Benarkah BMKG tak melakukan tugasnya? Mengapa tsunami di Mentawai tak terantisipasi?
Jum'at, 29 Oktober 2010, 00:10 WIB
Arfi Bambani Amri
BERITA TERKAIT
- Asuransi Bencana Mampu Cegah APBN Tekor?
- Demokrat: Asuransi Bencana Bisa Lindungi APBN
- SBY: Relokasi Korban Tsunami dan Merapi
- Presiden SBY Pun Menangis
- Gubernur Perintah Masjid Galang Dana Bencana
Tak lama setelah gempa berkekuatan 7,2 SR mengguncang Mentawai, pada pukul 21.42, 25 Oktober 2010, muncullah tsunami itu. Pemukiman yang berada di pantai barat gugusan Kepulauan Mentawai dihajar gelombang yang menurut saksi mata setinggi pohon kelapa. Sebuah resor wisata bernama Makaroni yang dikelola asing luluh lantak.
Menurut pengakuan warga Sikakap, Supri Lindra, tsunami datang hanya berselang 10 menit setelah gempa terjadi. Warga tidak memikirkan gempa itu mengarah ke tsunami karena dirasakan tidak terasa lebih kuat dari gempa 7,9 SR akhir September 2009.
Apalagi, seperti pengakuan Rahmadi, aktivis Yayasan Citra Mandiri (YCM) mengatakan, warga tidak sempat berlari setelah gempa karena tertidur. “Di Mentawai tidak seperti di Padang, jam delapan malam (20.00 WIB) mereka sudah pada tidur. Apalagi malam itu hujan deras sehingga lonceng gereja tidak terdengar,” katanya. Dan terlambat, mereka pun disaput tsunami.
Sementara di Kota Padang, Ibukota Sumatera Barat, gempa pada Senin malam itu dirasakan cukup lama, lebih dari 30 detik. Ayunannya pun teratur dan stabil dan tidak merusak sejumlah infrastruktur di Padang. “Seperti terombang-ambing di kapal,” ujar Fitra Heldi (35) warga Perumnas Belimbing, Padang.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mengumumkan, gempa itu berpotensi tsunami. Walikota Padang Fauzi Bahar segera mengumumkan lewat radio pemerintah di Padang agar warga segera menjauhi kawasan pantai.
Di Padang, masyarakat berbondong-bondong mengungsi mengarah ke dataran tinggi. Jalan menuju arah by pass (batas aman tsunami di Padang) padat. Sejam setelah gempa, dipastikan tsunami tak mampir di Padang.
Sementara di saat yang sama, ribuan warga di Mentawai bergulat dengan hidupnya melawan derasnya gelombang tsunami. Informasi seperti tersekat, maklum saja, belum seluruh kawasan tersambung listrik.
Keesokan harinya, Selasa, 26 Oktober 2010, warga Mentawai yang berdiam di Sikakap mengabarkan ada tsunami menghantam Sikakap. Dua orang dikabarkan tewas di Dusun Munte Baru-Baru, Pagai Selatan. Selasa pagi, seorang warga Australia mengabarkan ke dunia lewat Skynews bahwa dia telah mengalami tsunami di sebuah kawasan wisata di Mentawai. Dunia heboh.
Apa yang terjadi? Mengapa Mentawai seakan terlewatkan dalam mitigasi tsunami?
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika jelas sudah menjalankan tugasnya menyampaikan peringatan dini. Namun apakah rakyat di Mentawai menerima informasi yang sama?
Selain faktor kedekatan dengan episentrum gempa, Mentawai belum terpasang sistem peringatan dini. Enam sirene tsunami yang ada di Sumatera Barat tak satu pun terpasang di salah satu pulau terluar Indonesia itu. Sinyal bahaya di Kepulauan Mentawai yang menjadi episentrum gempa besar dan bahaya tsunami bagi kawasan di Pantai Barat Sumbar hanya mengandalkan lonceng gereja.
Baru “November ini kita berencana memasang perangkat komunikasi terpadu di Mentawai sehingga komunikasi antar kecamatan dengan provinsi dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional) berjalan lancar,” kata Koordinator Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana Sumbar, Ade Edward, pada VIVAnews.
Namun meski terpasang pun, Ade Edward pernah menjelaskan pada Juli 2010 lalu, sistem peringatan dini bekerja dalam rentang 15 menit setelah gempa. “Saat terjadi gempa besar, kita mempunyai waktu 15 menit untuk membunyikan sirene yang ada sebagai tanda peringatan tsunami bagi warga,” ujar Ade. Jelas, untuk Mentawai, alat ini tak cukup memadai, karena seperti yang dialami Supri Lindra, warga Sikakap, tsunami datang selang 10 menit saja dari gempa.
Untuk itu, Badan Penanggulangan Bencana berencana memasang alat yang lebih akurat, sebuah kamera pengintai di perairan Mentawai.
Pemerintah juga akan memperbaiki jalur penghubung antar dusun ke kecamatan di Pagai yang masih sebatas jalan beton. Akses jalan yang terbatas mempersulit proses evakuasi tsunami di daratan ‘Tanah Sikerei’. November bulan ini, pemerintah berniat membangun jaringan telekomunikasi berbasis satelit.
Program ini, menurut Ade telah disetujui pusat dan akan dibiayai APBN. “Komunikasi berbasis satelit ini akan menghubungkan antar dusun ke kecamatan, dari kecamatan bisa langsung ke BPBD Provinsi. Sedangkan dari kabupaten bisa langsung ke BNPB,” ujar Ade.
Hanya saja, rencana ini masih belum terwujud karena masih dalam pembahasan teknis. Bagi kawasan di daerah Pantai Barat Sumatera, Ade menawarkan komunikasi berbasis handy talky (HT) yang terkoneksi ke sejumlah masjid untuk mempercepat proses early warning system.
HT yang sudah dimodifikasi ini hanya memakan biaya Rp 20 juta hingga Rp50 juta. “Ini perlu kita lakukan segera. Karena memperkuat basis komunikasi di Mentawai sama dengan menyelamatkan Sumbar secara keseluruhan,” katanya.
Masukkan Data-Data Anda Di Bawah! Dapatkan Petuah Sukses Secara Berkala - Selamanya GRATIS! :-)
0 komentar:
Posting Komentar