"Curious things, habits. People themselves never knew they had them."
~ Agatha Christie
Seorang kawan berkeluh kesah, “Yang bener aja Mas. Masa aku dimaki-maki di depan orang banyak. Kan dia punya ruang kerja, kenapa aku nggak dipanggil ke ruangannya. Kalau empat mata, silahkan kalau mau marah-marah.” Saat bercerita wajah gelapnya jadi makin buram. Tekanan katanya menegaskan betapa ia mencoba bertahan menekan perasaannya.
Aku mendengar baik-baik. Mencoba berempati atas kesal dan mungkin marahnya. Aku berpikir dalam, sambil terheran tak mengerti, mengapa masih saja ada atasan yang seperti ini. Aku mungkin bukan pendengar yang baik, karena saat mendengar hal demikian aku jadi ikutan emosi.
”Maaf Mas. Jujur saja aku ikut kesal mendengar hal macam ini. Hmmm, kalau aku yang dibegitukan, hmmmmm.” Aku tak bermaksud memperkeruh suasana, membuatnya makin panas atau bahkan memancing dan meninggikan emosinya. Aku hanya mencoba jujur, berbagi rasa. Aku pun pernah merasakan kesal sejenis, namun lebih karena beda prinsip. Namun tempat kerjaku sebelumnya sungguh mengajarkan aku untuk tak bermental tempe. Aku diajar oleh lingkungan untuk tidak cengeng. Keberanian dan kenekatanku bertumbuh saat aku bekerja bersama ribuan orang di tengah Papua.
Itu mengapa aku katakan bahwa aku bukan pendengar yang baik. Pendengar yang baik mestinya bisa menjaga jarak dan tak terlibat secara emosi. Dengan begitu diharapkan akan keluar pandagan dan saran yang membangun. Bukannya justru membuat orang makin kesal.
OK, tapi aku tak bermaksud cerita terlampau banyak tentang diriku sendiri. Yang lebih menarik dan mungkin kita bisa belajar adalah membahas kasus hubungan atasan dan bawahan sebagaimana sudah diungkap sedikit di atas.
Tergugah mendengar kisah penuh kesah kawan itu, aku mencoba mencari info lebih lanjut. Dalam peranku sekarang, aku memang tak bisa asal telan kabar yang aku dengar. Aku coba jajaki sumber informasi lain. Semacam cross check dan kaji ulang dari sumber yang berbeda.
Sialnya, sebelum aku bergerak mencari data di lapangan, seorang rekan justru datang tak diundang. Intinya, ia mengajukan surat pengunduran diri, hendak berhenti. Kebetulan yang tak mengenakan. Kebetulan karena aku memang butuh info darinya. Tak mengenakan karena berarti kami harus sibuk lagi mencari karyawan baru sebagai pengganti yang hendak keluar.
Ada banyak hal disampaikan. Aku lebih banyak mendengar. Namun aku belajar bahwa ada pemicu besar yang membuat kawan ini memutuskan resign, berhenti. ”Gayanya itu lho, ampun. Saya kan kerja cari ketenangan Pak. Nah ini, nggak pernah saya bisa santai. Tiap hari stres. Hubungan saya di rumah dengan istri juga terganggu.” Yang dimaksud hubungan dengan istri adalah perkara komunikasinya dengan pasangan, bukan perkara lain.
Lagi-lagi, orang yang sama yang jadi topik pembicaraan. Kami bicara tentang atasan yang sama, yang sebelumnya pernah dikeluhkan oleh kawan yang lain. ”Masa sih dia menegur saya di depan orang lain Pak. Yang saya kerjakan sepertinya tak ada yang baik. Semua salah. Dia hanya melihat sisi-sisi negatif dari apa yang saya kerjakan. Capek juga kalau begini terus Pak!”
Mestinya data macam ini sudah jadi sumber yang cukup. Temanya sejenis, bicara tentang orang yang sama, mengungkap persoalan yang tak juga berbeda. Ini juga mestinya tak perlu terlalu mengejutkan aku. Bukankah memang hal biasa kalau ada masalah hubungan atasan bawahan ? Bukankah memang juga biasa kalau kemudian yang menjadi ’korban’ adalah bawahan. Nyatanya tak semudah memahami teori dari buku. Mengalami langsung kejadian macam di atas nyatanya membutuhkan energi sendiri.
Aku beruntung memiliki akses dan mendapatkan ruang untuk mencari info lebih banyak. Aku berbincang langsung dengan orang yang dimaksud, dengan atasan yang dikeluhkan oleh anak buahnya. Agenda awal pembicaraan kami memang tentang hal lain. Namun aku bisa mencari selah dan celah untuk masuk ke tema yang aku sendiri memang ingin cari tahu.
