toko-delta.blogspot.com

menu

instanx

Minggu, 26 Oktober 2008

DUNIA KERJA DAN PENDIDIKAN
Oleh: Agustinus Prasetyo

Seorang teman bertanya kepada saya apakah saya mempunyai relasi yang kompeten untuk bekerja. Saya heran dan bertanya apa masalahnya. Usut punya usut ternyata teman tadi sudah berulang kali mengiklankan lowongan di kolom baris tetapi hasil yang didapat sungguh mengecawakan karena para pelamar tidak menguasai ilmu yang mereka pelajari di sekolah/perguruan tinggi. Sebagai contoh seorang lulusan akuntansi ketika ditanya apa itu neraca atau apa itu laba rugi tidak dapat memberikan jawaban yang benar . Jadi, apa yang terjadi dengan dunia pendidikan di Indonesia?

Masalah Dunia Pendidikan
Kita sepakat bahwa pendidikan adalah hal yang penting dan anak-anak pada masa sekarang jauh lebih pintar dari anak-anak pada jaman orangtuanya atau kakek/neneknya saat masih muda. Bertolak dari hal ini maka seharusnya tidak ada kesulitan bagi mahasiswa sekarang untuk menjawab pertanyaan seperti di atas.

Salah seorang praktisi dunia pendidikan yang sering mengadakan seminar mengenai dunia pendidikan mengatakan bahwa hal tersebut karena anak sejak kecil dibiasakan menghafal hal-hal yang kurang relevan/kurang terkait dengan skill of life. Akibatnya, kreativitas anak menurun drastis dan karena hal yang dihafalkan tadi kurang terkait dengan realitas (pengulangan minim sekali) maka akan terjadi moto yang salah yaitu “Banyak belajar banyak lupa”.

Menurut buku Genius Learning Strategy karya Adi W. Gunawan, ada beberapa sebab berikut ini.
Pengujian yang bertumpu pada hasil akhir
Keinginan tahu anak belum banyak dirangsang
Lingkungan belajar yang belum mendukung

a) Selama ini, di sekolah maupun dunia kerja, orang terpaku pada hasil akhir. Di sekolah nilai seorang anak ditentukan pada saat ulangan di akhir masa belajar (atau Unas) sedangkan proses belajar anak selama setahun penuh diabaikan. Demikian pula di dunia kerja yang disorot adalah hasil akhir. Contoh yang jelas adalah petinju kebanggaan Indonesia – Chris Jon. Orang sering hanya berkomentar, oh enak ya Chris Jon punya uang banyak. Namun, mereka tidak melihat bagaimana proses Chris Jon mencapai semuanya itu – bagaimana seorang anak umur enam tahun merelakan waktu bermainnya digantikan berlatih lari keliling lapangan atau meninju batang pisang.

Sebuah perjalanan panjang dimulai dari satu langkah kecil. Masalah lain yang terkait dengan pengujian bertumpu pada hasil akhir adalah orang cenderung memilih jalan yang termudah -à “membeli hasil akhir”. Akhirnya, sering kita baca adanya oknum yang menjual bocoran jawaban soal ujian. Juga menyebabkan bisnis les menjamur (bukan berarti penulis tidak setuju les. Namun, menurut hemat penulis ada les yang perlu dan ada yang kurang perlu).

b) Salah satu sebab mengapa anak enggan belajar karena mereka tidak tahu mengapa mereka harus belajar hal tersebut. Sebagai contoh mahasiswa akuntansi diajarkan teori mengenai buku besar dan buku pembantu di antaranya kartu piutang tapi tidak dijelaskan mengapa hal tersebut harus dibuat (sebab dianggap sudah seharusnya mengerti karena juga diajarkan mengenai sistem pengendalian intern dalam semester yang lebih tinggi). Akibatnya ketika bekerja mereka sering lupa membuatnya atau bagaimana cara membuatnya sehingga atasan mereka menjadi jengkel dan mengeluh tentang mutu lulusan sekarang.

c) Bagaimana mungkin seorang anak dapat belajar dengan baik bila atap sekolah bocor atau sekolah terendam banjir bahkan lumpur (Lapindo) ? Pada beberapa anak mungkin bisa tapi secara umum hal tersebut menghambat proses belajar mengajar di sekolah. Yang harus diingat bahwa pemeliharaan sekolah memerlukan biaya yang tidak kecil. Untuk membuat biaya pendidikan terjangkau diperlukan bantuan pemerintah atau para donatur yang lain.

Selain tiga hal tadi yang patut diperhatikan adalah kecenderungan orangtua agar anaknya mendapatkan nilai bagus. Yang patut disadari adalah nilai bagus di sekolah atau IQ yang tinggi hanya mencerminkan kecerdasan logika (dan sebagian kecerdasan bahasa) padahal menurut Howard Gardner dalam buku Multiple Intellegence ada enam kecerdasan lain yang bisa dimiliki seorang anak.

Melangkah untuk memutus lingkaran setan masalah dunia pendidikan.

Akhirnya, sering terjadi lingkaran setan–pendidikan yang baik memerlukan biaya yang tidak sedikit. Padahal, hanya sedikit orang yang mampu membayarnya padahal pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia.

Salah satu hal yang sering dilupakan orang adalah orangtua adalah guru yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Hendaknya para orangtua tidak meletakkan tugas pendidikan anaknya pada sekolah yang terbatas waktu bertemunya dengan anak.

Bagaimana dengan orangtua yang sibuk? Kita hendaknya bisa membedakan antara kualitas dan kuantitas bertemu dengan anak. Ada satu hal lagi yang perlu diingat oleh para orangtua à relasi dengan anak harus berdasarkan cinta dan jangan seolah-olah sedang melakukan interogasi/checklist terhadap kegiatan anak sehari-hari. Dengan mengisi kebutuhan anak akan cinta (ada lima bahasa cinta) maka ‘daya tahan’ anak terhadap pengaruh lingkungan akan meningkat.

BE BETTER EVERYDAY.[ah]

* Agustinus Hartono adalah karyawan. Saat ini sedang belajar untuk menuliskan hikmah dari peristiwa sehari hari . Dapat dihubungi di agusprasetyo86@yahoo.com.

0 komentar:

toko-delta.blogspot.com

Archives

Postingan Populer

linkwithin

Related Posts with Thumbnails

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.