“Gue denger mereka sudah ikut banyak program pelatihan,” kalimat yang terasa menggantung ini meluncur dari mulut seorang rekan. Ia seorang trainer dengan jam terbang yang panjang. Kami berbincang pada kesempatan rehat kopi saat memfasilitasi sekitar 100 orang dari sebuah perusahaan yang bergerak di bisnis distribusi otomotif.
Selintas pernyataannya menyiratkan keheranan, mengapa setelah banyak program pelatihan diikuti, orang-orang ini lagi-lagi hadir dalam pelatihan ke sekian. Keheranannya semakin bisa dipahami ketika kemudian saya menengok pada topik yang akan kami bawakan. Program dua hari itu akan membahas soal-soal generik, tema-tema mendasar semisal motivasi, kerja sama kelompok, dan komunikasi.
Mendengar ucapan kawan itu, saya senyum saja, diam dan menunggu cerita lebih lanjut darinya.
Dengan antusias lalu tersebutlah sejumlah nama trainer ternama kelas mahal yang pernah memberikan pelatihan pada orang-orang ini. Walau senang mendapatkan kesempatan menjadi fasilitator program macam ini, saya tak kalah heran dengan realitas di atas. Pertanyaan saya juga pertanyaan lama, ” Sungguhkah kita memerlukan itu semua?”
”Gue jadi heran, mau ngapain lagi mereka ikut pelatihan?” lanjut kawan bicara saya.
”Mungkin karena mereka melihat program-program yang mereka ikuti seperti menikmati kopi di kala suntuk. Jadi, kalau pas bete, mereka cari lagi kopi itu. Memang bisa kecanduan juga,” kata saya sambil tetap menjaga senyum
”Sebenarnya, ini pekerjaan rumah buat kita. Kita harus tahu apa yang sebenarnya mereka cari,” kali ini kawan saya melontarkan gagasan yang lebih menggerakkan. Ada pesan perubahan dan dorongan untuk bergerak di balik pernyataannya
Ketika mengomentari para peserta, pada dasarnya saya seperti membuat penilaian terhadap diri sendiri. Kalau terhadap pengalaman peserta di atas kami hanya sempat heran, maka saya lebih dari itu. Saya bahkan sedikit kecewa dan sempat menyesali banyak hal yang saya lewati, terutama yang berhubungan dengan keikutsertaan saya pada sejumlah program pelatihan. Sudah lumayan banyak program pengembangan diri yang saya ikuti, namun ketika saya melihat sejauh mana saya berubah dan bertumbuh, maka kadang saya kurang puas. Dinamika perasaan semacam itulah yang kemudian muncul kembali ketika hari itu saya tahu bahwa banyak peserta yang berulang kali mengikuti jenis pelatihan yang sama.
Mungkin tak ada yang salah dengan program yang ditawarkan. Setiap program yang dijual pasti mengusung niat untuk membantu orang supaya berkembang secara optimal dan mampu mengaktualisasikan potensi diri yang ada. Dengan asumsi demikian, maka semua program itu tentu menawarkan manfaat pada peserta. Pertanyaannya sekarang, manfaat macam apa yang benar-benar dinikmati peserta? Sejauh mana mereka berubah? Apakah pernah ada analisis tentang efektivitas program yang pernah mereka ikuti? Kalau tidak efektif, apa yang salah?
”Buat gue, justru setiap orang harus punya sistem sendiri untuk mengelola proses belajarnya. Nggak semua pendekatan cocok untuk orang yang berbeda,” kalimat ini meluncur ringan dari mulut saya. Seakan udara yang lama tertahan dalam sesak di dada. Mengucapkan kalimat itu membuat saya plong. Ada sebuah keyakinan kuat yang mendasari pernyataan tadi, dan itu yang kemudian membuat saya lega kala bisa mengungkapkannya pada orang lain.
Dan, pembicaraan kami waktu itu sempat melebar, menyinggung soal-soal lebih besar dalam dunia dan tema pengembangan sumber daya manusia.
”Buat loe sendiri bagaimana masa depan pelatihan?” tanya saya memancing.
”Besar sekali prospeknya. Contohnya, ya seperti ini. Banyak orang ikut terus program-program macam ini.”
Saya sempat terganggu mendengar ucapan kawan yang satu ini. Ada sinisme yang membuat mata saya membelalak, ”Jadi, kenyataan ini justru jadi peluang ya?”
Ada yang mengganjal mendengar responnya. Mungkin ganjalan itu muncul karena saya merasa tengah melawan idealisme yang sedang tumbuh. Buat saya, kita justru harus prihatin saat menyaksikan masih banyak orang yang terjebak pada lingkaran program berharga mahal. Keprihatinan yang semoga mendorong kita mencari solusi. Solusi yang ditawarkan pun sebisa mungkin jangan justru semakin membebani mereka. Paling tidak, masih terjangkau secara finansial.
Sebaliknya, saya khawatir cara pandang kawan saya karena dasar orientasi dan pertimbangannya lebih banyak pada soal mengeruk uang sebanyak mungkin dengan cara menjual program-program pelatihan dan pengembangan diri. Semoga bukan itu yang menjadi dasar berpikirnya, yang kemudian mengantarnya pada sebuah kesimpulan tentang peluang bisnis yang besar di bidang ini
Untuk tak terjebak pada sinisme yang makin menggunung, saya bertanya sana-sini. ”Topik apa yang menurut loe masih besar peluangnya?”
”Sekarang sih lagi musim tema change management.” Kawan saya pun mengurai alasannya mengapa topik manajemen perubahan menjadi isu yang masih hangat.
”Emangnya apa sih masalah besar mereka? Apa benar mereka demikian desperado dengan masalah yang dihadapi, sehingga harus mengeluarkan banyak uang dengan ikut program macam itu?” saya tak tahan bertanya lebih tajam. Saya ingin juga mendengar pandangannya tentang hal ini. Mencari tahu apakah orang-orang memang sudah sedemikian putus asa sehingga sangat membutuhkan program pelatihan jenis ini.
Lalu, pembicaraan kami terputus. Kelas harus segera dimulai lagi. Saya dan dia harus bekerja lagi, membimbing peserta mengikuti program. Saya dan kawan ini tampak tak bertemu pada satu titik ide yang sama. Tak apa, kami mungkin memang tengah bergerak dari arah berbeda. Atau sebaliknya, sebenarnya kami berangkat dari titik yang sama, yang sayangnya sedang menuju arah yang berbeda.
***
Hari ini, saya semakin yakin bahwa mestinya kita memang tak perlu terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk bisa bertumbuh secara optimal. Mestinya masalah manusia tak sedemikian kompleks dan ruwetnya, sehingga membutuhkan konsultan besar untuk bisa keluar dari kemelut persoalan yang ada.
Pada saat yang sama, kadang saya khawatir justru saat ini kita ternyata sudah teramat hebat dalam mendramatisir persoalan sederhana kita. Fakta yang biasa saja seringkali kita bingkai dengan kaca buram. Yang akibatnya justru tampak sebagai sebuah masalah besar dan rumit. Bukankah banyak fakta yang bukan masalah? Cara pandang kitalah yang kadang membuatnya jadi masalah.
Di tengah arus berpikir demikian dan dengan berkaca pada banyak kejadian, saya jadi semakin yakin untuk mendorong dan memantapkan gagasan tentang belajar dari keseharian kita.
Pengalaman keseharian kita adalah narasi terbaik yang kita punya. Dan kita bisa belajar dari narasi diri semacam itu, sebagaimana kita bisa belajar dari narasi dan kisah orang lain. Bukankah selama ini kita pernah teramat asyik membaca kisah orang-orang di luar sana? Jadi, pertama-tama kita harus mulai serius belajar tentang narasi diri. Perlahan, kita mulai mempertimbangkan langkah untuk belajar mengubah narasi itu. Bukankah kita sang pencipta narasi kehidupan itu? Kitalah yang memegang kuas untuk melukisi kanvas kehidupan pribadi kita
Kalau awalnya narasi adalah sekadar rekaman realitas lama kita, maka berikutnya narasi diharapkan mampu membantu kita dalam mencipta realitas baru. Ini sejalan dengan gagasan bahwa apa pun di luar sana adalah dunia akibat, sementara dunia sebab ada di dalam pikiran kita. Pikiran kitalah yang menjadi awal realitas di luar sana.
Narasi atau kisah atau tulisan adalah buah dari pikiran yang kita patri dan padatkan. Dengan begitu, menjadi logis saja jika kita berharap bahwa suatu saat narasi bisa menjadi titik tolak untuk mengubah realitas di luar sana. Narasi akan membantu kita untuk mengubah realitas masa depan kehidupan kita
Dengan begitu, menulis (misalnya menulis jurnal) dapat menjadi media yang akan membantu kita merekam, mengembangkan, dan mengubah narasi hidup keseharian kita. Pada titik ini, saya jadi teringat tulisan seorang rekan dalam sebuah komunitas penulisan, yang berujar sebagai berikut:
”Buat saya, menulis juga berbanding lurus dengan perjalanan menuju tingkat kedewasaan dan kematangan tertentu. Saat ini sambil terus belajar caranya menulis dengan baik, saya pikir, saya juga belajar bertumbuh menjadi dewasa. Dan karena saya pikir proses pendewasaan diri berlangsung seumur hidup, maka bisa jadi pelajaran menulis adalah kelas terpanjang yang pernah saya ikuti.”
~ Retnadi A.
Sejalan dengan pandangan kawan di atas, saya sendiri sejak lama mempertimbangkan aktivitas menulis sebagai salah satu jalan terbaik untuk memberdaya diri. Saya membayangkan betapa indah kalau kita mampu menuliskan apa-apa yang kita pelajari dan temukan dari perjalanan hidup di keseharian kita. Pasti ada banyak pelajaran dan hikmah dari kehidupan kita yang layak dituangkan ke dalam tulisan. Dan, tulisan-tulisan itu akan jadi narasi tentang sejauh mana kita belajar dari pengalaman.
Pada saat yang sama, saya juga mengangankan betapa hidup akan makin bermakna kalau kita sungguh mampu berubah sebanyak dan sepanjang tulisan yang sudah jadi buah perenungan kita. Sungguh disayangkan kalau ternyata kita hanya puas dan berhenti sampai pada mampu menuliskan hikmah kehidupan. Sayang kalau kita hanya mampu menuangkan refleksi menjadi narasi, lalu kemudian melupakan semua yang pernah kita tuliskan.
Akan ideal kalau kita sungguh belajar, belajar yang bermakna perubahan yang relatif menetap. Kalau kita mampu mencapai tahapan belajar semacam ini, maka tak ada lagi kisah tentang kita tercebur pada lubang kesalahan yang sama. Maka dengan begitu tulisan kita tak sekadar tinggal menjadi narasi yang menggelikan, seperti saat saya geli melihat betapa sulitnya kita tumbuh menjadi pribadi yang konsisten antara ucapan dan kelakuan.
Kalau kegiatan menulis semakin saya yakini akan menjadi sarana yang efektif untuk memberdaya diri, maka bukan berarti pendekatan lain kemudian menjadi tak berguna. Pada titik ini, saya lebih memilih dan memandang kegiatan menulis sebagai alat yang sangat compatible, bahkan sekadar melengkapi pendekatan pengembangan diri yang lain.
Sekadar contoh, kita dapat mengaitkan kegiatan pelatihan dengan journal writing. Jelas bahwa journal writing akan memberi manfaat jika dijadikan sebuah alat monitoring tentang sejauh mana kita berubah dan bertumbuh seusai mengikuti program pelatihan lain. Kita bisa mengungkap dan menuliskan apa yang terjadi saat sebelum dan sesudah kita mengikuti sebuah program pelatihan. Kita juga bisa mengangkat perenungan kita tentang kendala yang dihadapi dalam menerapkan ilmu dari pelatihan kita. Bisa juga diceritakan bagaimana reaksi lingkungan terdekat saat kita berupaya berubah dan menerapkan hasil dari pelatihan, dan seterusnya dan seterusnya.
Buat saya, contoh sederhana di atas seakan menegaskan bahwa ada sejumlah pilihan agar kita bisa memanfaatkan kegiatan menulis dalam kerangka dan untuk disandingkan dengan program lain. Jadi semakin jelas pula, sesungguhnya kita layak optimis bahwa menulis memang bisa menjadi pintu masuk yang layak diperhitungkan guna membantu kita mengembangkan diri.
Semoga.[adjie]
* Adjie adalah karyawan sebuah perusahaan multi-national. Sehari-hari, selain terus berlatih menulis, ia juga menempatkan diri sebagai Facilitator for Human Resiliency Development (FHRD). Ayah empat orang anak ini adalah peminat tema life balance dan mind empowerment. Ia dapat dihubungi di:
[
0 komentar:
Posting Komentar