"Dengan kekuatan jiwa, kita bisa melakukan apa pun yang kita inginkan. Segala aktivitas kita ditentukan oleh kondisi jiwa kita."
~ Eni Kusuma
Kita sepakat bahwa keseimbangan jiwa digambarkan oleh rasa ikhlas, sabar, tenang, tentram, dan damai. Sedangkan jiwa yang tidak seimbang adalah jiwa yang digambarkan oleh rasa marah, benci, malu, tidak percaya bahwa dirinya bisa atau tidak yakin memiliki potensi dan lain-lain.
Kali ini, saya hendak menceritakan tentang kekuatan keseimbangan jiwa ini. Dengan jiwa yang dalam keadaan seimbang, kita bisa melakukan apa pun yang kita inginkan atas perintah otak kita (bukankah otak sebagai dirigen dari segala aktivitas kita? Jika otak kita memerintah jari tangan kita untuk memegang pulpen, maka jari tangan kita akan menurutinya). Sebaliknya, meskipun otak kita memberi instruksi untuk melakukan sesuatu, jika jiwa kita tidak dalam keadaan seimbang maka hasilnya tidak akan maksimal, bahkan gagal (saya akan mengaitkan hal ini dengan peristiwa patahnya pencil hanya dengan satu jari dalam sharing bersama seorang motivator, Johanes Ariffin Wijaya, di Hongkong baru-baru ini).
Namun sebelumnya, izinkan saya memberi contoh lain, mengenai kinerja otak dengan kekuatan jiwa. Ketika suatu saat kita mendapati seorang teman mengatakan pada kita bahwa kita sulit sukses. Parahnya bila hal ini didukung oleh tidak saja argumen yang masuk akal, namun juga didukung sepenuhnya oleh banyak data, testimoni, dan ilustrasi yang akurat mengenai alasan-alasan kenapa kita tidak akan menjadi sukses.
Misalnya, ini sekedar contoh, "Kamu seorang pembantu rumah tangga, lulusan SMU yang tingkat intelejensinya di bawah rata-rata. Mana mungkin bisa menjadi seorang penulis buku dan menjadi seorang pembicara? Apalagi kegiatan kamu yang menunjang untuk itu tidak ada sama sekali, bahkan secara fisik kamu lemah?"
Otak kita memang menerima ini, jika data-data yang tersampaikan memang cocok dengan keadaan kita yang sebenarnya. Namun, jika jiwa kita ikut menyetujuinya, maka kemungkinan besar kita tidak akan berubah atau tetap meyakini keyakinan itu sebagai suatu kebenaran. Sehingga kita akan terbelenggu oleh keyakinan yang salah.
Jika jiwa kita lemah, informasi dari otak tersebut akan membelenggu jiwa kita untuk "tidak percaya pada kemampuan diri". Apalagi jika selama ini kita membiarkan hal-hal negatif masuk ke dalam jiwa kita, misalnya rasa pesimis. Akibatnya, kita akan percaya bahwa kita "tidak bisa". Jika kita sudah percaya bahwa kita tidak bisa, maka kita tidak akan melakukan tindakan untuk mau belajar supaya bisa. Jiwa yang lemah menggambarkan jiwa yang tidak seimbang: penuh rasa pesimis, takut gagal, tidak bergairah dan mudah menyerah.
Lain halnya jika jiwa kita kuat, informasi dari otak tersebut akan dianalisa dahulu. Jiwa yang kuat akan selalu mengatakan "aku bisa". Kenapa? Karena dalam jiwa yang kuat selalu diisi dengan berbagai makanan positif, misalnya selalu mendengar kata-kata motivasi yang mengakibatkan kita selalu optimis. Jika kita sudah percaya bahwa kita bisa, maka kita akan selalu mencari jalan untuk tujuan sukses kita. Selalu belajar dan belajar bagaimana supaya bisa. Dan jiwa yang kuat ini menggambarkan jiwa yang seimbang: penuh rasa optimis, bergairah dalam meraih tujuan, tidak pernah ada rasa takut gagal karena baginya yang ada hanya belajar.
Yup, ini berarti dengan keseimbangan jiwa, kita bisa melakukan sekaligus mengontrol apa pun yang akan kita lakukan. Jika kita gagal maka kita akan menjadikan hal itu sebagai pembelajaran, bukannya merasa putus asa. Sehingga hasil yang kita dapatkan akan maksimal. Ini juga berarti bahwa segala aktivitas kita ditentukan oleh kondisi jiwa, yaitu bagaimana kondisi jiwa kita yang terpatri dalam alam bawah sadar kita ketika melakukan sesuatu.
Bagaimana pendapat Anda?
OK, sekarang saya akan menghubungkan kekuatan jiwa yang seimbang ini dengan peristiwa patahnya pencil hanya dengan satu jari.
Saya takjub sekaligus terkesima ketika saya bisa mematahkan pencil hanya dengan satu jari telunjuk saja (sesuatu hal yang semula menimbulkan kontroversi di otak saya). Ya, saya BISA. Saya belajar ini dari motivator, inspirator sekaligus pesulap motivasi Johanes Ariffin Wijaya (JAW) ketika sharing bareng pada Minggu, 21 Januari 2007 di lapangan rumput Victoria Park, Hongkong.
Sharing yang dihadiri teman-teman TKW berlangsung sangat meriah dan sangat antusias. Bahkan Johanes Ariffin Wijaya bersama istri beliau yang cantik, Mbak Mimi ditarik-tarik buat pose bersama.
Motivasinya diawali dengan kalimat motivasi dari Andrie Wongso, motivator no 1 Indonesia:
"Jika kita keras terhadap diri kita, maka kehidupan akan lunak terhadap kita. Sebaliknya, jika kita lunak terhadap diri kita, maka kehidupan akan keras terhadap diri kita."
Dan Johanes Ariffin Wijaya mengilustrasikan kalimat motivasi di atas dengan perihal patahnya pensil hanya dengan satu jari. Jika kita keras terhadap diri sendiri (yakin bisa dan tidak ragu-ragu) maka pensil akan patah (lunak). Begitu juga sebaliknya, jika kita terlalu lunak terhadap diri kita, maka pensil akan keras (tidak terpatahkan) dan justru akan membuat jari kita sakit.
Saya gagal dua kali. Pertama melakukan (atas bimbingan Johanes Ariffin Wijaya) jari telunjuk saya sakiiiiiit sekali, kedua melakukan, sakit sekaliiiiiiiii...dan setelah mencoba ketiga kalinya saya kaget, "Ih...sudah patah toh? Berarti saya BISA, dong?" Dan Johanes Ariffin Wijaya menggesturkan jempol tangannya untuk saya, maksudnya:"Luar Biasa!"
Terus apa hubungan antara kekuatan "jiwa yang seimbang" dengan peristiwa patahnya pensil dengan satu jari? Erat, sangat erat. Pengalaman inilah yang hendak saya ceritakan. Ketika jiwa saya tidak seimbang, saya tidak bisa mematahkan pensil tersebut, bahkan sampai gagal dua kali. Pada saat itu jiwa saya menggambarkan rasa takut: takut gagal, takut jari sakit, takut jari saya patah, takut nanti pulang ke Indonesia tanpa telunjuk, takut tidak bisa, tidak yakin bisa dan lain-lain. Sehingga jiwa saya penuh gejolak, kebimbangan atau tidak dalam keseimbangan. Hal ini bisa diilustrasikan dengan sebuah neraca. Jika jiwa tidak seimbang (jiwa yang bergejolak), ibarat neraca yang mengalami gerakan-gerakan naik turun (tidak imbang-imbang gitu, yah). Jika jiwa yang seimbang (tenang), ibarat neraca yang seimbang (tidak ada gerakan naik turun).
Mendapati kegagalan saya, apa yang saya lakukan? Saya segera ambil tindakan yaitu, membenahi jiwa saya terlebih dahulu yang saya sadari, masih lemah secara kualitas. Saya harus menguatkan jiwa saya. Saya harus yakin bahwa saya BISA. Saya harus menghancurkan opini-opini di otak saya yang berusaha melakukan upaya pembenaran tentang kegagalan saya.
Saya akhirnya mencoba untuk ketiga kalinya. Konsentrasi penuh dan melakukan afirmasi: "Tidak ada kata gagal. Yang ada hanya BISA atau belajar!" (pada waktu mengatakan ini saya penuh emosi). Kemudian saya melakukan afirmasi lagi: "Ah, cuma mematahkan sebatang pensil kok." "MUDAH bagi saya." (ketika mengatakan ini, saya tiba-tiba rileks...tenang gitu ya....karena sepertinya saya SUDAH BISA, sehingga berani bilang "mudah").
Daaaaaan.......PRAK.......(pensilnya patah). LUAR BIASA !!!
Terimakasih Johanes Ariffin Wijaya!!
Dalam kesempatan ini, saya juga akan menceritakan tentang berhasilnya saya dalam menghancurkan mental block, yaitu takut tampil di depan umum. Terus terang, ketakutan terbesar dalam hidup saya adalah tampil atau berbicara di depan umum. Ini sudah terbentuk dalam jiwa saya yang sudah terpatri dalam alam bawah sadar saya dan sudah mendapat persetujuan dari otak saya.
Saya berhasil, karena saya yakin BISA dan melakukan afirmasi penuh emosi: "Tidak ada kata gagal, yang ada hanya sukses atau belajar." Kemudian rileks dengan mengatakan dan membayangkan "Sudah Bisa". Di saat itu saya berada dalam ketenangan dan dengan mudah melakukan tindakan. Jika saya belum mempunyai pengalaman, kenapa saya tidak menciptakan pengalaman pertama?
Meskipun hasilnya masih belum seperti apa yang saya bayangkan. Namun bagi saya ini adalah kesuksesan pertama saya untuk tampil di muka umum, yang mana selama ini kegiatan saya hanya berada di dalam rumah yaitu melakukan tugas sebagai pembantu rumah tangga, serta belum memilki pengalaman dalam berkegiatan di luar rumah. Dan Johanes Ariffin Wijaya sempat "memuji" (bahasa orang negatif "menghina") saya: "Luar Biasa...bagi yang baru loncat"....he he he...
Saya percaya, jika kita percaya kita BISA dan sudah terbentuk hal ini dalam jiwa kita, maka kita akan BISA.
Terimakasih untuk Bapak Motivator No. 1 Indonesia, Andrie Wongso yang kata-kata motivasinya selalu akan saya patri dalam jiwa sepanjang perjalanan hidup saya. Salam Sukses dan Salam Luar Biasa![ek]
* Eni Kusuma adalah alumnus SMU 1 Banyuwangi yang saat ini bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga (TKW) di Hong Kong. Di sela-sela “kesibukannya” sebagai “pemburu devisa”, ia masih sempat aktif sebagai moderator milis Backhomers, serta jadi “aktivis” di milis De Kossta dan milis Penulis Best Seller. Eni adalah penggagas rubrik "So What Gitu Loh!" di majalah “PEDULI” yang terbit di Hongkong. Eni suka menulis cerpen, puisi, dan pernah menulis sebuah naskah novel. Puisi Eni bersama 100 penyair Indonesia dibukukan dalam buku berjudul "Jogja 5,9 Skala Richter". Eni suka menulis artikel yang ditulis berdasarkan pengalaman hidupnya sebagai pembantu rumah tangga, serta proses pembelajarannya melalui bahasa tulisan. Saat ini, kumpulan artikel motivasi Eni telah terbit menjadi sebuah buku berjudul “Anda Luar Biasa!!!” (Fivestar, 2007). Eni dapat dihubungi di: eni_kusumaw@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar