Sebagian besar tulisan tentang pemasaran selalu menyatakan kebutuhan pelanggan harus segera dipenuhi sebelum mereka berpindah dan membeli dari produsen lain. Saya jadi ingat tentang sebuah cerita.
Suatu perusahaan pembuat dan penjual sepatu kebetulan hanya memiliki dua orang yang bertanggung jawab untuk pemasaran, kita sebut saja sebagai pemasar A dan pemasar B. Maka diberangkatkan lah pemasar A ke sebuah daerah yang cukup kaya tetapi cukup terpencil. Sehingga mereka punya cukup banyak uang tetapi tidak pernah terfikir untuk memakai sepatu. Pemasar A kembali dengan laporan bahwa di daerah tersebut tidak ada seorangpun memiliki sepatu, maka bisa disimpulkan bahwa mereka memang tidak butuh sepatu. Maka akan sia-sia bila kita mengirim sepatu ke sana.
Pimpinan perusahaan tidak mau percaya begitu saja dengan kesimpulan tersebut dan mengirim pemasar B ke daerah yang sama. Pemasar B lalu pulang dengan laporan bahwa tidak seorangpun penduduk daerah tersebut yang memiliki sepatu, itu berarti mereka akan sangat tertarik bila kita memamerkan sepatu dan membuat mereka jadi membutuhkan sepatu. Sang pemimpin perusahaan kebetulan adalah seorang risk taker, maka dikirimlah beberapa jenis dan model sepatu serta sebuah toko dibuka di daerah tersebut. Yang terjadi kemudian adalah bahwa sepatu-sepatu yang dikirim laris terbeli.
Kebutuhan pelanggan. Andaipun pemasar A melakukan survei, masyarakat di daerah tersebut memang belum mengerti apa yang bernama sepatu, dan apa manfaat sepatu bagi mereka, maka jawaban survei pasti sama: mereka tidak butuh sepatu! Tetapi pemasar B merasa yakin bahwa mereka memang akan lebih baik bila memakai sepatu, maka dikirimlah sepatu, dibukalah toko, dan ditunjukkan gambar-gambar maupun film tentang orang-orang yang menggunakan sepatu serta manfaat sepatu. Maka sepatu yang dikirim menjadi laris terbeli.
Sekarang masih percayakah Anda bahwa pelanggan benar-benar tahu apa yang mereka butuhkan? Saya tidak sedang merendahkan pelanggan bahwa sama sekali bodoh. Tetapi berbuat hanya untuk merespon kebutuhan pelanggan dengan memenuhi permintaan mereka bukanlah hal yang benar-benar tepat.
Percayakah Anda bahwa Sony melakukan survei kepada para pelanggan dan konsumen mereka sehingga mendapatkan jawaban bahwa pelanggan membutuhkan sebuah alat pemutar rekaman suara yang dapat dibawa ke mana-mana, ketika mereka menciptakan walkman? Sangat percayakah Anda bahwa Motorola atau Nokia membuat survei yang menghasilkan jawaban bahwa pengguna jasa telekomunikasi butuh dihubungi di mana saja berada, ketika mereka menciptakan handphone? Bahkan Nokia saja tidak kita kenal memiliki produk lain selain handphone dan asesoris handphone.
Lalu bagaimana kita mengetahui kebutuhan pelanggan? Atau apakah kita tidak perlu melakukan survei sama sekali? Kalau Anda membaca Marketing Wise karya Sunny TH Goh dan Kho Kheng-Hor Anda akan membaca bahwa mereka menyatakan survei hanya akan memperkaya AC Nielsen dan perusahaan lain sejenis. Tetapi Anda juga disarankan oleh mereka untuk tetap melakukan survei.
Ya, Anda boleh memilih untuk bekerja sama dengan perusahaan yang profesional dalam melakukan survei atau melakukan survei sendiri. Tetapi yang paling penting adalah bahwa Anda ikut serta dalam mempersiapkan pertanyaan dalam survei tersebut. Begitu pula ketika data lengkap dan detail dari hasil survei telah terkumpul, Anda juga perlu memiliki.
Memang akan lebih mudah bila Anda mendapatkan langsung kesimpulan dari perusahaan pelaksana survei. Tetapi bila Anda serius dengan bisnis Anda, maka akan tertemukan hal-hal yang tidak tersimpulkan oleh para profesional survei tetapi dijawab secara implisit oleh pelanggan Anda.
Kita tidak sedang mempertanyakan kapabilitas dan kompetensi perusahaan pelaksana survei dalam membuat kesimpulan. Tetapi mereka bukanlah tim yang seumur hidup menjalankan bisnis yang Anda jalankan, maka intuisi mereka tidak akan bisa menyamai ketajaman intuisi Anda. Coba lihat buku dengan judul Blink karya Malcolm Gladwell yang akan menjelaskan kepada Anda betapa orang-orang yang seumur hidup atau paling tidak, bertahun-tahun melakukan sesuatu sebagai profesi mereka akan bisa melihat sesuatu sebelum memastikan melalui penelitian yang lebih sophisticated.
Banyak penulis menggunakan kata turbulens untuk menyatakan lingkungan bisnis saat ini. Padahal sebuah gerakan yang turbulens mengandung makna membingungkan, terus-menerus berbalik arah atau commotion.
Bila analogi angin kita bawa untuk menjelaskan hal ini, kita tahu bahwa angin berhembus (atau mengalir?) dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Ketika selisih beda tekanan antara dua tempat begitu banyak maka ketika angin mengalir maka tempat yang tadi bertekanan rendah akan menjadi bertekanan tinggi dan terjadi pula kebalikan pada tempat yang tadi bertekanan tinggi, sehingga angin mengalir kembali ke tempat awal. Kejadian ini begitu cepat sehingga angin berubah arah secara terus-menerus yang kemudian menjadi pusaran angin. (Kepada Anda yang lebih ahli mohon pernyataan tentang arah angin mengalir dikoreksi bila saya salah).
Secara umum dapat disimpulkan angin akan mengalir ke arah yang menarik dan meninggalkan tempat yang menolak mereka. Tetapi karena turbulens harus mempunyai sebab maka saya lebih memilih kondisi hiper-kompetisi lah yang menjadi penyebab. Karena itu mulai saat ini, mari kita nyatakan bahwa lingkungan bisnis saat ini berada dalam kondisi hiper-kompetisi.
Mengapa demikian? Ya setiap pebisnis memang sudah begitu serius dalam bisnis mereka masing-masing, sama seperti Anda. Maka pelanggan atau konsumen akan mengalir dari satu pebisnis ke pebisnis lain atau dari satu perusahaan ke perusahaan lain tergantung siapa yang menarik minat mereka, atau tergantung siapa yang membuat mereka kesal. Dalam kata lain, yang sering ditulis oleh banyak ahli, bahwa pelanggan atau konsumen akan memilih perusahaan yang easy to do business with (ETDBW).
Hal inilah yang membuat lingkungan bisnis terlihat turbulens. Setiap perusahaan yang menjual produk atau jasa sejenis akan berusaha mengungguli kompetitor mereka masing-masing. Setiap kali sebuah perusahaan berhasil mengungguli kompetitor mereka akan menyebabkan pelanggan atau konsumen beralih ke perusahaan tersebut. Maka kompetitor mereka kemudian tidak mau kalah dan terus berusaha mengungguli perusahaan tadi yang mengakibatkan pelanggan atau konsumen berpindah lagi ke perusahaan semula. Inilah yang kemudian disebut hiper-kompetisi.
Tidak adakah lagi pelanggan atau konsumen yang loyal? Saya jadi tergelitik dengan pertanyaan Anda itu. Pernahkah ada pelanggan yang loyal? Silahkan baca tulisan saya berjudul “Diberi”. Produsen yang bergantung pada konsumen, bukan pelanggan atau konsumen yang bergantung pada perusahaan, sehingga paradigma harus diubah. Tidak ada konsumen yang loyal, yang harus ada adalah produsen yang loyal.
Mungkin Anda pernah mengalami masa keemasan saat konsumen Anda selalu membeli dan berulangkali membeli produk atau jasa dari perusahaan Anda. Coba Anda cari iklan di media massa ketika itu, benarkah bila saya katakan bahwa tidak ada kompetitor yang berhasil mengungguli produk atau jasa yang Anda jual? Bila jawaban Anda, ya, maka konsumen bukan loyal kepada Anda, tetapi konsumen belum melihat ada produk atau jasa dari perusahaan lain yang lebih baik dari yang Anda miliki.
Maka mau tidak mau Anda harus mulai mengubah paradigma Anda sendiri. Jangan pernah berfikir ada konsumen yang loyal, Andalah yang harus loyal pada konsumen. Komitlah pada kepentingan konsumen, bukan hanya sekedar slogan perusahaan Anda.
Konsumen seringkali tidak mengetahui ada kondisi yang lebih baik dari setiap produk atau jasa. Sebelum Motorola dan Nokia memperkenalkan handphone, setiap konsumen sudah sangat bangga bila memiliki dua saluran telepon tetap di rumah mereka. Sebelum Makro dibuka maka konsumen sudah bangga bila di kota mereka telah ada Matahari atau Hero Department Store. Begitu pula ketika Carrefour, Giant dan Hypermart belum ada, maka konsumen sudah bangga bila ada Makro.
Dulu Centralindo Panca Sakti (masih ingat nama perusahaan ini?) adalah kebanggaan konsumen telepon bergerak sebelum muncul Telkomsel, dan kemudian orang mulai mempertimbangkan kartu Halo, Simpati dan As mereka untuk diganti dengan Esia, Flexi, Fren atau StarOne.
Anda yang tahu teknologi yang berkembang di jenis bisnis Anda. Konsumen mungkin tidak mengetahui, atau andaipun ada yang mengetahui perkembangan teknologi di bisnis Anda, tetap tidak banyak. Maka teruslah ikuti perkembangan teknologi, sistem produksi dan apa saja yang mungkin berkaitan dengan produk dan jasa yang Anda jual. Jangan pernah lupa, kompetitor Anda juga sedang mengikuti setiap perkembangan yang ada.
Percayalah bahwa Anda lebih tahu apa yang dibutuhkan konsumen. Lebih tahu daripada semua lembaga pelaksana survei, bahkan lebih tahu daripada konsumen Anda sendiri. Jangan pernah biarkan siapapun menghalangi Anda untuk memperkenalkan hal-hal baru yang berasal dari perkembangan yang terjadi pada produk atau jasa Anda. Ya, siapapun! Tidak pemerintah, tidak asosiasi bisnis tempat Anda bernaung, bahkan tidak Anda sendiri. Jangan pernah mau dihalangi.
Bila halangan datang dari pemerintah, lakukan negosiasi yang keras dan nyatakan bahwa masyarakat akan mendapatkan produk yang lebih bernilai, lebih bermanfaat dengan harga yang tetap. Pada saat awal, mungkin sebuah teknologi baru akan terlihat berharga tinggi, tetapi kemudian akan terlihat bahwa setiap teknologi baru akan memiliki harga yang lebih rendah daripada teknologi yang sudah obsolete.
Bila halangan datang dari asosiasi, jelaskan bahwa setiap perusahaan yang akan menggunakan teknologi atau sistem produksi baru akan mampu memberikan nilai tambah pada produk atau jasa masing-masing dengan biaya yang lebih murah, sehingga akan lebih banyak orang yang mengkonsumsi produk atau jasa tersebut. Dengan kata lain semua perusahaan akan mendapatkan bagian laba yang lebih besar dibandingkan tidak menggunakan ‘barang’ baru itu.
Bila diri Anda sendiri yang menghalangi, maka menghadaplah ke sebuah cermin, ubah ekspresi Anda menjadi lebih tegas, katakan “Sayalah yang lebih tahu apa yang dibutuhkan konsumen saya”
Teruslah beri yang lebih baik pada konsumen, dari sisi kualitas maupun harga, maka konsumen akan mempersepsi bahwa perusahaan Anda ETDBW. Menangkan kompetisi kali ini.[as]
* Ardian Syam adalah penulis buku bisnis “Kacamata Kuda”. Ia dapat dihubungi di: ardian.syam@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar