Pada saat mengikuti lomba memancing, saya diprotes seorang teman yang juga mengikuti lomba. Dia bilang bahwa saya tidak serius dalam berlomba, lebih banyak bersenang-senang daripada berjuang untuk memperoleh kemenangan. Saya katakan bahwa saya berbahagia dengan keadaan saya, tapi bukan berarti tidak berusaha memperoleh kemenangan. Berbagai cara memancing yang telah saya kuasai sudah dikerahkan seluruhnya, begitupula dalam hal meramu umpan. Kalau ternyata yang saya dapat hanya 6 ekor ikan, sementara teman saya tersebut memperoleh 16 ekor ikan, kenyataannya saya bahagia.
“Kalau kita bisa sukses memperoleh kemenangan, itu baru kebahagiaan sesungguhnya,” bantah teman tersebut. Karena, untuk memperoleh kemenangan seorang pemancing harus mendapat ikan yang paling besar atau terberat saat ditimbang. “Yang tertawa belakangan, itulah yang tertawa bahagia,” lanjutnya.
Makna Kebahagiaan
Benarkah yang dikatakan teman tersebut? Apakah kita harus sukses dahulu untuk mendapatkan kebahagiaan? Haruskah kita tertawa belakangan, dengan kata lain bahagia itu diperoleh belakangan? Di sini rupanya perlu kita benahi beda antara “kesenangan” dan “kebahagiaan”.
Sering kita dengar ungkapan, “Uang tak bisa membeli kebahagiaan”. Kenyataannya banyak orang kaya, hartanya berlimpah, namun tidak bahagia. Sementara ada orang yang tidak punya uang tapi bahagia. Banyak juga orang yang tidak punya uang juga tidak berbahagia. Karena harus diakui pula bahwa tidak punya uang juga bikin susah.
Kebahagiaan adalah suatu pandangan hidup, suatu sikap mental, buah pikiran dari sifat-sifat optimisme, ketekunan, cinta, dan pemenuhan. Kebahagiaan bukan berarti merasa senang terus-menerus, atau mengalami perasaan yang menyenangkan sepanjang waktu. Tapi, kebahagiaan tidak berubah meski situasi atau kondisi berubah.
Pada kasus di atas, teman saya tersebut memiliki tujuan jelas, mempersiapkan segala sesuatunya untuk sebuah kemenangan, hingga bisa pulang dengan rasa puas, menang, dan bahagia. Sehingga ia terjebak dalam perangkap kebahagiaan. Ia keluarkan biaya yang tidak sedikit untuk peralatan memancingnya, biaya yang banyak untuk umpan ikan, dan pikiran yang terus menerus terfokus pada kemenangan. Ia mencoba membeli kebahagiaan. Hasilnya, sampai kami pulang saat usai lomba, ia tidak berbahagia.
Bahagia Dahulu, Kemudian Sukses
Orang-orang bahagia menyadari bahwa kesusksesan adalah bukan tujuan akhir, hingga mereka selalu berpikiran positif. Berpikir positif terhadap cara atau jalan yang mereka tempuh, dan positif terhadap tujuan. Mereka tidak memetakan dalam pikiran, bahwa untuk bahagia harus menang, harus sukses, namun menyiapkan mental untuk berbahagia.
Mereka berbahagia bisa meluangkan waktunya yang sedikit, untuk melakukan kegemarannya. Mereka senang dapat bertemu dan berbincang dengan komunitasnya, saling bertukar pikiran dan pengalaman. Pikirannya tidak terbebani hal-hal yang memberatkan. Sehingga, meski mereka tidak memperoleh kemenangan, namun tetap dapat menikmati apa yang mereka jalani atau yang mereka perjuangkan.
Sementara, orang yang berpikir harus sukses baru bisa bahagia, kemudian tidak memperoleh apa yang dikejarnya, maka kita tahu apa yang diperolehnya: Kekalahan dan Ketidakbahagiaan.
Bukankah kesuksesan didapat bila kita dapat mencapai target? Artinya, jika target tersebut terpenuhi, maka kita sukses. Jadi, kalau target saya memancing adalah mendapatkan beberapa ekor ikan, tujuan saya adalah refreshing, melepaskan penat dari rutinitas yang membelenggu, bertemu dan berbincang dengan teman-teman untuk saling berbagi cerita. Dan, saat semua itu saya dapatkan, artinya saya sukses. Hal ini bukan berarti karena saya hanya mempunyai target yang lebih rendah dibanding teman saya tersebut; semua pemancing dalam lomba, menginginkan keluar sebagai pemenang. Tapi, saya tanamkan sejak awal, sebuah metal untuk berbahagia. Sehingga, saya tetap berbahagia kendati kalah. Karena, dalam pertandingan ada menang dan ada kalah.
Perangkap Kebahagiaan
Dengan uang, orang bisa saja membeli kesenangan, harta benda, keamanan, dan kekuasaan. Bahkan, status pun bisa dibeli di negeri ini. Tapi, mari kita perhatikan kenyataan yang ada.
Cara utama yang dilakukan kaum konglomerat dalam memperoleh kekayaannya adalah dengan mengorbankan kesenangan, juga kebebasannya. Mereka cenderung menghabiskan waktu untuk melipatgandakan hartanya untuk membeli kesenangan. Bila kesenangan itu terus menerus didapatkan, maka mereka akan terbiasa dalam kesenangan. Sehingga, kesenangan tersebut menjadi biasa dan akhirnya membosankan. Atau berapa banyak kaum selebritas kita yang terjebak dalam pesta minuman keras, narkoba, dan seks bebas. Mereka coba membeli kesenangan, sebuah cara yang sia-sia yang justru menjerumuskan mereka ke arah berlawanan.
Sedangkan kesenangan memiliki harta benda, layaknya menghilangkan dahaga dengan meminum air laut, maka berapa pun harta benda yang kita miliki, kita akan merasa kurang. Kalau harta benda dijadikan ukuran kebahagiaan, maka nota bene orang-orang kaya adalah orang yang paling berbahagia. Praktiknya, kebahagiaan mereka hanya sedikit di atas rata-rata. Rasa takut dan kekhawatiran atas kehilangan harta benda yang mereka miliki, membuat mereka membeli rasa aman, namun selalu timbul ketakutan dan kekhawatiran baru, terus berulang.
Kini kita perhatikan para penguasa di negeri ini. Bandingkan saat sebelum dan setelah mereka memperoleh kekuasaannya! Begitu orang berkuasa, maka dia akan kehilangan kekuasaan atas hidupnya sendiri. Karena, ada begitu banyak orang yang harus dibuat senang dan wajib ditemui. Ada banyak orang yang harus dilobi, dan ada banyak orang harus dibohongi. Sedangkan status atau jabatan mereka bagai telur di ujung tanduk. Mereka senantiasa resah akan ada yang menjegal untuk mengambil status yang dimiliki. Dan status, setinggi apa pun Anda mendaki, akan selalu ada orang di atas Anda.
Menjadi Orang yang Berbahagia
Orang yang berbahagia menyadari betul arti kesenangan, bahwa kesenangan adalah hal yang baik, tapi juga ibarat tanah tandus untuk kehidupan, bukan makanan. Orang-orang bahagia tahu, sebanyak apa pun uang yang mereka miliki, mereka membatasi harapan-harapannya. Karena, status kebendaan adalah kelemahan orang-orang yang takut melihat diri sendiri, hingga terus menghadapi rasa takut mereka yang sejati. Orang-orang yang berbahagia tidak hanya membangun kekuatan melulu, tetapi mereka juga mencari dan memperbaiki kelemahan maupun kesalahan di masa lalu. Mereka tidak mengubur kenangan buruk yang menimpanya, melainkan menjadikan kenangan buruk tersebut menjadi penyemangat hidupnya.
Orang-orang yang berbahagia tidak mengejar uang, mereka mengejar hasrat atau keinginan yang kuat. Mereka tidak mau disiksa oleh pikiran untuk mendapatkan lebih banyak uang. Status bagi orang-orang yang berbahagia adalah keyakinan terhadap Tuhannya, keluarga bahagia, teman-teman akrab, dan kebanggaan atas pekerjaan atau apa yang mereka kerjakan.
Jadi semua tergantung tujuan hidup Anda!
Anda ingin mengejar kesuksesan dahulu, baru kemudian merasa bahagia, atau ingin menjadi orang-orang yang berbahagia.
Semoga Berbahagia…[ms]
* Mugi Subagyo adalah praktisi SDM di perusahaan multinasional, pengamat Teknologi Informasi, graphic designer, senior di dunia percetakan, dan pemerhati bahasa dan sastra Indonesia. Mugi adalah alumnus Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) Angkatan 2. Ia dapat dihubungi melalui email: mugisby@yahoo.co.id
0 komentar:
Posting Komentar