“Engkau harus berjalan, para Buddha hanya menunjukkan jalannya.
~ Dhammapada 276
“Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar.”
~ Nabi Muhammad SAW
Saya ingin mengawali tulisan saya ini dengan mengutip sebuah penjelasan menarik yang saya ambil dari buku What Would Buddha Do At Work, berikut ini:
“Berulangkali Buddha mencegah kita mematok pelajarannya menjadi sistem kecil yang rapi. Ia paham betapa kita menginginkan kepastian dan jaminan dalam dunia yang selalu berubah ini. Kita ingin agar dia memberikan “Tujuh Langkah Mudah Menuju Pencerahan”, atau “Sepuluh Cara Agung untuk Mendapatkan Nirwana Sekarang.” Cobalah Saudara melihat-lihat toko buku sekarang—beribu-ribu buku menuliskan tentang cara berpikir manusia. Kita menyukai buku yang menjanjikan kehidupan yang gemilang karena mengikuti sejumlah X langkah, petunjuk, atau daftar.
… Buddha mengatakan bahwa para pengajar harus bisa menahan diri agar tidak merebus semua bahan menurut resep tertentu. Para pelatih tidak boleh memberikan janji-janji palsu dengan menyederhanakan kerumitan dunia usaha. Belajar tidak pernah bisa sistematis karena setiap orang mempunyai caranya tersendiri. Setiap orang harus membuat percobaan, membuat kesalahan, berjuang, bertanya-tanya, menggali berbagai alternatif, dan menemukan caranya sendiri ke jalan menuju pekerjaan yang menyenangkan.
Buddha tinggal bersama para muridnya untuk membantu mereka menemukan jalannya masing-masing.
… mungkin saja Saudara memang memerlukan sedikit pertolongan, memerlukan seseorang tempat bertanya untuk memecahkan masalah, menggali alternatif-alternatif, dan menciptakan kesempatan baru. Akan tetapi, jangan biarkan orang lain mendikte cara-cara mengurus departemen atau organisasi Saudara. Seorang konsultan yang baik adalah seperti seorang dokter: Ia bisa mendiagnosis penyakit Saudara, ia dapat mempelajari kekuatan Saudara, dan ia bisa memberikan informasi serta cara-cara untuk membantu Saudara menjadi sembuh. Namun, pada akhirnya, Saudara sendirilah yang harus makan makanan sehat, menjalani terapi fisik, beristirahat, makan obat yang benar pada waktunya, dan mengerahkan segala upaya untuk menjadi sehat. Saudara sendirilah yang harus mengerjakan dan menyembuhkan diri. Tak ada orang yang bisa menggantikan kewajiban itu, bahkan bila orang itu telah menulis buku tentang bisnis yang sangat laku dan telah tercantum di daftar NY Times. Jadi, jangan sekali-kali bergantung pada kekuasaan orang lain, sekali pun kepada Buddha. Berusahalah!”
Setelah Anda membaca petikan di atas, cobalah untuk melakukan eksperimen sederhana berikut ini: Ambillah sebuah benda (bisa berupa batu, pulpen, atau apa saja) dan kemudian lemparkanlah benda tersebut ke depan Anda sejauh beberapa meter. Sebelum melempar, tandailah terlebih dahulu di mana posisi Anda ketika melempar benda itu. Begitu juga setelah melempar benda tersebut, tandailah juga di mana benda itu jatuh dan berhenti. Nah, sekarang (setelah Anda melempar untuk pertama kalinya) cobalah lagi untuk melempar benda yang sama, dan usahakan agar benda itu jatuh di tempat yang sama. Dan, cobalah untuk melakukannya beberapa kali.
Jika Anda melakukan eksperimen tadi dengan teman Anda, maka kemungkinan teman Anda akan meragukan Anda bisa melempar dan mengenai tempat semula benda itu jatuh. Atau paling tidak, jika Anda masih berhasil melakukannya untuk yang kedua kalinya, maka teman Anda mungkin akan berkata: “Ah, itu kan kebetulan saja.” Tapi, sesungguhnya hal itu bukanlah suatu kebetulan. Artinya, jika Anda memiliki syarat-syarat yang sama ketika pertama kali Anda melempar, maka Anda bisa melakukannya untuk beberapa kali, bahkan dalam percobaan yang tak terhingga sekali pun.
Apa saja syarat-syarat tersebut? Tenaga yang Anda berikan kepada benda tadi, fokus, dan perhatian Anda, kekuatan hembusan angin ketika Anda melempar, dan berbagai macam syarat yang bisa Anda tambahkan. Jadi, jika Anda memberikan tenaga yang sama pada saat melempar kali pertama, begitu juga dengan syarat-syarat yang lain, maka berapa kali pun Anda melempar Anda bisa membuat benda tersebut jatuh di tempat yang sama.
Eksperimen ini menunjukkan kepada kita beberapa hal: Pertama, kita bisa berhasil melakukan apa pun yang kita inginkan jika kita melakukan semua syarat secara persis sama dengan yang dilakukan oleh orang lain yang kita tiru. Namun, hal ini pun menyisakan satu variabel lain yang menjadi pelajaran berikutnya. Kedua, pada saat melempar sebuah benda, tidak selamanya seseorang itu berhasil melakukannya berkali-kali untuk melemparkannya dan mengenai sasaran yang sama. Kenapa demikian? Jawaban yang mungkin adalah: Tidak setiap saat seseorang selalu berada dalam kondisi yang sama yang sesuai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan. Untuk menyiapkan kondisi diri supaya selalu persis sama dalam semua syarat sebagaimana keadaan yang diinginkan itu bukanlah hal mudah. Bahkan, itu membutuhkan usaha yang terus-menerus, tanpa henti.
