Bagi pengusaha, ngutang itu lumrah. Pasalnya mereka tahu, hanya dengan ngutang omset usaha bisa digenjot kencang. Tapi meskipun sama-sama bermodalkan uang pinjaman, besarnya keuntungan yang diperoleh bisa beda bila sumber ngutangnya juga beda. Apalagi saat ini banyak sekali lembaga keuangan yang menawarkan pinjaman. Khusus tulisan kali ini akan menakar keuntungan ngutang di bank konvensional dengan ngutang di bank syariah.
Ada perbedaan mendasar ngutang di bank konvensional dengan di bank syariah. Secara sederhana perbedaan kedua bank tersebut adalah bank konvensional dalam mengucurkan kreditnya menggunakan sistim bunga, sedangkan bank syariah menggunakan sistim bagi hasil. Karena menggunakan sistim bunga, maka besarnya cicilan di bank konvensional sudah bisa tentukan sesuai dengan bunga bank. Sedangkan besarnya cicilan di bank syariah tidak pasti tergantung dari besar-kecilnya hasil usaha.
Ngutang dengan sistim syariah sebenarnya bisa lebih menekan risiko, karena adanya mekanisme bagi keuntungan dan kerugian antara nasabah dan bank (lose and profit sharing). Memang sistim bagi hasil ini tampak lebih rumit dan penuh ketidakpastian, tapi sebenarnya lebih adil, aman dan menguntungkan ketimbang ngutang dengan sistim bunga. Untuk lebih jauh membandingkan keuntungan ngutang di bank konvensional dan bank syariah, perhatikan ilustrasi berikut.
Sebut saja namanya Ibu Ririn, owner CV Artha Tekstilindo Jakarta, sebuah industri rumah tangga yang bergerak di bidang konveksi khusus pakaian ABG cewek. Baru-baru ini ia mendapat order dari Singapura dalam jumlah besar. Untuk bisa memenuhi order tersebut Ibu Ririn butuh gelontoran modal sebesar Rp500 juta.
Bagi seorang pengusaha yang sudah keluar-masuk bank, mencari tambahan modal sebesar itu gampang. Apalagi namanya sudah dikenal dan dipercaya oleh beberapa bank ternama. Persoalannya, Ibu Ririn masih bingung mau ngutang di bank konvensional atau bank syariah. Ia harus menghitung lagi keuntungan dan kerugian ngutang di kedua tempat tersebut.
Untuk bisa mengambil keputusan, Ibu Ririn mebuat proyeksi keuangan sederhana tentang rencana ekspansi bisnis konveksinya. Dari tabel yang dibuat diketahui, bahwa rata-rata omset penjualannya sebelum mendapat gelontoran modal, kemudian disebut kondisi normal, sebesar Rp50 juta per bulan. Dengan omset normal Ibu Ririn bisa membukukan laba bersih Rp2,5 juta.
Kemudian dari hasil survai, dengan pinjaman sebesar Rp500 juta bank konvensional menarik bunga 2 persen per bulan. Alias cicilannya Rp10 juta per bulan. Sedangkan bank syariah menetapkan nisbah bagi hasil 60:40, yaitu 60 persen keuntungan untuk Ibu Ririn sebagai pengutang (mudharib), dan 40 persen untuk bank sebagai pemilik dana (shahibul maal).
Ibu Ririn menyusun proyeksi keuangan bisnisnya dengan asumsi margin keuntungan 30 persen dari omset. Sedangkan biaya tetap Rp5 juta per bulan, dan biaya variabelnya 5 persen dari omset. Kemudian Ibu Ririn membuat prediksi perkembangan usahanya setelah mendapat suntikan modal menjadi tiga kondisi. Yaitu kondisi pesimis dengan omset Rp70 juta per bulan, kondisi moderat dengan omset Rp100 juta per bulan, dan kondisi optimis dengan omset Rp150 juta per bulan. Dari ketiga kondisi itu ia membuat proyeksi keuangan antara ngutang di bank konvensional dengan ngutang di bank syariah.
Dari proyeksi keuangan terlihat, bila omsetnya melesat tiga kali lipat sesuai dengan asumsi optimis, maka ngutang di bank konvensional jauh lebih menguntungkan. Yaitu keuntungan dari hasil ngutang di bank konvensional sebesar Rp22,5 juta, sedangkan keuntungan yang diperoleh jika ngutang di bank syariah Rp19,5 jua.
Tapi bila usahanya hanya mencapai asumsi moderat atau pesimis, maka ngutang di bank syariah jauh lebih menguntungkan. Dengan asumsi moderat ngutang di bank konvensional dapat meningkatkan laba menjadi Rp10 juta. Laba tersebut lebih kecil dibandingkan dengan ngutang di bank syariah yang bisa menggenjot laba sampai Rp12 juta.
Coba Anda lihat pada asumsi pesimis. Dengan asumsi pesimis laba usaha Ibu Ririn tidak meningkat jika ngutang di bank konvensional. Tapi ngutang di bank syariah, meskipun dalam kondisi pesimis, laba Ibu Ririn tetap meningkat dari kondisi normal menjadi Rp7,5 juta. Dengan melihat proyeksi keuangan sederhana yang dibuat, Ibu Ririn mengukur kemampuannya kira-kira akan mencapai target penjualan pesimis, moderat atau optimis. Ia ingin utang yang diambil dapat secara optimal meningkatkan kekayaannya.
* Didik Darmanto adalah penulis buku laris manis: “Kalau Mau Kaya Ngapain Takut Ngutang“ (Bornrich, 2006). Buku yang terbit Juni 2006 itu langsung cetak ulang pada bulan Juli 2006.
0 komentar:
Posting Komentar