanan Topcer adalah jantung dan urat nadi serta tulang sumsum dari setiap organisasi, baik yang nir-laba ataupun yang untuk laba”.

Pelayanan topcer selalu diawali dari dalam (internal customer service) kemudian dilanjutkan ke luar (external customer service). Setiap anggota organisasi mulai dari level yang paling bawah hingga yang teratas haruslah dilayani dan diperlakukan sebagaimana layaknya seorang konsumer; sebab mereka adalah konsumer dalam (internal customer) di perusahaan Anda.

Tanpa adanya etos pelayanan topcer pada kedua jenis konsumer (dalam dan luar) itu, dinamika kehidupan perusahaan Anda akan sangat terganggu atau bahkan bisa jadi mati; sebab etos pelayanan topcer inilah pada dasarnya yang akan memampukan perusahaan Anda untuk bertahan hidup dan bertumbuh-kembang dengan pesat serta menghasilkan keuntungan baik materi maupun non-materi yang berlimpah bagi Anda.

Mungkin sebagian besar dari kita sekalian sudah terbiasa dengan etos pelayanan yang berpolakan “Ndoro-Batur” atau “Majikan-Pembantu” seperti yang dipraktekkan oleh organisasi-organisasi djaman baheula itu. Etos pelayanan dengan pola tersebut sudah saatnya dan seharusnya ditinggalkan dan disingkirkan jauh-jauh, sebab selain tidak efektif, pola tersebut jelas-jelas tak berperi-kemanusiaan dan sangat bertentangan dengan panggilan kemanusiaan yaitu untuk saling menghargai dan menjunjung tinggi hak dan martabat sesama kita, tak peduli posisi ataupun bentuk pekerjaan yang bersangkutan.

”Lalu, etos pelayanan dengan pola apa dan yang bagaimana sebaiknya kita terapkan dong?” Mungkin itu pertanyaan Anda saat ini.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mendadak teringat pengalaman kerja beberapa tahun yang lalu di Ritz-Carlton Hotel Boston, salah satu hotel bintang lima tertua dan terbaik di dunia itu. Masih sangat jelas ingatan saya pada motto mereka yang berbunyi,” We are Ladies and Gentlemen Serving Ladies and Gentlemen” yang diterapkan secara baik oleh jaringan global bisnis the Ritz-Carlton Hotel itu.

Etos pelayanan topcer dengan pola Ladies and Gentlemen yang melayani Ladies and Gentlemen inilah pola pelayanan yang harus Anda praktekkan dalam perusahaan Anda, bila Anda ingin terus maju dan berkeinginan untuk meningkatkan eksistensi perusahaan Anda diatas standar rata-rata perusahaan di sekeliling Anda. Ini adalah pola mulia (the Royal Pattern) dengan standar emas (the Gold Standard).

Etos pelayanan topcer dengan pola Ladies and Gentlemen yang melayani Ladies and Gentlemen inilah pola pelayanan yang harus Anda praktekkan dalam perusahaan Anda, bila Anda ingin menciptakan suasana kerja yang harmonis, efektif, efisien, dan nyaman bagi seluruh anggota keluarga besar yang ada dalam perusahaan Anda.

Etos pelayanan topcer dengan pola Ladies and Gentlemen yang melayani Ladies and Gentlemen inilah pola pelayanan yang harus Anda praktekkan dalam perusahaan Anda, bila Anda ingin menciptakan konsumer yang loyal (loyal client), atau konsumer yang tak segan-segan mendukung (advocate) perusahaan Anda, ataupun consumer yang dengan senang hati menjadi duta (ambassador) yang baik bagi perusahaan Anda.

Tapi, bila Anda hanya ingin menjadi pengusaha berkelas rata-rata dan biasa-biasa saja seperti halnya perusahaan-perusahaan di sekeliling Anda yang masih sibuk berkutat dengan pola kuno yang tak hanya sudah ketinggalan jaman tapi juga tak berperi-kemanusiaan itu saya takut cepat atau lambat konsumer-konsumer Anda (baik konsumer dalam maupun luar) akan segera pergi meninggalkan Anda.

Di era globalisasi ini, perusahaan-perusahaan besar ataupun kecil yang tidak mau berubah dan stuck dengan pola lama, cepat atau lambat akan segera runtuh. Dari hari ke hari masyarakat sebagai konsumer semakin jeli dan pintar memilih. Bila Anda mau menerapkan pesan yang terkandung dalam Rahasia Satu (Pelayanan topcer adalah jantung dan urat nadi serta tulang sumsum dari setiap organisasi, nirlaba ataupun yang untuk laba) ini, maka usaha Anda akan bisa bertumbuh dan berkembang dan otomatis Anda akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih daripada hari-hari sebelumnya.

Rahasia Dua…ini sama halnya dengan Rahasia Satu, sangat vital dan memegang peran yang luar biasa bagi maju-mundurnya setiap usaha Anda. Bila Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang Rahasia Dua dan Rahasia-rahasia lainnya? Silahkan menyimak dan berkunjung lagi ke Pembelajar.com edisi mendatang.

(Boston, 16-11-2005)

* Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht., psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah juga pendiri dari Heal & Grow Center™ (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) dia mendirikan Sanggar Kinanthi™(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo Productions™ (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi via prof_jw@yahoo.com.


WWW.SAATNYA-BERUBAH.COM

Bagi Anda yang tidak terburu-buru menghasilkan uang melalui internet, namun cukup sabar dan ingin mengerti benar seluk beluk bisnis marketing yang sejati

Apa Sih Hidup Itu…?

Oleh: Suryanto Wijaya


Suatu hari di tengah malam, saya terbangun dan mendapati diri saya sedang bertanya kepada diri saya sendiri, sebetulnya hidup ini seperti apa sih? Ada yang mengatakan hidup ini seperti gema, ketika kita mengatakan sesuatu ke alam atau kehidupan “kamu hebat” alam akan mengembalikan kepada kita “kamu hebat”, sebagian orang lagi beranggapan bahwa hidup itu merupakan cermin dari pikiran dan perasaan kita sendiri terhadap diri kita sendiri maupun orang lain. Jika kita berpikir dan merasa bahwa kita adalah mahkluk yang gagal, tidak berguna dan merasakan bahwa hidup ini tidak adil. Maka hidup kita akan selalu menjadi seperti itu.

Agh…nggak tahu juga kenapa saya pusing sekali memikirkan hal itu dan di tengah malam itu juga saya teringat kembali dengan sebuah cerita yang sudah sangat lama sekali saya dengar, tepatnya tiga tahun yang lalu tentang perdebatan dua orang sahabat lama tentang pandangannya terhadap hidup. Kurang lebih begini ceritanya.

Alkisah ada dua orang yang berteman sudah cukup lama. Katakanlah orang yang pertama bernama Otto dan yang kedua bernama Hetto. Suatu ketika mereka bertengkar tentang sesungguhnya hidup itu seperti apa sih? Otto berkata “Hetto temanku, hidup itu asyik kita tinggal pasrahkan saja hidup kita pada Tuhan. Tidak perlu untuk berbuat banyak. Jika Tuhan tidak menghendaki sesuatu terjadi pada kita maka tidak akan terjadi apa-apa pada diri kita. Kita tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Segala sesuatunya sudah diatur oleh-Nya”

Hetto tidak sependapat dengan Otto. Ia lalu berkata “Eh... nggak lagi! Hidup itu, sebenarnya kita harus berusaha terlebih dahulu barulah Tuhan memberikan kita berkahnya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini haruslah bersifat dua arah saling bekerjasama. Jika Tuhan menghendaki tapi kita tidak berusaha, mana bisa hal itu terjadi? Demikian sebaliknya jika kita berusaha tetapi Tuhan tidak menghendaki, mana mungkin juga hal itu terjadi? Tanpa adanya kebersamaan tujuan dari kita dan Tuhan segala sesuatu tidak akan terjadi dengan baik.”

Otto dan Hetto keduanya sama-sama mempertahankan pendapat mereka sendiri-sendiri. Otto tetap beranggapan bahwa dalam hidup ini segala sesuatunya terjadi secara satu arah. Tidak peduli usaha apa pun yang dilakukan dalam hidupnya, jika Tuhan tidak menghendaki hal itu terjadi, maka hal itu tidak akan terjadi. Hetto berpendapat sebaliknya bahwa dalam hidup ini segala sesuatunya terjadi secara dua arah. Keduanya saling terkait dan tidak terpisahkan serta saling bergantungan.

Karena keduanya saling mempertahankan pendapat mereka dalam hal pandangan mereka tentang hidup itu seperti apa. Maka adu pendapat masih saja terus terjadi dan tanpa terasa waktu pun berlalu dan hari berganti menjadi sore. Hetto pun akhirnya pamit ke rumahnya dan karena mereka berdua adalah teman baik maka meskipun mereka berdua berbeda pendapat tentang hidup itu seperti apa. Otto tetap mengantarkan Hetto ke depan pintu rumahnya.

Pada waktu Hetto pulang ke rumahnya, Hetto seperti biasa berjalan menelusuri jalan setapak yang kecil di mana di sisi kiri dan kanannya ada dua buah sawah yang besar. Jalan setapak itu hanya muat untuk dilewati oleh dua orang saja. Dalam perjalanan pulang Hetto bertemu dengan tukang jeruk keliling. Hetto lalu berpikir “Eh, kayaknya enak tuh itu jeruk tapi sayang nggak bawa duit. Nanti saja deh belinya!”

Karena sudah sore dan keadaan lumayan gelap di mana jalanan tidak begitu keliatan lagi. Tukang jeruk itu pun salah menapakkan kakinya dan terpeleset jatuh. Melihat itu Hetto lalu membantu tukang jeruk itu untuk bangun dan mengambil jeruk-jeruknya yang terjatuh, “Terima kasih, ya, terima kasih!” kata tukang jeruk itu.

“Ya, sama-sama,” kata Hetto.

“Sebagai ucapan terima kasih saya silakan Bapak ambil beberapa jeruk saya...”

“oh…terima kasih” kata Hetto.

Hetto pun pulang dengan gembira. Ia tidak menyangka bahwa ketika dirinya ingin makan jeruk --padahal waktu itu tidak bawa uang—eh, malahan dapat gratis. Pada waktu ia mengingat hal ini, ia teringat pada Otto temannya. Ia berkata dalam hati, “Nah, ini dia nih bukti baru untuk dia, bahwa hidup memang seperti ini.” Lalu dengan cepat Hetto pun mandi, makan, dan pergi kembali ke rumah Otto.

Sesampainya di rumah Otto, Hetto pun dipersilakan masuk. Karena mereka berdua adalah teman baik suasana di rumah Otto seperti tidak terjadi apa-apa. Seperti seolah-olah tidak terjadi perdebatan di siang harinya. Hetto pun membagi jeruknya pada Otto. Sambil mengobrol seperti layaknya teman lama, Hetto lalu berkata “Eh, Otto inget nggak tentang obrolan kita yang tadi siang? Ini bukti baru lho kalo kita harus usaha dulu, baru dapet apa yang kita inginkan. Aku harus menolong tukang jeruk terlebih dahulu, barulah aku bisa mendapatkan jeruk ini!”

“Nah benar kan apa kataku kalau dunia itu seperti ini. Kita harus berbuat terlebih dahulu barulah kita mendapatkan manfaatnya. Ada kerjasama tim.”

Otto dengan tenangnya tetap saja makan jeruk pemberian temannya itu sambil geleng-geleng kepala. “Hetto...Hetto…itu kan menurut kamu! Nah, sekarang coba lihat apa yang perlu saya lakukan untuk bisa mendapatkan jeruk ini? Tidak perlu melakukan apa-apa toh…?! Ini semua sudah diatur oleh-Nya.”

Lalu yang benar yang mana, sih….? Jangan bingung!

We don’t see the world as it is
We see the world as we are
or
as if we conditioned to see it.
Stephen Covey

Tidak ada yang salah dalam dunia ini. Yang salah adalah bagaimana cara Anda memandangnya
Ching Ning Hu

* Suryanto Wijaya : (2005) Dewan Pembina Keluarga Mahasiswa Buddhis Dhammavaddhana Universitas Bina Nusantara, (2004) PemRed Majalah Gema Dhammavaddhana BiNus, Pembelajar Universitas Kehidupan. Suryanto dapat dihubungi melalui Email: CuSenWan200x@yahoo.co

Menceburkan Diri ke Dalam Lautan Masalah

Oleh: Ade Asep Syarifuddin


KATA masalah atau persoalan bagi sekelompok orang merupakan kata yang "menakutkan". Terbayang dalam pikirannya situasi yang tidak menentu yang bisa mengganggu kenyamanan dirinya. Tapi bagi sekelompok yang lainnya, kata masalah disimbolkan sebagai sesuatu peluang di dalam pikirannya, karena dengan datangnya masalah berarti dirinya tengah diuji dengan salah satu bentuk soal yang harus dijawab. Tingkat kesulitan soal tersebut menentukan grade kita dalam salah satu mata kuliah kehidupan ini. Semakin sulit, maka akan semakin advanced level mentalitas kita dalam hidup ini, sementara bila masalahnya biasa-biasa saja, sama saja dengan siswa SMA mengerjakan soal-soal ujian anak kelas 6 SD, mudah dijawab, tapi tidak memberikan peningkatan kualitas dirinya. Jadi, apa inti masalah dalam sudut pandang orang-orang sukses?

Kita tahu, sebilah pedang atau golok untuk menjadi pedang yang indah dan tajam, awalnya dari sebatang besi yang harus melalui proses pemanasan dalam suhu yang sangat tinggi sampai membara, kemudian dipukul berkali-kali sampai membentuk pedang. Tanpa dipanaskan, tidak mungkin besi batangan akan menjadi pedang yang indah dan tajam. Demikian halnya peralatan rumah tangga yang dibuat dari kayu jati yang indah, apakah kursi, buffet, mebeul, meja, awalnya adalah kayu gelondongan yang tidak memiliki bentuk. Oleh pengrajin digergaji, dibuang bagian-bagian yang tidak bermanfaat, digosok-gosok dengan ampelas sampai halus, diukir, dirakit menjadi barang rumah tangga yang indah dan mahal harganya. Bahan baku yang bagus, pengolahan yang baik akan menghasilkan kualitas yang bagus dan harganya yang tinggi. Sementara bahan baku yang kurang baik, pengolahannya asal-asalan, harganya juga bisa-biasa saja.

Cerita di atas bisa juga diterapkan untuk manusia. Bila kita ingin menjadi manusia yang berkualiktas dengan harga tinggi, maka harus berani membayar dengan harga tinggi pula dalam melalui proses "pencetakan" SDM berkualitas. Anggap saja kita ibarat sepotong besi yang belum memiliki bentuk, api yang membara ratusan derajat celcius ibarat beratnya beban persoalan hidup yang menghimpit dan terjadi sehari-hari dan pedang yang bagus adalah mentalitas matang, pantang menyerah dan keterampilan yang tinggi dalam mengelola hidup ini. Dengan demikian, bila ingin menjadi manusia berkualitas maka secara sengaja kita harus menceburkan diri ke dalam lautan persoalan yang lebih banyak –bukan hanya persolan-persoalan kecil yang datang kepada kita—tapi sengaja kita mencari persoalan tadi. Dengan catatan, di tengah banyaknya persoalan tadi kita mengurai benang persoalan satu per satu sampai semuanya tuntas, dan tidak mundur sebelum selesai. Setelah menyelesaikan persoalan yang satu, cari lagi persoalan yang lain yang lebih berat, demikian terus menerus dilakukan tiada henti. Bila mengacu kepada analogi di atas, ketika terus menerus berltih menyelesaikan persoalan maka kita sudah memiliki pedang-pedang yang tajam dalam jumlah banyak, golok, kelewang, celurit atau bahkan senjata lainnya untuk memudahkan jalannya hidup. Bagaimana kalau kita tidak memiliki alat atau senjata sementara kita hidup di tengah hutan belantara? Bisa dibayangkan, kondisinya jauh lebih sulit bila dibandingkan dengan memiliki senjata yang lengkap.

Senjata dalam hidup memang tidak terlihat seperti pedang. Tapi bisa dibedakan siapa yang memiliki senjata yang lengkap dan siapa yang tidak dalam mengarungi hidup ini ketika benar-benar menghadapi situasi krusial. Senjata-senjata manusia yang harus dimiliki adalah, mentalitas pantang menyerah, ulet, disiplin, kesabaran melalui proses, kejujuran dalam berkata dan bersikap, optimis menghadapi semua kondisi yang terlihat menyenangkan dan tidak menyenangkan. Bila senjata-senjata itu terus dipelihara, dipertajam, dan digunkan setiap saat, maka manfaatnya akan langsung kita rasakan. Sebaliknya, bila senjata-senjata yang dimiliki tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin, bisa jadi akan menjadi karatan, tumpul dan akhirnya menjadi besi biasa yang hanya laku di mata tukang lowak yang berkeliling dari rumah ke rumah yang harganya sangat-sangat murah.

Jadi, untuk apa mengeluh kalau menghadapi persoalan. Lebih baik persoalan tersebut diajak dialog, mengapa persoalan itu datang, apakah manfaat yang menyertai persoalan tersebut dan yang lebih penting lagi bagimana solusi atau cara menyelesiakannya dan sisi positif apa yang menyertai persoalan tadi. Alhasil, bila persoalan dilihat dari sudut pandang yang berbeda, maka akan memunculkan kreatifitas yang cukup tinggi bagi si penemunya. Mungkin Edison tidak akan menemukan lampu pijar listrik kalau ia tidak penasaran melakukan eksperimen, kendaraan tidak akan ditemukan kalau kita merasa puas dengan jalan kaki atau naik kuda, dan lain-lain. Masalah, bagi orang kreatif dan positif thinking adalah peluang. Karena dari sana dituntut untuk menemukan jawaban untuk mengatasinya. Berbeda dengan watak orang pesimis, masalah yang datang bisa menciutkan nyalinya untuk mencoba sesuatu yang lain yang lebih menantang, atau masalah diibaratkan sebagai penghalang untuk mencapi tujunnya.

Berbahagialah kalau dalam kehidupan sehari-hari masih menjumpai masalah. Carilah hikmah di balik sesuatu yang tidak mengenakkan. Garam akan terasa asin kalau langsung mengunyahnya, tapi akan melezatkan masakan kalau komposisinya tepat oleh juru masak yang lihai. Gula pun bila langsung dimakan akan muncul sakit perut, tapi kalau dituang ke dalam air panas ditambah sedikit teh atau kopi, aromanya akan sangat menggoda. Hidup ini lebih banyak dibutuhkan banyak seni dalam menghadapinya. Tidak cukup hanya mengetahui ilmu hidup. Seni artinya seperti juru masak, satu jenis masakan dibutuhkan garam yang banyak, tapi masakan yang lain hanya butuh sedikit garam. Bagaimana kita tahu apakah satu masakan butuh lebih banyak garam daripada masakan lainnya? Banyak-banyaklah belajar memasak, nanti Anda tahu sendiri bagaimana menghasilkan masakan yang lezat. Banyak-banyaklah mencoba resep-resep yang ada kalau kita ingin menjadi juru masak handal.

Kita adalah "juru masak" untuk kehidupan kita sendiri. Kalau ingin mahir, maka harus sering latihan mencoba resep-resep kehidupan ini yang pernah dicoba orang lain. Karena belum tentu resep orang lain yang bagus, akan langsung bagus ketika dicoba hanya sekali oleh kita. Dibutuhkan latihan yang sering, terus menerus sampai resep-resep tersebut terasa enak. Bahkan tanpa disadari, suatu ketika, kita akan menciptakan resep-resep baru, original buatan kita sendiri yang akan diikuti dan dicoba oleh ribuan orang. Bila resep kita terbukti dirasakan enak oleh orang lain, jangan kaget kalau banyak orang mencari kita untuk berguru dan bertanya bagaimana sampai resep tersebut terasa enak.(aas)

* Ade Asep Syarifuddin adalah trainer yang berbasiskan NLP. Tulisan dan artikelnya tersebar di berbagai media massa. Sehari-hari ia adalah Editor in Chief dan General Manager Harian Radar Banyumas. Bisa dihubungi lewat e-mail ade_asep@yahoo.com

Sponge: Clean or Dirty?

Oleh: Ignatius Muk Kuang


Mendengar kata 'Sponge' (Spons) apa yang terlintas pertama kali di benak Anda?

Umumnya banyak yang langsung mengkorelasikan dengan ‘spongebob’ sebuah serial kartun yang digemari di kalangan anak-anak, tetapi ada pula yang mengatakan sebagai sebuah alat/media untuk membersihkan sesuatu.

Terlepas dari itu semua yang menarik dari alat ini adalah, jika kita meletakkan sebuah spons di sebuah wajan berisi air dan sebagian besar dari air dalam wajan tersebut akan diserap oleh spons. Sesuatu yang pernah atau mungkin sangat sering anda perhatikan. Bila Anda memasukkan air yang bersih di dalam wajan, maka yang diserap juga air yang bersih, tetapi sebaliknya jika air kotor yang ada di dalam wajan maka yang diserap oleh spons tersebut juga air kotor.

Manusia pada prinsipnya kurang lebih sama dengan filosofi sebuah spons. Setiap individu adalah spons. Manusia memiliki kemampuan untuk menyerap dan menerima informasi, berita dan menyimpannya dalam memori pikiran. Yang membedakan adalah informasi negatif atau positif yang ingin diserap. Sama halnya spons tadi mau menyerap air yang bersih atau air yang kotor. Semuanya yang menentukan adalah Anda sendiri.

Lalu apa sih informasi positif dan informasi negatif itu?

Negatif ketika informasi itu membuat Anda khawatir, ragu, bimbang, takut untuk mengambil langkah ke depan. Sebut saja contoh yang paling mudah ketika kita sering membaca berita kriminalitas akhirnya menjadi sangat takut akan menjadi korban, senang sekali mendengar berita kegagalan orang lain dan menyebarkannya kembali tanpa menggali apa penyebab kegagalan orang lain, mau dan dengan rela diberitahu kalau Anda tidak bisa sukses.

Apa yang akan terjadi kalau informasi ini terus menerus Anda serap dan sebarkan lalu Anda serap lagi informasi negatif yang lain? Anda bisa bayangkan kalau spons terus menerus menyerap air kotor dan diperas lalu menyerap air kotor lagi. Betapa kotornya spons itu !

Bagaimana dengan otak serta pikiran kita kalau secara kontiniu mendengar hal yang tidak akan membuat kita menjadi lebih baik.

Jadi salahkah kalau mendengar informasi negatif? Tidak ada yang salah! Salah ketika kita tidak mau melihat apa yang menyebabkan ini bisa menjadi negatif. Salah ketika kita terus menerus mendengar hal yang negatif sepanjang hidup tanpa mau membuka telinga untuk hal yang positif.

Positif ketika informasi itu bisa memberi semangat hidup, menginspirasi anda untuk mengambil sebuah action, menambah wawasan berpikir Anda. Contoh paling mudah adalah kalau menghadiri sebuah seminar, membaca buku pengembangan kepribadian, mendengar kisah sukses orang ternama, semua hal itu bisa memberikan nilai tambah dalam diri Anda.

Saya teringat sebuah tagline di salah satu iklan yang mengatakan demikian "Buku yang Anda baca akan menentukan masa depan Anda". Jika menyerap air kotor ketika diperas airnya pun kotor. Jika anda membaca, mendengar dan menjalankan hal yang positif, hasilnya pun positif.

Jadi mau dimasukkan ke wajan air bersih atau kotor spons Anda?

Salam Sukses!
LIFE INSPIRATION
“Think and Act like a Winner”


* Ignatius Muk Kuang adalah seorang trainer, speaker (Motivation, Self-Development, Salesmanship, Presentation, Public Speaking) dan aktif menulis artikel tentang pengembangan diri. Ia dapat dihubungi di email: mukkuang@yahoo.com

Quality Time

Oleh: Ardian Syam


Istilah quality time sudah bukan hal baru bagi semua pembaca, saya bisa pastikan itu. Tetapi benarkah kita telah menjalankan konsep tersebut dengan benar? Bagaimana kita bisa menjalankan dengan benar?

Pekerjaan di kantor seringkali menuntut fokus perhatian dan konsentrasi yang tinggi. Karena hal tersebut pula lah maka Anda bisa dengan optimal mengeluarkan seluruh kompetensi yang dimiliki untuk penyelesaian pekerjaan. Sehingga konsentrasi yang sangat tinggi di kantor akan terbawa ketika tiba di rumah kembali. Konsentrasi kita masih kepada pekerjaan di perusahaan tempat kita bekerja dan kurang konsentrasi terhadap masalah yang terjadi di rumah maupun yang terjadi dalam keluarga kita sendiri.

Saya bahkan punya teman yang sama sekali tidak bisa mengalihkan perhatian kepada pekerjaan di perusahaan tempat dia bekerja. Teman saya ini bahkan menderita penyakit hepatitis karena sering terlalu lelah bekerja. Lebih buruk lagi ketika penyakit teman saya itu kambuh dan diharuskan istirahat oleh dokter yang merawat, tetap saja dia tidak dapat mengalihkan perhatian pada pekerjaan di kantor.

Perusahaan tempat dia bekerja telah menggunakan teknologi informasi sehingga seluruh data tersimpan dalam beberapa server dan bila diberikan akses maka data tersebut dapat dilaksanakan dari rumah. Lalu bagaimana bisa Anda memberikan quality time kepada keluarga bila Anda tetap tidak bisa mengalihkan perhatian dari pekerjaan bahkan ketika ada di rumah.

Pernah ada teman yang menyatakan bahwa dia bekerja lebih dari 12 jam setiap hari, berangkat ketika matahari belum benar-benar muncul di langit dan keluar dari kantor ketika matahari telah tidak terlihat di langit.

Saya mencoba mengutip sebuah tulisan yang saya dapat dari sebuah milis:
Suatu hari, seorang ahli 'Manajemen Waktu' berbicara di depan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan oleh para siswanya.

Ketika dia berdiri di hadapan siswanya dia berkata: "Baiklah, sekarang waktunya kuis" Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkan di atas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu ke dalam toples. Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya: "Apakah toples ini sudah penuh?"

Semua siswanya serentak menjawab, "Sudah!"

Kemudian dia berkata, "Benarkah?” Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkan, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah-celah batu-batu itu. Lalu ia bertanya kepada siswa sekali lagi: "Apakah toples ini sudah penuh?"

Kali ini para siswa hanya tertegun. "Mungkin belum!", salah satu dari siswa menjawab.

"Bagus!" Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan. Sekali lagi dia bertanya, "Apakah toples ini sudah penuh?"

"Belum!" serentak para siswa menjawab.

Sekali lagi dia berkata, "Bagus!" Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas. Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang para siswa dan bertanya: "Apakah maksud dari ilustrasi ini?"

Seorang siswanya yangg antusias langsung menjawab, "Betapapun penuh jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain!"

"Bukan!" jawab si ahli. "Bukan itu maksud ilustrasi ini. Ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa: JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA KALI KAMU MASUKKAN, MAKA KAMU TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMASUKKAN BATU BESAR ITU KE DALAM TOPLES TERSEBUT.

"Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yang kamu sayangi, persahabatanmu, kesehatanmu, mimpi-mimpimu, ibadahmu pada Tuhanmu. Hal-hal yang kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar tersebut sebagai yang pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk memperhatikan hal tersebut. Jika kamu mendahulukan hal-hal yang kecil dalam prioritas waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal yang kecil, kamu tidak akan punya waktu untuk melakukan hal yang besar dan berharga dalam hidupmu.”

Saya pikir sangat sedikit orang yang menganggap keluarga sebagai hal yang paling dapat diabaikan dibandingkan pekerjaan di kantor. Maka sangat sedikit orang yang menganggap pekerjaan di kantor sebagai batu besar.

Ada sekian banyak unsur dalam hidup kita. Ada keluarga, ada pekerjaan, ada hobi, ada kesehatan dan masih banyak lagi yang lain. Kesemua hal tersebut harus diperhatikan, harus seimbang.

Ada sebuah computer game yang patut Anda perhatikan pada saat Anda tertarik untuk bicara tentang keseimbangan, tentang quality time: SIM. Sekarang sudah ada begitu banyak add-ins untuk game tersebut, cobalah cari seri yang paling standar dan cobalah miliki manual untuk memainkan game tersebut. Permainan dapat Anda pilih apakah menjadi seorang bujangan sendirian, bujangan kakak beradik, keluarga tanpa anak atau keluarga dengan anak. Sebagai pemula lebih baik Anda pilih peran sebagai bujangan sendirian.

Dari game tersebut Anda akan belajar bagaimana menyeimbangkan hidup. Ada delapan indikator termasuk tingkat kesehatan, tingkat kesenangan, tingkat rasa cinta, dan tingkat kepintaran. Lebih unik lagi adalah Anda tidak akan mendapatkan promosi di tempat pekerjaan Anda dalam game tersebut bila ada stau indikator yang menyatakan tingkat yang buruk. Berarti Anda baru dapat promosi bila semua indikator menunjukkan nilai baik dan ada indikator yang menunjukkan tingkat yang istimewa.

Anda lihat, bahkan sebuah computer game mengajarkan keseimbangan antar sisi-sisi kehidupan Anda. Lalu bagaimana Anda bisa lebih fokus pada pekerjaan dan melupakan hal lain dari sisi kehidupan Anda? Keseimbangan sehingga tidak ada yang sangat tinggi sementara ada tingkat yang sangat rendah.

Anda mungkin merasa sudah terlalu banyak hal yang selama ini Anda abaikan sehingga akan sulit untuk memulai kembali. Bila itu menjadi masalah bagi Anda saya ingatkan bahwa Anda mungkin pernah naik sepeda dulu di waktu Anda kecil kemudian sekarang Anda sudah terlalu sering tidak naik sepeda maupun sepeda motor, lalu Anda ingin mencoba naik sepeda lagi. Anda tahu bahwa Anda akan kaku dan mungkin akan jatuh, tetapi tidak akan terlalu lama sehingga Anda bisa mengendarai sepeda lagi.

Jadi cobalah lagi lakukan hal yang selama ini telah Anda abaikan. Anda mungkin sudah lama tidak membaca buku, cobalah membaca buku pembangkit motivasi, pilih yang cukup tipis. Bila keluarga sudah mulai Anda abaikan, cobalah bicara dengan anak Anda, tentang siapa saja teman mereka di sekolah sehingga pembicaraan akan meluncur ke hal-hal apa saja yang teman mereka lakukan di sekolah. Bila kesehatan Anda sendiri yang Anda abaikan cobalah sekali waktu Anda bangun sangat pagi dan cobalah berlari keliling lingkungan tempat tinggal Anda.

Seimbang bukan harus melakukan semua hal tersebut setiap hari, karena mungkin Anda beralasan tidak ada waktu yang cukup untuk melakukan semua itu dalam stau hari. Sekarang, buat daftar apa saja yang selama ini telah Anda abaikan lalu rencanakan untuk melakukan satu hingga tiga dari hal tersebut setiap hari dan dalam satu minggu semua hal itu bisa Anda lakukan.

Ada sebuah perusahaan yang menetapkan hari Rabu sebagai hari quality time. Tidak tanggung-tanggung, karena hari quality time tersebut justru dicanangkan langsung oleh Direksi perusahaan tersebut. Pencanangan tersebut didorong karena selama ini Direksi memperhatikan bahwa sebagian besar pegawai perusahaan tersebut masih berada di kantor jauh setelah jam kerja harian berakhir. Tidak hanya itu, pada hari-hari Sabtu dan Minggu pun ada beberapa pegawai yang masih tetap ke kantor. Sehingga ditetapkan bahwa setiap hari Rabu, pegawai perusahaan tersebut harus pulang ke rumah masing-masing begitu jam kerja hari itu berakhir.

Sebuah upaya yang sangat serius karena bila hidup tidak Anda jadikan cukup berarti, maka jangan harap pekerjaan Anda juga akan cukup berarti. Dengan keseimbangan, dengan quality time akan mendorong Anda untuk menghasilkan quality product atau service. Berniat mencoba?

* Ardian Syam dapat dihubungi melalui email: ardian.syam@gmail.com

Menguak Rahasia Etos Pelayanan Konsumer yang Topcer (2)

Oleh: Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht.,


Rahasia Dua:

”Pelayanan konsumer yang topcer adalah sebuah Sikap (attitude), Etos (ethos) yang merupakan refleksi dari Cara berPikir (the way of thinking) seseorang. Ini bukanlah sebuah konsep mati dan adanya lembaga departemen pelayanan konsumer masih belum bisa menjamin secara 100 persen adanya pelayanan konsumer yang topcer, apalagi bila staf di departemen tersebut tidak memiliki SECP (Sikap, Etos, dan Cara Pikir) yang topcer.” Pada artikel bagian pertama yang lalu, saya yakin Anda telah mengetahui apa isi Rahasia Satu yang amat vital itu. Dan saya pun yakin bahwa Anda bahkan pasti bisa mengulang isi Rahasia Satu itu di luar kepala.

”Bagus, jawaban Anda seratus persen benar!”

Rahasia Satu itu memang berbunyi:“ Pelayanan (service) topcer adalah jantung dan urat nadi serta tulang sumsum dari setiap organisasi, nirlaba ataupun yang untuk laba” persis dengan jawaban yang Anda sampaikan itu.

Baik, marilah sekarang kita melangkah kepada Rahasia Kedua untuk bisa lebih membantu dan memperlengkapi Anda dalam menjalankan setiap bentuk usaha yang Anda jalankan demi meningkatkan produktifitas, efektifitas dan efisiensi kerja dalam organisasi Anda.

Dalam setiap perusahaan--besar ataupun kecil biasanya kita bisa menemukan departemen atau sub-departemen yang khusus bergerak dan bertanggung-jawab di bidang pelayanan konsumer ( customer service). Memang keberadaan departemen customer service dalam sebuah perusahaan secara otomatis akan menambah citra yang positif bagi perusahaan yang bersangkutan.

Ini merupakan pertanda yang baik dan secara otomatis bisa memberi kesan bahwa perusahaan yang bersangkutan telah memiliki pikiran maju, mau berusaha untuk menyediakan produk dan jasa yang terbaik bagi para pelanggannya, sekaligus menunjukkan niat baik dari pengusaha dan perusahaan yang bersangkutan untuk menjaga hubungan dengan para konsumer (baik dalam dan luar) secara baik dan harmonis tak hanya untuk jangka pendek saja, tapi yang lebih penting lagi untuk jangka panjang.

“Pertanyaannya sekarang adalah: sejauh mana dan apakah departemen-departemen pelayanan konsumer itu sungguh-sungguh mampu memberikan pelayanan kepada konsumernya secara topcer?” Bila kita melihat dan memperlakukan pelayanan konsumer ini hanya sebatas konsep mati belaka atau mengidentikkannya dengan dinding-dinding perlembagaan departemen pelayanan konsumer semata-mata, maka akan sangat sulit atau malah mungkin sangat mustahil (sudah mustahil, sangat lagi) menemukan jawaban bagi pertanyaan yang saya ajukan di atas.

Tapi, bila kita bisa memahami, melihat dan memperlakukan pelayanan konsumer ini lebih sebagai sebuah Sikap (attitude), Etos (dari bahasa Yunani ethos: adat; juga berarti: karakter, nilai-nilai moral, atau keyakinan yang menjadi panutan bagi seseorang, kelompok atau institusi), dan cara berpikir (the way of thinking)—seperti yang terungkap dalam Rahasia Dua ini, maka dengan mudah kita bisa menemukan jawaban bagi pertanyaan di atas.

Kantor yang indah, megah dan penuh glamour, staf yang cantik, seksi menawan atau yang berwajah ganteng rupawan tak akan bisa mengangkat reputasi baik perusahaan Anda, atau menambah jumlah konsumer baru yang loyal pada perusahaan Anda, atau meningkatkan income perusahaan Anda, bila setiap anggota keluarga besar (staf) dalam perusahaan Anda itu masih belum mengerti, menerima, dan menerapkan Rahasia Dua ini Ingatan saya pun melayang menerawang tahun-tahun yang lalu ketika saya dan istri selalu pergi memesan pigura-pigura bagi koleksi lukisan kami ke toko pembuatan pigura langganan kami di kota Brookline yang terbilang paling besar dan terkenal di sekitar kota itu.

Sudah beberapa kali kami memesan pigura dengan pelbagai macam desain, ukuran, dan warna bagi lukisan-lukisan koleksi kami. Dan selama ini hasilnya memuaskan. Tapi ada satu hal yang sangat menonjol dan sangat kami sukai dari toko pigura ini—pelayanan mereka pada kami. Pelayanan mereka pada konsumer mereka sangat bagus. Beberapa kali saya menyempatkan diri menyampaikan rasa salut saya pada staf maupun pemilik toko pigura tersebut atas keberhasilan mereka menerapkan konsep dalam Rahasia Dua ini. Senyum simpul pun mengembang di wajah-wajah mereka yang ramah itu. Semua puas dan kami pun pulang dengan hati yang senang.

Namun, beberapa bulan yang lalu ketika kami berdua kembali lagi ke toko pigura itu seperti biasanya untuk memesan pigura bagi tiga lukisan kami yang baru, ternyata banyak sekali perubahan yang kami rasakan di toko tersebut. Sayang seribu sayang jika perubahan yang kami jumpai itu adalah perubahan negatif: senyum ramah sirna entah ke mana, ucapan salam saat kami masuk ke dalam toko pun tak terucapkan. Wajah-wajah yang pernah kami kenal tak satu pun dapat kami jumpai di sana. Suasana toko yang sekaligus studio tempat memproduksi segala macam pigura dan alat-alat lukis itu terasa senyap dan dingin. Yang terdengar hanya suara bising alat-alat produksi yang sedang aktif bekerja.

Akhirnya, setelah melihat-lihat sebentar beberapa lukisan dan foto-foto baru yang dipajang di dinding toko, kami pun segera mendekati meja pemesanan pigura sekaligus tempat para konsumer meneken kontrak yang terletak di tengah-tengah toko itu. Di balik meja kayu besar itu nampak sesosok wanita muda yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Keacuhan tampak jelas menggelantung di raut wajahnya yang cemberut itu. Tampak sekali kalau dia sangat enggan atau bahkan jengkel ketika kami dekati.

Tanpa mempedulikan keacuhan dan kecemberutannya itu, dengan ramah dan senyum mengembang kami sapa dia, “Good afternoon and how are you this afternoon?”

“Mungkin dengan senyum bersahabat dan sapaan salam yang ramah dan tulus, kami bisa memulai percakapan dan proses pemesanan pigura itu dengan dia secara mulus dan penuh ceria seperti waktu-waktu yang lalu,” awalnya begitu pikir kami saat itu.

Harapan kami ternyata sangat meleset. Bukannya dia membalas sapaan dan senyuman kami yang tulus itu, malah dia langsung bertanya singkat dengan nada kesal.

”Apa yang kau mau, cepat katakan!” sembari melemparkan pensil yang selama itu dia pegang ke atas meja kayu itu. “Klothaaakkk!”

“Uppsss, walah pegawai model apaan ini?!” batinku.

“Ya sudah, mungkin dia lagi bete atau pas lagi ada masalah, dimaafkan saja dech, toh sebentar lagi dia pasti akan tersenyum lagi”, begitu gumamku menyabarkan diri.

Ternyata setelah itu, sikap dan perlakuannya pada kami sebagai konsumernya yang seharusnya berhak mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sopan, ramah dan baik, bukan semakin ramah atau membaik, tapi malah semakin memburuk dan sangat tidak sopan.

Kami sudah bersabar dan menoleransi sikapnya itu, tapi ada saatnya bagi kami untuk menghentikan pelayanan buruk dan sikapnya yang angkuh itu. Dengan tegas dan lugas kami nyatakan ketaksenangan kami padanya. Setelah kami rasa percuma adanya berurusan dengan seseorang yang sulit untuk berubah dan seakan sudah stuck dalam dunianya yang buram dan negatif, kami pun terpaksa menemui manajer dan pemilik toko tersebut. Kami sampaikan opini kami mengenai sikap dan pelayanan staf mereka itu dengan harapan agar mereka bisa mengambil langkah yang lebih bijaksana. Tak lupa kami sampaikan juga rasa sedih dan belas kasihan kami pada si wanita muda yang sangat negatif itu.

Singkat cerita, siang itu kami tak jadi memesan tiga pigura dari toko yang selama ini dengan setia kami datangi. Tak hanya mereka kehilangan tambahan pemasukan uang paling tidak antara $400 hingga $1300 dalam transaksi singkat itu. Mereka juga kehilangan salah satu konsumer setia (loyal client) mereka yang akan selalu memesan atau membeli produk-produk mereka di masa mendatang. Satu hal lagi, mereka sangat kehilangan salah satu duta (ambasador) mereka yang tak segan-segan akan mengajak dan memberi rekomendasi yang baik tentang toko mereka itu kepada orang-orang lain agar orang-orang lain pun membeli dan memesan produk dari toko itu. Dan bahayanya kalau sang konsumer ini memiliki jaringan teman global—hancur sudah reputasi toko pigura itu.

Pesan kami pada jaringan persahabatan yang kami miliki inti dasarnya berbunyi,“Jangan datang ke toko itu, pelayanan mereka pada konsumer sangat tidak bagus, staf mereka angkuh dan tidak sopan!”

“Tuh khan, bahkan Anda yang berada jauh di Indonesia pun pasti akan enggan mampir ke toko pigura di Brookline yang sangat mengabaikan Rahasia Dua ini.”

Anda bisa melihat betapa ampuhnya pengaruh Rahasia Dua (juga Rahasia Satu) ini bagi perusahaan Anda:

- Abaikan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka para konsumer (dalam dan luar) Anda pun pasti akan mengabaikan Anda dan perusahaan Anda.
- Lupakan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka cepat atau lambat para konsumer (dalam dan luar) Anda pun akan segera melupakan Anda.
- Buang dan singkirkan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka jangan menangis tersedu bila para konsumer Anda pun akan segera membuang dan menyingkirkan Anda dan perusahaan Anda dalam kamus transaksi bisnis mereka.

Selamat menerapkan kedua Rahasia Etos Pelayanan yang Luar Biasa ini dan semoga sukses selalu.

Masih ingin menyimak Rahasia-rahasia lainnya? Silahkan berkunjung kembali ke situs Pembelajar.com secepatnya, sebab saya akan menguak rahasia-rahasia lainnya khusus bagi Anda para pembaca setia Pembelajar.com. Terima kasih.

*) Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht., psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah pendiri dari Heal & Grow Center™ (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) mendirikan Sanggar Kinanthi™(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo Productions™ (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi via prof_jw@yahoo.com

Menguak Rahasia Etos Pelayanan Konsumer yang Topcer (2)

Oleh: Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht.,


Rahasia Dua:

”Pelayanan konsumer yang topcer adalah sebuah Sikap (attitude), Etos (ethos) yang merupakan refleksi dari Cara berPikir (the way of thinking) seseorang. Ini bukanlah sebuah konsep mati dan adanya lembaga departemen pelayanan konsumer masih belum bisa menjamin secara 100 persen adanya pelayanan konsumer yang topcer, apalagi bila staf di departemen tersebut tidak memiliki SECP (Sikap, Etos, dan Cara Pikir) yang topcer.” Pada artikel bagian pertama yang lalu, saya yakin Anda telah mengetahui apa isi Rahasia Satu yang amat vital itu. Dan saya pun yakin bahwa Anda bahkan pasti bisa mengulang isi Rahasia Satu itu di luar kepala.

”Bagus, jawaban Anda seratus persen benar!”

Rahasia Satu itu memang berbunyi:“ Pelayanan (service) topcer adalah jantung dan urat nadi serta tulang sumsum dari setiap organisasi, nirlaba ataupun yang untuk laba” persis dengan jawaban yang Anda sampaikan itu.

Baik, marilah sekarang kita melangkah kepada Rahasia Kedua untuk bisa lebih membantu dan memperlengkapi Anda dalam menjalankan setiap bentuk usaha yang Anda jalankan demi meningkatkan produktifitas, efektifitas dan efisiensi kerja dalam organisasi Anda.

Dalam setiap perusahaan--besar ataupun kecil biasanya kita bisa menemukan departemen atau sub-departemen yang khusus bergerak dan bertanggung-jawab di bidang pelayanan konsumer ( customer service). Memang keberadaan departemen customer service dalam sebuah perusahaan secara otomatis akan menambah citra yang positif bagi perusahaan yang bersangkutan.

Ini merupakan pertanda yang baik dan secara otomatis bisa memberi kesan bahwa perusahaan yang bersangkutan telah memiliki pikiran maju, mau berusaha untuk menyediakan produk dan jasa yang terbaik bagi para pelanggannya, sekaligus menunjukkan niat baik dari pengusaha dan perusahaan yang bersangkutan untuk menjaga hubungan dengan para konsumer (baik dalam dan luar) secara baik dan harmonis tak hanya untuk jangka pendek saja, tapi yang lebih penting lagi untuk jangka panjang.

“Pertanyaannya sekarang adalah: sejauh mana dan apakah departemen-departemen pelayanan konsumer itu sungguh-sungguh mampu memberikan pelayanan kepada konsumernya secara topcer?” Bila kita melihat dan memperlakukan pelayanan konsumer ini hanya sebatas konsep mati belaka atau mengidentikkannya dengan dinding-dinding perlembagaan departemen pelayanan konsumer semata-mata, maka akan sangat sulit atau malah mungkin sangat mustahil (sudah mustahil, sangat lagi) menemukan jawaban bagi pertanyaan yang saya ajukan di atas.

Tapi, bila kita bisa memahami, melihat dan memperlakukan pelayanan konsumer ini lebih sebagai sebuah Sikap (attitude), Etos (dari bahasa Yunani ethos: adat; juga berarti: karakter, nilai-nilai moral, atau keyakinan yang menjadi panutan bagi seseorang, kelompok atau institusi), dan cara berpikir (the way of thinking)—seperti yang terungkap dalam Rahasia Dua ini, maka dengan mudah kita bisa menemukan jawaban bagi pertanyaan di atas.

Kantor yang indah, megah dan penuh glamour, staf yang cantik, seksi menawan atau yang berwajah ganteng rupawan tak akan bisa mengangkat reputasi baik perusahaan Anda, atau menambah jumlah konsumer baru yang loyal pada perusahaan Anda, atau meningkatkan income perusahaan Anda, bila setiap anggota keluarga besar (staf) dalam perusahaan Anda itu masih belum mengerti, menerima, dan menerapkan Rahasia Dua ini Ingatan saya pun melayang menerawang tahun-tahun yang lalu ketika saya dan istri selalu pergi memesan pigura-pigura bagi koleksi lukisan kami ke toko pembuatan pigura langganan kami di kota Brookline yang terbilang paling besar dan terkenal di sekitar kota itu.

Sudah beberapa kali kami memesan pigura dengan pelbagai macam desain, ukuran, dan warna bagi lukisan-lukisan koleksi kami. Dan selama ini hasilnya memuaskan. Tapi ada satu hal yang sangat menonjol dan sangat kami sukai dari toko pigura ini—pelayanan mereka pada kami. Pelayanan mereka pada konsumer mereka sangat bagus. Beberapa kali saya menyempatkan diri menyampaikan rasa salut saya pada staf maupun pemilik toko pigura tersebut atas keberhasilan mereka menerapkan konsep dalam Rahasia Dua ini. Senyum simpul pun mengembang di wajah-wajah mereka yang ramah itu. Semua puas dan kami pun pulang dengan hati yang senang.

Namun, beberapa bulan yang lalu ketika kami berdua kembali lagi ke toko pigura itu seperti biasanya untuk memesan pigura bagi tiga lukisan kami yang baru, ternyata banyak sekali perubahan yang kami rasakan di toko tersebut. Sayang seribu sayang jika perubahan yang kami jumpai itu adalah perubahan negatif: senyum ramah sirna entah ke mana, ucapan salam saat kami masuk ke dalam toko pun tak terucapkan. Wajah-wajah yang pernah kami kenal tak satu pun dapat kami jumpai di sana. Suasana toko yang sekaligus studio tempat memproduksi segala macam pigura dan alat-alat lukis itu terasa senyap dan dingin. Yang terdengar hanya suara bising alat-alat produksi yang sedang aktif bekerja.

Akhirnya, setelah melihat-lihat sebentar beberapa lukisan dan foto-foto baru yang dipajang di dinding toko, kami pun segera mendekati meja pemesanan pigura sekaligus tempat para konsumer meneken kontrak yang terletak di tengah-tengah toko itu. Di balik meja kayu besar itu nampak sesosok wanita muda yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Keacuhan tampak jelas menggelantung di raut wajahnya yang cemberut itu. Tampak sekali kalau dia sangat enggan atau bahkan jengkel ketika kami dekati.

Tanpa mempedulikan keacuhan dan kecemberutannya itu, dengan ramah dan senyum mengembang kami sapa dia, “Good afternoon and how are you this afternoon?”

“Mungkin dengan senyum bersahabat dan sapaan salam yang ramah dan tulus, kami bisa memulai percakapan dan proses pemesanan pigura itu dengan dia secara mulus dan penuh ceria seperti waktu-waktu yang lalu,” awalnya begitu pikir kami saat itu.

Harapan kami ternyata sangat meleset. Bukannya dia membalas sapaan dan senyuman kami yang tulus itu, malah dia langsung bertanya singkat dengan nada kesal.

”Apa yang kau mau, cepat katakan!” sembari melemparkan pensil yang selama itu dia pegang ke atas meja kayu itu. “Klothaaakkk!”

“Uppsss, walah pegawai model apaan ini?!” batinku.

“Ya sudah, mungkin dia lagi bete atau pas lagi ada masalah, dimaafkan saja dech, toh sebentar lagi dia pasti akan tersenyum lagi”, begitu gumamku menyabarkan diri.

Ternyata setelah itu, sikap dan perlakuannya pada kami sebagai konsumernya yang seharusnya berhak mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sopan, ramah dan baik, bukan semakin ramah atau membaik, tapi malah semakin memburuk dan sangat tidak sopan.

Kami sudah bersabar dan menoleransi sikapnya itu, tapi ada saatnya bagi kami untuk menghentikan pelayanan buruk dan sikapnya yang angkuh itu. Dengan tegas dan lugas kami nyatakan ketaksenangan kami padanya. Setelah kami rasa percuma adanya berurusan dengan seseorang yang sulit untuk berubah dan seakan sudah stuck dalam dunianya yang buram dan negatif, kami pun terpaksa menemui manajer dan pemilik toko tersebut. Kami sampaikan opini kami mengenai sikap dan pelayanan staf mereka itu dengan harapan agar mereka bisa mengambil langkah yang lebih bijaksana. Tak lupa kami sampaikan juga rasa sedih dan belas kasihan kami pada si wanita muda yang sangat negatif itu.

Singkat cerita, siang itu kami tak jadi memesan tiga pigura dari toko yang selama ini dengan setia kami datangi. Tak hanya mereka kehilangan tambahan pemasukan uang paling tidak antara $400 hingga $1300 dalam transaksi singkat itu. Mereka juga kehilangan salah satu konsumer setia (loyal client) mereka yang akan selalu memesan atau membeli produk-produk mereka di masa mendatang. Satu hal lagi, mereka sangat kehilangan salah satu duta (ambasador) mereka yang tak segan-segan akan mengajak dan memberi rekomendasi yang baik tentang toko mereka itu kepada orang-orang lain agar orang-orang lain pun membeli dan memesan produk dari toko itu. Dan bahayanya kalau sang konsumer ini memiliki jaringan teman global—hancur sudah reputasi toko pigura itu.

Pesan kami pada jaringan persahabatan yang kami miliki inti dasarnya berbunyi,“Jangan datang ke toko itu, pelayanan mereka pada konsumer sangat tidak bagus, staf mereka angkuh dan tidak sopan!”

“Tuh khan, bahkan Anda yang berada jauh di Indonesia pun pasti akan enggan mampir ke toko pigura di Brookline yang sangat mengabaikan Rahasia Dua ini.”

Anda bisa melihat betapa ampuhnya pengaruh Rahasia Dua (juga Rahasia Satu) ini bagi perusahaan Anda:

- Abaikan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka para konsumer (dalam dan luar) Anda pun pasti akan mengabaikan Anda dan perusahaan Anda.
- Lupakan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka cepat atau lambat para konsumer (dalam dan luar) Anda pun akan segera melupakan Anda.
- Buang dan singkirkan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka jangan menangis tersedu bila para konsumer Anda pun akan segera membuang dan menyingkirkan Anda dan perusahaan Anda dalam kamus transaksi bisnis mereka.

Selamat menerapkan kedua Rahasia Etos Pelayanan yang Luar Biasa ini dan semoga sukses selalu.

Masih ingin menyimak Rahasia-rahasia lainnya? Silahkan berkunjung kembali ke situs Pembelajar.com secepatnya, sebab saya akan menguak rahasia-rahasia lainnya khusus bagi Anda para pembaca setia Pembelajar.com. Terima kasih.

*) Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht., psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah pendiri dari Heal & Grow Center™ (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) mendirikan Sanggar Kinanthi™(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo Productions™ (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi via prof_jw@yahoo.com

Menguak Rahasia Etos Pelayanan Konsumer yang Topcer (2)

Oleh: Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht.,


Rahasia Dua:

”Pelayanan konsumer yang topcer adalah sebuah Sikap (attitude), Etos (ethos) yang merupakan refleksi dari Cara berPikir (the way of thinking) seseorang. Ini bukanlah sebuah konsep mati dan adanya lembaga departemen pelayanan konsumer masih belum bisa menjamin secara 100 persen adanya pelayanan konsumer yang topcer, apalagi bila staf di departemen tersebut tidak memiliki SECP (Sikap, Etos, dan Cara Pikir) yang topcer.” Pada artikel bagian pertama yang lalu, saya yakin Anda telah mengetahui apa isi Rahasia Satu yang amat vital itu. Dan saya pun yakin bahwa Anda bahkan pasti bisa mengulang isi Rahasia Satu itu di luar kepala.

”Bagus, jawaban Anda seratus persen benar!”

Rahasia Satu itu memang berbunyi:“ Pelayanan (service) topcer adalah jantung dan urat nadi serta tulang sumsum dari setiap organisasi, nirlaba ataupun yang untuk laba” persis dengan jawaban yang Anda sampaikan itu.

Baik, marilah sekarang kita melangkah kepada Rahasia Kedua untuk bisa lebih membantu dan memperlengkapi Anda dalam menjalankan setiap bentuk usaha yang Anda jalankan demi meningkatkan produktifitas, efektifitas dan efisiensi kerja dalam organisasi Anda.

Dalam setiap perusahaan--besar ataupun kecil biasanya kita bisa menemukan departemen atau sub-departemen yang khusus bergerak dan bertanggung-jawab di bidang pelayanan konsumer ( customer service). Memang keberadaan departemen customer service dalam sebuah perusahaan secara otomatis akan menambah citra yang positif bagi perusahaan yang bersangkutan.

Ini merupakan pertanda yang baik dan secara otomatis bisa memberi kesan bahwa perusahaan yang bersangkutan telah memiliki pikiran maju, mau berusaha untuk menyediakan produk dan jasa yang terbaik bagi para pelanggannya, sekaligus menunjukkan niat baik dari pengusaha dan perusahaan yang bersangkutan untuk menjaga hubungan dengan para konsumer (baik dalam dan luar) secara baik dan harmonis tak hanya untuk jangka pendek saja, tapi yang lebih penting lagi untuk jangka panjang.

“Pertanyaannya sekarang adalah: sejauh mana dan apakah departemen-departemen pelayanan konsumer itu sungguh-sungguh mampu memberikan pelayanan kepada konsumernya secara topcer?” Bila kita melihat dan memperlakukan pelayanan konsumer ini hanya sebatas konsep mati belaka atau mengidentikkannya dengan dinding-dinding perlembagaan departemen pelayanan konsumer semata-mata, maka akan sangat sulit atau malah mungkin sangat mustahil (sudah mustahil, sangat lagi) menemukan jawaban bagi pertanyaan yang saya ajukan di atas.

Tapi, bila kita bisa memahami, melihat dan memperlakukan pelayanan konsumer ini lebih sebagai sebuah Sikap (attitude), Etos (dari bahasa Yunani ethos: adat; juga berarti: karakter, nilai-nilai moral, atau keyakinan yang menjadi panutan bagi seseorang, kelompok atau institusi), dan cara berpikir (the way of thinking)—seperti yang terungkap dalam Rahasia Dua ini, maka dengan mudah kita bisa menemukan jawaban bagi pertanyaan di atas.

Kantor yang indah, megah dan penuh glamour, staf yang cantik, seksi menawan atau yang berwajah ganteng rupawan tak akan bisa mengangkat reputasi baik perusahaan Anda, atau menambah jumlah konsumer baru yang loyal pada perusahaan Anda, atau meningkatkan income perusahaan Anda, bila setiap anggota keluarga besar (staf) dalam perusahaan Anda itu masih belum mengerti, menerima, dan menerapkan Rahasia Dua ini Ingatan saya pun melayang menerawang tahun-tahun yang lalu ketika saya dan istri selalu pergi memesan pigura-pigura bagi koleksi lukisan kami ke toko pembuatan pigura langganan kami di kota Brookline yang terbilang paling besar dan terkenal di sekitar kota itu.

Sudah beberapa kali kami memesan pigura dengan pelbagai macam desain, ukuran, dan warna bagi lukisan-lukisan koleksi kami. Dan selama ini hasilnya memuaskan. Tapi ada satu hal yang sangat menonjol dan sangat kami sukai dari toko pigura ini—pelayanan mereka pada kami. Pelayanan mereka pada konsumer mereka sangat bagus. Beberapa kali saya menyempatkan diri menyampaikan rasa salut saya pada staf maupun pemilik toko pigura tersebut atas keberhasilan mereka menerapkan konsep dalam Rahasia Dua ini. Senyum simpul pun mengembang di wajah-wajah mereka yang ramah itu. Semua puas dan kami pun pulang dengan hati yang senang.

Namun, beberapa bulan yang lalu ketika kami berdua kembali lagi ke toko pigura itu seperti biasanya untuk memesan pigura bagi tiga lukisan kami yang baru, ternyata banyak sekali perubahan yang kami rasakan di toko tersebut. Sayang seribu sayang jika perubahan yang kami jumpai itu adalah perubahan negatif: senyum ramah sirna entah ke mana, ucapan salam saat kami masuk ke dalam toko pun tak terucapkan. Wajah-wajah yang pernah kami kenal tak satu pun dapat kami jumpai di sana. Suasana toko yang sekaligus studio tempat memproduksi segala macam pigura dan alat-alat lukis itu terasa senyap dan dingin. Yang terdengar hanya suara bising alat-alat produksi yang sedang aktif bekerja.

Akhirnya, setelah melihat-lihat sebentar beberapa lukisan dan foto-foto baru yang dipajang di dinding toko, kami pun segera mendekati meja pemesanan pigura sekaligus tempat para konsumer meneken kontrak yang terletak di tengah-tengah toko itu. Di balik meja kayu besar itu nampak sesosok wanita muda yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Keacuhan tampak jelas menggelantung di raut wajahnya yang cemberut itu. Tampak sekali kalau dia sangat enggan atau bahkan jengkel ketika kami dekati.

Tanpa mempedulikan keacuhan dan kecemberutannya itu, dengan ramah dan senyum mengembang kami sapa dia, “Good afternoon and how are you this afternoon?”

“Mungkin dengan senyum bersahabat dan sapaan salam yang ramah dan tulus, kami bisa memulai percakapan dan proses pemesanan pigura itu dengan dia secara mulus dan penuh ceria seperti waktu-waktu yang lalu,” awalnya begitu pikir kami saat itu.

Harapan kami ternyata sangat meleset. Bukannya dia membalas sapaan dan senyuman kami yang tulus itu, malah dia langsung bertanya singkat dengan nada kesal.

”Apa yang kau mau, cepat katakan!” sembari melemparkan pensil yang selama itu dia pegang ke atas meja kayu itu. “Klothaaakkk!”

“Uppsss, walah pegawai model apaan ini?!” batinku.

“Ya sudah, mungkin dia lagi bete atau pas lagi ada masalah, dimaafkan saja dech, toh sebentar lagi dia pasti akan tersenyum lagi”, begitu gumamku menyabarkan diri.

Ternyata setelah itu, sikap dan perlakuannya pada kami sebagai konsumernya yang seharusnya berhak mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sopan, ramah dan baik, bukan semakin ramah atau membaik, tapi malah semakin memburuk dan sangat tidak sopan.

Kami sudah bersabar dan menoleransi sikapnya itu, tapi ada saatnya bagi kami untuk menghentikan pelayanan buruk dan sikapnya yang angkuh itu. Dengan tegas dan lugas kami nyatakan ketaksenangan kami padanya. Setelah kami rasa percuma adanya berurusan dengan seseorang yang sulit untuk berubah dan seakan sudah stuck dalam dunianya yang buram dan negatif, kami pun terpaksa menemui manajer dan pemilik toko tersebut. Kami sampaikan opini kami mengenai sikap dan pelayanan staf mereka itu dengan harapan agar mereka bisa mengambil langkah yang lebih bijaksana. Tak lupa kami sampaikan juga rasa sedih dan belas kasihan kami pada si wanita muda yang sangat negatif itu.

Singkat cerita, siang itu kami tak jadi memesan tiga pigura dari toko yang selama ini dengan setia kami datangi. Tak hanya mereka kehilangan tambahan pemasukan uang paling tidak antara $400 hingga $1300 dalam transaksi singkat itu. Mereka juga kehilangan salah satu konsumer setia (loyal client) mereka yang akan selalu memesan atau membeli produk-produk mereka di masa mendatang. Satu hal lagi, mereka sangat kehilangan salah satu duta (ambasador) mereka yang tak segan-segan akan mengajak dan memberi rekomendasi yang baik tentang toko mereka itu kepada orang-orang lain agar orang-orang lain pun membeli dan memesan produk dari toko itu. Dan bahayanya kalau sang konsumer ini memiliki jaringan teman global—hancur sudah reputasi toko pigura itu.

Pesan kami pada jaringan persahabatan yang kami miliki inti dasarnya berbunyi,“Jangan datang ke toko itu, pelayanan mereka pada konsumer sangat tidak bagus, staf mereka angkuh dan tidak sopan!”

“Tuh khan, bahkan Anda yang berada jauh di Indonesia pun pasti akan enggan mampir ke toko pigura di Brookline yang sangat mengabaikan Rahasia Dua ini.”

Anda bisa melihat betapa ampuhnya pengaruh Rahasia Dua (juga Rahasia Satu) ini bagi perusahaan Anda:

- Abaikan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka para konsumer (dalam dan luar) Anda pun pasti akan mengabaikan Anda dan perusahaan Anda.
- Lupakan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka cepat atau lambat para konsumer (dalam dan luar) Anda pun akan segera melupakan Anda.
- Buang dan singkirkan kedua rahasia pelayanan konsumer yang topcer ini, maka jangan menangis tersedu bila para konsumer Anda pun akan segera membuang dan menyingkirkan Anda dan perusahaan Anda dalam kamus transaksi bisnis mereka.

Selamat menerapkan kedua Rahasia Etos Pelayanan yang Luar Biasa ini dan semoga sukses selalu.

Masih ingin menyimak Rahasia-rahasia lainnya? Silahkan berkunjung kembali ke situs Pembelajar.com secepatnya, sebab saya akan menguak rahasia-rahasia lainnya khusus bagi Anda para pembaca setia Pembelajar.com. Terima kasih.

*) Joshua W. Utomo, M.Div., D.Hyp., C.Ht., psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah pendiri dari Heal & Grow Center™ (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) mendirikan Sanggar Kinanthi™(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo Productions™ (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi via prof_jw@yahoo.com

Seorang Penulis Dikuburkan Tidak Bersama Kata-Katanya

Oleh: M. Iqbal Dawami


Judul di atas saya dapatkan saat senin malam pukul 23.00 (13 Februari 2006) dari buku “Catatan Pinggir 5” karya Goenawan Muhammad. Namun itu bukanlah sebuah sub judul dari buku tersebut, melainkan kalimat Goenawan saat membuka sub judulnya yaitu “mas wir”.

Mas wir adalah seorang penulis yang produktif pada tahun 60-an. Nama lengkapnya adalah wiratmo soekito. Tulisan-tulisannya bercorak pemikiran-pemikiran, dimana ia rajin memperkenalkan pemikiran barat seperti fenomenologi Husserl, teori sejarah Toynbee, filsafat Marx, namun kadang juga pemikiran Bung Karno. Tak sedikit para pembaca tulisan mas wir ini, merasakan kesulitan memahaminya. Argumentasinya sungguh ruwet, tapi Goenawan, sebagai orang yang dekat dengannya, mengakumulasikan pemikiran mas wir ini, yaitu dalam masalah “sejarah, “kebudayaan”, dan “revolusi”. Kritikannya terhadap pemerintah dan realitas sungguh tajam, walau “tanpa emosi”, ujar Goenawan Muhammad. Situasi politik yang mencekam tentang adanya tarik menarik kekuasaan antara PKI dan revolusi membuat dirinya banyak tawaran untuk dijadikan alat kekuasaan, namun ia tetap independen.

Pengabdiannya terhadap negara tak diragukan lagi. Baginya, sebagaimana yang dikutip goenawan, “Indonesia” adalah sebuah definisi kerja untuk pengabdian. Ia mengabdi dengan menuliskan kata-kata yang berjuta-juta, mulai untuk surat kabar, majalah, siaran radio, makalah ceramah, dan lain-lain.

Coba kita lihat cerita-cerita Goenawan Muhammad selaku saksi sejarah tentang proses kreatif mas wir ini;

“Saya akan selalu teringat ini; hampir kapan saja di dini hari tahun 1963, ia akan tampak di sebuah kamar sempit yang lusuh, yang sesak oleh ratusan buku, hampir melengkung. Ia menulis untuk surat kabar ini dan majalah itu, untuk siaran radio, untuk makalah ceramah, seakan-akan tak henti-hentinya. Pasti itu juga berlangsung sebelum tahun 1963 itu, pasti sampai akhir hayatnya di tahun 2001.”

“Ia tinggal di sebuah kamar di sudut jalan Cilasari, Jakarta (kini sudah tidak ada lagi), ia tak punya apa-apa selain ratusan buku dan sebuah mesin ketik Remington tua. Kadang-kadang tempat tidurnya yang apak diberikannya kepada saya, yang menginap, dan ia akan terbujur di tikar sampai pagi. Ia tak pernah mengeluh atau membanggakan cara hidup ini, dan terus menulis berpuluh-puluh kata tiap malam. Ia akan selalu pergi siaran ke stasiun radio RRI di Jl. Merdeka Barat, kalau perlu dengan meminjam sepeda temannya dan menempuh hujan. Ia tak pernah meminta. Kalau bisa, ia akan memberi. Ia tak hendak mencari hidup yang lebih baik.”

Mendengar cerita Goenawan tentang mas wir ini sungguh luar biasa. Keadaannya yang jauh dari hidup mewah membuatku malu yang hidup saat ini, yang begitu dimanjakan oleh keadaan dengan fasilitas memadai. Nampaknya kalau saya cermati saat ini, banyak para penulis yang bersifat pasar oriented, dan pengabdian terhadap negara kian hari kian luntur saja. saya tidak tahu, masih adakah mas wir-mas wir lain saat ini?

* * M. Iqbal Dawami adalah penulis yang aktif di komunitas GARIS, Yogyakarta.

Bangga Saya Jadi Orang Indonesia (6): Pak Madraji 20 Tahun Mendorong Gerobak - 27

Oleh: Eben Ezer Siadari


Anda dan saya mungkin sudah sering bertemu dengan orang Madura pedagang sate keliling. Juga melihat dari dekat bagaimana mereka mengelilingi jalan-jalan di sekitar perumahan menjajakan dagangannya. Tetapi tetap saja saya belum bisa membayangkan betapa uletnya Pak Madraji. Selama 20 tahun Pak Madraji berjalan kaki, setiap sore hingga larut malam dari rumahnya di Kawasan Sentiong Jakarta ke Sawah Besar tempat dia menjajakan sate Madura dalam gerobaknya. Di Kawasan Sawah Besar itu, ia juga masih akan berkeliling lagi. Panas, hujan, jalanan berdebu, becek dan deru knalpot berasap tebal di tengah bersiliwerannya kendaraan, ia lalui terus karena ia harus tetap jualan.

Bagi Anda yang tidak akrab dengan Jakarta, bolehlah membayangkan Sentiong dan Sawah Besar itu merupakan dua kawasan yang dipisahkan jarak sekitar tiga kilometer. Jalan yang dilalui adalah jalan besar. Kalau ditempatkan dalam konteks sekarang, jalan yang menghubungkan kedua kawasan itu boleh lah disebut wild wild west-nya Jakarta. Semua jenis kebengalan orang ada di situ. Juga semua tingkatan keganasan orang berkendaraan lengkap ditemukan di jalanannya.

Dan, Pak Madraji melaluinya selama 20 tahun. Setiap malam, kecuali kalau dia sakit. Apa yang mendorongnya?

Saya lalu menemuinya di Warung Anda, warung sate miliknya yang laris-manis di kawasan Atrium Senen, Jakarta. Saya sudah sering makan di warung sate itu, tetapi karena ingin menulis tentang bisnis orang Maduralah saya mau berlama-lama menunggunya. Pak Madraji ternyata sosok yang ramah. Walau kalau kita memesan sate di sana ia terkesan cuek, menanyakan seperlunya apa yang kita pesan, ia rupanya orang yang kocak dan easy going bercerita.

Pak Madraji dilahirkan dari orang tua beretnis Madura, tinggal di Cirebon. Setelah dia dewasa, 20 tahun lalu ia memberanikan diri berangkat ke Jakarta, mengadu nasib. Tidak ada ijazah. Ia tidak tamat Sekolah Dasar. Yang ia tahu, ia ingin mengikuti tradisi orang Madura, berbisnis besi tua. Ia pun mencoba peruntungannya di bisnis ini, dengan menggandeng mitra yang sudah lebih dulu menerjuni bisnis ini.

Ternyata bisnisnya tidak jalan dan tidak semulus yang ia bayangkan. Ia mengaku sering tertipu. Tidak bisa berbuat apa-apa. Modalnya ludes.

Pendek cerita ia banting setir, kembali kepada keahlian yang dibekalkan kedua orang tuanya dan juga masih tetap mereka tekuni, yakni berdagang sate. Ia berdagang sate keliling. Mula-mula dengan satu gerobak. Ia tekuni pekerjaan ini seperti kedua orangtuanya mencintai pekerjaan ini. Ia membeli sendiri kambing yang akan ia jadikan sate. Ia memotongnya sendiri. Ia membuat bumbunya sendiri dan ia menjajakannya sendiri.

Saya agak tertegun ketika dia menceritakan ini. Saya masih tetap mencari, apa motivasinya. Apa faktor paling penting yang mendorong dia berbuat begitu. Apakah, misalnya, tidak sebaiknya dia pulang ke Cirebon dan meneruskan usaha sate ayah dan ibunya?

Oh tidak, kata dia. Tidak ada kata 'pulang' dalam kamus dia. Dia bertekad harus bisa mencari uang sendiri. Apalagi ia merasa malu kepada calon istri kalau harus minta-minta uang dari kampung halaman. Jadilah Madraji berdagang sate. Selama 20 tahun, ia mendorong gerobak satenya dari Kawasan Sentiong yang padat ke Kawasan Sawah Besar yang ramai.

Setelah 20 tahun, tujuh tahun lalu sebuah lompatan besar ia lakukan. Ia membuka warung sate di kawasan Senen. Dia tidak lagi berdagang keliling. Masakan satenya yang sudah punya pelanggan, ditambah lokasi yang ia pilih menyediakan banyak pembeli, membuat warungnya berkembang maju. Itu mendorong dia membuka satu warung lagi, persis bersebelahan dengan pintu masuk Mal Atrium. Warung ini bahkan lebih laris lagi. Dinamainya warung itu dengan nama Warung Anda. Nama itu memang kedengaran ramah, sama sekali tidak memancarkan keangkuhan yang selama ini kerap disematkan kepada orang Madura.

Warung Anda menjual dan menghabiskan tiga kambing setiap hari (dijadikan 900 tusuk sate ditambah sop kambing), 50 kg ayam (dijadikan sate ayam) dan kini ia menambah item baru: sate bebek. Setiap hari dari Warung Anda Madraji mengantongi penjualan Rp3 juta. Madraji hanya buka siang sampai sore di hari kerja, menyebabkan penjualannya dari Warung Anda berkisar Rp60 juta per bulan.

Madraji kini punya empat outlet satenya. Tiga warungnya, satu di Kawasan Senen, satu di depan Mal Atrium, satu di depan Rumah Sakit Gatot Subroto. Outletnya yang lain adalah salah satu restoran di Hotel Borobudur. Setiap malam ia memasok 500 tusuk sate ke restoran tersebut. Pak Madraji tertawa saja ketika ditanyakan berapa ia mengantongi penjualan setiap hari. "Cukup lah Pak," kata dia. "Rumah sudah rumah sendiri. Tidak ngontrak lagi." Anaknya yang sulung kini duduk di bangku kuliah. Dua adiknya menikmati pendidikan yang baik. "Cukup lah saya yang hanya belajar di pesantren dan tidak tamat SD," kata dia.

Yang menyenangkan melihat Pak Madraji kerja adalah ketekunannya. Ia bukan majikan. Ia masih ikut membakarkan sate, menyajikannya kepada pembeli dan bahkan melobi pelanggan-pelanggan besarnya, yakni mereka yang akan menyelenggarakan pesta pernikahan atau kenduri lainnya, dan memesankan sate dari warungnya.

Tidak ada kesan dirinya telah menjadi Orang Kaya Baru (OKB). Para anak buahnya yang jumlahnya kini belasan, kadang-kadang masih dengan tanpa malu-malu meminjam motor yang digunakan Pak Madraji bepergian kemana-mana, termasuk mengecek warung-warungnya.

Mungkin saja saya termasuk orang yang terlalu cepat mengagumi orang. Tetapi memang, saya benar-benar tidak bisa menghindari untuk kagum pada Pak Madraji. Apalagi bila melihat semangatnya. Saya menanyakan kepada orang tua yang umurnya kira-kira 50-an tahun ini, apakah masih ada keinginannya yang tak terbatas. Saya menanyakan pertanyaan ini karena membayangkan dia akan menjawab, "Syukur, saya sudah merasa puas. Tinggal meneruskan bisnis ini saja." Jawaban seperti ini sudah kerap saya temukan dari pengusaha kita.

Tetapi tidak. Pak Madraji mempunyai keinginan lain. Tidak muluk-muluk dan tampaknya bakal dia capai. Ia punya impian dalam dua sampai lima tahun ke depan ia bisa membuka warungnya di mal atau dekat dengan mal. "Sebenarnya tahun lalu sudah hampir dapat Pak," kata dia. Waktu itu, ia sudah hampir deal dengan seorang pemilik kios di kawasan Mal Cempaka Mas. Uang muka pun sudah ia setujui, bahkan siap-siap akan dia bayarkan. Dasar nasib sial, lama sekali ia baru bisa bertemu langsung dengan sang pemilik kios. Ketika bertemu, ternyata Pak Madraji sudah keduluan oleh orang lain. "Mungkin bukan rezeki saya Pak," seru Pak Madraji.

Tiap kali melewati warungnya itu pada malam hari, ketika warung yang sudah tutup itu berubah tempat mangkal sejumlah pengangguran yang setengah preman, saya mengelus dada. Memang kalau kita hanya melihat pemandangan yang suram itu, kita mungkin akan putus asa. Namun, ketika pikiran saya arahkan kepada Pak Madraji, saya kembali bersyukur. Alangkah bangganya kita menjadi orang Indonesia karena Indonesia masih mempunyai orang seperti Pak Madraji. Jumlahnya saya kira banyak sekali.[]

* * Eben Ezer Siadari tinggal dan bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Buku karyanya sebagai penyunting antara lain, Sketsa 50 Eksekutif Indonesia (WartaEkonomi, 1996), The Power of Value in Uncertain Business World, Refleksi Seorang CEO (Gramedia Pustaka Utama,2004) dan Gubernur Gorontalo Menjawab Rakyat (2005). Catatan-catatan pribadinya dapat dilihat di THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG, www.sarimatondang.blogspot.com dan BANGGA SAYA JADI ORANG INDONESIA, www.banggaindonesia.blogspot.com.

Kekuatan Pilihan

Oleh: Syahril Syam


Cobalah Anda perhatikan di sekeliling Anda. Perhatikanlah dengan seksama alam semesta ini. Mari kita awali analisis kita pada tumbuhan. Baik yang pertumbuhan awalnya lewat biji atau tunas, semua tumbuhan itu mengawali tumbuhnya mulai dari kecil hingga besar. Perkembangan tumbuhan ini tidak terjadi dengan sekejap, tapi memiliki ketentuan waktu. Dan antara tumbuhan satu dengan tumbuhan yang lain memiliki kadar waktu yang berbeda-beda.

Ada tumbuhan yang proses tumbuhnya menghasilkan bunga saja, dan ada yang menghasilkan buah. Pada tumbuhan juga terjadi proses fotesintesis/asimilasi, dimana proses ini mengolah makanan yang di ambil oleh akarnya. Akar tumbuhan “bergerak” menyebar dan mendalam ke dalam tanah. Jika bertemu dengan benda keras, maka akar ini akan berbelok arah untuk memperkokoh dirinya dan mendapatkan makanan yang penting bagi dirinya. Walhasil proses perkembangan tumbuhan ini berjalan sudah dengan kadar yang semestinya, dan pada akhirnya akan mengalami mati.

Setelah kita melihat tumbuhan, kita akan mengamati binatang. Tidak jauh berbeda dengan tumbuhan, binatang pun mengawali proses hidupnya lewat telur, dan tumbuh menjadi besar. Kalau kita mengambil satu sampel binatang, yaitu burung, maka akan kita dapati bahwa dalam proses beranjak dewasa, burung akan belajar untuk terbang dan mencari makanan untuk dirinya sendiri. Awalnya, burung tersebut akan mengalami beberapa hambatan ketika mengawali terbang perdananya. Namun, dalam proses tersebut, tak ada burung yang berhenti mencoba dan mencoba untuk terbang.

Jika kita perhatikan, maka upaya burung tersebut untuk terbang sama dengan upaya kita sewaktu kecil untuk mencoba berbalik, duduk, merangkak, dan berdiri. Semua upaya ini dilakukan dengan beberapa hambatan. Namun, seperti halnya burung tersebut, kita pun dulu tidak pernah berhenti untuk mencoba dan mencoba.

Seperti layaknya tumbuhan dan binatang, terdapat sesuatu pada diri kita yang memilki proses yang sama dengan tumbuhan dan binatang, yaitu raga/fisik kita. Kita pun mengawali proses hidup kita dari telur dan berkembang menjadi besar. Semua ini adalah proses alam. Dalam bahasa filsafat semua ini memiliki tujuan, hingga proses berkembang tersebut sebenarnya proses menuju tujuan atau menuju kesempurnaan. Oleh karena ini proses alam yang menuju tujuan, maka setiap hambatan adalah bagian dari proses menuju tujuan atau proses menyempurna. Itulah sebabnya, istilah gagal tidak ada dalam kamus tumbuhan, binatang, dan raga/fisik kita. Seperti layaknya tumbuhan tadi, jika akarnya menemukan benda keras, maka akarnya akan berbelok arah. Menggugurkan daun pun merupakan cara tumbuhan dalam melewati proses hidupnya ketika menemukan hambatan. Begitu pula ketika seekor burung belajar terbang, belum bisanya burung tersebut mengepakkan sayap secara sempurna membuatnya untuk terus berusaha. Hal ini juga terlihat jelas pada seorang anak kecil yang baru belajar berjalan.

Dalam proses menyempurna ini, tak ada pilihan. Semuanya bersifat deterministik. Oleh karena itu gerak alam ini bersifat deterministik, dan berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Karena bersifat deterministik dan sesuai hukum-hukumnya, maka setiap hambatan itu bukanlah sebuah kegagalan, namun merupakan bagian dari proses menuju tujuan atau menyempurna. Hambatan ini bersifat investasi atau berbagi.

Perlu diketahui bahwa tak ada satu pun dari alam ini yang lahir dari ketiadaan. Karena ketiadaan mustahil melahirkan ketiadaan. Itulah sebabnya dalam fisika dikenal hukum kekekalan energi. Bahwa energi itu tak dapat diciptakan juga tak dapat dimusnahkan. Energi hanya mengalami proses perpindahan atau perubahan bentuk saja. Proses perubahan atau proses menuju tujuan atau proses menyempurna ini mengalami saling berbagi/investasi antara satu dan yang lainnya untuk suatu keharmonisan hidup dan kelangsungan hidup. Dengan kata lain keseimbangan alam akan terjadi jika proses berbagi ini dijalankan. Keseimbangan alam ini akan menjamin semua elemen untuk bertahan hidup lama dan “memunculkan” elemen alam yang lain.

Hambatan inilah yang menjadi “warning” bagi alam untuk senantiasa berbagi/investasi. Jika mengalami musim tertentu atau waktu-waktu tertentu, tumbuhan akan menggugurkan daunnya. Menggugurkan daun merupakan cara bagi tumbuhan untuk berbagi dengan tanah. Hal ini juga merupakan investasi bagi tumbuhan, dimana menggugurkan daun akan meningkatkan vitalitas tumbuhan dalam berfotosintesis dan juga akan membuat tanah menjadi subur. Begitu pula ketika akarnya menemukan benda keras, maka hal ini akan membuat akar tersebut bekerja ekstra dan berbagi ruang dengan benda keras, sehingga membuat tumbuhan tersebut menjadi kokoh.

Pada binatang pun demikian. Hambatan pertama ketika mengepakkan sayap dari seekor burung akan justru menguatkan sayapnya untuk suatu saat nanti membuat dirinya terbang. Begitu pula pada seorang anak kecil. Jika Anda mengalami kerugian jutaan sampai miliaran rupiah, lihatlah hambatan ini sebagai sebuah investasi/berbagi. Siapa tahu, memang, Anda belum cukup memberi selama ini kepada orang-orang di sekitar Anda.

Seperti yang telah dikemukakan, deterministiknya alam ini tidak melahirkan pilihan. Dan oleh karena itu, hambatan yang ada merupakan bagian dari proses untuk menyempurna. Itulah sebabnya istilah gagal tak ada dalam kamus alam. Namun, lain halnya dengan manusia. Sewaktu kecil, potensi kehendak bebasnya belum teraktual. Anak-anak masih bergerak didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fisik semata (sama halnya dengan tumbuhan dan binatang). Dan ketika kehendak bebasnya telah teraktual, maka lahirlah apa yang disebut dengan PILIHAN. Jadi, kekuatan pilihan adalah sebuah konsekuensi dari adanya kehendak bebas yang manusia miliki. Dengan kehendak bebas, seorang manusia bebas memilih untuk selaras dengan alam (yaitu melakukan proses menuju tujuan atau menyempurna, bersama-sama dengan raga/fisiknya) atau kemudian memilih untuk berhenti berproses ketika menemukan hambatan hidup. Pada titik berhenti berproseslah (ketika menemukan hambatan), istilah gagal itu tercipta. Jadi, kegagalan adalah sebuah ilusi yang dibuat manusia karena mereka (dengan kehendak bebasnya) lebih memilih untuk berhenti menyempurna, dibandingkan untuk terus berproses menuju kesempurnaan hidup.

Lantas, untuk apa kita memiliki kekuatan pilihan ini. Dengan adanya pilihan hidup, maka kita bisa lebih cepat menuju tujuan hidup/menyempurna. Kita bisa dengan bebasnya memilih strategi-strategi hidup yang kita inginkan. Kita bisa memilih jalan yang lebih cepat. Kita bisa memilih untuk senatiasa belajar untuk keperluan hidup kita.

Namun, kekuatan pilihan juga menciptakan konsekuensi yang lain pula. Seperti yang telah dikemukakan di atas. Kita pun bisa memilih untuk tetap seperti keadaan kita saat ini, atau kita juga bisa memilih untuk berlawanan arah dengan tujuan hidup yang sesungguhnya atau menyempurna. Inilah, mungkin, yang dimaksudakan dalam ajaran agama, bahwa manusia itu bisa lebih sempurna daripada malaikat dan bisa juga lebih jahat dan hina daripada binatang. Semua itu berpulang pada kita untuk memanfaatkan kekuatan pilihan yang ada pada kita. Yang jelas, kekuatan pilihan yang lahir dari kehendak bebas, adalah suatu anugerah bagi kita (kaum manusia) untuk bisa memilih jalan hidup yang terbaik (sekaligus mengatur keseimbangan alam, karena pengaturan alam tak dapat dilakukan oleh tumbuhan dan binatang yang tak punya kekuatan pilihan) atau bisa juga kita memilih untuk stagnan, kembali ke masa lalu, dan berbuat sesuatu yang berlawanan dengan fitrah kemanusiaan kita yang ingin senantiasa menuju kesempurnaan yang hakiki. Semua tergantung dari PILIHAN ANDA?[]

* Syahril Syam adalah seorang trainer tentang peningkatan kualitas hidup. Saat ini saya berdomisili di Makassar. Anda bisa menghubungi saya di ril_faqir@yahoo.com.

INSTRUMEN ORANG KAYA

Oleh: Ardian Syam*


Sebagian besar orang kaya di Indonesia adalah pengusaha. Sebagian adalah pegawai dengan posisi tertinggi di perusahaan tempat mereka masing-masing bekerja. Sebagian besar dari semua orang kaya Indonesia, saya yakin, suka memberikan sumbangan. Baik diketahui publik maupun tidak. Sangat menyenangkan memang bila kita lihat dari sisi tersebut. Setiap orang akan saling membantu sehingga masalah yang sangat besar menjadi mengecil dan dapat ditanggulangi.

Satu hal yang dilupakan oleh para pengusaha tersebut. Pasar tidak hanya bisa dicari, tetapi juga bisa dibuat. Setiap kali Anda, para pengusaha, mengalami hambatan di satu pasar yang selama ini menjadi tempat mereka berusaha, maka mereka akan mencari pasar yang baru. Mungkin juga Anda akan mencari produk baru yang biasa disebut second curve product karena Anda menganggap pasar mulai jenuh dengan produk yang selama ini Anda jual.

Tetapi pasar bisa dibuat. Bila sekelompok orang di wilayah atau di negara Anda berada di bawah tingkat ekonomi tertentu sehingga saat ini belum mampu membeli produk yang Anda jual, pernahkah Anda pikirkan bahwa bila mereka menjadi lebih makmur, maka mereka akan mampu membeli produk Anda?

Ya, Anda pasti ingin produk Anda lebih banyak terjual. Hal yang paling sering Anda lakukan adalah menghemat biaya produksi. Anda menggunakan konsep activity-base cost system sehingga tercapai cost effectiveness bagi produk yang Anda jual, sehingga harga jual produk menjadi lebih kompetitif dibanding pesaing. Tetapi apa yang terjadi kemudian?

Kompetitor Anda kemudian akan merasa bahwa mereka yang sekarang mulai kehilangan pembeli, produk mereka yang terjual menjadi berkurang. Mereka kemudian akan melakukan hal yang kurang lebih sama dengan yang telah Anda lakukan. Kemudian harga produk mereka menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan produk yang Anda jual. Dan perang ini tidak akan pernah selesai sampai salah satu dari Anda kemudian mati dan menambah jumlah orang miskin di negara ini.

Sebuah kejadian yang sama sekali tidak lagi menarik? Anda sedang berusaha dengan gaya petinju. Anda baru bisa menang bila lawan tergeletak lemas dan tidak lagi bisa melanjutkan pertandingan. Pernah terpikir berusaha dengan gaya pembalap? Anda menang karena lebih baik dan tidak perlu menyebabkan lawan berhenti dan tidak lagi bisa melanjutkan permainan. Bila belum pernah melakukan, cobalah sesekali Anda lihat pertandingan balap F1 atau balap sepeda. Semua peserta pertandingan terus melakukan permainan, terus berlomba sampai mereka menyelesaikan lintasan yang harus dilalui walaupun telah ada pemenang. Anda tidak perlu membuat pesaing kehilangan kemampuan berusaha sekedar agar Anda bisa menang.

Daripada mematikan pesaing Anda, bagaimana bila kita semua mulai memikirkan bagaimana meningkatkan daya beli, makmurkan lebih banyak lagi orang, sehingga mereka berada di tingkat ekonomi yang dapat membeli dan mengkonsumsi produk Anda. Anda bukan hanya memenangkan kompetisi, Anda juga akan dihargai oleh kompetitor, juga oleh orang-orang yang Anda makmurkan.

Lalu pada saat Anda ingin membuat mereka menjadi lebih makmur, menjadi konsumen yang memiliki daya beli untuk mendapatkan produk Anda, maka tidak ada jalan lain selain dimakmurkan dengan menggunakan instrumen yang Anda gunakan untuk menjadikan diri Anda lebih makmur.

Merujuk pada 4 kuadran yang diajarkan oleh Robert T Kiyosaki, maka yang menjadi cara yang paling tepat untuk menjadi kaya adalah 2 kuadran yang berada di kanan: menjadi pemilik bisnis atau menanamkan investemen kepada bisnis lain yang sudah ada.

Andai Anda masih belum percaya mari kita lihat 2 kuadran sebelah kiri yaitu: employee dan self employment. Sebagai seorang pegawai perusahaan Anda tidak akan bisa benar-benar kaya sebagaimana yang Anda inginkan. Bahkan sebagai seorang Direktur Utama, Anda harus menunggu waktu satu kali setahun minimal, yaitu pada saat rapat umum pemegang saham, bila Anda ingin meningkatkan gaji Anda. Bahkan bila Anda menduduki posisi lebih rendah tentu saja Anda harus menunggu orang lain termasuk Direktur Utama bila ingin naik gaji. Sehingga employee bukanlah cara untuk menjadi orang kaya. Menjadi pegawai bukan instrumen orang kaya.

Self employment yang dicontohkan oleh Kiyosaki adalah pengacara atau dokter yang praktek sendiri. Sebagai profesional Anda dapat mengendalikan biaya yang akan Anda keluarkan dalam usaha. Tetapi kalau Anda tidak dapat meningkatkan laba usaha, Anda tidak dapat mempercepat perolehan pendapatan. Mengapa demikian? Anda hanya berusaha sendiri. Andai pun ada perawat atau paralegal membantu Anda, tetapi mereka hanya membantu dalam pekerjaan yang datang. Tidak ada seorang pun yang membantu untuk memasarkan usaha Anda.

Tanggung jawab, kewenangan, kerja keras untuk melakukan pemasaran hanya berada di pundak Anda. Anda akan kelelahan melakukan dua hal yang berbeda. Tanggung jawab memasarkan dan tanggung jawab menjaga kualitas layanan yang Anda berikan. Anda yang bekerja di perusahaan tentu tahu bahwa kedua tanggung jawab tersebut tidak dilakukan oleh tim yang sama. Akan lebih berat lagi bila dua tanggung jawab tersebut dilaksanakan oleh satu orang yang sama.

Saya pernah tahu seorang dokter obgin yang kemudian punya klinik bersalin. Tiga tanggung jawab bahkan dia rangkap sendiri. Menjaga kualitas layanan sebagai dokter, melakukan upaya-upaya pemasaran, dan mengelola klinik. Dokter itu sangat kelelahan dan kemudian sering melakukan kesalahan diagnosa ataupun kesalahan dalam melakukan tindakan atas kasus-kasus yang muncul. Apa yang kemudian terjadi? Klinik itu semakin lama semakin sepi karena para pasien mulai tidak percaya dengan kualitas layanan sang dokter.

Berarti sekarang tinggal 2 kuadran yang di sisi kanan yang masih bisa dianggap sebagai instrumen orang kaya. Pemilik bisnis, adalah salah satu instrumen orang kaya. Dengan memiliki bisnis sendiri, sesuai sumber daya yang dimiliki maka kita bisa memiliki tim yang melakukan operasi harian usaha kita dan ada tim lain yang melakukan upaya-upaya pemasaran. Cari kesenangan Anda yang bisa dijadikan produktif. Pendidikan, perdagangan umum, pertanian, penginapan apa saja yang Anda minati. Karena Anda bisa lebih konsentrasi dalam mengelola, mengarahkan langkah-langkah operasional dan memandu upaya-upaya pemasaran karena minat Anda cukup tinggi di bisnis tersebut.

Anda bisa memodali bisnis tersebut sendiri atau bersama-sama dengan orang lain. Silakan baca buku yang ditulis Purdi E Chandra bila ingin tahu cara memulai bisnis dengan modal atau uang orang lain. Dengan menjalankan bisnis maka Anda dan tim yang menentukan berapa penghasilan yang akan Anda terima. Baca lagi pula Cashflow Quadrant karya Kiyosaki sehingga Anda tahu bagaimana mengatur cash flow Anda dengan baik.

Bila Anda telah menjalankan bisnis sendiri dan telah mencapai omset di atas 1 miliar rupiah per tahun, apalagi telah mencapai 1 miliar rupiah per triwulan, maka sudah tiba saat bagi Anda untuk memperhatikan orang-orang yang punya semangat, konsentrasi penuh, dan bersedia menjalankan bisnis sendiri. Dengan demikian Anda akan menumbuhkan satu pebisnis baru sekaligus mengajarkan orang itu bagaimana cara yang terbaik untuk menjalankan bisnis dengan uang orang lain.

Berusahalah untuk tidak terlalu serakah. Buatlah pembagian laba 50:50, toh Anda tidak menjalankan sendiri bisnis tersebut. Anda hanya menginveskan modal untuk menjalankan bisnis tersebut. Semakin banyak bisnis orang lain yang Anda bantu untuk tumbuh maka akan semakin banyak kemakmuran tumbuh di sekitar Anda. Bila bisnis Anda sendiri menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas tinggi, maka bisnis mereka akan mengkonsumsi produk atau jasa yang dihasilkan oleh bisnis Anda. Bisa Anda bayangkan seberapa banyak konsumsi mereka bila bisnis mereka sudah tumbuh semakin besar. Dengan demikian Anda akan memiliki pelanggan yang setia, tentu saja selain karena kualitas produk atau jasa dari bisnis Anda memang baik, toh Anda yang membantu mereka untuk tumbuh. Sehingga sangat sedikit alasan bagi mereka untuk mengkonsumsi produk atau jasa dari perusahaan lain.

Sekarang selain Anda telah memasuki kuadran investemen untuk menjadi lebih makmur, Anda juga sudah membuat orang lain menjadi lebih makmur. Orang-orang yang akan menjadi pasar dari bisnis Anda sendiri. Orang-orang yang akan bersama-sama Anda membantu orang lain lagi untuk mempunyai bisnis sendiri dan menjadi lebih makmur. Kemudian semua orang makmur dalam kelompok ini akan membantu banyak orang miskin, membantu sekolah-sekolah, menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja, memintarkan generasi muda.

Menjadi kaya dengan instrumen orang kaya ternyata bisa membuat hidup banyak orang menjadi lebih indah. Hidup memang indah, bukan?

* Ardian Syam adalah seorang akademisi yang tinggal di Medan dan saat ini sedang menyusun sebuah buku. Ia dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com

Membangun Bangsa dengan Entrepreneur

Oleh: Abdul Muid Badrun*


Diakui atau tidak, sebagian besar masyarakat kita saat ini masih beranggapan bahwa sekolah (kuliah) atau menuntut ilmu hanya bisa dilakukan di jalur formal semata, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi (PT). Anggapan ini dilatar belakangi adanya pemahaman bersama bahwa pendidikan formal dipercaya mampu mengantarkan anak didik menuju kesuksesan. Baik secara materi (finansial) maupun non-materi (kebahagiaan).

Menuntut ilmu, entah itu namanya sekolah, kuliah, kursus, atau yang lain, tidak mesti dilakukan di lingkungan formal. Karena, jika hal itu dimaknai sebagai proses belajar, maka kita bisa melakukannya di mana pun kita berada dan kapan pun. Prinsipnya, belajar adalah proses yang punya tujuan pasti. Jika tidak, maka proses itu akan berakhir dengan sis-sia.

Melihat kenyataan angka pengangguran yang semakin meningkat dewasa ini, mestinya masyarakat tidak menggantungkan nasib hanya dari modal kuliah semata. Rumusan bahwa kuliah menjamin pekerjaan mapan seharusnya ditinggalkan.

PT yang selama ini dituduh menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pengangguran juga tidak mampu berubah dari kebiasaan lamanya. Yaitu, tetap menganggap mahasiswa sebagai bagian dari faktor produksi semata. Akibatnya, kemajuan sebuah PT baik negeri maupun swasta saat ini sangat ditentukan dari besarnya input mahasiswa diterima dan besarnya sumbangan yang dibayarkan.

Kita lihat saja di Yogyakarta misalnya, sebanyak 84 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan 4 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), hidupnya sangat bergantung pada pemasukan dari mahasiswa. Fenomena PTS yang gulung tikar selama ini lebih disebabkan karena tiadanya mahasiswa yang mendaftar. Menjadi lulusan PTN (meski sekarang mahal biayanya) juga tidak menjamin bisa langsung diterima kerja. Semua terasa sama saja.

Menurut saya, setidaknya ada tiga alasan mendasar yang bisa diungkap berkaitan dengan masalah sulitnya lulusan PT bisa diterima dunia kerja.

Pertama, institusi pendidikan (TK, SD, SMP, SMA, PT) telah menjadi alat politik kekuasaan, sehingga membonsai kemajuan pendidikan itu sendiri.

Kedua, kurikulum yang diajarkan sejak awal tidak berorientasi pada kebutuhan pasar. Sehingga, ketika lulus, dia kesulitan mau kerja apa dan di mana. Lahirlah generasi mertanggung (pintar tidak, bodoh juga tidak).

Ketiga, kesejahteraan pendidik (guru maupun dosen) masih sulit diharapkan. Akibatnya, mengajar bukan lagi menjadi profesi utama melainkan profesi sampingan.

Berdasarkan realitas di atas, muncul pertanyaan mendasar, apakah pendidikan tinggi itu diperlukan atau tidak? Jawabannya, tentu bukan perlu atau tidak perlu, namun karena sekolah, kuliah, maupun pendidikan formal lainnya tetap diperlukan. Lebih-lebih dalam menghadapi persaingan global. Akan tetapi, masyarakat jangan lagi terjebak pada mitos bahwa kuliah adalah cara paling ideal meraih sukses.

Karena itu, bagi yang tidak bisa kuliah sampai sekarang karena makin tingginya biaya kuliah, maka jangan berpikiran masa depannya akan suram. Karena, banyak jalan menuju kesuksesan hidup, salah satunya adalah dengan berwirausaha (menjadi entrepreneur atau buka bisnis).

Dalam Buku Kaya Tanpa Bekerja (2004) Safak Muhammad memberikan jawaban bagaimana orang melanjutkan kuliah atau tidak kuliah sangat tergantung pada empat hal.

Pertama, tujuan hidup. Jika tujuan hidup anda ingin sukses dan ukurannya adalah pekerjaan 'aman' dan gaji bagus, maka kuliah (mungkin) tepat. Akan tetapi, anda harus bersiap-siap kecewa bahkan frustasi jika dikemudian hari tidak berhasil mendapatkannya.

Berbagai penelitian di Amerika, seperti yang dilakukan Thomas Stanley terhadap lebih dari 730 miliarder ternyata memiliki bisnis sendiri (entrepreneur) dan sisanya profesional yang bekerja sendiri (self employee) seperti dokter dan akuntan publik. Riset ini, membuktikan bahwa kuliah ternyata tidak mampu menjadi satu-satunya jalan untuk meraih kemakmuran hidup.

Kedua, bakat, minat dan potensi diri. Jika anda yakin kuliah merupakan cara tepat mengembangkan bakat, minat, dan potensi diri anda, serta mendekatkan kepada tujuan hidup anda, maka pilihan kuliah cukup realistis. Jika tidak, maka anda harus memilih cara lain seperti berbisnis daripada membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan potensi anda. Jika dipaksakan, meski anda mendapat pekerjaan, maka anda tidak akan mencintai pekerjaan anda. Akibatnya, anda terpaksa bekerja dan karir anda akan sulit berkembang.

Ketiga, biaya. Sekali lagi, ada pemahaman salah di tengah masyarakat yang berkata satu-satunya cara mendapatkan pekerjaan harus dengan kuliah. Puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah mereka keluarkan untuk kuliah agar nanti dapat pekerjaan. Kenyataannya, jika tidak mendapat pekerjaan atau dapat kerja namun dengan gaji pas-pasan maka ia akan kecewa, stres, dan semakin miskin. Bayangkan, jika biaya ratusan juta itu dipakai untuk modal membuka bisnis (menjadi entrepreneur). Maka, peluang kecewa itu bisa diminimalisir. Tidak rugi waktu juga uang.

Keempat, waktu. Untuk menjadi sarjana, sedikitnya dibutuhkan waktu empat sampai lima tahun, sehingga jangan sampai anda sia-siakan waktu panjang itu. Itu artinya, jika anda tidak yakin bahwa kuliah bisa mendekatkan pada tujuan hidup sementara anda tetap saja kuliah, maka Anda akan membuang waktu percuma. Hasilnya, anda akan menjadi manusia setengah-setengah dan tidak mampu bersaing ditingkat nasional maupun global. Karena itu, jangan sampai anda membuat keputusan yang salah dalam masalah penting ini.

Nah, dengan empat pertimbangan di atas, diharapkan seluruh masyarakat khususnya para mahasiswa menyadari betul apa sebenarnya tujuan hidup yang ingin dicapai. Bila Anda sekarang kebetulan telah memilih menjadi entrepreneur karena tidak kuliah, maka jangan takut dikatakan tidak intelek atau tidak berpendidikan. Karena, Anda bisa belajar secara otodidak. Bisa dengan cara membaca buku, mengikuti seminar, diskusi, workshop, training, dan lain sebagainya.

Karena itu, belajar tidak harus di sekolah formal. Sebab, ilmu ada di mana-mana, di "sekolah besar" kehidupan ini. Dengan bahasa lain, mulai sekarang kita perlu mengubah mindset (pola pikir) masyarakat Indonesia pada umumya bahwa sukses (kemakmuran, kekayaan, penghasilan tinggi) tidak selalu identik dengan gelar akademik, tetapi sukses adalah hak semua orang meski tidak pernah mengenyam bangku kuliah sekalipun.

Melihat realitas hidup yang ada sekarang, kebutuhan melahirkan generasi entrepreneur untuk bisa meraih kemakmuran hidup bisa menjadi solusi bangsa ini ke depan. Sejak kecil anak didik kita mesti diajarkan bagaimana hidup mandiri, mengenal dan mengelola uang, serta belajar untuk hidup disiplin. Peran orangtua dalam menumbuhkembangkan jiwa dan mentalitas mandiri bagi lahirnya generasi entrepreneur sangat dibutuhkan. Bagaimana mungkin, bangsa ini bisa mengurangi pengangguran jika tidak ada keberanian untuk melahirkan generasi entrepreneur (wirausaha).

Pesan yang disampaikan Shibusawa Eiichi, seorang wirausahawan dan aktor perubahan sosial di Jepang patut kita renungkan: "Jika engkau seorang yang berkemampuan jadilah pedagang, namun jika engkau setengah-setengah jadilah pegawai. Semoga, bangsa ini bisa bercermin diri akan masalah banyaknya pengangguran dewasa ini. Sehingga, tidak lagi disebut bangsa besar bermental kuli, namun bangsa besar yang berdikari dalam bidang ekonomi.[]

* Abdul Muid Badrun adalah Direktur Eksekutif Center for Education and Entrepreneurship Studies (CEES) dan Pembelajar Bisnis dan Manajemen STIE Widya Wiwaha Yogyakarta. Ia dapat dihubungi di: abdulmuidbadrun@yahoo.com

toko-delta.blogspot.com

Archives

Postingan Populer

linkwithin

Related Posts with Thumbnails

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.