toko-delta.blogspot.com

menu

instanx

Selasa, 11 November 2008

POPULIS TAPI TIDAK POPULER

Oleh Ardian Syam


Bukan hal yang baru bila belakangan ini kita sering mendengar bahwa beberapa kasus korupsi mulai dibuka. Bukan pula hal yang baru, bahkan sudah sejak tahun 1998, sejak 7 tahun lalu banyak Lembaga Swadaya Masyarakat atau Non Governmental Organization berteriak-teriak soal korupsi, soal pendidikan dan soal perbaikan moral.

Suatu pagi (8/6/05) ada berita di televisi bahwa beberapa selebritis mulai membuka sekolah. Beberapa membuka sekolah sesuai dengan profesi masing-masing seperti Dewi Hughes, Purwa Tjaraka, Oki Asokawati. Tetapi beberapa membuka sekolah biasa, dan bahkan Susan Bachtiar mengajar bahasa inggris di sebuah SD Swasta.

Kusuma Andrianto menulis artikel Pendidikan Awal ‘Economics of Corruption’ di Pembelajar.Com (yang juga pernah dimuat di Kompas Minggu 13 April 2005), menyarankan agar pendidikan tentang korupsi dilakukan sejak dini. Andrianto menulis “Ambil contoh misalnya pengalaman negara Kamboja (Integrating Anti-Corruption into School Curricula, hal. 53-59) yang mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi ke dalam kurikulum pendidikan di negara tersebut. Mirip dengan pengalaman Amerika Serikat (Ethics at School: A Model Programme, hal. 38-44) dan Italia (Taking Anti-Corruption Heroes into Schools, hal. 25-29). Tulisan tentang tiga negara yang masing-masing mewakili tiga benua yang berbeda ini, Asia, Amerika, dan Eropa, menunjukkan betapa kewaspadaan akan bahaya korupsi memang seyogyanya diusahakan sejak usia dini peserta didik.”

Kusuma kemudian menulis upaya anti-korupsi yang dilakukan di Georgia (Youth Against Corruption: A National Essay Contest, hal.45-52) dan Uganda (The Power of Information, Training Young Journalists, hal 60-73) yang menggunakan jurnalisme, Moldova (An Anti-Corruption Day in a Youth Camp, hal.74-80) yang menggunakan program pelatihan dan training. Brazil, Zambia dan Kolombia dengan tulisan-tulisan (Go: Fiscal Education for Citizenship, hal 11-16, Working With Universities: The Cátedra Programme, hal.17-24, dan Educating Future Leaders: Good Governance in Schools, hal. 30-37), termasuk juga yang buku-buku yang diterbitkan oleh penulis dari Argentina dan Makau. Kusuma menyarankan agar buku-buku tersebut diterjemahkan dengan baik dan disediakan di pustaka-pustaka di sekolah-sekolah di Indonesia.

Mengapa tulisan ini saya awali dengan sikap yang dijalankan oleh para aktivis LSM atau NGO? Mengapa kemudian tulisan ini diarahkan pada berita yang didapat dari infotaintment? Kemudian saya lanjutkan dengan cuplikan dari tulisan Kusuma Andrianto?

Para aktivis LSM adalah orang-orang pintar yang kemungkinan telah membaca tulisan yang disebutkan oleh Kusuma dan mungkin pula membaca lebih banyak tulisan daripada tulisan yang dibaca oleh Kusuma, apalagi dibandingkan dengan yang saya baca. Maka tidak ada masalah lagi tentang definisi korupsi bagi semua aktivis LSM. Mereka pasti bisa menjawab dengan tegas definisi tersebut, dan menjawab dengan lantang karena mereka tidak melakukan korupsi apapun seperti Umar (silakan lihat bagian awal tulisan Kusuma tersebut).

Saya mencoba mengungkap salah satu pendapat istri saya. Kritik paling tajam bagi para koruptor adalah kritik yang datang dari anak mereka. Bayangkan bila anak mereka bertanya “Pak, mobil yang aku pakai ke sekolah ini dibeli pakai uang dari mana? Kan Bapak hanya pejabat di Pemerintahan yang gajinya nggak lebih dari 10juta sebulan?” Atau bila si anak bertanya “Pak kenapa kita bisa beli dan pasang 5 AC Split yang harganya (masing-masing) di atas 2juta dan kita juga berarti butuh daya listrik yang tinggi dan bayar listriknya mahal padahal gaji Bapak hanya berapa?”

Sang Bapak cenderung melakukan korupsi justru untuk memenuhi kebutuhan utama maupun kebutuhan tambahan para anggota keluarga. Maka, bila anggota keluarga yang menyampaikan kritik tentang korupsi si Bapak akan menyebabkan si Bapak berpikir lebih bijaksana. Karena tidak ada kebajikan yang bisa dia ajarkan kepada anak bila si Bapak tidak bisa menjelaskan dengan uang dari mana semua barang tersebut dibeli.

Usul Kusuma dengan menyediakan buku-buku anti-korupsi di pustaka-pustaka sekolah-sekolah sangat bagus. Masalah yang muncul di negara kita adalah keinginan membaca kita, terutama di diri anak-anak belum cukup tinggi. Sehingga, buku tersebut akan sangat sedikit kemungkinan dibaca.

Anak-anak di Indonesia justru lebih cenderung percaya akan semua hal yang dikatakan guru mereka. Seringkali bahkan mereka berani mengkritik orang tua masing-masing bila sang orangtua menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan yang disampaikan oleh guru mereka.

Maka akan lebih baik, bila orang-orang pintar yang menjadi aktivis LSM tersebut, masuk ke sekolah-sekolah. Menjadi guru. Bisa guru apa saja. Fisika, Biologi, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, pelajaran apapun yang mereka mampu ajarkan. Tentu saja termasuk pelajaran Pendidikan dan Pengetahuan Kewarga Negaraan (mungkin saya salah, tetapi yang saya maksud adalah pelajaran yang lebih dikenal dengan sebutan PPKn).

Pelajaran apa pun yang diajarkan para aktivis, akan selalu ada waktu luang yang dapat diisi dengan pelajaran tentang moral. Saat-saat inilah para aktivis dapat memasukkan ide-ide anti-korupsi ke dalam kepala masing-masing siswa. Bila konsep anti-korupsi telah masuk, maka seluruh siswa mereka akan menjadi penentang korupsi yang paling tangguh.

Dengan demikian akan sangat banyak orang yang melakukan pergerakan anti-korupsi di negara ini. Orang-orang yang masih berhati tulus (anak-anak) seperti yang diinginkan Kusuma. Anak-anak yang menyebar di semua kalangan, dan akan memimpin bangsa dan negara ini di saat yang tepat, nanti. Sebuah gerakan yang cukup populis. Gerakan yang dilakukan oleh sangat banyak orang, terjadi di banyak lapisan, di banyak lingkungan. Sebuah gerakan yang seperti bom atom, merayap pelan, tapi secara bertahap akan menutupi seluruh wilayah.

Masalah yang terjadi adalah, bila para aktivis melakukan hal tersebut di sekolah-sekolah, kepada para siswa SD dan SMP maka tidak akan ada wartawan surat kabar harian, tidak akan ada wartawan majalah, tidak akan ada wartawan radio, tidak akan ada wartawan televisi yang meliput dan memberitakan kegiatan mereka. Sebuah gerakan yang memiliki daya sebar yang sangat luas, memiliki tingkat keefektifan yang sangat tinggi, tapi dijamin tidak akan membuat mereka menjadi terkenal, tidak akan membuat mereka menjadi populer.

Maka pertanyaan bagi semua aktivis LSM: siapkah anda melakukan tindakan yang sangat populis tetapi tidak akan membuat anda populer? Apakah pemberantasan korupsi yang menjadi prioritas anda? Ataukah pemberantasan korupsi hanya menjadi alat untuk membuat anda menjadi populer? Jawaban ada pada anda semua.

* Ardian Syam menempuh pendidikan terakhir di Magister Akuntansi, UGM, Yogyakarta, 2004. Saat ini ia bekerja sebagai Financial Analyst di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Divisi Regional I Sumatera, sekaligus menjadi dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Ardian dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com.

0 komentar:

toko-delta.blogspot.com

Archives

Postingan Populer

linkwithin

Related Posts with Thumbnails

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.