Pembaca…
Teman saya seorang dokter gigi bercerita, klinik tempat dia selama ini bekerja bangkrut. Syukurnya praktik teman saya itu tidak harus ikut gulung tikar karena apotek di sebelah klinik menawarkan pada dia dan teman sejawat yang lain untuk praktik di sana. Tapi karena bentuknya hanya sebuah apotek, maka untuk private practice dia harus menyediakan peralatan sendiri.
Teman saya bingung. Membeli dental unit (kursi pemeriksaan gigi) dalam waktu yang mendesak akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Karena itulah ketika mendengar pemilik klinik lama akan menjual dental unitnya, segera saja teman saya ini mengajukan diri sebagai pembelinya. Cuma dia minta diberi keringanan agar bisa mengangsur uang pembelian beberapa bulan ke depan. Permintaannya ternyata ditolak. Sepertinya pemilik klinik sedang benar-benar butuh uang sehingga tidak bisa memberi kredit.
Beberapa hari kemudian, di klinik muncul seorang dokter gigi lain yang pernah bekerja di situ sewaktu klinik baru berdiri. Dokter gigi ini dulu mengundurkan diri karena tidak sabar membina pasien yang masih satu dua. Ia juga tidak tahan dengan klinik yang memotong biaya perawatan gigi yang terlalu besar. Ia mengaku datang ke klinik karena dimintai tolong oleh si pemilik klinik untuk menjualkan dental unit yang menurutnya sudah rusak.
Dokter gigi ini sempat berbicara dengan teman saya. Waktu itu ia berandai-andai bagaimana kalau misalnya yang membeli dental unit itulah yang berhak untuk praktik di tempat yang baru. Teman saya langsung menyanggahnya. ”Aturan dari mana itu? Siapa pun boleh membeli dental unit itu, tapi yang praktik di tempat yang baru tetap saya. Tidak ada hubungannya dengan yang membeli unit,” ujar teman saya mempertahankan prinsipnya. “Kan bisa saja,” kata dia ”misalkan saja yang membeli dental unit keponakan pemilik klinik, bisa saja kan pemilik klinik bernegosiasi dengan pengelola apotek agar ponakannya diizinkan praktik di apotek?”
Pembaca….
Saat itu perasaan teman saya sudah tidak enak. Dia sudah dapat merasakan dokter yang baru muncul ini tidak bermaksud mencari pembeli untuk dental unit itu. Tapi, dialah yang ingin memilikinya dan dia juga sekaligus menginginkan tempat praktik teman saya yang pasiennya sudah cukup banyak. Dia ingin memanfaatkan kesempatan di tengah ketidakmampuan teman saya dalam membeli dental unit saat itu.
Dugaan teman saya benar. Ternyata, dental unit milik klinik itu akhirnya jatuh ke tangan dokter gigi ini. Dan, teman saya juga mendengar dia mulai kong kalikong dengan orang-orang tertentu agar bisa mengambil tempat praktik dengan alasan teman saya tidak punya dental unit. Dia sepertinya begitu berusaha keras mengambil alih karena dia tahu di apotek nanti tidak ada potongan-potongan yang dialaminya seperti saat masih bekerja di bawah klinik.
Teman sejawat lain yang mendengar ini geleng-geleng kepala. Mereka kemudian kompak dan bertekad akan menolong teman saya agar dia bisa segera memiliki unit sebelum tempatnya diserobot orang lain. Tapi, subhanallah pembaca, sebelum mereka sempat menolongnya, di saat paling genting, suami teman saya itu mendapat rezeki yang tidak terduga dari proyeknya. Dan, dia bisa membelikan istrinya dental unit yang harganya tiga kali lipat dari dental unit bekas yang ditawarnya secara kredit itu. Adapun orang yang bermaksud menyingkirkan teman saya itu pergi membawa dental unit-nya yang rusak entah ke mana. Saya kira bila dia masih waras, mestinya dia malu sudah menganggap orang-orang di sekitarnya tolol karena tidak bisa membaca niat buruknya. Dan, malu juga karena sudah meremehkan teman saya.
Pembaca…
Saya selalu percaya, setiap orang punya pohon rezekinya masing-masing. Pohon rezeki yang sudah ditakdirkan Tuhan menjadi milik seseorang, bahkan sebelum dia lahir. Pohon rezeki itu buahnya hanya bisa dipetik oleh orang yang memang punya password untuk mengaksesnya. Dan, yang punya itu hanya pemiliknya atau orang lain yang sudah diizinkan pemiliknya untuk ikut menikmatinya. Jadi, percuma saja bila kita mati-matian mencoba memetik buah itu dengan galah, karena pasti pohonnya sendiri tidak akan melepas buahnya. Kalaupun kita berhasil mengambilnya, pasti buah yang kelihatan ranum di tangan kita itu berubah menjadi busuk dan berulat. Jangan juga pernah mencoba memanjat batangnya, karena bisa saja Anda terpeleset dan jatuh. Atau bila Anda memaksa juga merampok pohon rezeki orang lain, Anda bisa berakhir di penjara.
Menurut saya, dari pada kita repot-repot mengurusi pohon orang lain yang pasti tidak akan pernah menjadi milik kita, lebih baik kita mengurus pohon kita sendiri. Mungkin sekarang kita masih punya batang pohon yang kurus dan kurang gizi, daun yang kuning dan kering, atau buah yang kecil-kecil dan kecut. Tapi, kalau kita rajin menyirami dan memupuknya suatu saat pohon rezeki kita bisa juga berbuah ranum dan menjadi kebanggan kita.
Kemudian, jangan lupa kalau juga kita memerlukan orang lain untuk membuat pohon rezeki ini lebih cepat tinggi dan lebih banyak berbuah. Karena, orang yang banyak berhubungan dengan orang lain rezekinya akan lebih banyak dan luas. Jadi, sudahkah Anda ikhlas mengurus pohon rezeki Anda sendiri dan tidak iri dengan pohon orang lain? (yl)
* Yeni Lefrina adalah alumnus Fakultas Kedokteran Umum Universitas Padjadjaran Bandung. Saat ini, ia berdomisili di Bandung dan membuka praktik dokter gigi di rumah dan di sebuah di Cinunuk, Bandung. Ia mulai aktif berlatih menulis setelah ikut serta di klub penulisan Hardim Bandung. Yeni yang mulai aktif menulis artikel kesehatan dan parenting ini pernah jadi juara ke-2 lomba penulisan yang diadakan Majalah Dokter Kita. Menikah dengan Yuliardi SE Ak, Yeni sudah dikaruniai dua orang anak, yaitu Leo (12 tahun) dan Vani (8 tahun). Ia dapat dihubungi melalui yenilefrina@yahoo.co.id.
0 komentar:
Posting Komentar