Hampir tiga jam aku bicara ngalor ngidul, yang semuanya berujung pada pencerahan yang sederhana saja sebenarnya. ”Saya belajar begitu di tempat yang lama. Guru saya di perusahaan sebelumnya begitu mengajarkan saya. Terus terang, saya nyaris keluar di bulan-bulan awal. Tapi akhirnya saya bertahan. Maka saya jadi seperti ini. Kalau nggak ada guru-guru seperti mereka, saya belum tentu menjadi seperti ini,” sang atasan berbagi kisah. Aku tak tahu, apakah yang ia ungkapkan adalah pembenaran, atau sekedar ungkapan tanpa isi.
“Nah dari ratusan muridnya guru Anda itu, berapa banyak sih yang bertahan dan survive?” aku bertanya
Dia tersenyum. “Iya, ya. Mungkin nggak semua orang siap dan kuat,” katanya. Sebuah pernyataan yang sebenarnya tak cukup untuk membayar apa yang telah ia perbuat. Sudah ada korban berjatuhan sebagai akibat gaya pendekatannya.
”Kenapa sih, untuk sadar dan berubah kita harus menunggu korban?” pertanyaan lamaku kala melihat hal-hal lucu macam di atas. Dalam kasus atasan yang satu ini, untungnya ia terbuka dan terkesan menyadari apa yang terjadi. Apakah ia bersedia berubah, kita lihat saja nanti. Minimal aku sudah menyampaikan pandanganku, dan memberi masukan di batas yang bisa aku sampaikan.
Nah, contoh macam ini menjadi menarik, ketika kita lihat juga dalam perspektif kesadaran. Aku jadi khawatir, banyak di antara kita yang sesungguhnya memang kurang memberi perhatian pada diri sendiri, pada apa yang kita lakukan sehari-hari, pada kesadaran. Kita seakan terjebak menjadi makhluk otomatis yang tidak punya pilihan, tidak punya kebebasan memilih respons. Seperti mainan anak, yang kalau tombol ON-nya sudah ditekan, maka otomatis akan bergerak repetitif.
Ini jadi fakta ke sekian yang mengerikan. Mengerikan ketika tahu bahwa kita ternyata tak bertumbuh, tak berkembang. Alasannya? Hingga hari ini aku makin yakin bahwa sebuah pertumbuhan, sebuah perkembangan baru terjadi kala kita mulai belajar menyadari apa-apa yang selama ini tidak kita pedulikan, bahkan tidak kita sadari. Jadi kalau kita melakukan sesuatu demikian repetitif, otomatis dan seakan tanpa kesadaran maka sejatinya itu menjadi kabar yang mengerikan, karena kita tak bertumbuh.
Seorang guru berulang kali mengingatkan bahwa untuk memulai proses pertumbuhan, pertama-tama kita harus membangun niat (intention) untuk makin tanggap, sadar, aware atas kebiasaan-kebiasaan kita. Juga atas keyakinan dan nilai-nilai yang mengarahkan tindakan kita. Hidup dalam tekanan sana-sini, lalu terjebak rutinitas seringkali memang membuat kita tak lagi eling, tak lagi sadar.
Jadi, sebagaimana juga dipesankan oleh seorang guru, akan lebih baik jika kita mengintensifkan usaha mengasah kesadaran di atas. Bertanya tentang apa yang sudah dan akan kita lakukan adalah salah satu pintu masuk untuk sampai pada kesadaran macam itu. Refleksi harian atau mingguan juga bermanfaat, karena akan mengantar kita pada sebuah cara pandang baru. Kita seperti membaca sebuah narasi tentang orang lain. Kita membuat jarak dan belajar makin memahami diri sendiri, atas narasi kita sendiri. Membuat jarak bisa membukakan kaca mata baru, sehingga terbuka pilihan-pilihan baru di luar respon otomatis yang mungkin lama membelenggu kita.
Sebagai penutup coretan pendek ini, ada pesan menarik tentang kesadaran dan kebiasaan yang hendak aku coretkan di sini. Pertama, saat kita melakukan sesuatu tidak dengan kesadaran, maka sesungguhnya kita tak memiliki pilihan di sana. Sementara sudah jelas bahwa untuk bertumbuh kita harus mendapatkan kembali kekuatan kita untuk memilih.
Terakhir. "Everything is habit forming, so make sure what you do is what you want to be doing." Segala sesuatunya adalah perkara pembentukan kebiasaan. Jadi pastikan bahwa apa yang kita lakukan sungguh adalah yang memang ingin kita lakukan, begitu kata Wilt Chamberlain.[ad]
* Adjie adalah karyawan di sebuah perusahaan multi-national dalam industri kimia. Sehari-hari, selain terus berlatih menulis, Adjie juga menempatkan diri sebagai facilitator for Human Resiliency Development (FHRD). Ayah empat orang anak ini adalah peminat tema life balance dan mind empowerment. ‘Petualangan’ Profesionalnya, sebagai praktisi maupun independent facilitator, memberinya kesempatan untuk belajar dan berkarya di sejumlah perusahaan serta client. Ia pernah secara intensif memfasilitasi program outdoor-based training dan terlibat dalam sejumlah projek di area Competency-Based Assessment. Ia dapat dihubungi di:
0 komentar:
Posting Komentar