toko-delta.blogspot.com

menu

instanx

Minggu, 02 November 2008

SEKOLAH TINGGI (HANYA) JUALAN TEORI?

Oleh: Agoeng ”Mr Bright” Widyatmoko


Alkisah, ada seorang profesional sukses sebuah perusahaan sedang jajan di warung nasi padang langganannya. Ia cukup lama memperhatikan sang pemilik warung nasi. Sang pemilik nampak sangat menikmati sebatang rokok di jarinya. Dari penampilannya, sang pemilik terlihat sangat sederhana. Hanya berkaos oblong dengan celana panjang seadanya. Namun, ia terlihat sangat menikmati hidupnya. Sesekali, ia menyuruh pelayannya untuk membersihkan meja yang sudah ditinggalkan pelanggan. Sejenak kemudian, ia terlihat berbincang melalui handphone seri lama di genggamannya. Santai, namun bersahaja. Beberapa waktu kemudian, ia sibuk menerima laporan penjualan dari pegawai yang jauh lebih necis darinya.

Jika tak sedang sibuk mengatur pegawainya, sang pemilik sesekali menghampiri pelanggannya. Beberapa pelanggan nampak sudah sangat akrab dengannya. Tak lama, ia pun kemudian menghampiri si profesional. Sejenak kemudian, mereka pun terlibat perbincangan yang cukup akrab.

”Kapan mulai usaha ini Pak?” tanya si profesional.
”Belum lama. Baru 25 tahunan,” jawab sang pemilik warung merendah.
”Wah, cukup lama ya. Laris terus ya Pak?”
”Alhamdulillah. Cukup buat menghidupi keluarga.”
”Memang, anak berapa Pak?”
”Tujuh, yang sarjana dua. Sisanya bantuin saya di warung ini. Rata-rata nggak mau sekolah tinggi-tinggi.”
”Loh, kok nggak mau kenapa?” cecar si profesional.
”Mereka pengen kayak bapaknya. Cuma lulusan SMP, tapi bisa menggaji sarjana,” jawab sang pemilik enteng.

***

Cerita di atas hanyalah ilustrasi. Namun, bukan tak mungkin banyak terjadi di kehidupan nyata ini. Kalau mau jujur, beberapa orang paling kaya di dunia ini pun tak lulus sekolah tinggi. Bill Gates, pemilik Microsoft, perusahaan software terbesar di dunia pun tak menyelesaikan studinya. Atau jangan jauh-jauh. Coba tengok sejarah kehidupan para pengusaha kaya di negeri ini. Rata-rata hanya lulusan sekolah menengah, atau bahkan SD. Liem Sio Liong dan Bob Sadino, hanya sedikit contoh dari mereka yang berhasil meski tak menyelesaikan studinya.

Tapi, apa lantas kalau ingin kaya harus putus sekolah? Atau, kalau ingin jadi konglomerat tidak boleh sekolah tinggi-tinggi? Tentu tidak. Silakan saja jika mau sekolah. Toh, banyak juga ilmu manajemen yang bisa dipraktikkan untuk mengembangkan usaha. Banyak teori yang berasal dari praktik pengusaha sukses yang bisa dipelajari di bangku sekolah. Bahkan, tak sedikit pula ilmu-ilmu manajemen yang terbukti bisa digunakan untuk mengatasi saat genting guna menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Hanya saja, yang jadi masalah, adalah ketika kita kemudian banyak teori tapi takut praktik. Kita sudah merasa menjadi ahli, namun miskin pengalaman.

Hal itu lumrah terjadi pada orang yang merasa menguasai teori. Sayang, hal ini kemudian menghambat seseorang saat memulai usaha. Kadang, sebelum memulai, sudah ketakutan. Takut belum cukup modal. Takut gagal. Takut pasarnya tidak ada. Takut lokasinya tidak strategis. Serta masih banyak ketakutan lain yang muncul hanya karena yang ada di benaknya tidak sesuai dengan teori sukses para pengusaha yang berhasil. Padahal, jika mau jujur, hanya satu kunci paling dasar dari keberhasilan para pengusaha. Yakni keberanian melangkah. Berani untuk memulai. Itu saja. Sederhana.

Ya. Bukankah sejauh apa pun kita melangkah semua dimulai dari satu ayunan kaki dulu? Begitu pun usaha. Kalau mau besar, silakan mimpi untuk menjadi besar dan bisa mempekerjakan banyak orang. Itu adalah cita-cita yang mulia. Tapi, jangan lupa. Semua ada prosesnya. Ada masa di mana orang harus berjuang. Ada kalanya orang harus jatuh bangun membesarkan usaha. Tidak ada yang instan di dunia usaha. Jika mau besar, ya harus mau dari yang kecil dulu.

Sayangnya, jika kemudian kita balik ke teori yang diberikan di sekolah-sekolah bisnis, banyak hal yang kadang membuat kita justru terbelenggu. Hanya karena modal tak sesuai perkiraan, hanya karena network belum banyak, hanya karena lokasi tak sesuai teori, ketakutan lah yang muncul. Padahal, tanpa kita merasakan sendiri bagaimana mempraktikkan teori, kita tidak akan tahu bagaimana nikmatnya menjadi pengusaha. Ibarat orang belajar berenang. Meski beribu teori dikuasai, jika tidak langsung nyebur ke dalam air, pasti orang tersebut tak bisa berenang.

Kembali ke cerita di atas. Memang, hidup adalah pilihan. Maka, ketika kemudian seseorang lebih memilih untuk tidak melanjutkan ke sekolah tinggi, seharusnya juga ada pertimbangannya. Hitungan kasarnya begini. Misalnya, untuk menempuh pendidikan setingkat sarjana dibutuhkan dana sebesar Rp5 juta per semester. Rata-rata untuk lulus butuh waktu lima tahun atau sepuluh semester. Berarti, untuk mendapat gelar sarjana, butuh dana sekitar Rp50 juta. Lumayan banyak bukan? Itu uang yang dihabiskan. Untuk mendapatkan gantinya, biasanya kemudian seseorang akan melamar kerja pada sebuah perusahaan. Katakanlah gajinya sebulan Rp3 juta dan bisa menabung sebulan Rp1 juta. Berarti, uangnya bisa kembali pada bulan ke-50 atau empat tahun dua bulan.

Nah, jika kemudian anak-anak pemilik warung lebih memilih jadi pengusaha mengikut jejak ayahnya, tentu wajar. Katakanlah, misalnya untuk meneruskan bisnis ayahnya. Dalam sehari, untuk belanja bahan makanan dan kebutuhan lain untuk membesarkan restoran dibutuhkan Rp500 ribu per hari. Sementara itu, dalam sehari rata-rata orang makan di restoran ada minimal 100 orang. Rata-rata mereka makan Rp10 ribu. Jadi, dalam sehari pendapatan masuk Rp1 juta, atau bersih dikurangi biaya sehari-hari Rp500 ribu. Dalam sebulan berarti pendapatannya kurang lebih Rp15 juta. Minus biaya pegawai dan lain-lain, kira-kira sebulan minimal bersih pendapatannya Rp10 jutaan. Dalam waktu yang sama dengan gaji kantoran, uang yang didapat bisa 10 kali lipat!

Tentu, hitungan di atas hanyalah gambaran kasar belaka. Masih banyak faktor lain yang perlu diperhitungkan. Hitungan di atas kertas itu hanyalah teori yang bisa jadi bertolak belakang dengan hasil yang diharapkan. Bisa saja warungnya tidak laku lantas bangkrut. Tapi, bisa pula warungnya makin laris dan makin menggurita dengan membuka cabang-di mana-mana. Namanya saja hitungan di atas kertas.

Nah, hitungan-hitungan seperti di atas itu juga lah yang kadang sering membelenggu kita untuk berani melangkah. Misalnya, kalau belum punya uang Rp500 ribu per hari, kemudian jadi merasa belum mampu membuka usaha makanan. Padahal, kalau mau, hanya dengan uang Rp20 ribu atau bahkan kurang, sebenarnya sudah bisa. Misalnya membuat roti bakar, berjualan mi rebus, jualan kacang rebus, atau apa pun yang bisa dibeli dengan modal minimalis itu. Nantinya, setelah usaha jalan, usaha akan berkembang dengan sendirinya. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Anda akan bisa melayani pelanggan. Anda akan bisa meramu rasa yang enak pada masakan Anda. Anda tahu-tahu bisa membuat lokasi yang seadanya bisa menarik banyak pelanggan. Anda akan bisa mencari modal untuk mengembangkan usaha. Akhirnya, semua teori yang pernah dibaca dan dipelajari, bisa jadi hanya akan menjadi teori belaka. Begitu seterusnya. Jadi, beranikah Anda memulai dari sekarang?[awi]

* Agoeng ”Mr. Bright” Widyatmoko adalah konsultan independen usaha mikro, kecil, dan menengah. Ia juga menulis buku laris ”100 Peluang Usaha”. Untuk menghubungi penulis bisa melalui email agoeng.w@gmail.com atau sms di 0812 895 0818.

0 komentar:

toko-delta.blogspot.com

Archives

Postingan Populer

linkwithin

Related Posts with Thumbnails

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.