toko-delta.blogspot.com

menu

instanx

Sabtu, 08 November 2008

Seorang Penulis Dikuburkan Tidak Bersama Kata-Katanya

Oleh: M. Iqbal Dawami


Judul di atas saya dapatkan saat senin malam pukul 23.00 (13 Februari 2006) dari buku “Catatan Pinggir 5” karya Goenawan Muhammad. Namun itu bukanlah sebuah sub judul dari buku tersebut, melainkan kalimat Goenawan saat membuka sub judulnya yaitu “mas wir”.

Mas wir adalah seorang penulis yang produktif pada tahun 60-an. Nama lengkapnya adalah wiratmo soekito. Tulisan-tulisannya bercorak pemikiran-pemikiran, dimana ia rajin memperkenalkan pemikiran barat seperti fenomenologi Husserl, teori sejarah Toynbee, filsafat Marx, namun kadang juga pemikiran Bung Karno. Tak sedikit para pembaca tulisan mas wir ini, merasakan kesulitan memahaminya. Argumentasinya sungguh ruwet, tapi Goenawan, sebagai orang yang dekat dengannya, mengakumulasikan pemikiran mas wir ini, yaitu dalam masalah “sejarah, “kebudayaan”, dan “revolusi”. Kritikannya terhadap pemerintah dan realitas sungguh tajam, walau “tanpa emosi”, ujar Goenawan Muhammad. Situasi politik yang mencekam tentang adanya tarik menarik kekuasaan antara PKI dan revolusi membuat dirinya banyak tawaran untuk dijadikan alat kekuasaan, namun ia tetap independen.

Pengabdiannya terhadap negara tak diragukan lagi. Baginya, sebagaimana yang dikutip goenawan, “Indonesia” adalah sebuah definisi kerja untuk pengabdian. Ia mengabdi dengan menuliskan kata-kata yang berjuta-juta, mulai untuk surat kabar, majalah, siaran radio, makalah ceramah, dan lain-lain.

Coba kita lihat cerita-cerita Goenawan Muhammad selaku saksi sejarah tentang proses kreatif mas wir ini;

“Saya akan selalu teringat ini; hampir kapan saja di dini hari tahun 1963, ia akan tampak di sebuah kamar sempit yang lusuh, yang sesak oleh ratusan buku, hampir melengkung. Ia menulis untuk surat kabar ini dan majalah itu, untuk siaran radio, untuk makalah ceramah, seakan-akan tak henti-hentinya. Pasti itu juga berlangsung sebelum tahun 1963 itu, pasti sampai akhir hayatnya di tahun 2001.”

“Ia tinggal di sebuah kamar di sudut jalan Cilasari, Jakarta (kini sudah tidak ada lagi), ia tak punya apa-apa selain ratusan buku dan sebuah mesin ketik Remington tua. Kadang-kadang tempat tidurnya yang apak diberikannya kepada saya, yang menginap, dan ia akan terbujur di tikar sampai pagi. Ia tak pernah mengeluh atau membanggakan cara hidup ini, dan terus menulis berpuluh-puluh kata tiap malam. Ia akan selalu pergi siaran ke stasiun radio RRI di Jl. Merdeka Barat, kalau perlu dengan meminjam sepeda temannya dan menempuh hujan. Ia tak pernah meminta. Kalau bisa, ia akan memberi. Ia tak hendak mencari hidup yang lebih baik.”

Mendengar cerita Goenawan tentang mas wir ini sungguh luar biasa. Keadaannya yang jauh dari hidup mewah membuatku malu yang hidup saat ini, yang begitu dimanjakan oleh keadaan dengan fasilitas memadai. Nampaknya kalau saya cermati saat ini, banyak para penulis yang bersifat pasar oriented, dan pengabdian terhadap negara kian hari kian luntur saja. saya tidak tahu, masih adakah mas wir-mas wir lain saat ini?

* * M. Iqbal Dawami adalah penulis yang aktif di komunitas GARIS, Yogyakarta.

0 komentar:

toko-delta.blogspot.com

Archives

Postingan Populer

linkwithin

Related Posts with Thumbnails

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.