Suatu hari di bulan Januari 2005, saya mendapatkan email yang mengejutkan sekaligus menggembirakan. Pengirimnya, Geonardjoadi Goenawan seorang pengusaha rekaman instant Talnet Box. Dalam emailnya, dia meminta saya mengedit (tepatnya merombak) tulisannya yang dia kirim ke Elex Media. Saya terima permintaan itu, dan sampai sekarang sudah tujuh buku Goenardjoadi yang saya editori, lima di antaranya sudah terbit. Rangkaian peristiwa itu menjadi moment awal saya memasuki dunia buku, dunia yang sebelumnya hanya ada di angan-angan.
Saya memang hobi menulis, tapi hobi itu sempat tenggelam selepas kuliah dan mulai bekerja di radio. Keinginan untuk menulis dan membuat buku, hanya ada di awing-awang yang seolah sangat jauh untuk dicapai. Email Pak Goen itulah, yang menjadi awal pijakan saya menerjuni dunia buku. Mulai dari mengedit, menulis sendiri, menulis bareng sampai menerbitkan dan menjual sendiri bukunya.
Setelah lebih jauh mengetahui seluk beluk dunia buku, saya makin tertantang untuk melakukan langkah-langkah yang belum dilakukan orang lain. Saya lihat, buku hanya dijajakan di toko buku, baik toko buku modern maupun tradisional. Tapi judulnya tetap toko buku. Kalau ada yang bukan toko buku adalah lapak-lapak pusat penjualan buku seperti di kawasan Senen Jakarta Pusat. Akibatnya, buku hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu. Kalangan yang melek buku, kalangan menengah terus sampai atas. Lah, lalu bagaimana kalangan bawah? Apakah mereka tidak boleh membaca buku?
Betul, budaya membaca memang belum oke di negeri ini, apalagi di kelas bawah. Buat mereka makan dan merokok jauh lebih penting ketimbang berbelanja buku. Tapi kondisi itu jelas bukan kesalahan mereka sendiri. Sistem yang berjalan ikut menyumbang terbentuknya budaya semacam itu. Percuma kita berkoar-koar agar masyarakat lebih giat membaca buku, tapi buku hanya tersebar di toko buku. Kalaupun ada perpustakaan, jumlahnya amat sangat sedikit dan baru menjangkau masyarakat tertentu. Lagi-lagi masyarakat tertentu yang dijangkau, sedangkan kelas masyarakat lainnya tidak.
Nah, muncullah ide untuk memasarkan buku bukan hanya di took buku. Intinya, buku harus menyebar melalui saluran yang lebih banyak dan menyentuh kalangan yang leih luas. Kenapa buku tidak dijajakan sekalian dengan koran? Pengecer koran bisa masuk ke wilayah yang lebih luas. Mereka ada di perempatan lampu merah, ada di stasiun kereta api, di perempatan jalan, di atas bus kota, dll. Kenapa buku tidak bisa menyebar ke sana? Pasti banyak alasan yang mengemuka dari para pakar perbukuan. Inilah… itulah… intinya, buku tidak bisa disamakan dengan koran atau majalah.
Akhirnya daripada saya juga berkoar-koar, pada Agustus lalu, saya meluncurkan sebuah buku, yang dilabeli embel-embel “hanya dijual di atas KRL”. Ya… buku ini hanya bisa Anda peroleh di atas gerbong-gerbong Kereta Rel/Rangkaian Listrik. Anda tidak akan bisa menemukan buku ini di Gramedia, Gunung Agung, Utama, Kharisma dll. Buku yang berjudul 1001 Cerita Seru di KRL Dari fisiknya, tentu buku ini tidak layak dibandingkan dengan buku-buku top keluaran penerbit kawakan. Buku ini sangat tipis, hanya 50 halaman dengan biaya cetak yang minimal dan harga jual yang minimal pula (tapi bentuknya tetap buku). Ingat, kami menjualnya di atas KRL yang penumpangnya adalah kalangan masyarakat menengah bawah. Syukur, ternyata dari ratusan ribu penumpang yang tiap hari hilir mudik di Jabotabek, 1.500 di antaranya sejauh ini mau membeli buku tersebut. Saya menyebutnya sebagai buku hasil Low Cost Publishing!. Tidak mau kalah dengan maraknya LCC (Low Cost Carrier).
Berdasarkan hasil buku KRL tersebut (saya menganggapnya sebagai proyek sukses, meski secara materi masih rugi), beberapa proyek lain akan segera menyusul. Tetap mengusung tema, menjual buku tidak harus di toko buku. Orang Indonesia yang datang ke toko buku sangat terbatas, sedangkan mereka yang berhak mendapatkan pengetahuan melalui buku, masih terlalu banyak di luar toko buku.
Salah satu yang akan segera meluncur adalah berjualan buku seperti berdagang koran atau air minum dalam kemasan, dari sebuah bis ke bis yang lain, di terminal bis, di perempatan jalan dll. Seperti buku KRL, sebagai penerbit, saya harus mencari tema yang cocok, agar buku tersebut diserap pasar. Percuma melemparkan buku dengan cara ala pengasong, bila tema bukunya tidak sesuai dengan pasar yang dituju. Mungkin ke depan, akan berhasil tapi masih perlu waktu yang sangat panjang.
Lalu, pada pertengahan 2007 mendatang, saya pun sudah mengincar moment penting sepakbola sebagai pasar yang potensial, yaitu perhelatan Piala Asia. Indonesia mendapatkan kehormatan sebagai tuan rumah pembukaan, partai penyisihan dan final. Dalam ajang semacam ini, pasti ribuan bahkan puluhan ribu orang akan berbondong-bondong mendatangi stadion. Ini pasar yang sangat potensial, sama seperti potensi pasar di KRL Jabotabek yang angkanya mencapai ratusan ribu orang. Sebuah tema sudah dipersiapkan untuk menyongsong pesta tersebut.
Masih banyak celah pasar yang bisa dimanfaatkan untuk mendobrak hegemoni toko buku dalam memasarkan sebuah buku. Sekarang mungkin harus memilah-milah tema sesuai pasarnya, tapi saya yakin ke depan, pemasaran buku akan lebih luas lagi ketimbang saat ini. Beberapa pihak malah sudah mulai dengan cara pemasaran langsung ala MLM. Semua layak dicoba, yang penting tujuannya bukan hanya mengeruk keuntungan tapi juga memperluas budaya membaca, memberikan kesempatan semua kalangan mendapatkan ilmu melalui buku, yang ujung-ujungnya akan ikut mencerdaskan bangsa ini.
Saya yakin dengan izin Yang Maha Kuasa, semua impian tersebut bakal terwujud. Tentu dengan bantuan Anda semua…[dm]
* Dodi Mawardi adalah seorang jurnalis, penulis dan editor sejumlah buku, praktisi self-publishing, produser radio Pas FM, dan saat ini juga menjabat sebagai direktur sebuah rumah produksi. Ia dapat dihubungi di +62.815.823 7831 atau email: dmawardi2000@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar