Allah SWT berfirman (QS 3:133) yang artinya:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Hai manusia bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya, sesungguhnya saya bertobat seratus kali setiap hari.”
Pernahkah Anda naik mobil? Saya yakin pernah. Sebagian bisa menyupir sendiri, sebagian hanya ikut saja. Pernahkah mengalami ketika sudah siap berangkat, transmisi sudah masuk gigi satu, gas pun diinjak, ternyata rem tangan belum dilepas? Bagaimana rasanya?
Orang yang perasaannya sensitif akan terkejut, berteriak, dan mungkin menggigit bibirnya. Pemilik mobil yang mengerti mesin dan mekanisme mobil akan tersentak dan terbayang kerusakan beberapa komponen. Kalau dia sendiri yang menyupir, dia hanya bisa menyesali berkepanjangan. Jika supir yang melakukannya, bisa jadi dampratan panjang yang keluar. Ada lagi pemilik yang terkejut sebentar, kemudian tenang lagi. Saya yakin pemilik ini tidak mengerti mekanisme kerja mobil. Atau, mungkin dia terlalu kaya hanya untuk mengurusi kerusakan pada rem. Ada pula supir yang walaupun mengerti mekanisme mobil dia santai saja. Supir ini pasti sedang sendiri, dia pikir ini bukan mobilnya dan tidak ada pemiliknya yang melihat.
Gas berarti laju kecepatan ibadah kita menuju ridha Allah SWT. Rem tangan ibarat dosa yang menghambat laju ibadah. Bagaimana mungkin bisa berangkat ibadah, apalagi melaju dengan kencang, jika dosa masih melekat dan belum bertobat kepada Allah?
Jadi, dosa menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah. Al-Imam Al-Ghozali dalam Kitab Minhajul Abidin menjelaskan bahwa dosa menghalangi ibadah pada dua tempat, yaitu: taufik-hidayah dan dikabulkannya ibadah. Taufik dan hidayah dibutuhkan oleh manusia untuk mengerti bahwa dia harus beribadah kepada Allah, kemudian mau beribadah, mengerti jalan-jalannya, mau mengambil jalan yang terbaik, dan sangat berharap agar ibadahnya diterima. Karena setelah beribadah belum tentu diterima oleh Allah. Dosa yang masih melekat dan belum ditobati akan menutup jalan diterimanya ibadah itu.
Malam ini malam kesebelas. Pak Bakri menyimak dengan baik pengajian Ustaz Sobar yang disampaikan sebelum tarawih. “Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT kita memasuki puluhan kedua Ramadhan, yaitu puluhan magfirah (ampunan) Allah SWT. Allah SWT meluaskan magfirah-Nya seluas-luasnya. Barang siapa bertobat dan memohon ampun kepada Allah pasti diterima tobatnya. Oleh karena itu, bersegeralah menuju magfirah Allah dan menuju surganya yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” Tak terasa bayangan pikiran Pak Bakri sampai pada peristiwa salat yang sering ditundanya sambil tidak berjamaah. Satu dua orang teman guru mengajaknya untuk salat zuhur berjamaah di masjid sekolah tapi dia lebih memilih duduk di kantor sambil ngobrol atau sekadar meluruskan kaki. “Ya Allah, mengapa aku begitu? Sepertinya ada hawa yang menahanku untuk tidak salat berjamaah.” Pak Bakri tidak sadar bahwa ada kabut dosa yang menghalanginya. Dosa emosional dan ringan tangan di rumah. Kabut dosa ini mengalir masuk ke dalam hatinya. Menyekat cahaya niat yang memancar untuk menyentuh tombol energi salat. Jika beruntung cahaya niat ini cukup kuat menembus kabut penyekat. Masih cukup lurus untuk sampai ke tombol pengaktif energi salat. Tentu dengan intensitas cahaya yang tidak sebesar jika tidak ada kabut penyekat. Jika cukup kuat untuk mengaktifkannya, maka Pak Bakri akan salat dengan ogah-ogahan. Jika tidak cukup kuat maka dia akan menunda salatnya.
Apakah Pak Bakri tidak mendapat hidayah dari Allah SWT untuk salat zuhur berjamaah pada awal waktu? Dalam satu pengajian Pak Bakri pernah mendengar ustaznya menyampaikan hadis Rasulullah SAW (HR Muslim) yang artinya, “Seandainya kalian melaksanakan salat di rumah sebagai kebiasaan orang yang tidak suka berjamaah, niscaya kalian telah meninggalkan sunah Nabi, pasti kalian sesat. Aku benar-benar melihat di antara kita tidak ada yang meninggalkan salat berjamaah kecuali orang-orang munafik yang benar-benar munafik. Sungguh pernah terjadi seorang laki-laki diantar ke masjid, ia terhuyung-huyung di antara dua orang, sampai ia diberdirikan dalam shaf.”
Sampainya hadis ini kepada Pak Bakri adalah wujud cahaya hidayah Allah SWT. Hidayah Allah SWT senantiasa sampai kepada hambanya dalam wujud Alquran, Alhadis, dan tanda-tanda kebesaran Allah lainnya. Jika kemudian Pak Bakri tetap tidak melaksanakan perintah dalam hadis itu, maka yakinlah ada kabut dosa yang membentuk sekat penghalang antara cahaya hidayah dengan hatinya. Allah SWT berfirman (QS 4:79) yang artinya, “Apa saja bentuk bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari kesalahanmu sendiri.” Juga tidak bisa menimpakan kesalahan kepada setan atau siapa pun, sebagaimana firman Allah SWT (QS 14:22) bahwa setan berkata yang artinya, “Maka janganlah engkau menyalahkan kepadaku, tetapi salahkanlah dirimu sendiri.”
Akhirnya, Pak Bakri melaksanakan salat zuhur pukul 13.00. Ketika salat Pak Bakri berusaha untuk khusyuk. Cahaya khusyuk yang aktif memancar lurus siap menyentuh tombol energi penghubung ibadah salat dengan niat akhiratnya. Tiba-tiba merambat masuk kabut “makanan haram”. Membentuk sekat penghambat sampainya cahaya khusyuk ke tombol energi penghubung di dalam hatinya. Cahaya khusyuk masih mampu menembusnya. Tapi, sinarnya sudah tidak sempurna lagi. Kadang-kadang sampai kadang-kadang tidak. Ketika cahaya ini sampai dia khusyuk. Ketika tidak sampai pikirannya pun menjadi liar. Bayangan-bayangan pengalaman yang tidak layak tiba-tiba muncul di tengah salatnya. Semakin berusaha dihilangkan semakin banyak yang datang. Silih berganti tak terkendali.
Di suatu pertemuan di kampungnya Pak Bakri mendengar obrolan antartetangga, “Heran, setiap salat dari awal silih berganti bayang-bayang peristiwa dalam pikiranku. Mulai dari perjalanan di tol, loncat ke si Fulan yang tertawa terbahak-bahak, sapu yang tergeletak di dapur, hutang yang belum dibayar, terus dan terus sampai akhir salat. Bagaimana, ya?” Tetangganya yang lain dengan tertawa menjawab, “Ah biasa, aku juga begitu. Setiap aku lupa menyimpan sesuatu, sewaktu salat langsung terbayang lagi tempat aku menyimpannya tadi. Ha ha ha...”
Pembicaraan seperti ini menjadi topik yang sangat biasa di kalangan kebanyakan umat Islam. Bahkan di seluruh dunia. Karena sangat biasa maka tertanamlah dalam pola pikirnya bahwa keadaan salat seperti itu adalah sesuatu yang wajar. Tidak pernah terlintas sedikit pun ada orang yang mampu khusyuk sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT (QS 23:2). Jika pun ada dianggapnya mitos para wali dahulu, yang tidaklah mungkin dicapai olehnya. Sesungguhnyalah yang menghalanginya untuk khusyuk adalah dosa yang masih melekat yang membantuk kabut di hatinya.
Kabut dosa menghalangi sampainya taufik-hidayah ke dalam diri seseorang. Taufik-hidayah senantiasa memancar dari Allah Ar-Rohman Ar-Rohim. Memancar bersama rahmat lain yang bersifat universal (rahmatan lil ‘alamin). Kabut dosa “musyrik” membentuk sekat hitam yang tebal dan kuat yang mencegah seluruh cahaya taufik-hidayah. Pemilik kabut dosa ini akan menjadi kufur. Na’udzubillah. Dia tidak mengerti bahwa harus beribadah kepada Allah SWT. Dia berkata, “Saya beribadah dan punya tuhan juga. Tapi namanya bukan Allah SWT. Dan, apa bedanya? Yang penting hati dan keyakinan saya mengatakan begitu. Tuhan inilah yang menciptakan saya dan harus saya ibadahi.” Orang seperti ini termasuk kafir (QS 23:117) dan akan mendapat azab Allah (QS 26:213). Karena hidayah Allah SWT dalam bentuk Alquran, Alhadis, dan ayat-ayat Allah lainnya terpampang jelas di hadapannya, tapi dia tidak mau memandangnya.
Pak Bakri sudah berdiri di antara jamaah Tarawih di barisan pertama. Sungguh, hatinya sangat rindu untuk bisa salat khusyuk. Rindu pula dia untuk salat berjamaah di awal waktu. Dari pengajian tadi dia paham bahwa dosanyalah yang menghalanginya selama ini. “Ya Allah, sungguh banyak dosa yang telah kuperbuat. Selama ini aku tidak menyadarinya. Kalau bukan karena rahmat-Mu aku tak akan mengetahuinya. Sebagaimana Engkau telah membukakan hatiku untuk menyadari dosa-dosaku, Ya Allah, bukakanlah hatiku untuk bersegera menuju magfirah-Mu dan menuju surga-Mu yang luasnya seluas langit dan bumi yang Engkau sediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Amin.”
MUTIARA HIKMAH:
1.Manusia sering tidak menyadari dosanya yang banyak. Yang diketahuinya adalah dia tidak pernah salat awal waktu, tidak berjamaah, dan tidak pernah bisa khusyuk dalam salatnya. Dan banyak lagi ibadah mahdhoh yang tidak bisa dikerjakannya dengan baik, seperti tidak salat sunah, tidak bisa tadarus Alquran dan sebagainya.
2.Ternyata lemah bahkan terhalangnya dia beribadah kepada Allah SWT adalah tanda-tanda akan dosanya yang banyak.
3.Agar manusia mau dan mampu rajin beribadah dan merasakan nikmatnya ibadah, tidak ada jalan lain kecuali membersihkan diri dan dosa-dosanya.[aw]
* Ir. Anom Wiratnoyo, MM adalah Kepala SMA pada Yayasan Pendidikan Insan Kamil, Bogor, Jawa Barat. Artikel ini merupakan penggalan dari seri tulisan renungan ramadhan untuk Jam’an Marhuman Indonesia. Alumnus Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) Angkatan ke-4 ini juga seorang ustaz senior dan dapat dihubungi di telepon: 0251-332307.
0 komentar:
Posting Komentar