“Mengapa orang yang dilahirkan dengan begitu banyak kelebihan sering kali hanya meraih begitu sedikit, sementara yang dilahirkan dengan begitu sedikit meraih begitu banyak? Jawabannya adalah keinginan kuat. Anda harus punya keinginan besar.”
~ Lou Holtz
Kita sebagai manusia dilahirkan begitu sempurna dengan berbagai kelebihan yang diberikan Allah, dan juga hidup kita didesain untuk menjadi sang juara dalam bidang dan potensi yang kita miliki. Bahkah setiap dari kita juga punya keinginan untuk menjadi juara, dan oleh karena itulah kita bertahan hidup. Namun dengan kesempurnaan dan potensi tersebut, terkadang tidak menjadikan kita seperti apa yang kita harapkan, justru sebaliknya. Banyak dari diri kita gagal mengemban misi suci keilahian dan gagal dalam bidang kehidupan kita. Jumlah orang-orang yang meraih kesuksesan dengan mudah dari kesempurnaan dan kelebihan yang dimilikinya, berkisar 10 persen. Tetapi selebihnya harus melalui proses. Jadi apa saja yang menyebabkan kegagalan dan sedikitnya orang menjadi juara? Berikut ini akan kita bahas satu per satu penyebabnya.
1. Tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
Bila kita ingin memenangi suatu kompetisi, maka kita terlebih dahulu harus mengetahui siapa dan apa kelebihan kita. Dan, dari kelebihan itulah kita bangun sebuah kekuatan yang kokoh. Kita hanya bisa menang bila kita berangkat dan membangun dari kekuatan diri kita sendiri. Akan tetapi, kemanangan sejati seorang juara adalah mengalahkan musuh yang ada pada dirinya sendiri. Yaitu mengalahkan ego dan keterbatasannya sendiri, bukan dengan mengalahkan orang lain.
Sedangkan kelemahan diri, merefleksikan bahwa hidup membutuhkan orang lain untuk saling mengisi dan berbagi, dan dengan begitulah terjadi reaksi dan sinergi bahwa kemanangan itu adalah untuk kemanangan bersama bagi kedamaian dan cinta sesama di muka bumi dalam misi keilahian. Kesadaran kelemahan seperti ini tidak menyebabkan sang juara menyombongkan diri dan bersifat individual, tetapi kemenangan kesemestaan yang universal. Untuk itulah kita diciptakan-Nya.
Oleh karena itu, sang sufi mengatakan, “Bila kita mengenal diri kita yang sesungguhnya, maka kita akan mengenal Tunah kita.” Dan, Muhammad SAW berkata, “Jangan serahkan suatu pekerjaan pada yang bukan ahlinya. Bila dikerjakan oleh yang bukan ahlinya, maka tunggu kehancuran.” Ungkapan ini mempunyai makna mendalam, bahwa kita tidak mungkin unggul bila kita tidak mengenal dan membangun keunggulan yang ada pada diri kita sendiri. Dan, kita tidak mungkin ahli bila kita tidak membangun keunggulan sesuai dengan potensi atau bakat yang kita miliki.
2. Tidak memiliki impian
Orang-orang sukses pasti punya impian (visi), meskipun tidak semua orang yang punya impian itu akan sukses. Namun dengan kita punya impian, berarti kita membentangkan jalan kehidupan yang akan kita tempuh. Jalan yang menjadikan kita ingin dikenang seperti apa, dan jalan yang menuntun kita ke mana akan berlabuh.
Kejelasan sebuah impian akan mendorong kita untuk bergerak dan bertindak mewujudkan impian tersebut. Impian besar yang jelas dan didasari oleh niat yang mulia adalah magnet, motivasi, keyakinan, fokus, dan power serta obat dari derita dan rasa sakit yang mendorong kita untuk melakukan apa pun untuk mewujudkannya.
Di sinilah pentingnya mempunyai dan mempertahankan impian besar yang jelas dan mulia agar kita tetap terjaga dan hidup melalui keyakinan dan nilai-nilai yang benar. Mewujudkan impian yang mulia akan menuntun kita pada pribadi yang berkarakter, tidak hanya mengantarkan kita untuk sukses dalam belajar, karier, bisnis, dan kekayaan, tetapi juga dapat menjadi manusia sejati yang berguna demi manusia lain. Hal ini dapat mengingatkan kita pada sosok pribadi yang memiliki fondasi pribadi yang kuat akan sebuah impian besar yang mulia dan menjadi sumber inspirasi oleh bagi sebagian pemimpin dunia, yaitu Nelson Mandela. Seperti diungkapkan dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden pada tahun 1994, yang berbunyi:
“Kita bertanya pada diri sendiri, ‘Siapakah sebenarnya saya untuk bisa menjadi luar biasa, hebat, berbakat, terkenal?’ Sebenarnya, siapa Anda untuk tidak bisa menjadi seperti itu? Ketika kita memancarkan sinar pribadi kita sendiri, secara tidak sadar kita memberi izin kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama. Ketika kita terbebas dari ketakutan kita, kehadiran kita secara otomatis membebaskan orang lain.”
Jika kita tidak memiliki impian atau impian kita tidak jelas, maka sama halnya kita berlayar tanpa arah, berjalan tanpa tujuan dan hidup tanpa makna. Artinya kita telah menggadaikan misi keilahian kita pada kehampaan yang tidak berarti, atau ibarat buih ke mana angin bertiup ke sana pula kita ikut terbawa. Maka tidak heran bila banyak yang menjadi “Pak Turut dan Bu Turut” dalam bidang kehidupan kita. Lebih celaka bila sebuah bangsa menjadi bangsa Pak Turut atau Bu Turut atau bangsa yang keinginannya (visi) diatur oleh bangsa lain alias tidak mandiri dan tidak percaya diri pada keunggulannya.
3. Tujuan tidak jelas
Tujuan adalah tempat di mana kita berlabuh sementara di pelabuhan-pelabuhan kecil untuk sekedar mensyukuri hasil perjalanan jangka pendek yang kita lalui sembari melepaskan lelah dan dahaga untuk menyiapkan perjalanan-perjalanan berikutnya. Tujuan adalah proses atau mata rantai dari sebuah impian, bukan segala-galanya. Dan, tujuan akan memandu kita untuk sampai kepada impian. Atau dengan kata lain, pepatah China mengatakan, “Perjalanan satu mil dimulai dari langkah pertama.”
Kendati tujuan merupakan pelabuhan-pelabuhan kecil yang harus disinggahi, tetapi tujuan mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar kalau kita menjadikannya pribadi, menyatakan secara spesifik, menuliskannya, membuatnya serasi dengan nilai-nilai dan kemampuan serta potensi kita, menyatakannya dengan positif, dan menjadikannya cukup menantang untuk memotivasi kita untuk mencapainya.
Tujuan adalah kunci sukses. Jika kita tidak mempunyai tujuan yang Jelas—apalagi tidak punya tujuan sama sekali—kita tidak tahu kapan kita mencetak dan mengumpulkan skor kita. Kita ataupun pelajar terkadang jarang bahkan tidak susngguh-sungguh untuk mencapai sebuah tujuan. Bekerja atau belajar dilalui bagaikan air mengalir. Belajar bila ada tugas atau ketika kita akan menghadapi ulangan maupun ujian.
Ada pengalaman menarik ketika saya mengikuti konferensi pendidikan di kampus UII Yogyakarta. Seorang pembicara mengatakan perbedaan antara siswa Indonesia dengan siswa Inggris ketika dia berkunjung ke sekolah di sana. Si pembicara bertanya kepada salah seorang siswa setingkat SMA, “Hari ini kamu sedang belajar apa?” “Saya sedang belajar matematika untuk menjadi seorang ankuntan profesional di Bank Central,” jawab siswa tersebut. Ketika si pembicara pulang ke Yogyakarta, dia menanyakan pertanyaan yang sama pada seorang siswa SMA di Yoghyakarta. Apa jawaban siswa tersebut? “Saya belajar matematika, karena hari ini pelajaran matematika.” Inilah fenomena kebanyakan para pelajar kita bahkan sampai kuliah, dan tidak heran setelah selesai kuliah tidak bisa berbuat banyak alias pengangguran.
4. Mindset yang salah
Visi merupakan gambaran mental, dan gambaran mental adalah bahasa alam bawah sadar (subconscious). Sedangkan mindset adalah refleksi dari bahasa alam bawah sadar yang men-setting pikiran (conscious) untuk mencari cara menerjemahkan visi ke dunia aktual. Mindset sering terserang virus-virus dari realitas kehidupan yang salah melalui pancaindra. Baik dari apa yang kita lihat, dengar, rasakan, bau-bauan, maupun perabaan dari lingkungan kita yang akhirnya menjadi hambatan mental (mental blocking) yang membuat kita kehilangan spirit dan potensi serta peforma kita terbelenggu. Seperti disebutkan bahwa kita adalah apa yang kita pikirkan.
Semua berawal dari pikiran.
Bila Anda menabur pikiran, maka Anda akan menuai sikap.
Bila Anda menabur sikap, maka Anda akan menuai perbuatan.
Bila Anda menabur perbuatan, maka Anda akan menuai karakter.
Bila anda menabur karakter, maka Anda menuai nasib.
Meskipun kita adalah seperti apa yang kita pikirkan sebagaimana disebutkan, tetapi pikiran harus dikawal dan tunduk pada hati nurani, agar pikiran dapat berjalan dalam bimbingan moral dalam mencari cara atau jalan terbaik untuk mewujudkan impian kita. Pikiran yang dituntun hari nurani akan membuahkan sikap yang baik dalam mewujudkan impian yang mulia dan mengakhirinya dengan cara yang baik pula. Tetapi pikiran tanpa bimbinngan hati nurani sekalipun cerdas, banyak orang yang mengakhirinya dengan cara yang tidak baik. Kita boleh mengawali dari tempat yang sama, tetapi yang membedakan seorang juara adalah dari sikapnya memilih cara dan mengakhirinya.
Jika kita menjadikan hati nurani sebagai panglima dalam mengambil keputusan untuk bersikap, maka kita adalah seperti apa yang kita rasakan. Mengapa? Karena hati lebih peka untuk merasakan baik tidaknya, atau benar salahnya sesuatu. Hati atau jantung lebih tua umurnya dibandingkan pikiran, dan jantung yang memompa darah agar otak bisa bekerja untuk berpikir. Sejak kita berada dalam kandungan Allah berdialog dengan ruh atau hakekat kedirian kita yang sesungguhnya (lihat QS. 7:172). Sedangkan otak sebagai sarana berpikir mengalami masa pertumbuhan setelah lahir (diadaptasi dari Dr Robert).
Oleh karena itulah Muhammad SAW menyuruh kita untuk miminta fatwa kepada hati kita ketika kita ingin memutuskan sesuatu, karena hati adalah pusat spiritualitas atau God-Spot, “Mintalah fatwa kepada hatimu.” Allah berkomunikasi kepada kita melalui hati, dan hati dapat kita rasakan. Oleh karena itu dapat kita formulasi seperti berikut:
Semua berawal dari perasaan (alam perasaan/bawah sadar).
Bila Anda menabur perasaan, maka Anda akan menuai pikiran.
Bila Anda menabur pikiran, maka Anda akan menuai sikap.
Bila Anda menabur sikap, maka Anda akan menuai perbuatan.
Bila Anda menabur perbuatan, maka Anda akan menuai karakter.
Bila Anda menabur karakter, maka Anda akan menuai nasib.
Untuk sekadar memberi contoh, ketika kita haus, haus itu adalah rasa. Kemudian rasa itu direspon oleh pikiran. Pikiran bekerja bagaimana caranya untuk mendapatkan air agar rasa haus atau dahaga bisa hilang. Setelah pikiran menemukan caranya, maka kemudian diikuti oleh tindakan. Artinya pikiran diperintahkan oleh perasaan. Sedangkan hati sebenarnya bersifat fitrah, bila hati yang terkontaminasi maka dia akan memerintahkan pikiran untuk mencari jalan pintas di luar bimbingan moral. Demikian sebaliknya.
Hal ini dapat kita rujuk pemikiran Einstein--imajinasi juga adalah bahasa alam bawah sadar. “Imajinasi lebih penting dari pengetahuan”. Dan, “Urusan yang berhubungan dengan sarana logis sama sekali hampa Realitas”. Kemudian Einstein membubuhkan logika pada apa yang ke luar dari kran bawah sadarnya.
Sementara hasil penelitian atas otak menunjukan bahwa di dalam otak, neokorteks berhubungan dengan pengambilan keputusan berdasarkan pikiran, perencanaan dan pengambilan jalan keluar. Di bagian bawah neokorteks adalah otak bagian tengah, yang dapat membaca, menulis atau berpikir. Akan tetapi bagian ini merasakan emosi dan sering kali disebut otak “perasaan”. Apakah kita adalah orang yang mengatakan, “Saya bangga pada diri saya sendiri dalam membuat keputusan yang masuk akal.” Berikut kabar buruknya. Pada tahun 1996, ahli bedah saraf dari Iowa, Antonio Damasio menunjukan dalam salah satu penemuan paling penting dekade sebelumnya, bahwa bagian neokorteks tidak membuat keputusan sebelum “keluar” dari otak bagian tengah. Dengan pengertian lain, emosi adalah pusat untuk memperoses pikiran rasional. Jadi, perasaan kita adalah pusat bagi kebanyakan keputusan yang kita ambil. Hal yang mengubah diri kita adalah perasaan, bukan logika.
Demikian halnya juga, sebagaimana dikemukakan DR Ebrahim Karim, bahwa para ilmuan sudah menemukan “God-Spot” atau pusat spiritualitas di bagian temporal lobe otak manusia, sirkuit saraf ini, jika diaktifkan dapat berfungsi seperti antena yang membuat kita bisa “tersambung” dengan kekuatan ilahi.
Jadi, mindset yang benar adalah ketika kita memperoleh nilai 4 pada suatu mata pelajaran, misalnya, maka kita akan mengucapkan terimakasih atas nilai yang kita terima. Karena dengan nilai 4 ini adalah titik tolak bagi kita untuk memulai belajar lebih baik lagi ke depan, sehingga tidak terjadi hal yang sama untuk hasil pelajaran berikutnya. Lain halnya bila kita ber-mindset salah. Kita akan menyalahkan sesuatu yang ada di luar diri kita, seperti menyalahkan guru, sekolah, teman, orangtua bahkan keadaan dan sebagainya. Bisa juga menyalahkan diri sendiri, seperti, saya tidak berbakat dalam mata pelajaran ini, mungkin saya terlalu bodoh untuk sekolah dan lain sebagainya.
5. Tidak memiliki perencanaan yang spesifik
Orang manajemen mengatakan, bahwa perencanaan menyumbangkan 90 persen dari sebuah keberhasilan, dan 10 persen adalah action-nya. Mayoritas para siswa kita tidak memiliki self-management skill, bahkan sekolah juga tidak membekali mereka akan keterampilan yang satu ini. Bagaimana mungkin kita mengajarkan siswa kita, kita saja sebagai guru juga ketika membuat perencanaan pembelajaran atau RPP (leason plan) hanya sebatas untuk kelengkapan persyaratan administrasi? Ketika mengajar juga tidak dijadikan acuan untuk diikuti karena menganggap sudah diingat di luar kepala. Tidak heran ketika program sertifikasi guru digelar, mereka tidak mempunyai dokumen rencana pembelajaran. Bila guru dan siswanya sama-sama tidak memiliki rencana kerja dan rencana belajar, maka akan jadi seperti apa hasil pendidikannya?
6. Tidak mencintai apa yang dikerjakan dan mengerjakan apa yang tidak Dicintai
Jika kita tidak mencintai apa yang kita pelajari dan apa yang kita kerjakan, serta mempelajari dan mengerjakan apa yang tidak kita cintai, maka kita melalukannya dengan penuh rasa keterpaksaan dan merasa beban. Orang-orang seperti ini biasanya banyak mengeluh, tuntutan, terjebak pada rutinitas, pribadi yang tidak berkembang, menyalahkan nasib dan orang lain, dan banyak alasan untuk mencari pembenaran atas ketidak berhasilannya. Karena bukan dari hati, dan juga tidak sesuai dengan bakat atau potensi diri, atau ketidakmampuan kita untuk melihat dari perspektif lain dan mengaitkan antara visi pribadi (manfaatnya untuk kehidupan kita nanti) dengan visi sekolah.
Bila hal ini dipaksakan kita tidak bisa menjadi pribadi sebagaimana yang kita harapkan, atau hasil yang didapat tidak sesuai dengan pengorbanan yang kita keluarkan. Kita harus belajar dan bekerja dua kali lipat lebih ekstra bila dibandingkan kita belajar atau bekerja dengan apa yang menjadi keinginan kita. Karena bila kita belajar atau bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan atau sukai, maka kita akan mengerjakannya dengan penuh rasa suka cita dan mencurahkan segala daya dan upaya untuk melakukannya.
Kita tidak cukup hanya sekedar berpengetahuan, dan terampil, tetapi tidak pernah benar-benar mencintai apa yang kita kerjakan dengan tulus. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan menjadi sang juara tanpa sepenuhnya kita mencurahkan cinta sepenuhnya terhadap belajar atau bekerj? Karena, cinta memberi nilai tambah yang luar biasa bagi keberhasilan kita.
Cinta hampir sama halnya dengan hobi, yaitu pada saat kita menekuni PEKERJAAN-BELAJAR yang berangkat dari hobi kita, kita berpotensi besar untuk berhasil, karena alasan yang sederhana yaitu ada CINTA yang terlibat di dalamnya. Karena, cinta mampu membuat kita bertahan dalam kondisi sulit, cinta mampu membuat kita untuk terus menerus menjadi romantis terhadap kerja-belajar kita, cinta mampu membuat perasaan rela berkorban, cinta membuat kita mau melakukan lebih baik dari hari ke hari dan cinta mampu membuat kita menembus semua halangan, keterbatasan dan persepsi gagal dan merubahnya menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan. Cinta dapat membimbing kita pada kerinduan untuk terus belajar, bertumbuh dan merenungkan bidang kita siang dan malam (Raja Daud).
7. Tidak punya mentor yang tepat
Mentor atau guru yang sesungguhnya adalah orang yang membimbing dan memberi arah yang benar ke mana kita harus melangkah. Karena, mereka tahu dan bisa melihat potensi ke depan kita seperti apa. Dan, mereka adalah orang yang berpengalaman dan banyak belajar dari kehidupan mereka. Saya mempunyai guru yang bisa membaca potensi ke depan saya. Saya sebenarnya suka membaca dan menulis, tapi saya belum pernah menulis buku. Suatu ketika saya bertemu dengan ketiga guru saya dalam bidang menulis pada acara pelatihan. Ketika saya mengutarakan ide saya dan mecoba untuk praktik menulis cepat, kemudian ide dan tulisan tersebut mereka komentari dengan memberikan saran-saran konstruktif. Saya merasakan saran ketiga guru saya ini benar-benar pas di hati saya dan memberi saya pencerahan yang luar biasa dalam menulis. Sehingga, keinginan menulis saya sampai tidak bisa terhentikan (unstoppable) siang (libur/minggu) dan malam. Inilah hasilnya, buku pertama yang saya tulis dalam waktu dua minggu, yang saya kerjakan malam hari, karena siangnya saya bekerja seperti biasa. Capek dan ngantuk seakan tidak ada. Kemudian dua minggunya saya gunakan untuk memperbaiki tulisan dan memperkaya dengan referensi-referensi lain yang mendukung.
Seandainya saja saya tidak bertemu dengan mentor atau guru yang tepat, maka potensi menulis saya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Saya sangat bersyukur kepada Allah yang telah menunjukan dan mempertemukan saya kepada guru yang tepat dalam menulis, dan saya sangat berterimakasih kepada meraka bertiga, yaitu Andrias Harefa, Edy Zaqeus, dan Her Suryanto.
Bila potensi atau talenta kita berada di tangan atau dibimbing oleh guru yang tepat, maka pengembangan pribadi dan potensi kita akan tumbuh dan berkembang melesat. Seorang guru yang benar, menurut Einstein, ketika sang guru tidak dapat menjelaskan sesuatu pada anak 6 tahun, sesungguhnya guru itu sendiri tidak mengerti. Tidak ada siswa yang bodoh, kata Wiwoho, yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajar.
Oleh karena itu, jika kita ingin pintar bergurulah kepada orang yang pintar, bila kita ingin sukses bergurulah kepada orang sukses, bila kita ingin kaya bergurulah pada orang kaya, dan bila kita ingin juara bergurulah kepada sang juara. Guru saya, Pak Aziz Zamzami, ketika di Madrasah Aliyah dulu menganalogikannya seperti orang pandai besi. Besi itu, katanya, berwarna hitam atau kecoklat-coklatan. Bila lama-lama dibakar dalam api, maka besi tadi akan sama merahnya seperti api. Artinya, bila kita berguru atau berteman dengan orang cerdas, meskipun kita tidak secerdas mereka, paling tidak kita mendekati atau sudah berguru atau berteman pada orang yang tepat. Dan, Tung Desem Waringin menyarankan 80 persen dari waktu kita harus digunakan seperti orang-orang tersebut, dan 20 persen pada yang lainnya bila ingin berhasil.
Sebaik apa pun potensi yang kita miliki tanpa guru yang tepat, kita akan menguras energi untuk mencapai keberhasilan, bahkan bisa jadi potensi luar biasa yang kita miliki sirna ditelan sikap dan kebiasaan negatif kita maupun lingkungan kita. Karena kebanyakan orang tidak suka melihat orang lain berhasil.[al]
* Alpyanto adalah seorang pendidik di Tunas Global School, Bekasi, Jawa Barat. Ia adalah alumnus SPP dan saat ini sedang merampungkan sebuah naskah buku tentang program sekolah unggulan. Alpyanto dapat dihubungi di email: alpiyanto@yahoo.co.id.
0 komentar:
Posting Komentar