Jawaban yang lain adalah: Masih banyak variabel lain yang mungkin menjadi syarat terpenuhinya suatu keadaan, tapi kita tidak mengetahuinya. Sebagai contoh, ketika kita melemparkan sebuah benda, telah disebutkan variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat seperti kekuatan tenaga, kekuatan hembusan angin, fokus dan perhatian. Ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat-syarat terpenuhinya kondisi yang diinginkan. Tapi, kita tidak bisa menutup kemungkinan akan selalu ada variabel lain yang menjadi syarat terhadap kondisi yang kita inginkan. Hanya saja, kita belum mengetahuinya.
Contoh bagus untuk hal ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh begitu banyak peneliti yang meneliti bidang tertentu. Misalkan saja kita ambil satu bidang, yaitu kesuksesan. Begitu banyak penelitian yang dilakukan, yang selalu saja melahirkan variabel baru yang menjadi syarat bagi terpenuhinya kesuksesan seseorang. Belum lagi jika kita memerhatikan faktor keunikan setiap orang.
Penting untuk Anda ketahui bahwa setiap orang tidak sama dengan yang lain. Adalah betul bahwa kita ini sama-sama manusia, namun di balik kesamaan itu, kita pun memiliki berbagai macam perbedaan. Jika kita meninjau argumen ini dari sudut pandang filsafat, maka dua hal yang sama persis itu seharusnya tidak menunjukkan dua hal. Jika kedua benda itu sama persis, maka yang ada semestinya hanya satu benda, dan bukan dua buah benda. Adanya dua buah benda mengisyaratkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang berbeda yang dimiliki oleh masing-masing benda tersebut, walaupun juga memiliki beberapa kesamaan.
Nah, perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya ini, dalam bahasa popular, disebut sebagai UNIK. Penelitian di bidang genetika pun telah membuktikan hal ini, bahwa tidak ada satu pun manusia yang sama persis. Semuanya memiliki keunikan tersendiri. Penelitian ini juga telah membuktikan bahwa untuk setiap satu orang terdapat 70 triliun kombinasi gen yang mungkin terjadi. Dengan demikian, adanya kombinasi gen yang tak terhingga memastikan bahwa tidak akan pernah ada dua makhluk yang sama persis. Anda begitu unik, lho…!
Dengan melihat keunikan ini saja, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masih terbuka kemungkinan yang sangat besar untuk adanya variabel lain yang menjadi syarat bagi terpenuhinya keadaan yang diinginkan. Keunikan ini juga mengisyaratkan kepada kita bahwa kondisi yang dimiliki oleh setiap orang itu berbeda-beda. Sebagai contoh, kesabaran. Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin mengartikan kesabaran sebagai kemampuan untuk selalu intens melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri. Kita juga bisa melihat dengan sudut pandang yang sedikit berbeda, yaitu kemampuan untuk selalu intens keluar dari zona kenyamanan.
Nah, melakukan hal-hal yang bermanfaat secara rutin itu memerlukan usaha tersendiri, yang takkan bisa jika orang tersebut tidak sabar; karena bisa saja “ketersiksaan” yang dialami pada saat melakukan sesuatu itu akan dipandang sebagai penderitaan. Oleh sebab itu, kesabaran sangat erat kaitannya dengan bersyukur, karena bersyukur bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menerima keadaan/kenyataan hidup. Jika Anda merasa “tersiksa” dan mengartikannya sebagai penderitaan, maka kemungkinan besar Anda akan berhenti untuk bersabar.
Kondisi-kondisi seperti ini adalah variabel-variabel yang menjadi syarat untuk sukses, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa serta-merta mengatakan bahwa kita sudah bersabar, karena sesungguhnya kesabaran itu memiliki tingkatan nilai yang berbeda-beda. Perbedaan kondisi ini antara setiap orang berbeda, karena keunikan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Jadi tidak alasan untuk menjamin kesuseksan seseorang.
Namun, penting untuk diingat bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan bahwa Anda harus berhenti mengikuti berbagai seminar atau workshop, terlebih lagi bagi yang memberikan jaminan kesuksesan bagi Anda. Justru sebaliknya, karena keunikan Anda, maka Anda membutuhkan banyak varibel lain yang membuka peluang besar bagi Anda, sehingga syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menggapai kesuksesan bisa terpenuhi. Mengikuti berbagai pelatihan akan membuka wawasan Anda, dan Anda memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk menemukan variabel kesuksesan Anda.
Oleh sebab itu, marilah kita mengikuti anjuran Nabi Muhammad SAW: Obat bagi kebodohan adalah bertanya dan belajar. Bukankah kesuksesan itu adalah sebuah proses belajar terus-menerus?[ss]
* Syahril Syam adalah seorang konsultan, terapis, public speaker, dan seorang sahabat yang senantiasa membuka diri untuk berbagi dengan siapa pun. Beliau memadukan kearifan hikmah (filsafat) timur dan kebijaksanaan kuno dari berbagai sumber dengan pengetahuan mutakhir dari dunia barat. Teman-temannya sering memanggilnya sebagai Mind Programmer, dan dapat dihubungi melalui ril_faqir@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar