Sejarah telah mencatat—sebagaimana diberitakan Alquran—bahwa sebelum diturunkannya agama (diasumsikan sebagai petunjuk dari Tuhan), pekerjaan manusia adalah merusak dan membunuh. Ini dapat diketahui dari protesnya para malaikat saat dimintai "pendapat" ketika Tuhan akan mengangkat seorang khalifah (wakil/rasul)-Nya. Protesnya: "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah (wakil/rasul/utusan) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" (QS.2:30).
Ungkapan protes ini jelas sekali menandakan bahwa sebelum sang khalifah/rasul/utusan (pembawa/pengajar) agama (Nabi Adam) diturunkan di muka bumi, perbuatan manusia adalah benar-benar merusak dan menumpahkan darah. Tidak beradab. Moralnya benar-benar tidak ada, rusak sama sekali. Seperti suku Barbar yang meluluhlantakkan peradaban suku mana pun yang dijumpainya.
Keadaan yang sangat kacau kalau dan carut marut inilah yang membuat malaikat—konon sebagai makhluk yang paling patuh dan mulia disisi-Nya—angkat bicara. Dengan ”sangat terpaksa” memberanikan diri menginterupsi kebijakan Tuhan. Seolah tak yakin—mungkin juga "gak gaduk" pikirannya—kalau manusia yang demikian "bobrok" moralnya ini bisa dipercaya membawakan misi (agama)-Nya, menjadi khalifah-Nya.
Kekhawatiran berlebihan tersebut nyatanya memang benar-benar terbukti. Setelah sang pembebas kegelapan benar-benar diturunkan, watak manusia ternyata tidak banyak berubah. Merusak dan membunuh masih kental sebagai kepribadiannya. Bukti riilnya justru terjadi pada putra Nabi Adam sendiri, peristiwa bunuh membunuh antara Qabil dan Habil. Padahal mereka berdua adalah orang yang paling dekat dan paling mungkin mengerti-memahami ajaran (agama) sang rasul.
Sangat ironis sekali. Yang paling dekat saja masih demikian ”bobrok” moralnya, bagaimana dengan yang jauh? Apalagi yang tidak pernah bertemu langsung dengan sang pembawa (pengajar) agama?
Mencermati hal ini, maka tidak heran bila pada zaman prasejarah dulu peradaban manusia dihiasi dengan penjajahan, peperangan, dan pembunuhan. Berbagai bentuk penindasan telah menjadi kebiasaan, telah menjadi napas dalam kehidupan. Berlanjut sampai masa awal peradaban Islam, masih adanya penjajahan hak asasi yang berupa sistem budak—memperlakukan manusia bagai binatang yang dipekerjakan maupun diperjualbelikan.
Lalu, Apa Hakekatnya Agama?
Mungkin sekali, ketika rasul Adam menjalankan misi Tuhan belum menggunakan istilah agama. Apalagi menamakan diri sebagai suatu agama, jelas tidak. Sebab, istilah agama sendiri lahir dari peradaban bangsa yunani, yang akar katanya: a tidak dan gama rusak. Sehingga, agama dapat dimaknakan menjadi seperangkat ajaran (sistem kepercayaan/keyakinan) yang dapat menjaga sekaligus mengantarkan pemakai (pemeluknya) agar tidak rusak.
Tentu saja istilah agama ini lahir pascakekhalifahan Adam. Sebab, logikanya, hanya melalui ajaran Adam-lah manusia mulai mengenal kebenaran. Manusia mulai mengenal istilah rusak tidak rusak. Mulai mengenal dari mana asalnya kebenaran, bagaimana ia musti terjadi, dan bagaimana pula mempraktikkannya dalam keseharian. Terlebih kebenaran mutlak wujud/zat-Nya—yang memang tidak mungkin dapat diselami tanpa melalui khalifah/wakil/rasul-Nya.
Entah apa nama agama beliau. Sejauh ini saya belum tahu pasti apa nama agamanya. Tampaknya memang belum ada penelitian yang komprehensif (menyeluruh) berkaitan dengan hal ini. Informasi-informasi yang berkaitan dengannya pun tidak banyak, kecuali yang tersurat dalam berbagai kitab Suci.
Namun yang jelas, sebagaimana keyakinan dan pengalaman saya, yang beliau ajarkan adalah ajaran ketuhanan. Ajaran tauhid. Ajaran yang mengarahkan, mengertikan, dan memahamkan bagaimana mentauhidkan zat, sifat, dan af'al-Nya. Sekaligus pula ajaran yang mengajarkan bagaimana me-Mahasucikan Diri-Nya dalam keseharian. Serta, ajaran yang menekankan bagaimana seharusnya berlaku sebagai hamba (makhluk) di hadapan penciptanya (khalik) dan bagaimana membawa diri menempati posisi yang semestinya ditempati.
Hakekat ajarannya sama dengan ajaran para rasul-Nya sesudahnya. Sama-sama mengajarkan tauhid. Sama-sama mengakui satu Tuhan. Sama-sama mengupayakan bagaimana meng-Esakan-Nya. Sama-sama mengajarkan kebaikan, perdamaian, pengakuan hak azasi setiap orang. Juga sama-sama mengakui kemerdekaan individu yang universal.
Yang membedakan hanyalah syariatnya. Kalau zaman rasul sesudahnya ada ibadah haji maupun salat, pada zaman Adam belum ada. Sebab ibadah haji diturunkan pada zamannya Nabi Ibrahim. Sedangkan ibadah salat diturunkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Demikian pula zamannya Nabi Isa, di sana pun belum ada ibadah salat. Sebab ibadah salat diturunkan pascakekalifahan Nabi Isa. Begitu seterusnya. Hakikat ajarannya yang sama, syariat (tata lahiriah)-nya saja yang mungkin bisa berbeda.
Terus, Mengapa Ada Banyak Agama?
Ada dua faktor (perspektif logika dan pemikiran) yang mendasari mengapa ini bisa terjadi. Pertama, faktor manusianya. Faktor ini lebih didominasi oleh wataknya manusia yang suka membuat kerusakan di atas. Oleh karenanya sangat mungkin bahwa pada generasi penerusnya melakukan hal yang sama, berani merusak ajaran rasul. Misalnya dengan mengadakan agama "tandingan". Atau mendirikan golongan-golongan baru, yang dalam jangka waktu tertentu mungkin jadi bisa berubah menjadi ”agama baru”.
Sebab, yang dikatakan merusak bukan hanya sekadar merusak hardware-nya bumi langit dan seisinya, melainkan merusak software-nya pula. Merusak ajaran kebenaran. Merusak sistem ber-Tuhan yang dibawa rasul. Merusak ”grand idea”(ide agung/mulia) atas penciptaan bumi langit dan seisinya—termasuk diciptakannya manusia. Maupun merusak kesanggupannya sendiri, yang berupa kesediaan memikul amanah dari-Nya (yang disanggupi oleh semua manusia tanpa kecuali ketika masih di alam arwah dulu).
Faktor kedua adalah karena kekuasaan Tuhan. Faktor ini tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk para malaikat—sebagaimana kisah di awal tulisan ini. Menjadi hak mutlak-Nya bila Dia menurunkan agama baru—sebagai revisi terhadap agama sebelumnya. Sebagaimana yang jelas-jelas dapat dicermati, kisah penurunan agama Nasrani, dari komunitas agama yang sudah ada sebelumnya (Yahudi, maupun agama lain yang pernah turun lebih dulu). Demikian halnya penurunan agama Islam di lingkup berbagai macam agama yang sudah ada sebelumnya (Yahudi, Majusi, Nasrani, maupun agama lain yang lebih dulu ada).
Perlunya “revisi agama” terhadap agama-agama yang terdahulu ini tidak jauh beda dengan revisi undang-undangnya buatan manusia—baik yang UUD maupun UU lainnya. Karena dirasa tidak cocok lagi dengan zamannya (karena zaman telah berubah), bermuatan kolonialis, berindikasikan paham “kiri”, produk barat, atau karena kurang demokratis sehingga perlu ada revisi baik isi maupun substansinya.
Bila hal yang demikian (revisi undang-undang) menurut penciptanya sendiri adalah suatu yang niscaya, maka Tuhan pun lebih dari sekadar niscaya melakukan revisi atas agama yang pernah Dia turunkan di muka bumi. Dia Maha Niscaya. Dia Maha menentukan dan Maha mengubah segala sesuatunya, yang menurut pemikiran manusia dianggap tidak mungkin.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa berapa pun banyaknya agama di muka bumi ini, bila Tuhan menghendaki, maka pasti terjadi. Manusia tidak akan sanggup memprediksinya. Contoh yang sangat kecil, bila Nabi SAW waktu itu memprediksi bahwa Islam nanti akan pecah menjadi 73 golongan, ternyata sekarang tidak lagi sedemikian jumlahnya. Telah mencapai ribuan bahkan mungkin jutaan pecahan baru.
Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa dari ribuan macam agama yang ada di bumi ini, yang benar dan sekaligus sempurna hanya satu. Yaitu agama yang di tengah komunitasnya ada khalifah/rasul/utusan-Nya. Kedudukan sang rasul ini sebagai "kabel" (penghubung) antara Tuhan dengan hamba-Nya. Sebagai "juru bicara"-Nya yang sekaligus "tangan kanan"-Nya, yang akan membimbing manusia pulang pada Diri-Nya.
Tidak peduli apakah agama "update" ini punya basis masa atau tidak. Tidak peduli apakah ia diterima oleh umat manusia atau malah sebaliknya, dilecehkan dan dianggap membuat agama baru—yang biasanya dilakukan oleh penganut agama pendahulu.
Bagaimanapun situasi dan keadaannya, proyek Tuhan mengentaskan kebodohan hamba-Nya tetap jalan terus. Tak ada agama mana pun—baik pemimpin maupun penganutnya—yang sanggup menghalanginya. Sekalipun semua agama yang telah ada di bumi ini bersatu padu untuk menentangnya, kekuasaan Tuhan (perihal ini) tak akan berhenti dan tak ada yang sanggup menghentikannya.
Lebih dari itu, Tuhan tidak bangga bila semua hamba-Nya mau mengakui agama yang ”selalu” Dia update ini. Dia juga tidak risih, tidak susah, dan tidak pula "ngenes" bila mereka berbalik memusuhi pembawa ajaran (misi)-Nya. Sebagaimana firman tegas-Nya: “barangsiapa ingin beriman berimanlah, barang siapa ingin kafir kafirlah” (QS.18:29).
Kesimpulan
Jadi, sejatinya, perlunya diturunkan agama oleh-Nya adalah agar makhluk-Nya yang namanya manusia tidak lagi berada dalam kegelapan. Tidak lagi terjebak dalam kerusakan. Tidak lagi merasa puas atas keyakinan yang pernah diterimanya. Tidak pula merasa puas berada di ”langit” ilmu pengetahuan-pengalaman yang selama ini diyakini. Sebab, ”di atas langit masih ada langit”. Di mana ada ilmu pengetahuan-pengalaman yang tinggi—termasuk pula dalam agama—masih ada lagi pengetahuan-pengalaman yang lebih tinggi. Yaitu pengetahuan-pengalaman yang langsung dari Zat Yang Maha Tinggi.
Kemudian mau mencari di mana al-haq (kebenaran sejati) itu berada. Tidak merasa paling benar sendiri, baik di hadapan sesamanya dan apalagi di hadapan penciptanya. Berusaha untuk tidak merasa dan mengakui bahwa agamanyalah agama yang paling benar dan paling ”diridhai” di sisi-Nya. Sebab, Tuhan nyatanya tidak memandang nama agamanya, melainkan memandang bagaimana beriman yang sejati kepada-Nya dapat diimplementasikan. ”Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS.2:62).
Selanjutnya, pikirannya mau menafakuri bahwa apa pun agama (keyakinan/paham) yang dipegang teguh selama ini, ada konsekuensi luar biasanya di hari akhir nanti. ”Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu” (QS. 22:17).
Yang pada akhirnya berani menerima kenyataan bahwa benar dalam pandangan manusia belum tentu benar menurut Tuhan. Sedang kebenaran mutlak-Nya mau tidak mau harus diterima oleh manusia, bila tidak ingin menanggung kerugian yang tak terhingga besar-beratnya di hari kiamat nanti. Sebagaimana pepatah timur tengah: ”yang benar akan selalu benar walaupun tidak seorang pun melakukan, yang salah tetap salah walau semua orang melakukan”.[rd]
* Roni Djamaloeddin dapat dihubungi di ronijamal@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar