“Keep your friends close, but keep your enemies closer.”
~ Sicilian Proverb
Dalam hubungan antarmanusia yang terjalin, tentunya tidak semua berjalan dengan mulus. Baik itu hubungan antara kedua orang kekasih, kakak dengan adik, guru dengan murid, bahkan orangtua dengan anak. Tidak hanya itu, hubungan atasan dengan bawahan, dan hubungan antara sesama rekan kerja, yang biasanya juga sering mengalami berbagai hambatan.
Sikap kaku dan skeptis ketika menjalin hubungan dengan orang lain mungkin dapat menjadi titik mula datangnya kesulitan itu sendiri. Lalu, hal tersebut menjadi pemicu diri ketika berusaha membina suatu hubungan, baik dengan rekan kerja maupun dengan atasan.
Hal ini dialami juga oleh teman saya sendiri, Rico. Ia bekerja di salah satu bank swasta besar di Jakarta. Ia sudah menempati posisi yang dapat dibilang lumayan enak, yaitu sebagai asisten manajer akunting. Rico memiliki pengalaman bekerja selama kurang lebih empat tahun dan kemudian ia keluar untuk melanjutkan pendidikan S-2. Ia orang yang cerdas. Kepalanya selalu dipenuhi dengan berbagai ide segar yang dapat dimaksikmalkan. Selain itu, ia tipe pekerja keras. Motivasinya adalah melakukan yang terbaik hingga dapat menjadi yang terbaik.
Walau demikian, jalan memang selalu tidak mulus. Ada saja hambatan dan kesulitan yang ia alami. Salah satunya adalah kesulitan bekerja sama dengan atasannya sendiri. Manajernya selalu merasa paling pintar dan tidak pernah mau mendengarkan ide-ide dari bawahan ataupun rekan yang lainnya.
Pernah, dalam suatu meeting Rico mencoba mengemukakan pendapatnya tentang strategi promosi produk baru yang akan diluncurkan perusahaannya dalam waktu dekat.
“Gimana sih kamu Rico, kalau gak becus itu, ya sebaiknya diam saja! Tidak perlu ikut-ikutan ber-strategi. Saya kan sudah mencanangkan promosi yang paling tepat untuk produk baru kita itu! Memangnya kamu mau menentang saya?!” hardik atasanya.
Rico-pun segera menjawab, “Bukan begitu, Pak. Saya hanya mengemukakan bila gagasan Bapak digabungkan dengan gagasan saya, mungkin akan tercipta strategi baru, yang sebelumnya saya analisis belum pernah dilakukan oleh kompetitor kita. Sehingga, bisa saja menjadikan kita sebagai pioner di produk baru ini,” jelasnya dengan suara pelan. “Dan, saya tentunya akan meminta bimbingan serta keputusan Bapak, karena Bapak adalah atasan saya,” sambungnya.
Apa mau dikata, ternyata tetap saja atasannya itu tidak menyenangi Rico. Karena, makin hari Rico makin cemerlang dengan ide-ide luar biasanya itu. Mungkin saja dalam waktu singkat, seiring pemekaran departemen, karir Rico akan menanjak menyamai manajernya tersebut.
Akibatnya, lingkungan kerja menjadi tidak kondusif dan nyaman lagi untuk bekerja. Saling sikut dan bersaing tidak sehat sudah menjadi makanan sehari-hari di tempat kerja Rico. “Bayangkan, teman kerja saya yang sudah akrab bak sahabat selama lima tahun bekerja, ternyata tega sekali menjelekkan saya di depan direktur saya sendiri. Semua dilakukan hanya untuk mendapat ‘muka’ di depan atasannya itu,” serunya.
Jika sudah demikian, kawan adalah lawan Anda dalam persaingan di dunia kerja. Lalu, apa solusinya? Jangan berkecil hati. Jika Anda dalam posisi yang mungkin saja sama dengan Rico, ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan untuk mengatasinya. Berikut di antaranya. 1. Ciptakan hubungan “pertemanan” yang sama dengan setiap rekan kerja Anda.
2. Jangan terburu-buru untuk merasa dekat, apalagi memilih sahabat di tempat kerja. Analisis terlebih dahulu kecenderungan sifat dan sikap asli dari orang tersebut. 3. Open minded. Bersikaplah terbuka pada setiap masukan, dan peranan rekan kerja Anda dalam segala bentuk pekerjaan, jika memang diharuskan bekerja dalam sebuah teamwork.
Dari survei kecil yang saya lakukan, ada beberapa orang, yang mengalami permasalahan dengan rekan kerjanya sendiri di perusahaan mereka kerja saat ini. Rika misalnya, 29 tahun, yang bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi di Jakarta sebagai marketing executive. Dalam departemennya, terdapat kira-kira 15 orang dengan level posisi yang sama dengannya.
Mulanya, Rika menjalin hubungan baik dengan semua orang dalam perusahannya. Hingga suatu saat, ada salah seorang rekan kerjanya, yang lambat laun dekat berteman dengan dirinya. Sebut saja Santi. Santi duduk di posisi yang sama dengan Rika. Tetapi, Santi belum memiliki pengalaman kerja selama Rika, kira-kira baru satu tahunan lamanya.
Rika dan Santi, akhirnya menjadi akrab sekali hingga suatu waktu Rika menyadari, bahwa ternyata Santi memanfaatkannya. Seringkali Santi mengajak Rika berdiskusi mengenai pekerjaan, solusi dan pemecahan masalah termasuk ketika Santi menangani sebuah proyek. Tak disangka, Santi, seringkali menggunakan pemikiran-pemikiran Rika. Yang membuat Rika sakit hati, semua hasil pemikirannya itu disebut Santi sebagai hasil pemikirannya sendiri. Sehingga, keberhasilannya menangani suatu proyek menghantarkanya meraih promosi dari atasannya. Ia kini menjadi asisten manajer.
“Salah betul aku ini, terlena merasa bersahabat hanya dengan satu orang saja, yang ternyata orang itu justru menusukku dari belakang,” ungkapnya kepada saya, waktu menguraikan pengalaman pribadinya. Sungguh malang nasib Rika.
Berbeda dengan Rani. Seorang eksekutif berusia 25 tahun di perusahaan kosmetik. Rani, pernah memiliki kasus yang sama dengan Rika. Ia dimanfaatkan oleh rekan sekerjanya sendiri. Namun, ia segera menyadarinya sebelum terlarut akrab dengan rekan kerjanya itu. Ia pun mati-matian mulai menunjukkan keunggulan-keunggulan yang dimillikinya tanpa harus membantu seratus persen rekan kerjanya.
Rani tidak pelit informasi dan ilmu. Tapi, ia membagi pengetahuannya dengan rekan-rekannya hanya bagian terkecilnya saja. Sedangkan, bagian paling besar hingga penuntasannya, hanya ia yang mengetahui pasti. Dengan strategi demikian, Rani, tidak kehilangan teman rekan sekerjanya. Ia tetap menjalin pertemanan dengan mereka semua. Tapi, ia juga dapat mempertahankan prestasi kerjanya pada atasannya.
Menurut Ciara Woods dalam bukunya Everything You Need to Know at Work, yang telah dialihbahasakan dan diterbitkan oleh Erlanga, disebutkan bahwa sebuah tim yang efektif memiliki:
“Goal” (tujuan) yang sama, dan tidak ada di antaranya yang memiliki rencana sendiri.
Produktifitas menjadi lebih tinggi dan menyesuaikan dengan tenggat yang diberikan.
Adanya pembagian akan peranan dan tanggung jawab yang jelas kepada semua orang.
Komunikasi menjadi kunci utama, di mana prosesnya harus berjalan dua arah, mendengarkan dan didengarkan.
Hargai setiap individu sebagai pribadi yang baik di dalam tim. Setiap angggota berkesempatan untuk berkembang.
Binalah rasa saling menghormati antar setiap orang sehingga bekerja bersama akan terasa lebih menyenangkan.
Jadilah kelompok yang tidak menolak masukan, pengaruh, dan kritik yang dilontarkan dari luar.
Dalam lingkungan kehidupan di tempat kerja, memang hubungan antarrekan kerja itu sangat penting dijaga keharmonisannya. Sebab, hal itu menyangkut kinerja tim yang berujung pada kinerja diri kita sendiri. Semakin kita tidak dapat bekerjasama dengan anggota tim yang lain, menyebabkan mundurnya motivasi kerja yang ada.
Selalu, kita dihadapkan pada diversitas baik dari segi umur, budaya, dan latar belakang setiap individu dalam suatu perusahaan. Dari perbedaan tersebut, terkadang menyebabkan munculnya kotak-kotak kecil pergaulan dan hubungan antar rekan kerja. Kesamaan hobi, kesenangan yang sama, atau bahkan saya menjumpai ada lingkungan kerja teman saya yang mengelompokkan diri, karena mereka merasa berada dalam level dan kelas “gaul” yang sama. Sehingga, menghasilkan kelompok ekslusif, layaknya masa-masa sekolah dulu.
Idealnya, kita harus menjalin dengan relasi dengan siapa saja. Baik yang kita sukai karena memiliki nilai-nilai kesamaan tertentu. Ataupun yang tidak cocok dengan kita, baik dari segi sifat personal maupun dari segi kegemaran. Karena, dunia kerja bukanlah dunia main masa kanak-kanak. Semua harus dibangun secara profesional. Hasil akhir, merupakan orientasi yang perlu dikedepankan. Yaitu kesuksesan perusahaan tempat kita bekerja. Di situlah nilai prestasi kita sebagai karyawan terukur.
Masa depan tidak dapat diduga, oleh karena itu, bisa saja yang Anda anggap tidak “selevel” dengan kelas Anda dalam pergaulan di lingkungan kantor tempat Anda bekerja, ataupun rekan, dan atasan yang senang menjatuhkan Anda, justru suatu saat menjadi kawan baik Anda sendiri.
Seperti yang Rico alami. Akhirnya, setelah ia keluar kerja dari bank swasta tersebut untuk menjalankan usahanya sendiri, ia justru berteman akrab dengan mantan manajernya sewaktu itu. Dan, mereka menjalin hubungan bisnis yang baik hingga sekarang. Demikian juga dengan Rani, ia tetap menjalin pertemanan secara profesional dengan rekan-rekan kerjanya. Jadi, tunggu apa lagi, carilah lawan Anda dan jadikan mereka sahabat dalam pekerjaan ataupun bisnis Anda.
Tips Membuat Lawan Anda Menjadi Kawan:
1.Jalinlah relasi dengan semua orang.
2.Bersikap bersahabat, yang tidak berlebihan terhadap semua rekan kerja Anda di kantor.
3.Latihlah diri Anda agar tidak mudah tersinggung, sehingga Anda tidak memiliki perasaan dendam terhadap rekan kerja ataupun atasan yang menyakiti Anda.
4.Hargailah setiap rekan kerja Anda, karena masing-masing memiliki kelemahan juga keunggulannya sendiri-sendiri.
5.Jangan pernah menganggap remeh rekan kerja, bawahan, ataupun atasan Anda sendiri. Berusahalah mencari kesamaan walau kecil di antara jurang perbedaan yang besar.
6.Senantiasa berorientasi pada hasil akhir goal perusahaan, yakni kesuksesan di mana prestasi yang diukur adalah prestasi kerja tim yang solid.
7.Bersemangatlah!
~ Apa yang kita tanam, akan kita tuai. Maka janganlah berhenti untuk saling menghargai.[am]
* Afra Mayriani saat ini ia bekerja di salah satu perusahaan televisi berlangganan di Jakarta. Menjadi seorang penulis hebat adalah salah satu cita-citanya. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Pembelajar.com. Alumi Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) ini tengah menyelesaikan naskah buku pertamanya yang bertema karier. Ia bisa dihubungi di email: aframayriani@yahoo.com atau melalui weblognya di http://aframayriani.wordpress.com.
0 komentar:
Posting Komentar