Dalam rentang waktu Januari-Februari 2007, saya tiga kali diundang oleh tiga perguruan tinggi berbeda di Yogyakarta dan Semarang. Ketiganya mengundang saya dalam kapasitas sebagai praktisi dan motivator entrepreneur untuk mengisi Kuliah Umum (studium general). Selama saya mengisi acara, ada “catatan besar” yang saya peroleh. Catatan besar itu lebih mengarah pada kegelisahan saya akan masa depan para mahasiswa kita. Terutama terkait dengan ke mana mereka akan berlabuh setelah mereka lulus kuliah. Artikel ini mencoba mengupasnya.
Disadari atau tidak, saat ini keadaan mahasiswa kita masih sangat mengkhawatirkan. Hal ini tidak saja karena tuntutan persaingan yang luar biasa, melainkan orientasi mahasiswa yang sangat praktis pragmatis. Coba tanya, ke mana mereka setelah lulus kuliah? Jawaban singkat yang muncul adalah “mencari kerja”.
Kata-kata “mencari” saya temukan dalam tiga kali pertemuan di tiga kampus yang berbeda. Mungkin sudah hal yang umum dan tidak ada yang aneh melihat jawaban para mahasiswa tersebut. Hanya saya khawatir, “mencari” adalah sama dengan “belum menemukan sesuatu”. Itu artinya mahasiswa kita selama 4-5 tahun kuliah tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan, ilmu yang mereka dapatkan sering kali tidak sesuai dengan apa (pekerjaan) yang mereka cari. Misalnya, mahasiswa teknik bekerja di perbankan begitu pun sebaliknya. Itu artinya apa? Mahasiswa kita kebanyakan memperoleh ilmu yang setengah-setengah alias tidak matang. Untuk memahami masalah ini, saya kutipkan sebuah kisah inspiratif di bawah ini.
Diceritakan, ada seorang pemuda yang mengendap-endap untuk mencapai sebuah pohon mangga. Buah yang yang bergelantung membangkitkan seleranya. Beberapa saat kemudian, ia berusaha meraih beberapa buah untuk mengobati air liur yang mulai memenuhi mulutnya. Namun, sontak ia dikagetkan oleh suara ayahnya yang tiba-tiba saja muncul dari arah belakang. “Jangan anakkku, urungkan niatmu memetik buah itu!” tegur sang ayah bijak. Pemuda itu lantas berpaling ke arah ayahnya, sementara tangannya seperti kejang menggapai angin.
Dengan sigap dan penuh kelembutan, sang ayah meraih tangan anaknya. Lalu, membawanya berkeliling mengitari kebun pohon mangga. Sambil berjalan-jalan santai, ia mulai menasihati anaknya. “Anakku, memetik buah itu bukanlah tujuan yang hendak kita capai. Tujuan yang sebenarnya adalah mengambil manfaat dari buah itu setelah kita memetiknya. Ayah kira, buah yang belum matang itu tidak banyak memberikan manfaat bagi manusia. Oleh karena itu, tunggulah beberapa saat hingga buah itu matang dan kita dapat mengambil manfaat darinya.” Begitu nasihatnya.
Dari uraian kisah di atas, kita dapat mengambil makna bagaimana seseorang perlu bersabar dalam meraih kesuksesan. Sabar dalam pengertian ini adalah memahami apa (what), kapan (when), di mana (where) dan bagaimana (how) sebuah keputusan itu diambil. Selama ini, hidup kita lebih banyak didominasi oleh keputusan-keputusan yang dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat materi semata tanpa memahami akibat yang ditimbulkan. Mencari pekerjaan bertujuan untuk mendapatkan uang, mendirikan usaha bisnis juga untuk memperoleh uang, termasuk mencari ilmu (saat ini) entah itu kuliah S-1, S-2, atau S-3 tidak jauh dari tujuan utama untuk menghasilkan uang. Siangkatnya, uang saat ini sudah menjadi tujuan utama dalam hidup. Bahkan, karena uang, orang menjadi jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesabaran.
Empat tahun seseorang dididik, diajarkan, dan dilatih untuk bisa menjadi seorang sarjana. Atribut sosial kesarjanaan selalu identik dengan status sosial. Ketika orang menjadi sarjana, maka ia sudah masuk di kelas menengah. Status sosial inilah yang mestinya disikapi secara cerdas oleh para mahasiwa kita saat ini. Jika tujuan utama kuliah adalah masih mencari kerja, maka yang ia dapatkan pun adalah kekecewaan. Barisan pengangguran yang terus bertambah jumlahnya tiap tahun memberi pelajaran berharga pada kita semua betapa kuliah ternyata tidak mampu menjawab masalah pengangguran. Kondisi ini mesti disikapi secara cerdas oleh para calon sarjana kita jika hendak lulus kuliah.
Ada tiga cara efektif dan cerdas agar kita tidak tergantung sebatas mencari kerja. Namun, setelah kuliah harus bisa menciptakan lapangan kerja. Cara cerdas ini antara lain: Pertama, mulailah dengan cinta. Mengapa cinta? Karena, dengan punya cinta maka segalanya akan terasa lebih mudah dan ringan. Jika Anda cinta musik, Anda punya peluang (opportunity) besar untuk buka usaha studio musik. Jika Anda cinta otomotif, Anda punya peluang besar untuk membuka bisnis bengkel atau cuci motor/mobil.
Jika Anda cinta memasak, maka Anda punya peluang besar untuk buka usaha rumah makan, restoran, atau kursus memasak. Jika Anda cinta menulis, maka Anda punya peluang besar untuk buka usaha kursus jurnalistik. Termasuk jika Anda cinta bahasa asing, maka Anda punya peluang besar untuk buka kursus bahasa asing. Dengan cinta itulah, minat dan hobi bisa berubah menjadi bisnis yang menggiurkan. Cobalah Anda mencintai apa yang menjadi minat dan hobi Anda.
Kedua, tindaklanjuti dengan aksi. Artinya, perlu tindakan konkret. Mencintai sesuatu tidak akan bermakna jika tidak ada langkah nyata. Wirausaha membutuhkan semangat aksi. Saya menganut ajaran: “Lakukan dulu, soal perencanaan dan lain sebagainya bisa dikerjakan belakangan.” Jika belum apa-apa sudah takut ini takut itu, maka bisnisnya tidak akan pernah jadi. Karena, sebenarnya ketakutan itu diciptakan sendiri oleh kita, bukan orang lain.
Ketiga, buktikan dengan budi pekerti. Artinya, setelah cinta mewujud menjadi aksi, maka wirausaha perlu budi pekerti yang baik. Berbisnis perlu aturan main yang baik, tidak boleh sikut sana sikut sini. Kejujuran dan keramahtamahan pada para konsumen akan semakin memikat dan mengikat mereka untuk kembali lagi bertransaksi dengan kita.
Ketiga cara di atas bisa dibuat formula sebagai berikut. Ibarat rumah, cinta adalah fondasi, tiangnya adalah aksi, atap-atapnya adalah budi pekerti. Karena itulah, untuk mereka yang akan lulus kuliah, melangkahlah dengan kaki keyakinan untuk menciptakan lapangan kerja dan tidak lagi mencari kerja. Jangan takut gagal, karena kegagalan adalah pintu memasuki keberhasilan. Selamat mencoba. Bagaimana menurut Anda?[amb]
* Abdul Muid Badrun adalah Motivator Entrepreneur dan Pembelajar di STIE Widya Wiwaha Yogyakarta. Ia bisa dihubungi di abdulmuidbadrun@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar