Sebagian dari pengunjung situs ini mungkin terkejut, atau bingung, dengan ide-ide radikal dan tidak lazim. Sebagian lagi mungkin merasa mendapat pencerahan setelah membaca artikel demi artikel. Mereka yang sudah akrab dengan pemikiran yang aneh-aneh di situs ini barangkali justru bosan dengan situs ini.
Bagaimanapun juga, kita harus bersimpati pada mereka yang bingung setelah mengunjungi situs ini. Bukankah belajar itu supaya mengerti? Bukan supaya bingung! Benar. Tapi benar pula bahwa untuk mengerti seseorang harus bingung terlebih dahulu.
Ada seorang anak hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Saat mengikuti ulangan PPKn di sekolahnya, ada pertanyaan mengenai lembaga-lembaga tinggi negara. Ia menyebutkan MK sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Gurunya ternyata menganggap jawabannya salah. Apakah anak tersebut harus menuruti gurunya? Ataukah melakukan protes, karena lebih percaya ayahnya?
Bayangkan misalnya Anda adalah Presiden SBY. Dalam suatu rapat kabinet terjadi debat antara Marie Pangestu (seorang teoritisi) dan Aburizal Bakrie (seorang pengusaha) tentang suatu kebijakan. Yang seorang akan sering mengulang kata-kata ‘menurut hukum ekonomi’, yang seorang mungkin akan sering mengatakan ‘menurut pengalaman saya’. Bagaimana Anda mengambil keputusan?
Tentang iklan Primagama misalnya. Di situs ini Purdi E. Chandra mengatakan ‘itu tidak ada teorinya’. Memasang Profesor Sarlito Wirawan sebagai model iklan Primagama tidak berhasil, namun saat memasang Rano Karno justru berhasil. Benarkah ini melawan teori, atau tidak ada teorinya?
Antara praktisi dan teoritisi, kita harus percaya kepada siapa? Jika kita lebih percaya pada teoritisi, siapakah yang lebih kita percayai, seorang bergelar doktor atau magister? Jika kita percaya praktisi, manakah yang lebih kita percayai, praktisi yang memiliki aset 500 miliar atau yang memiliki aset 5 triliun? Jika sama-sama membahas investasi misalnya, jika Warren Buffet menyatakan “A” dan George Soros menyatakan selain “A”, siapa yang lebih kita percayai?
Misalkan saya mengatakan bahwa Anda harus percaya pada Warren Buffet, pertanyaannya menjadi apakah Anda percaya kepada saya atau tidak. Nah, supaya tidak berputar-putar terus, akan saya utarakan pendapat saya.
Teori tidak jatuh dari langit. Teori juga bukan rekayasa atau hasil dari mimpi. Teori adalah rekaman, akumulasi dan penyederhanaan dari pengalaman (praktik) di masa lalu. Dalam sains, teori (dalam pengertian umum) biasanya merupakan pengungkapan hukum-hukum yang mengatur alam.
Saat seseorang mempraktikkan sesuatu, ia sebenarnya sedang melakukan berdasarkan teori, entah dia sadar atau tidak, entah dia tahu atau tidak, entah teori itu sudah atau belum ditemukan (dikalimatkan) orang.
Kita kembali pada contoh di atas, yaitu iklan Primagama. Penggunaan Profesor Sarlito Wirawan sebagai model iklan sangat tepat jika segmen yang menjadi target adalah mahasiswa psikologi, dosen, atau praktisi psikologi, maupun pemerhati psikologi. Kalau ingin meraih konsumen siswa SLTP atau SMU, jelas harus menggunakan figur yang populer di kalangan mereka seperti Rano Karno. Bahasan mengenai segmentasi dan targeting ini sudah umum di teori marketing.
Para pemuda atau ABG tentu pernah mendengar ayah atau kakek kita berkata: ‘kakek dulu juga pernah muda, karena itu seharusnya kalian begini…begitu…’. Nah, saat mengatakan itu kakek sedang membicarakan pengalamannya atau sedang berteori? Benar, dia sedang mengajarkan teori menjadi pemuda yang baik berdasarkan pengalamannya dulu. Inilah kelemahan orang yang merasa sukses, merasa pengalamannya adalah segala-galanya. Saya menggarisbawahi perkataan Hermawan Kartajaya saat memberikan kuliah umum di depan mahasiswa baru ITS 2006. Dia mengatakan, “Tetaplah merasa lapar, teruslah merasa bodoh.” Kok, saya kelihatannya mendukung para teoritisi ya?
Begini, karena teori adalah akumulasi dan rekaman dari praktik, maka semakin menguasai banyak teori maka kita semakin memiliki pengalaman yang banyak. Dan itu membuat kita tidak perlu mengalami kegagalan atau mengeluarkan modal lebih banyak karena ketidaktahuan kita.
Namun, mengapa seorang profesor ekonomi belum tentu kaya raya? Karena teori merupakan penyederhanaan praktik di masa lalu, maka ada hal-hal yang tidak dapat atau tidak mungkin terekam oleh teori. Ini terutama mengenai perilaku manusia, yang menjadi obyek pengamatan ilmu-ilmu sosial. Dalam kasus profesor kita, mungkin beliau tidak memiliki intuisi bisnis. Intuisi dapat diperoleh setelah banyak berlatih dan jatuh bangun, sesuatu yang tidak dalakukan oleh profesor kita.
Sudah sampai sejauh ini, siapakah yang anda percaya, praktisi atau teoritisi? Kalau menjawab salah satunya, apakah Anda percaya pada saya?
Dalam salah satu adegan komedi Office Boy, tokoh Ma’il bertanya pada Sayuti, “Yut, kamu percaya pada Mpok Odah (diperankan Tika Pangabean) atau percaya saya?”. Lalu Sayuti menjawab, “Kalau saya percaya sama Tuhan, Mas.”
Kalau Anda percaya pada saya, saya akan menjawab, pikirkan baik-baik pertimbangan praktisi maupun teoritisi dengan kapasitas berpikir Anda. Setelah itu, percayalah pada diri sendiri, dan percayalah melalui keputusan Anda, Tuhan sedang memimpin masa depan Anda.[]
* Kristopher David, saat ini sedang kuliah di Jurusan Statitiska ITS Surabaya. Ia dapat dihubungi di: eizraa@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar