Saya telah beberapa kali mengikuti pelatihan motivasi, baik yang diselenggarakan oleh teman-teman kampus maupun yang saya ikuti melalui lembaga manajemen pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM). Pelatihan-pelatihan tersebut, saya akui, memang dahsyat. Sebagian besar peserta ter-“setrum” oleh ungkapan-ungkapan sang motivator. Tidak itu saja, peserta pun diberikan beberapa permainan yang menggugah semangat juang guna mencapai motivasi tertinggi.
Awalnya, seluruh peserta bersemangat dan menikmati jalannya pelatihan dengan baik, tak terkecuali saya. Bahkan, sepanjang pelatihan, tak satu pun peserta merasakan adanya kekecewaan. Namun, beberapa hari usai pelatihan, semangat saya dan sebagian peserta mulai drop. Adapun yang semangatnya menyala-nyala, hanya segelintir orang saja. Itu pun sudah cukup menggembirakan.
Saya termenung. Diam-diam saya bertanya dalam hati terdalam,”Salahkah saya? Salahkah pelatihan motivasi tersebut?”
Beberapa hari saya merenung menemukan jawaban kegundahan saya itu. Akhirnya, saya sadar, untuk mentransformasi diri saya belum cukup hanya mengikuti pelatihan motivasi. Perubahan diri saya sangat tergantung pada tekad dari dalam diri saya sendiri. Saya sangat yakin dalam diri manusia tersimpan harta karun ajaib, sumber motivasi tertinggi; motivasi yang senantiasa hidup dalam diri.
Saya bertambah yakin saat berkenalan dengan buku Life Excellent, karya Reza M.Syarif Super Trainer. Tulisannya mengingatkan saya supaya tidak terlalu bergantung pada pelatihan motivasi. Berikut penuturannya...
Kalau kita menggantungkan diri kepada external motivasi, saya tidak bisa bayangkan dan saya tidak bisa memvisualisasikan berapa biaya yang harus Anda keluarkan untuk membayar seorang motivator 24 jam penuh untuk memberikan motivasi bagi Anda. Karena setiap orang akan mengalami sesuatu, apa yang disebut dengan istilah fluktuasi emosi. Hari ini mungkin Anda bisa bersemangat, tapi besok mungkin Anda tidak bersemangat...(Life Excellent: Menuju Hidup Lebih baik, hal.254) Saya sadar, tugas motivator hanya memberikan “sinyal-sinyal” kebaikan kepada peserta, selebihnya, kembali pada diri peserta. Terserah apakah peserta tersebut mau berubah atau tidak? Dengan kata lain, hidayah bukanlah hak dari motivator, tetapi hak Tuhan. Sang motivator hanya memfasilitasi diri saya untuk menemukan hidayah Tuhan.
Fenomena berikutnya, ternyata bukan hanya pelatihan-pelatihan motivasi yang memberikan semangat ”semu”, sebagian buku motivasi pun tak jauh berbeda, hanya memberikan pesan-pesan bijak kepada saya. Saya dimotivasi melalui kekuatan kata-kata bijak, tanpa ada penjelasan mengenai satu hal penting, yaitu sumber motivasi dalam diri saya yang bersifat hakiki. Karena memang buku pun hanya sebagai salah satu ”alat” motivasi eksternal.
Senada dengan itu, Darmadi Darmawangsa dan Imam Munadhi dalam bukunya Fight Like A Tiger Win Like A Champion menyadarkan saya. Keduanya menegaskan, ia dan teman-temannya yang bergerak dalam bidang personal development (pengembangan diri) tidaklah bisa memotivasi peserta. Apa yang ia lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin memberikan inspirasi kepada peserta, baik dari segi presentasi, maupun suasana pelatihan yang telah dikemas sedemikian rupa. Hakikatnya, motivasi pada diri setiap orang datangnya dari internal diri mereka masing-masing.
Dalam kegelisahan itu, saya sangat berterima kasih kepada Danah Zohar dan Ian Marshall yang kembali menyadarkan saya. Saya diberikan sebuah pemahaman yang dalam mengenai kekuatan dalam diri saya. ”Manusia punya bentangan potensi yang amat luas, dari yang paling buruk yang bisa kita bayangkan hingga sublimitasi tertinggi. Terlampau sering kebanyakan dari kita bersikap sembrono sehingga berkutat di level yang lebih rendah daripada titik pertengahan dalam skala ini. Kita membiarkan diri kita dikendalikan oleh motivasi-motivasi rendah [motivasi eksternal]...” (Spiritual Capital, Danah Zohar dan Ian Marshall, hal. 17)
Lalu, saya kembali merenung: Siapakah yang patut dipersalahkan ketika mengikuti pelatihan/membaca buku motivasi akan tetapi saya tak jua berubah?
Saya pikir, tak ada yang patut dipersalahkan. Justru, saya harus menyadari akan kekurangan-kekurangan saya ketika mengikuti pelatihan. Jangan-jangan, saya tidak bersinergi dengan sang motivator. Jangan-jangan kata-kata sang motivator tidak saya resapi baik-baik. Mungkin itulah yang menyebabkan saya tidak terkoneksi antara kemauan sang motivator dan diri saya sendiri. Atau jangan-jangan, saya tidak mau menyadari bahwa diri saya punya kekuatan dahsyat yang harus segera saya nyalakan.
Perasaan, pikiran, dan tindakan. Inilah kekuatan yang mesti saya maksimalkan. Sebenarnya, dalam pelatihan dan buku motivasi sudah banyak diungkapkan. Hanya saja, saya lupa mengolaborasikan ketiga komponen tersebut. Saya lupa, apabila ketiganya dijadikan satu, disinergikan, dan diselaraskan, maka saya akan menjadi tenang, sukses, dan bahagia. Saya tidak butuh berkali-kali mengikuti pelatihan motivasi. Cukup satu dua kali saja. Lalu, saya daya gunakan semaksimal mungkin ketiganya.
Lagi-lagi, sayangnya, saya sering kali menemukan ketiga komponen itu tidak sejalan dalam diri saya. Terkadang dalam hati saya mengatakan ”A”, eh, pikiran saya mengatakan ”B”. Atau terkadang perasaan dan pikiran saya mengatakan ”A”, malah tindakan saya jauh dari perasaan dan pikiran saya. Dengan kata lain, saya belum mampu mensinergikan ketiganya dalam satu kotak. Oleh karenanya saya membutuhkan istiqamah. Alias saya membutuhkan cara untuk memadukan ketiganya.
Apabila saya berhasil mensinergikan ketiganya, saya yakin hidup saya menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hidup saya akan melejit. Karena pikiran dan perasaan adalah sebuah energi yang tak terlihat namun dapat Anda rasakan. Inilah yang disebut-sebut sebagai kekuatan kuantum. Sayangnya, belum banyak dimanfaatkan secara benar dan tepat oleh kebanyakan orang.
Akhirnya, saya mulai ngeh. Ya, saya harus menggunakan energi kuantum itu untuk mendorong tindakan-tindakan saya. Saya pasti secepat kilat melejit, mencapai keinginan-keinginan saya. Analoginya, tindakan-tindakan saya digerakkan oleh energi yang sangat dahsyat. Dan, mau tak mau, semua perilaku saya, karakter saya, dan akhlak saya akan digerakkan oleh energi kuantum yang berasal dari perasaan saya dan pikiran saya. Saya menyebutnya Quantum Istiqamah. Bagaimana dengan Anda?[rsr]
* Rusdin S. Rauf adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, statistican, penulis buku pengembangan diri islami yang dipadukan dengan psikologi modern, dan motivator muda. Pemuda asal Gorontalo ini dapat dihubungi melalui email: rusdin_pecintabuku@yahoo.com atau kunjungi blog-nya di: Web: http://rusdin.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar