Oleh: Nathalia Sunaidi
Malam lalu mobil saya terserempet sebuah sepeda motor ketika hendak ambil jalur kiri untuk keluar dari antrian macet. Tiba-tiba dari sebelah kiri sebuah motor menabrak kaca spion saya dan terjatuh. Kontan saja sopir saya turun untuk melihat keadaan pengendara motor itu. Di sana sudah berhenti seorang pengendara motor lainnya untuk membantu. Masih ada orang yang berniat menolong, pikir saya.
Setelah dilihat ternyata keadaan kedua pengendara motor yang terjatuh itu baik-baik saja. Celakanya, kedua orang itu dalam keadaan mabuk dan tubuhnya penuh tato. Begitu melihat penampilan mereka, pengendara motor yang tadinya berniat menolong langsung tancap gas dan pergi. Gawat, pikir saya.
Untung sekali sopir saya orang yang sabar dan tidak penuh emosi. Dia meminta maaf tanpa berpikir lagi siapa yang sebenarnya salah. Tapi mereka menampar sopir saya dan mengancam supaya sopir saya memberi mereka uang seratus ribu atau dia tidak akan selamat.
Lebih baik mengalah, mungkin begitu yang ada di dalam pikiran sopir saya. Lalu, dia langsung memberikan uang itu. Ketika kami hendak pergi, tiba-tiba pengendara motor itu meninju pintu mobil saya dan meminta dibukakan kaca jendela, atau “Kalian semua tidak selamat!” begitu ancamnya. Setelah dibukakan kaca jendela, ternyata mereka meminta uang lagi untuk pengobatan, walaupun mereka terlihat sangat sehat. Dengan menimbang kondisi mereka yang dalam keadaan mabuk, saya berikan uang yang mereka minta. Setelah menerima uang mereka menancap gas dan pergi dengan kencang.
Setelah kejadian itu kami semua terdiam. Walaupun saya terlihat tenang ketika menghadapi pengendara mabuk itu, tapi terasa juga dengkul saya lemas dan jantung berdetak keras.
Setiba di rumah, mama saya membahas kejadian tadi. Menurut mama, kejadian itu merupakan faktor disengaja, seperti yang biasa dia tonton dalam acara-acara kriminal di televisi. Pacar saya juga bercerita beberapa hari lalu di komplek perumahannya ada seorang polisi yang ditembak di kepalanya ketika memergoki pencurian mobil.
Dia juga pernah diintai sepeda motor lainnya ketika ia sedang mengendarai motor di larut malam hari. “Kamu ya yang kemarin menabrak adik saya?!” teriak si pengendara sementara teman boncengannya memegang sebuah kayu. Melihat itu, pacar saya langsung menghindar dan memasuki daerah yang cukup ramai. Sudah banyak kejadian, jika terpancing, mereka akan menggiring ke daerah sepi untuk diambil motornya.
Setelah mendengar semua cerita itu, dan ditambah baru saja mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, seketika itu saya merasa dunia berubah menjadi sebuah tempat yang sangat mengerikan. Namun, saya merasa sangat beruntung karena bisa tetap hidup di dunia yang penuh bahaya ini.
Selama beberapa jam saya merasakan dunia ini begitu negatif dan sangat suram. Walaupun pada saat itu saya juga menyadari perubahan persepsi saya yang sangat drastis dan bertanya-tanya, “Mengapa segalanya langsung menjadi sangat mengerikan?” Baru setelah pikiran saya jernih kembali, berangsur-angsur dunia menjadi lebih baik. Dan, saya bisa menertawakan pikiran-pikiran buruk yang baru saja membombardir kepala saya, serta membuat saya memandang dunia dari sisi yang sangat suram.
Saat itu saya menyadari, bukan dunia yang berubah, tapi pikiran saya yang berubah menjadi negatif. Dunia hanyalah dunia seperti itu adanya, tidak bisa disebut baik atau buruk. Tapi, pikiran sayalah yang membuat persepsi buruk pada dunia. Dan, ketika persepsi pikiran kita berubah maka kita akan menganggap segala sesuatu di sekitar kita yang berubah.
Persepsi pikiran kita bisa berubah dengan sangat cepat dan mengubah cara pandang kita dalam hitungan jentikan jari. Dengan kejadian terserempetnya mobil saya malam itu, saya menyadari betapa beruntungnya saya yang masih bisa memandang dunia ini sebagai tempat yang bahagia, sehingga dunia ini bisa diisi dengan hal-hal yang baik dan berkualitas.
Malam itu saya menyadari bahwa pikiran kitalah yang menciptakan dunia kita. Faktor-faktor di luar kita hanyalah sebagai objek seperti itu adanya, tidak bisa disebut baik atau buruk, tapi persepsi pikiran kitalah yang memberikan label penilaian tentang hal-hal di luar kita.
Persepsi pikiran kitalah yang mempermainkan kita, kita hidup di dalam persepsi kita, dan persepsi pikiran itulah yang menciptakan dunia kita. Tapi, berita baiknya adalah kita bisa melihat seperti apa persepsi pikiran kita dengan menyadari pikiran-pikiran apa yang muncul setiap kali kita berinteraksi dengan objek-objek di luar kita.
Kita bisa memeriksa pikiran apa yang muncul pada saat kita sedang mengantri di bank, berkenalan dengan orang baru, ketika kaki kita terinjak oleh orang lain, mendengar kenaikan gaji teman kerja kita, pada saat teman kita curhat tentang usahanya yang bangkrut, dll. Sadari dan dengarkan pikiran-pikiran apa yang muncul di benak kita saat itu, mana yang sering muncul, pikiran baik atau pikiran buruk, maka seperti itulah sesungguhya isi diri kita.
Dengan cara demikian kita bisa memeriksa diri kita sendiri, apakah isi diri kita lebih banyak hal yang baik atau hal yang buruk. Dan, semakin sering kita memeriksa pikiran-pikiran yang muncul dalam benak kita, maka semakin kita lebih mengenali diri kita sendiri.
Setelah kita lebih mengenali diri kita sendiri maka tentu kita akan bisa menentukan lebih bijaksana hal-hal apa yang perlu diperbaiki/ditingkatkan atau bahkan dibuang dari diri kita, sehingga kita bisa menjadi pemegang kendali dalam proses pembelajaran kita menuju kesadaran yang lebih tinggi.[ns]
* Nathalia Sunaidi adalah seorang hipnoterapis dan penulis buku “Journey to My Past Lives” (Bornrich, 2006).
0 komentar:
Posting Komentar